Tuesday, 12 October 2021

Maybe it was me, but maybe it was also you.


Saya tidak akan berpura-pura. Terkadang saya cukup menikmati menjadi pengamat hubungan orang-orang, baik yang saya kenal langsung maupun cuma pernah lihat sepintas dua pintas sebagai sesama netizen. Memperhatikan bagaimana mereka melontarkan pujian setinggi langit kepada seseorang seolah-olah sosok itu tak bercela ketika sedang mabuk kepayang, lalu secara konstan dan berkala melemparkan makian, cercaan, atau mengungkit hal-hal buruk dan menimpakan segala kesalahan kepada orang yang sama ketika masa-masa indah sudah berakhir. Begitu terus. Berulang. Rinse and repeat. Saya paham bahwa ada yang namanya coping mechanism, tapi ya memang hakikatnya manusia sering terlalu gengsi untuk introspeksi dan menghadapi apakah memang kita juga punya andil dalam kesalahan. Ada perasaan "Mana mungkin gue yang salah!" yang berteriak lantang, keras kepala, apalagi kalau selama hubungan itu kita merasa sudah cukup banyak melakukan 'pengorbanan'.

Tiba-tiba saya jadi teringat kisah romansa gagal milik saya sendiri.

Cerita ini sudah lama. Sekian BC yang lalu, alias Before Covid. Saya tidak pernah menceritakan, apalagi menuliskan, hal ini di mana pun, karena mungkin saya belum tahu bagaimana cara mengartikulasikan emosi saat itu dengan benar. Dengan baik. Dengan tepat. Atau mungkin justru karena pada saat itu mengingat-ingat adalah hal yang masih menyakitkan.

Sekitar beberapa bulan setelah putus dari seseorang yang saya pacari semasa kuliah, saya iseng-iseng membuka akun media sosialnya. Bukan karena ingin menyiksa diri sendiri. Nggak. Saya sudah kenyang menangis selama mungkin hampir sebulan. Ketika itu motivasi saya murni karena ingin tahu kabar terakhirnya. Saya rasa dia akan baik-baik saja; tapi saya tetap penasaran. Apakah pindah kantor dan dapat pekerjaan baru? Apakah habis piknik dan jalan-jalan dengan keluarganya? 

Bahwa kepo itu ialah hak segala bangsa.

Saya mengetikkan username-nya di kolom Search.

Klik.

Halaman profil terbuka. Saya scroll sedikit. Sumpah, bener-bener cuma sedikiiiiiiiittttttt... dan saya langsung tiba di postingan yang mengisyaratkan kalau dia sudah punya pasangan baru. Tapi bukan itu yang bikin jantung saya berhenti. Serius. Saya tidak mempermasalahkan dia mau ganti pasangan secepat kilat atau justru bertahun-tahun selibat. Pandangan saya tertumbuk pada satu kalimat yang dia tulis yang terus terang membuat saya seperti ditombak. Dada saya ampek luar biasa. Saya kurang ingat bagaimana kata-kata persisnya; mungkin karena kejadiannya sudah cukup lama atau barangkali alam bawah sadar saya tidak berkeinginan mengingat-ingat secara detil. The gist of it was:

"...Akhirnya aku bertemu orang yang benar-benar menyayangiku."


That's it.

And I saw everything within the next second, flashes of flashbacks, in all red. Bright, blinding, burning red
. And it hurt. Holy shit it hurt. I was angry and sad and betrayed and in disbelief and so many emotions rose up at the exact same time like a bubbling sugar mixture: hot and scalding and ready to burst. Membaca kalimat itu berkali-kali lipat lebih menyakitkan ketimbang hari di mana saya menyadari bahwa hubungan kami berdua tidak mungkin dilanjutkan. Hari di mana saya memilih berjalan sendiri daripada kehilangan diri sendiri. Because, newsflash, baby, my feelings were real

Everything was real to me.


There were days when I really, really, really, liked him. There was one time when my world felt so much fun because we were together. I truly, genuinely, cared. I laid all my cards on the table since Day One and he said yes.  I let him know what kind of person I am, told my story, and he accepted. Until he doesn't. Until he said that he had a particular, ideal version of a partner in his mind and I must fit into the mold. A mold that isn't me at all. But every single thing that happened during that time was real to me. "Orang yang benar-benar menyayangi", katanya. Dear Lord how I hate that. Jadi perasaan saya waktu itu dianggap apa? Harus melakukan apa agar apa yang saya rasakan divalidasi dan tidak dilepeh seperti buah mentah yang jatuh prematur dari pohonnya?

Mungkin saya memang tidak pandai mengekspresikan apa yang dirasakan. