Showing posts with label chitchat. Show all posts
Showing posts with label chitchat. Show all posts

Tuesday, 12 October 2021

Maybe it was me, but maybe it was also you.

Tuesday, October 12, 2021 1

Saya tidak akan berpura-pura. Terkadang saya cukup menikmati menjadi pengamat hubungan orang-orang, baik yang saya kenal langsung maupun cuma pernah lihat sepintas dua pintas sebagai sesama netizen. Memperhatikan bagaimana mereka melontarkan pujian setinggi langit kepada seseorang seolah-olah sosok itu tak bercela ketika sedang mabuk kepayang, lalu secara konstan dan berkala melemparkan makian, cercaan, atau mengungkit hal-hal buruk dan menimpakan segala kesalahan kepada orang yang sama ketika masa-masa indah sudah berakhir. Begitu terus. Berulang. Rinse and repeat. Saya paham bahwa ada yang namanya coping mechanism, tapi ya memang hakikatnya manusia sering terlalu gengsi untuk introspeksi dan menghadapi apakah memang kita juga punya andil dalam kesalahan. Ada perasaan "Mana mungkin gue yang salah!" yang berteriak lantang, keras kepala, apalagi kalau selama hubungan itu kita merasa sudah cukup banyak melakukan 'pengorbanan'.

Tiba-tiba saya jadi teringat kisah romansa gagal milik saya sendiri.

Cerita ini sudah lama. Sekian BC yang lalu, alias Before Covid. Saya tidak pernah menceritakan, apalagi menuliskan, hal ini di mana pun, karena mungkin saya belum tahu bagaimana cara mengartikulasikan emosi saat itu dengan benar. Dengan baik. Dengan tepat. Atau mungkin justru karena pada saat itu mengingat-ingat adalah hal yang masih menyakitkan.

Sekitar beberapa bulan setelah putus dari seseorang yang saya pacari semasa kuliah, saya iseng-iseng membuka akun media sosialnya. Bukan karena ingin menyiksa diri sendiri. Nggak. Saya sudah kenyang menangis selama mungkin hampir sebulan. Ketika itu motivasi saya murni karena ingin tahu kabar terakhirnya. Saya rasa dia akan baik-baik saja; tapi saya tetap penasaran. Apakah pindah kantor dan dapat pekerjaan baru? Apakah habis piknik dan jalan-jalan dengan keluarganya? 

Bahwa kepo itu ialah hak segala bangsa.

Saya mengetikkan username-nya di kolom Search.

Klik.

Halaman profil terbuka. Saya scroll sedikit. Sumpah, bener-bener cuma sedikiiiiiiiittttttt... dan saya langsung tiba di postingan yang mengisyaratkan kalau dia sudah punya pasangan baru. Tapi bukan itu yang bikin jantung saya berhenti. Serius. Saya tidak mempermasalahkan dia mau ganti pasangan secepat kilat atau justru bertahun-tahun selibat. Pandangan saya tertumbuk pada satu kalimat yang dia tulis yang terus terang membuat saya seperti ditombak. Dada saya ampek luar biasa. Saya kurang ingat bagaimana kata-kata persisnya; mungkin karena kejadiannya sudah cukup lama atau barangkali alam bawah sadar saya tidak berkeinginan mengingat-ingat secara detil. The gist of it was:

"...Akhirnya aku bertemu orang yang benar-benar menyayangiku."


That's it.

And I saw everything within the next second, flashes of flashbacks, in all red. Bright, blinding, burning red
. And it hurt. Holy shit it hurt. I was angry and sad and betrayed and in disbelief and so many emotions rose up at the exact same time like a bubbling sugar mixture: hot and scalding and ready to burst. Membaca kalimat itu berkali-kali lipat lebih menyakitkan ketimbang hari di mana saya menyadari bahwa hubungan kami berdua tidak mungkin dilanjutkan. Hari di mana saya memilih berjalan sendiri daripada kehilangan diri sendiri. Because, newsflash, baby, my feelings were real

Everything was real to me.


There were days when I really, really, really, liked him. There was one time when my world felt so much fun because we were together. I truly, genuinely, cared. I laid all my cards on the table since Day One and he said yes.  I let him know what kind of person I am, told my story, and he accepted. Until he doesn't. Until he said that he had a particular, ideal version of a partner in his mind and I must fit into the mold. A mold that isn't me at all. But every single thing that happened during that time was real to me. "Orang yang benar-benar menyayangi", katanya. Dear Lord how I hate that. Jadi perasaan saya waktu itu dianggap apa? Harus melakukan apa agar apa yang saya rasakan divalidasi dan tidak dilepeh seperti buah mentah yang jatuh prematur dari pohonnya?

Mungkin saya memang tidak pandai mengekspresikan apa yang dirasakan. Mungkin saya tidak melakukan apa yang 'semestinya' dilakukan orang-orang pada umumnya ketika berhadapan dengan orang yang saya sukai. Bahkan saya sayangi. Mungkin saya kikuk. Mungkin saya, karena tidak tahu apa yang sebaiknya dikatakan, memilih untuk tidak bicara apa-apa ketika seharusnya saya mengatakan sesuatu. Mungkin saya, karena tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan, memilih untuk tidak melakukan apa-apa ketika seharusnya saya mengambil sebuah tindakan. So maybe I was at fault. Maybe I contributed something for the relationship to end. Tapi apa itu semua membuat perasaan saya jadi layak untuk dimentahkan? I don't think so. Because I felt it all. Maybe my feelings were not enough for him, but it was true and genuine all the same.

It was real. To me.

And if someone else says it wasn't, perhaps it's their problem.
Not mine. No more.

z. d. imama

Sunday, 10 March 2019

Fear no storm, if your ship(s) never sail

Sunday, March 10, 2019 7

Kadang, saat membaca atau menyaksikan suatu serial, saya mengernyitkan kening tanda tidak setuju dengan bagaimana sang penulis merancang pasangan tokoh rekaannya. Penentangan saya bisa hadir dalam beberapa pola. Pertama, sudah sejak awal eneg duluan. Kedua belah pihak―menurut pandangan saya selaku konsumen karya―nggak jelas dan nggak punya hal-hal yang menarik apalagi kontributif untuk disandingkan. Namun entah atas pertimbangan apa, pengarangnya gas pol aja.

Ini. Nyebelin. Banget. Tapi. Yodalah. Ya.

Kedua, skenario ketika saya sejatinya tidak punya masalah khusus dengan pasangan ini di awal-awal kisah, namun lambat laun kok salah satu pihak (atau justru semuanya) mengalami perkembangan karakter yang degradatif. Jadi nggak mutu. Jadi norak. Jadi bikin saya sebel. Jadi nggak punya lagi unsur-unsur yang bikin saya tertarik dengan nasib dan masa depan mereka selaku pasangan. Bayangkan saya berdiri mengamati di kejauhan, lengan terlipat di dada, memutar bola mata seraya nyeletuk bete, "Yaelaaah bubarin aja ngapa??" Cuma yaa.. berhubung sudah kepalang tanggung, penulis tetap maksain. Apalagi kalau protagonis utama. Beuh. Bakal kekeuh bener macem simpatisan capres-cawapres.

Pola ketiga terjadi apabila ada faktor kejutan. Anggaplah dua tokoh yang sejak awal interaksinya akrab, menyenangkan, kompak sekaligus komplementatif satu sama lain sehingga pembaca―atau penonton―berharap dengan antusias, menunggu kapan mereka akan diceritakan 'resmi' bersama-sama sebagai pasangan. Eeeeeeeh ndilalah kok tiba-tiba sang penulis cerita menukik, menikung, melakukan manuver tajam dan tanpa tedeng aling-aling dia menumpas segala kemungkinan yang ada selama ini dengan seenaknya menjodohkan tokoh-tokoh tadi dengan tokoh lain yang... nggak dapet aja chemistry-nya. Apakah sekarang ada yang sedang melirik koleksi komik Bleach di lemari? Tenang. Saya mengerti perasaan itu.

Sampai sini sudah jelas kan bahwa saya nggak akan ngomongin teknik perkapalan atau hal-hal ilmiah sejenisnya? Jangan salah jamaah, guys. Apa yang hendak saya paparkan jauh lebih tidak berfaedah untuk kemaslahatan umat dunia: beberapa contoh tokoh-tokoh fiktif yang merebut hati saya dan bikin saya ingin mereka bisa jadi pasangan, tetapi kapalnya tidak pernah berlabuh.

"Me versus the author" moments.

Hermione Granger x Draco Malfoy

From: Harry Potter and the Whole-ass Series about The Boy Who Lived.

Artist's credit as written on the art.

ALAMAKJANGGGG. I ship this pairing. Wholeheartedly. So. Fucking. Hard. Ketika baca novel Harry Potter and the Prisoner of Azkaban dan ada adegan Hermione nonjok Malfoy, saya sebenernya sudah mulai merancang skenario sendiri di benak terkait mereka berdua. Ngayal halu. Terus terang, saya termasuk pihak-pihak yang tidak setuju Hermione dikisahkan menikah dengan Ron. Apalagi konon katanya budhe Rowling semula memang tidak berniat menjadikan mereka pasangan, kan. Banyak orang berpikir bahwa Hermione terlalu pintar untuk Ron, tapi saya justru tidak mempermasalahkan itu. Ada hal-hal yang lebih bikin saya kepikiran dengan kehidupan mereka selaku pasangan dibanding perbedaan level intelegensia. Gimana, ya. They are friends for years and have experienced many adventures, also dangers, together, but I don't think they match as romantic partners. As lovers. As two people living under the same roof every day and spend countless hours near each other. Do Hermione and Ron provide room for each other to grow? Do they have shared interests to talk about (other than Harry and their past adventures) and things to do and explore together? Does this fictitious couple... work?

All I can tell is that Hermione settles.
And bet my ass, it really doesn't feel like her. 
This matchmaking between Ron and Hermione is anime level of betrayal.

Sementara itu, saya mengamati bahwa Hermione dan Draco justru punya banyak momen di mana kepribadian mereka bisa bergerak dan berkembang karena dipicu satu sama lain. Apalagi mempertimbangkan arah plot canon dari budhe Rowling yang menyatakan bahwa Draco tidak berhasil jadi orang jahat. He questions. He gets confused. He does his share of evil work as a teenager under constant pressures and threats. Dia cuma salah asuhan; dibesarkan di tengah keluarga Darah-Murni yang membenci setiap orang yang lahir berbeda. Keturunan campuran dicibir, punya orang tua Muggle dianggap hina, bahkan sesama Darah-Murni tapi kere ceremende juga direndahkan. Saya sanggup berbusa-busa sampai tahun 2020 ngomongin betapa Hermione harusnya bisa bersama-sama Draco. Sehingga agar volume tulisan ini masih terkendali, mari kita sudahi sejenak. Lanjut di kolom komentar saja (itu pun jika ada yang berkenan meninggalkan satu atau dua jejak).

Edogawa Conan x Haibara Ai

(or Kudo Shinichi x Miyano Shiho if you prefer their actual names)
From: the neverending series called "Meitantei Conan" I once wrote a whining post about.


Selain Hermione dan Draco, Conan dan Ai adalah pasangan yang saya dukung sepenuh hati. Awalnya, saya biasa-biasa saja terhadap Ran. Tokohnya masih terasa lucu dan cukup menyenangkan lah. Kuat, jago bela diri, tapi takut setan. Rada cerewet dan galak pun. Saya tidak punya masalah besar dengan kepribadian Mouri Ran di volume-volume awal serial Detektif Conan. Namun seiring waktu (apalagi setelah tankoubon jilid ke-50 dan diperparah lewat film demi film), mbak karateka yang konon jawara kompetisi ini kok makin lama kayaknya makin minta ditenggelemin Bu Susi ke dasar Laut Arafuru. Apa-apa dikit manggil-manggil Shinichi. Dapet masalah dikit, tanggung jawab dilimpahin ke Shinichi. Bapaknya ditangkep polisi karena tuduhan palsu, marahnya justru ke Shinichi lantaran nggak ada di lokasi―kalau dese nongol kan ngarepnya penangkapan Kogoro dicegah. Belakangan Ran juga sering lupa tentang fakta bahwa dia mampu berantem, harus nunggu dikasih motivasi Mario Teguh atau Erlangga Greschinov Shinichi dulu (entah lewat telepon atau flashback masa lalu) baru deh bak-buk-bak-buk-dhuar kicking asses here and there.

Anjir. Ngetik gini aja udah bete.
*Melolong, menjambak-jambak rambut sendiri, menggelepar di lantai kamar.*

Kemunculan Haibara Ai di jilid 18 justru semula saya cuekin. "Sokap neh anak baru???" demikian kira-kira yang terlintas di benak saya. Sambil lalu. Eeehhh lambat-laun saya menyadari bahwa dinamika sosialnya dengan Conan sangat menarik diperhatikan. Diamati. Dikapalin. Mereka punya level kepercayaan yang seimbang. Mampu berdiskusi tentang banyak hal bareng-bareng. Bahkan tiap Conan fanboying Sherlock Holmes maupun Arthur Conan Doyle, Ai nggak protes. Nggak mengeluh. Justru santai menimpali―karena paham materinya―walau terkadang tanggapannya rada nge-troll. Hubungan mereka jauh, jauh, jauuh lebih sehat dan progresif.

Saya curiga hal ini disadari Aoyama-sensei sendiri. Sebab seiring dengan tumbuhnya penggemar pasangan Conan dan Ai, porsi episode fanservice Shinichi dan Ran akhir-akhir ini jadi membludak. Seolah-olah mengingatkan pembaca, siapa sebenarnya main couple di cerita yang kagak tamat-tamat itu. Haibara Ai dipaksa mundur jauh. Perannya hanya muncul sekelebat sebagai tukang obat. Nongol-nongol ngasih antidote percobaan ke Conan, yang lantas membesar jadi Shinichi selama beberapa waktu dan ngabisin durasi untuk pacaran sama Ran. I'm fuming. I'm enraged. I'm!!! Freaking!!! Angry!!!

Daidouji Tomoyo x Hiiragizawa Eriol

From: Cardcaptor Sakura, which was the first ever series teaching me about sexuality without a single sexual scene. #LoveWins, people.

Shoutout to this person for editing the picture above.

Now, THIS is the power couple I'm talking about. Yes I know Tomoyo loves Sakura, but I deeply wish she'd be just like Kinomoto Touya who's bi af and end up together with Eriol, because... WON'T IT BE AWESOME?? And twisted as hell. Dark, twisted, and fucked-up romance is my biggest kink, I guess? And it would be nice seeing someone who don't own any drop of magical prowess stands together with once-the-strongest-wizard-ever who lived hundreds of year before reincarnated himself.

Tentu saja angan-angan saya tidak terkabul.
If any of my ship(s) sail, this kind of post would not be written.

Sebenarnya saya masih punya lebih banyak pasangan-pasangan tokoh fiksi non-canon. Mereka yang saya dukung segenap jiwa agar bersama-sama, tetapi keinginan tersebut tidak sesuai dengan kehendak penulis. Plus editor. Sayangnya jika saya paparkan semua, tulisan ini nggak bakal ada ujungnya. Lebih baik disudahi saja sebelum makin luber ke mana-mana. Sebagai penutup, saya akan menyatakan bahwa Oozora Tsubasa dan Nakazawa Sanae layak dipertanyakan sebagai pasangan yang dikisahkan menikah atas dasar cinta. Okelah, Sanae memang sudah head-over-heels dengan Tsubasa sejak belum menstruasi (do NOT argue with me on this), tapi Tsubasa...? Sejak kapan? Sejauh ingatan saya, dia justru lebih berapi-api saat ditendangi bola oleh Hyuga Kojiro dibanding momen apa pun dengan Sanae. Does he marry her for convenience only? Daripada nyari baru mending tembak aja yang udah jelas naksir, gitu.

Isi kepala saya memang gini-gini doang.

z. d. imama

Monday, 21 January 2019

My (rather unhealthy) cat obsession

Monday, January 21, 2019 4

Saya suka kucing. 

Mohon maaf terhadap segala macam hewan menggemaskan lain di muka bumi (marmut, kelinci, rusa, anjing, dan lain sebagainya), namun saya tidak bisa memungkiri bahwa yang senantiasa memperbudak jiwa dan hati saya di singgasana tetap kucing. Beserta seluruh spesies turunannya. Singa, macan, jaguar... yea you know which ones. Semasa kecil, salah seorang sepupu saya di rumahnya ada banyak sekali kucing peliharaan. Rekor populasi tertinggi kayaknya sempat mencapai sebelas ekor, persis macem Nankatsu setelah kedatangan Ozora Tsubasa. Tiap kali libur sekolah, saya pasti minta menginap di sana. Demi main sama kucing. Tapi ya, keluarga sepupu saya nggak sepaham itu sama dietary kucing. Beda sama orang-orang sekarang. Back in the day, makanan para mengs tiap hari adalah ikan mentah termurah yang ada di pasar―biasanya kalau bukan bandeng ya teri―dicampur nasi putih. "Nasi kucing" at its realest meaning.

"Kenapa nggak pelihara sendiri aja?"

Ya ya ya. Ini memang pertanyaan yang paling kerap muncul. Saya maklum. Namun mewujudkannya tidak semudah ngomentarin orang di internet, kamerad. Ayah saya tidak suka binatang. In an almost hardcore sense. It's weird because human are in kingdom Animalia.. but let's not talk about that. Tiap menjemput saya dari rumah sepupu saja, tidak jarang ayah menaikkan kakinya ke kursi daripada harus tersenggol kucing-kucing yang lalu-lalang. Memang seenggan itu. Sehingga ya.. mana mungkin saya bisa punya kucing piaraan pribadi. Ketimbang dese cuma jadi korban kekerasan rumah tangga, kan.

     

Kegemaran saya: motretin kucing-kucing liar (dan ngasih mereka makanan).

Setelah tinggal sendiri sebagai warga kos-kosan rupanya impian memelihara mengs juga belum dapat terwujud. Kos yang kamarnya sesuai dengan kehendak hati saya, entah kebetulan entah nasib, selalu punya kebijakan melarang binatang peliharaan. Penyaluran hasrat dan rasa sayang yang nampaknya sudah merekah jadi obsesi terhadap kucing pun lagi-lagi terhenti di sebatas mengusap-usap (asalkan mereka tidak terlalu takut pada manusia) dan memberi makan kucing liar yang ditemui.

Kucing-kucing komplek.
Kucing-kucing yang gegoleran di trotoar jalan.
Kucing yang hampir tiap hari bisa ditemukan keliaran di sekitaran gedung kantor.

The office-perimeter cat, alias kucing yang demen nongkrong di area kantor.

Tempo hari sempat ada kejadian agak memalukan gara-gara dijajah kucing secara psikologis:  saya mengeong ke arah seekor kucing liar pada saat yang bertepatan dengan mas-mas lain melakukan hal serupa. KEBAYANG NGGAK SIH SEBERAPA MALU? DUA ORANG DEWASA MENGGODA KUCING DAN KOMPAK NGOMONG "MEOOONG~~"?? DENGAN NADA SOK IMUT?? While I know that it sounds toootally like a start of budding romance story―in retrospect, I honestly kinda hope it did―unfortunately it only resulted in awkward moment and shy stares and quickened pace. Mas-mas tersebut buru-buru berlalu, sementara saya memutuskan berjongkok di samping sang kucing lantaran arah tujuan kami sama; takut makin keki kalau pergi dari situ berbarengan.

Hasrat miara kucing yang tidak pernah terkabul selama bertahun-tahun ternyata sampai bermanifestasi jadi ambisi kurang terkendali. Entah sejak kapan, saya gampang sekali datang berkunjung ke tempat tinggal seseorang hanya dengan diiming-imingi main sama kucing. I shit you not. Trivia barusan sudah pernah saya sebutkan di postingan sebelah sini loh. Sure, terms and conditions apply, misalnya saya dan pihak pengundang harus sudah pernah ada interaksi sebelumnya, namun kok ya setelah direnungkan lagi ternyata definisi "interaksi sebelumnya" ini longgar banget, men. Bahkan saya pernah sengaja menawarkan ngambil sendiri buku secondhand yang hendak saya beli dari seseorang, langsung ke rumahnya, cuma demi ketemu kucing peliharaan si empunya buku yang emang amit-amit gemes banget dan nampang di foto profil. Padahal tadinya kami nggak kenal sama sekali. Cuma pernah ngobrol dikit-dikit via direct message media sosial, ngebahas buku yang mau dibeli.

Is this starting to get dangerous? 
Is this beginning to become unhealthy?
Is this tendency has started to be life-threatening?
Bagaimana jika kamu jangan terlalu lonte tentang kucing, Zulfana? Hmm?

      
Bergaul dengan dedek-dedek bulu milik Puti

To all the cats I've petted before... thank you from the deepest part of my conscience. Terima kasih telah bersedia saya jamah dan unyel-unyel meski ujung-ujungnya cuma ditinggal lagi sesudah dikasih makanan kering secukupnya. Semoga suatu waktu nanti, akan tiba hari di mana saya bisa membawa pulang minimal satu ekor dari kalian. Bukan saya yang terus-menerus dibawa pulang orang-orang demi menjumpai kalian.

z. d. imama

Monday, 20 August 2018

My sister's birthday

Monday, August 20, 2018 6

Adik perempuan saya satu-satunya, berulang tahun pada bulan Agustus ini. Nggak, saya nggak pernah lupa tanggal berapa hari kelahirannya. Tapi saya selalu lupa dia sudah umur berapa. Syukurlah dia lahir di tahun yang sama dengan dedek Ashida Mana. Lumayanlah buat patokan. Maklum, kondisi psikologis diri sendiri pun mungkin mengalami pembekuan sejak usia delapan belas tahun dan hingga detik ini saya selalu bingung tiap ditanya umur sendiri. And I believe I am not alone in this mess. Haqqul yaqin pasti ada sesama millennial yang juga kayak gini. Ayo ngaku kalian!

Tahun ini saya genap lima tahun berturut-turut hidup jauh dari rumah keluarga (dan jarang pulang). Iya dulu emang pernah exchange program di Jepang juga, tapi kan jangka waktunya nggak sama. Semasa kuliah, saya masih cukup bisa bersantai lama-lama di rumah setiap libur semester―yang biasa diisi kerja sambilan serabutan di kampung halaman―karena duh amit-amit panjangnya. Saya punya keleluasaan memilih tiket kereta. Nyari yang paling murah, dan jam keberangkatan tidak pernah jadi masalah karena... yah, boleh dikatakan pengangguran.

Sekarang?

Beuuuh. Boro-boro. Bokeknya masih, tapi malah tambah punya masalah baru: ketiadaan waktu luang yang cukup untuk dapat leluasa memilih tiket kereta. Semasa mahasiswa saya bisa 'cuma' menghabiskan di bawah Rp200,000 untuk perjalanan pulang-pergi dari dan ke perantauan. Sekarang kena tagihan di bawah Rp500,000 saja sudah sujud syukur-worthy. Intinya, biarpun telah menjadi seorang pekerja yang diperbudak kapitalisme, pulang ke rumah tidak seketika menjadi perkara yang lebih mudah. Saya yang dulu rajin mudik di tanggal-tanggal penting (hari kelahiran ibu, adik, pokoknya anggota keluarga lah) pun jadi sering tidak bisa melakukan hal itu lagi. Termasuk ulang tahun si dedek tahun ini.

So I prepared a small surprise.

Saya mengirimkan kartu ulang tahun... ke sekolahnya.

Umumnya, tiap ada paket atau surat yang ditujukan kepada siswa tapi dialamatkan ke sekolah, maka kiriman tersebut bakal masuk dan dicampurkan ke kotak surat staf sekolah. Kemudian disortir. Nah, nantinya siswa yang bersangkutan akan dipanggil pihak guru. Disuruh menghadap. Persis kayak anak nakal mau disetrap gitu lah. Saya pengin aja bikin si adek deg-degan. Muahaha.


Saya orangnya paling nggak bisa bikin ucapan (I suffer rather serious gatel-gatel syndrome when Lebaran season comes and the blame is on those lengthy Ied messages that are mostly copy-pasted from somebody else). Maka dari itu, isi kartunya cuma seperti ini.

Anybody realize that "kakak" and "Kaka" pun? Uh, hello? Guys?

Adik saya mengontak beberapa hari kemudian, setelah kartu tersebut tiba di tangannya. Rupanya dia lebih kaget dan takut ketika tahu kiriman tersebut berasal dari saya dibandingkan sewaktu masih completely clueless dan menduga-duga tindak kenakalan apa yang tanpa sengaja sudah dia lakukan sehingga dipanggil guru.

"Aku pikir tiba-tiba kakak ngirim undangan nikah... tanpa ngenalin orangnya dulu ke kita-kita."

Luar biasa. Thanks for the idea, sis. Tampaknya akan seru sekali jika ide tersebut diterapkan betulan. Pasti akan menggemparkan kanan-kiri. Menggetarkan skena pergunjingan saudara-saudari. Saking terkesima, saya sampai melupakan satu hal paling krusial yang dapat memicu terlaksananya rencana tersebut: adanya seseorang yang bersedia saya ajak menikah. Tawa geli pun dalam sekejap berubah menjadi tawa garing. Hahaha. Haha. Ha.

Sabar ya, adikku.
Resepsi itu tidak akan hadir.

z. d. imama

Monday, 12 February 2018

The Maling Mentality

Monday, February 12, 2018 4

Nggak. Nggak, nggak. Tulisan ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan merek makanan kaleng yang―kata banyak khalayak―enak banget itu, apalagi ditulis untuk mendiskreditkan. Nggak. Saya mendukung segala bentuk perkulineran. Mulai dari yang halal banget sampai haram banget (Sari Roti dan air mineral Equil, misalnya). Tolong jangan anggap saya menistakan salah satu sumbangsih kuliner terbaik. Topik bahasan sekaligus omelan saya kali ini adalah maling dalam hakekat dan kaidah yang sebenarnya. Istilah pergaulannya: tukang ngembat.

What triggered me to write this post is something many may deem unimportant, but it frustrates me to no end nonetheless. Maling jemuran is real. SO FREAKING REAL. Sebagai gadis rantau yang tinggal sendiri di kos-kosan, jasa in-house laundry tentu menjadi pertimbangan dalam menentukan tempat tinggal. Jelas dong. Saya kan stok baju-bajunya terbilang sedikit (sekitar 35 buah―sudah termasuk jaket, daster, kaos, dress, celana kolor buat tidur, dan segala kostum pergembelan lain), sehingga nggak mungkin menumpuk cucian untuk dikerjakan akhir pekan. Keburu abis stok baju-baju bersih saya. In-house laundry to the rescue... tetapi jika dan hanya jika penanggung jawabnya punya kejujuran. Which, in my case, turned out otherwise.

Nasib.

Keterbatasan pakaian membuat saya makin enggan bikin akun Instagram.

I'll let you know the story whether you want to or not. Alkisah, tersebutlah mbak Iyah, seorang penanggung jawab kebersihan di lantai X sebuah kos-kosan Z di Jakarta Selatan. Mbak Iyah ini pekerja teladan. Semuanya terselesaikan dengan baik dan paripurna. Lantai bersih kesat berkilau. Pakaian yang masuk cucian tidak pernah ada yang ketlisut, rusak, apalagi hilang. Wis pokoke ibarat lagu Andra and The Backbone. Sempurna. Tanpa cela. Sayang beribu sayang... sekitar akhir bulan Oktober, mbak Iyah pindah kerja, tidak lagi mengurus kos-kosan tempat saya tinggal. Negara api pun menyerang.

Bukan gitu, ding.

Anyway, sepeninggal mbak Iyah, selang beberapa hari datanglah penanggung jawab kebersihan yang baru. Sebut saja namanya mbak Q. Saya ngeluarin cucian seperti biasa. Tapi lama-lama terasa ada sesuatu yang aneh: pakaian saya mulai 'tidak pulang'. Baju-baju yang jumlahnya semenjana itu berkurang! Setelah ditunggu sepekan kok ya nggak balik-balik juga, saya lapor dong ke koordinator kos, ibu-ibu yang jadi semacam bosnya mbak-mbak penanggung jawab kebersihan. Jawaban yang saya terima dari ibu koordinator sungguh klasik: "Mungkin keselip, mbak. Tunggu dulu aja."

Yha. Nunggu sih nunggu, tapi sampai kapan??? Saya sudah cukup kenyang dapet ketidakpastian dari para gebetan. Masa harus ditambah menghadapi ketidakpastian jemuran?? Saya makin bete ketika tahu bahwa seiring waktu, bukannya baju-baju yang tadinya hilang jadi kembali, malah baju-baju yang sebelumnya nggak hilang ikut nggak balik ke loker cucian saya. What the hell.

Where. Are. My. Freaking. Clothes???

Kesabaran saya out of stock sekitar bulan Januari lalu, sebab baju saya yang 'tidak pulang' secara keseluruhan sudah berjumlah tujuh potong. Gila. Dari total tiga puluh lima potong baju berkurang tujuh dalam jangka waktu sekitar tiga bulan. Hitung gembel aja deh. Anggaplah baju saya per buahnya seharga Rp50,000 hingga Rp100,000. Total yang ditilep udah Rp350,000 - Rp700,000. Kesel nggak? And I don't have any spare money to deal with this kind of shit. Saat komplen (untuk kesekian kalinya) ke ibu koordinator kosan dan barang-barang saya yang hilang dicatat ulang secara detil, ada seorang penanggung jawab kebersihan yang nyeletuk...

"Lho, baju yang model ini kan pernah dipakai sama si mbak Q? Tapi orangnya udah minggat sejak tiga hari lalu, mbak."

Bye. Saya bisa apa selain jadi masyarakat Budaya Timur yang baik dan memasrahkan diri kepada higher entity. Tapi terus terang, saya nggak habis pikir sih. Kenapa sampai ada orang-orang yang maling jemuran? Sama halnya dengan kenapa ada orang yang suka ngembat makanan atau minuman di kulkas bersama kos-kosan? Atau nyolong sendal dan sepatu yang diletakkan di batas suci masjid. Ngambil bakwan di kantin tiga biji tapi ngakunya cuma makan dua. Kenapa untuk barang-barang seremeh, setidak-signifikan, sesepele itu saja harus ngambil milik orang lain tanpa izin? That leads me to another question: apa jangan-jangan mental maling di masyarakat Indonesia memang sedemikian mengakarnya―mentang-mentang kemerdekaan pun diperoleh berkat curi-curi kesempatan?


Sumpah deh nggak ngerti.

z. d. imama

*P.S.: Terima kasih kepada Uni Dian yang berbaik hati menyumbangkan beberapa potong baju-baju lama untuk saya sebagai pengganti mereka yang direnggut paksa. Huhuhu. Saya benar-benar tidak siap menghadapi serangan maling jemuran ini.

Friday, 5 January 2018

How to Welcome New Year.. without Much Celebration.

Friday, January 05, 2018 8

Oh wow. It's 2018 now.

Well... jumpa lagi di pojok "How-To" keempat saya (yang akhirnya dibuatkan tagar tersendiri dalam The Chapters). Setelah sebelumnya pernah menulis tentang cara berfoya-foya jika tidak berduit, cara menghadapi pertanyaan-pertanyaan kepo di acara keluarga, dan cara menikmati hidup yang nggak istimewa, kali ini saya bermaksud membahas cara menyambut tahun baru tanpa merayakan. Iya, ngerti. Postingnya telat. Barangkali lebih baik saya unggah tulisan ini sebelum New Year's Eve, tapi ya sudahlah ya. Anggap saja sebagai referensi untuk pergantian 2018-2019 kelak. Harus visioner dong.

Ada banyak alasan yang membuat orang-orang enggan, sungkan, atau abort mission untuk going full-throttle di malam tahun baru. Tidak punya uang. Krisis teman. Tidak punya uang sekaligus krisis teman. Nggak punya pasangan―entah suami, istri, pacar, hingga selingkuhan. Malas berurusan dengan kemacetan. Malas berurusan dengan keramaian. Malas berurusan dengan kenalan (barangkali karena dia ngutang tapi nggak kunjung dilunasin). Kata pak ustad yang tiap ceramah urat lehernya kelihatan semua, pokoknya merayakan tahun baru itu haram! Ada anjing dan kucing peliharaan yang berpotensi takut dengar bunyi ledakan kembang api. Berjuta alasan kalau mau dicari sih pasti ketemu, mulai dari yang masuk akal sampai jelas akal-akalan. That being said, we have our own reasons not to have a flashy new year party. And that's why I'm writing some alternatives you can do at home.

Shall we start?

- Watch some movies (or series, concert videos, etc).

Kegiatan yang relatif paling mudah dilakukan. Cukup bermodalkan televisi, PC/laptop maka urusan bisa terselesaikan. Bahkan jika apa yang ingin ditonton adalah DVD atau file-nya sudah di-download sejak lama, maka kita nggak butuh-butuh amat koneksi internet (yang mana sering sekali mendadak lemot dan gangguan di saat-saat krusial karena sebagaimana kata mantan Menkominfo kita, "Internet cepat buat apa?"). Jangan lupa sediakan sedikit cemilan untuk menemani. Ngendon menonton film di rumah, kos, atau kamar adalah alternatif kegiatan murah meriah yang bisa dilakukan sendirian maupun bersama orang lain. Malah kalau nggak ada barengannya, kita justru enak-enak aja mau pause dan replay bagian-bagian tertentu sesuka hati tanpa ada yang terganggu.

Black Mirror 4th Season is out!!!

- Cook your own New Year dinner

Ingin punya memori agak khusus tapi ogah ke mana-mana? Mau usaha rempong sedikit? Bagi anak-anak kos yang mentok-mentok masak mi instan, goreng nugget (atau salah satu di antara ini: tempe, tahu, telur, nasi), malam tahun baru adalah waktu yang cukup pas untuk memasakkan diri sendiri sesuatu yang lebih oke dibanding biasanya. Boleh juga janjian dengan teman untuk bikin cooking night kecil-kecilan―supaya bisa bagi tugas cuci piring sekaligus patungan pengeluaran beli bahan makanan. Berdasarkan pengalaman pribadi, memesan delivery justru kurang direkomendasikan. Kondisi restoran serta jalanan yang ramai bakal membuat pesanan lama diantar.

Masak-masak bersama Puti, makanan satu panci dihabisin berdua.

Ngomong-ngomong, saya pernah iseng-iseng berbagi dua buah resep di tulisan ini dan di sini. Relatif gampang, cuma yaa untuk salah satunya memang butuh kesabaran. Silakan dicoba!

- End that long overdue journey!

Kalian punya game yang nggak kunjung tamat karena nggak sempat memainkan, atau terdistraksi gim baru lainnya sebelum menghadapi musuh terakhir? Punya buku-buku yang nggak kelar dibaca gara-gara alasan serupa? Malam tahun baru yang selow bisa jadi kesempatan emas bagi kalian untuk menyelesaikan hal-hal tertunda itu. Sense of accomplishment-nya lumayan, lho.

- Clean up! Clean up! Clean up!

Merasa punya banyak energi dan butuh menggerakkan badan... tapi nggak berniat ajeb-ajeb sampai pagi? Nyikat WC aja. Serius. Bereskan semua sudut di rumah, kamar tidur, kamar mandi. Sapu lantai sambil sesekali air-guitaring kalau kalian tipe yang memutar musik saat bersih-bersih. Pel sampai kinclong. Cuci tumpukan baju kotor (bagi kalian yang nggak langganan jasa laundry). Gosok ubin dan toilet hingga berkilauan. Energi tersalurkan, badan segar keringetan, rumah dan kamar bebas dari kesemrawutan.

Asyik juga, kan.

Apa? Bersih-bersih di malam tahun baru nggak Instagram-able? Dih, siapa bilang? Asal kalian kreatif, cukup banyak kok variasi pose-pose foto lucu, seru, dan konyol yang bisa diambil ketika membereskan ruangan. Misalnya kayak gini:

Foto fantastis di atas diambil dari sebelah sini.

- Make use of all those e-coupons!

Punya banyak uang tapi ogah jalan-jalan? Tenang. Hari gini, semua bisa teratasi dengan online shopping. Banyaknya marketplace memberikan end-year sale/special discount membuat kita tidak usah capek-capek bergulat dengan sesama pemburu barang murah di toko saat midnight sale. Tidak jarang free shipping juga ditawarkan. Pokoknya apa pun demi menarik perhatian dan menyedot uang pelanggan.

Tahun baru, tas baru.
Tahun baru, baju baru.
Tahun baru, sepatu baru.
Tahun baru, furnitur baru.
Tahun baru. printilan makeup baru.
Tahun baru, masalah-masalah keuangan yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya (oke khusus kalimat terakhir cuma saya numpang curhat).

- Sleep it all away

Aktivitas paling mudah, sekaligus memberikan justifikasi untuk mengetikkan guyonan superbapak-bapak keesokan harinya di media sosial: "Enak juga ya tidur setahun, bangun-bangun udah 2018". Tidak ada yang salah dengan melewatkan detik-detik pergantian tahun dan memilih tidur, sebab siapa tahu bisa mimpi jalan-jalan ke Islandia, ke Mars, atau mendadak tajir berkat menang kuis Who Wants to be a Millionaire (buset, lawas). Ketimbang nekat melek di realita yang gini-gini aja, yekan.

Mending bobok.


Apalagi jika menjelang akhir tahun kalian digembleng lemburan. Tidur sepuasnya memang terdengar sebagai opsi yang jauh lebih masuk akal dibandingkan menunggu datangnya tengah malam. Jangan lupa minum air putih biar nggak dehidrasi.

So, that was it. Six other activities you can do at home. Please do not hesitate to write it down on the Comment section below, in case you have other things you'd like to shareTerus terang, menurut saya masih ada satu kegiatan lagi yang bisa dilakukan saat malam tahun baru tanpa hingar-bingar, namun demi menjaga rating tulisan ini agar tetap Semua Umur dan tidak mendadak meliuk ke 21+, poin terakhir lebih baik saya skip saja. If you get what I mean. *kedip-kedip kayak lampu di dada Ultraman*

Wish you all a happy 2018!

z. d. imama

Wednesday, 16 August 2017

The Discography Girl

Wednesday, August 16, 2017 17

Kehadiran Spotify di Indonesia beberapa tahun belakangan cukup menimbulkan tren baru di kalangan manusia-manusia penghuni internet (maksudnya netizen, tapi saya bosan pakai istilah itu). Berbondong-bondong bikin playlist pribadi, yang kemudian dibagikan tautannya ke bermacam platform media sosial. Nggak apa-apa. Nggak ada masalah. Bagus, malah. Tapi di sini saya ternyata kembali tidak mampu mengikuti tren. Kembali tidak gaul.

Halah. Memangnya kapan sih saya pernah sukses di pergaulan?

But anyway... begitulah adanya. Saya kesulitan―dan kurang, bahkan menyerempet tidak, nyaman―mendengarkan yang namanya 'kompilasi'. Iya, memang ini kelakuan agak snobbish sekaligus sok elitist. Bahkan benih-benih sikap tersebut sudah nongol sejak jaman masih duduk di bangku Sekolah Dasar dan kaset BIG menduduki tahta hakiki di tape player mobil hampir semua orang yang pernah saya temui. Ada rasa penasaran dan tidak terima di benak saya, suara lirih yang mengatakan, "Masa sih musisi ini lagu yang seru cuma ini? Lainnya nggak?"

Snob abis.

Saya juga saat sedang pasang headset suka nggak sadar kanan-kiri

Dibandingkan kompilasi yang sering membuat saya fidgety (mentally), saya lebih damai dan bahagia saat mendengarkan diskografi. Serius. Bahkan urutan track pun tidak saya utak-utik, seratus persen patuh mengikuti bagaimana si musisi mengemas karya mereka. Biasanya sih paling-paling satu album saja, tapi kalau kebetulan bisa mendengarkan musik secara terus-terus dalam waktu lama ya kadang-kadang dari rilisan terakhir hingga lagu debut terputar semua. Apalagi kalau diskografi sang musisi baru selemparan gombal. *Batuk rejan sambil melirik Lorde*

Jadi step-by-step yang biasanya saya lakukan setelah setiap kali memasukkan ear-in headset ke dalam masing-masing lubang telinga adalah sebagai berikut:

  1. Kenali mood pada waktu itu (ini penting).
  2. Musiknya mau dipakai menemani nguprek laptop atau perjalanan?
  3. Tentukan musisi mana yang sedang ingin didengarkan.
  4. Buka diskografinya, putuskan album mana yang paling sreg.
  5. Pencet play.

Ya sudah. Memang cuma demikian, kok. Nice edge dari menjadi tipe pendengar diskografi ini adalah, ada beberapa musisi yang saya sampai hapal di luar kepala semua lirik lagunya. Hapal pula lagu apa lokasinya ada di album mana dan dirilis tahun berapa. Paham betul urutan rilisnya seperti apa. Sungguh expertise sepele yang tidak kontributif terhadap perkembangan Curriculum Vitae diri sendiri.

Segelintir musisi yang paling sering saya sambangi diskografinya untuk didengarkan sehari-hari: Arashi (tidak tersedia di Spotify maupun streaming services pada umumnya), KalafinaLorde, ONE OK ROCK, Linkin Park, Imagine Dragons, Ayumi Hamasaki, Fall Out Boy, Pentatonix, daaan... Taylor Swift (yang belakangan ikut bergabung lagi ke streaming services).


Come on, people. Judge me hard.



Ada yang lebih suka menyetel diskografi juga nggak dibandingkan bikin playlist? Nggak mungkin kan saya sendirian saja? Atau jangan-jangan memang begitu? Huhuhu.

z. d. imama

Wednesday, 31 May 2017

A short rant about Detective Conan, which, as a series, is not short at all

Wednesday, May 31, 2017 27

Tempo hari saya mengobrol dengan seorang teman (aspek hidup yang sangat jarang dimiliki penulis blog ini―red.) di suatu family restaurant di Pacific Place. Perbincangan ini, entah bagaimana awalnya, menyerempet ke arah serial-serial komik Jepang superpanjang, dan berbuah teman saya nyeletuk dengan tampang setengah sebal, setengah geli, "Eh, aku udah ngikutin Conan sejak dua puluh tahun lalu ya berarti? Aku masih kelas lima SD loh pas pertama kali baca."

Sekadar heads-up, usia saya dan sang teman terpaut cukup jauh.

But then again, I think we agree that twenty years are not a short amount of time. Saya sendiri mengenal serial Detektif Conan ketika masih kelas tiga SD, saat kebetulan berkunjung ke tempat saudara jauh yang mempunyai koleksi komiknya. Apesnya, sentuhan perdana saya dengan serial ini adalah volume 19 dan 4, di mana dalam volume empat terdapat kasus ksatria baju zirah yang berlatarkan sebuah museum nyaris tutup.

Detektif Conan Chapter 30 (Volume 4), "The Armored Knight" 

Kebayang nggak anak kelas tiga SD baca sebuah komik untuk pertama kalinya dan disuguhi panel se-wow itu? Alhasil saya 'dihantui' gambar tadi hampir selama satu minggu penuh. Semenjak hari bersejarah tersebut hingga yaaah... lulus SD lah, saya sampai mengasosiasikan serial Detektif Conan bukan sebagai serial detektif, melainkan serial horor. Apalagi waktu itu belum kenal serial Detektif Kindaichi (yang 27 volume original series, ya, bukan sekuelnya yang sekarang keluar lagi).

Terus terang saya suka Detektif Conan. Banget. Bahkan saya hapal kasus apa terjadi di volume keberapa, setidaknya sampai volume 45 rilis. Habis itu rasa-rasanya tidak ada kasus yang layak direkam secara khusus dalam ingatan (bagi saya lho, ya) KECUALI episode-episode plot utama yang langsung melibatkan Organisasi Berbaju Hitam (OBH―iya ini singkatannya memang disengaja) dan tidak mengandung fake leadPada suatu titik tertentu setelah volume 40, saya perlahan menyadari bahwa formula kasus-kasus lama mulai sering di-recycle untuk kasus filler yang lain dan keberhasilan trik pembunuhan mulai banyak tergantung pada faktor keberuntungan. Bahkan kecurigaan Conan terhadap tersangka sering terletak pada hal-hal remeh-temeh nggak penting yang membuat saya ingin menjerit emosi, "Yaudah sih emangnya manusia nggak boleh ya mendadak kepengin makan tanpa cuci tangan atau garuk-garuk pantat terus lanjut ngupil????"

Detektif Conan Chapter 178 (Volume 18): "Code Name: Sherry"

Jika ditanya tokoh favorit, sepertinya saya bisa menjawab yakin: Haibara Ai. Kemungkinan besar karena kami sama-sama ngantukan dan jiwa kami berdua cenderung diliputi kegelapan. Terus terang saya agak marah kepada Gosho Aoyama karena keberadaan Ai seperti sengaja tidak dimaksimalkan untuk mem-boost kecepatan laju alur cerita, padahal dia muncul kali pertama di volume 18 dan pada volume 19 sudah ketahuan bahwa Ai merupakan adik dari Miyano Akemi yang terbunuh di volume 2! Coba, Conan sekarang volume berapa? Ini pasti gara-gara tim redaksi dan editornya Shogakukan yang nggak mau Detektif Conan cepet tamat. Hih.

Saya kagum sekali dengan sistem waktu di kisah Detektif Conan. Zaman berubah dan teknologi berkembang tapi umur tokoh-tokohnya dan tingkat pendidikannya gitu-gitu aja. Ada nggak sih di antara kalian semua yang cukup kurang kerjaan untuk menghitung:

  • Berapa kali musim semi, panas, gugur, datang silih berganti
  • Selaras dengan poin sebelumnya, berapa kali Valentine dan Natal dialami
  • Berapa kali Ran ikut ujian sekolah
  • Berapa kali Ran disinggung lagi persiapan, sedang, atau habis ikut turnamen karate
  • Berapa kali Shinichi bilang, "Aku belajar (masukkan suatu skill) di Hawaii, diajari ayahku."
Bahkan kalau diingat-ingat, ada beberapa peralatan canggih dari Profesor Agasa yang mau tidak mau harus 'tenggelam dihempas masa'. Misalnya seperti mesin fax portabel berbentuk kotak makan (lauknya asli) atau telepon selular berbentuk anting. Tapi ya gitu, biarpun dulu di komik Conan ada orang mainan pager dan sekarang di mana-mana sudah pakai smartphone dan selfie bermodal tongsis, semua orang tetap hidup abadi dengan usia tidak bertambah bagaikan bangsa Elf.

Volume pertama rilis di Jepang tahun 1994, kayaknya.
Hayo siapa yang belum lahir?

Kadang terpikir juga di benak... adakah di antara kalian yang cukup niat (dan sekaligus kurang kerjaan pula) untuk merangkum sebenarnya bagian-bagian penting di Conan itu seharusnya cuma makan berapa volume komik sih? Serius. Buang saja kasus-kasus filler nggak relevan, episode fanservice yang nggak penting (ini biasanya dibikin untuk shipper Shinichi-Ran), lalu rangkum cerita-cerita seputar plot utama, kasus-kasus tertentu yang trik serta ceritanya terbilang masih baru, serta episode yang memuat petunjuk signifikan saja. Berapa duit dari ongkos total pembelian sekian puluh jilid buku yang mestinya bisa dihemat pembaca?

CONFESSION: Sejak volume 55 ke atas, saya masih rutin beli Detektif Conan sudah bukan karena memang menantikan kelanjutan kisahnya. Tapi lebih ke pertempuran harga diri. Semacam ingin meneriaki tumpukan komik di lemari dengan, "UDAH NGUMPULIN SEJAUH INI! GUE AKAN KEJAR LO SAMPE TAMAT! LIAT AJA!"

And please, please please, don't get me started on Detective Conan movies.

Pokoknya, cara paling direkomendasikan supaya bisa menyaksikan film-film Conan versi bioskop dengan seru, nyaman, dan riang gembira adalah mematikan segala unsur kecerdasan, pengetahuan, common sense, dan logika kita. Conan yang notabene berpenampilan anak kecil kelas 1 atau 2 SD masuk jalan tol naik skateboard turbo kebut-kebutan sama penjahat? Nggak apa-apa! Conan terjun bebas dari atas pesawat? Nggak apa-apa! Conan yang diceritakan buta nada tiba-tiba, demi mengungkap kasus, bisa menyanyikan lagu dengan pitch sangat akurat? Nggak apa-apa!

Woles is, always, the key.

Tolong bantu sampaikan pertanyaan ini ke Pakdhe Gosho, ya.

Berhubung takut malah makin baper kalau ngomelnya kepanjangan, saya sudahi saja sampai di sini. Jadi fangirl serial yang panjangnya amit-amit macam Detektif Conan tuh rasanya pedih, guys. *Berpelukan dengan fans One Piece dan HunterXHunter.*

z. d. imama

Thursday, 17 March 2016

Growth & Changes

Thursday, March 17, 2016 0

this blog has been around for more than six years.
it's now entering its seventh year (through many ups and downs, of course), and some while ago I took a peek at my older blog posts... and I couldn't help but having various reactions at my own writings.

sometimes I laughed.
sometimes I just shook my head in amusement.
sometimes I went, "Anjeng ini beneran yang nulis gue?" when I found few embarrassing posts.

and one thing for sure:
human change, as the time goes by.

saya punya fase di mana tulisan-tulisan blog ini menggunakan kata ganti 'gue' untuk menyebutkan diri saya sendiri--yang mana banyak ditemukan pada postingan-postingan awal saya, masa-masa masih (lebih) anak-anak dari sekarang. kemudian ada kalanya saya berubah memakai kata ganti 'aku'. lantas kini, entah kenapa saya lebih nyaman--dan lebih memilih--kata ganti 'saya'.

perhaps out there, some theories to explain this kind of thing exist.
but it doesn't matter. the only thing that I need to be aware of is that people change, and by 'people', it includes me.

my personal growth and development has not stopped.
not yet.

really looking forward to the tomorrow's me, next week's me, and next month's me.


z. d. imama

Wednesday, 27 February 2013

surprise, surprise!

Wednesday, February 27, 2013 0

tanggal tua mulai membelenggu. boro-boro hedon, makan aja kadang mikir-mikir. meskipun akhirnya memutuskan untuk makan juga, meski agak sambil nangis-nangis dalam hati (yah, namanya laper mah laper aja sih).

maka dari itu, aku amat sangat terkejut tatkala seorang teman bernama D mengirimi sms yang berbunyi demikian :

'lo lagi di mana? temenin ke starbucks yuk, gue yang traktir deh...'

*hening sejenak*

mimpi apa saya semalam... ? :')


akhirnya aku dan temanku yang sangat baik hati itu menuju setarbaks. dan di sana kami bertemu dengan M yang juga lagi beli minuman. bertiga, kami ngerumpi, mengerjakan tugas, serta saling menyeruput kopi masing-masing pihak dengan dalih mencicipi. ahahaha..

M yang senyumnya manis sekali. saya mah lusuh...

notebook yang dibuka = tanda-tanda siap nugas.

ngomong-ngomong, saya pake kacamata gini jadi keliatan pinter nggak?
*dilempar botol*

siap meniti karir sebagai mahasiswa !

M memutuskan beli cheese quiche tidak lama kemudian (yang habis disantap dalam beberapa detik saja), karena logika kami tidak bisa bekerja tanpa didukung oleh logistik yang memadai. saya sendiri hanya jadi parasit yang minta sana-sini, karena memang tidak punya uang.
*gigit garpu*

 belakangan saya dimintai ganti rugi garpu karena rusak digigitin


sayang sekali D yang baik hati dan cantik (karena sudah mentraktir saya) tidak suka difoto, akhirnya dia hanya menawarkan jasa fotografer saja. padahal orangnya lucu dan manis lho. kalau sedang tersenyum tampangnya kayak panda ^^

notebook gue dan mocha latte yang whipped cream-nya sudah larut semua


thanks, D !
sering-sering traktir yaa ~
*digeplak*


with a happy tummy,
 z. d. imama



Monday, 18 February 2013

One afternoon, in the campus bus

Monday, February 18, 2013 0


okay. so let's just get started.

as a matter of fact, i'm quite pissed off right now.
definitely. http://www.emocutez.com pissed. http://www.emocutez.com OFF! http://www.emocutez.com
untuk deskripsi yang lebih tepat: perasaan saya bercampur aduk antara kesal, sebal (sama aja ya?), marah, geli, daaan sedikit ini-itu yang tidak begitu saya ketahui apa namanya. yang jelas, kondisi jiwa gue amat sangat random dan akhirnya gue putuskan untuk menulis postingan ini.


cerita ini kuberi judul...
Balada Mahasiswi dan Anak (yang-Tidak-Terlalu) Kecil di Bus Kuning Universitas Indonesia
http://www.emocutez.com http://www.emocutez.com http://www.emocutez.com

iye sori judulnya panjang.
bawel ah.
*dijitak pembaca*
(kalau ada)

cerita bermula saat aku sedang dalam perjalanan pulang dari kampus. waktu udah lumayan sore, sekitar pukul setengah enam. tiba-tiba, duduklah seorang anak cowok di sampingku yang emang lagi kosong, karena sebagian besar orang-orang turun di Stasiun UI.

deskripsi anaknya?
hmmmm.... http://www.emocutez.com *mikir*

umurnya mungkin duabelas tahun. not-so-little anymore, tampangnya biasa, ke arah manis. badannya rada-rada chubby berisi gitu. agak-agak mirip personelnya Coboy Junior. siapa sih itu namanya? entahlah, nggak ngikutin Coboy Junior gue.

pokoknya, dia mirip sama anak ini :

tuh, udah aku kasih lingkaran merah kayak buronan...

kemudian terjadilah dialog superrandom antara aku dan dia.
(nggak, nggak, ini bukan cerita romantis, saya nggak selera sama anak esde.)

Anak Mirip Personel Coboy Junior (AMPCJ) : "kak, tolong dong kak..."
gue : "ya? kenapa?"
AMPCJ : "bantu saya, kak... nenek saya kontrakannya belum dibayar..."
gue :  'aduh, kasihan' *dalam hati* "berapa emang?"
AMPCJ : 'seratus lima puluh ribu'

hem. kalau itu uang kontrakan RSSSSSS (rumah sangat sederhana sekali sampai susah selonjor), wajarlah jumlahnya segitu. lagian ini juga daerah deket ibukota. tapi masalahnya adalah... gue bingung mau ngasih berapa. di dompet, terus terang, cuma tinggal ada dua ribuan selembar.

hanya segini harta gue -_-

maka gue buka dompet, gue keluarin itu uang yang tinggal sehelai-helainya dan menjelaskan kepada sang adik dengan tampang sedikit bersalah.

gue : "uang aku juga cuma tinggal segini, dek. maaf ya."

dan tahukah kalian, saudara-saudara?
si AMPCJ justru berkata seperti ini,

"emangnya kakak nggak ada uang gitu di ATM?"


dan reaksi dalam hati gue secara otomatis adalah....
WHAT. THE. FUCK??!!
http://www.emocutez.comhttp://www.emocutez.com

maksudnya apa?
apa maksudnya semua ini?

was he trying to make me pay all the debts of his grandmother renthouse? lah, selain pada dasarnya saya memang lagi bokek sampai-sampai saldo ATM juga tinggal tigapuluh ribu (yes, I'm that pathetic), mana aku tahu apakah kisah nenek-saya-belum-bayar-kontrakan itu sekadar fiksi atau nggak?


karena pada dasarnya aku ini orang baik, maka aku pun berusaha menjelaskan kepada si AMPCJ mengenai kondisi ketidakmodalanku. yah, maksudku, paling nggak dia ngerti bahwa sebenarnya aku ingin nolong dia.

gue : "di sini nggak semua mahasiswa dari keluarga mampu, dek. aku juga anak beasiswa kok. baru punya uang kalau sudah dikirimi sama sponsornya. kalau belum ya sama saja, harus nunggu. pinter-pinter hemat."

however, unexpectedly his reply was like this...


"kakak itu sebenarnya mampu, tapi nggak mau bantu."

gue : ". . . .." *utterly speechless*


HOLY CRAP ASDFGHJKLMNBVCX
dalam hati aku benar-benar pengin menghantam si AMPCJ sampai terbang ke Jupiter. biar nggak usah pulang lagi ke bumi!
http://www.emocutez.comhttp://www.emocutez.comhttp://www.emocutez.com


jadi beginikah generasi penerus Indonesia? pengen minta ditolong, tapi begitu orang lain nggak bisa nolong dia lantas dikatain seenak udel? WOW! sumpah keren sekali. sejujurnya ya, i had a slight intention of giving him a thousand rupiahs (out of the thirty thousand rupiahs in my bank account) if he said, "yaudahlah kak, nggak apa-apa dua ribu aja. nanti siapa tahu ada orang lain yang mau bantu."

but since he said all those thing i've mentioned about.
i. don't. give. a. damn.
whatever,.
http://www.emocutez.com *larilari cantik*



**P.S : later on, ketika aku menceritakan kisah ini ke seorang teman, dia berpendapat bahwa curhatan si AMPCJ itu kemungkinan hanyalah karangan belaka. alias fiktif. kalau orang benar-benar membutuhkan uang, dia akan menerima berapapun nominal yang diberikan orang lain kepadanya.

gitu sih kata temen gue.
ah yasudahlah....


pusing mikirin ginian,
z. d. imama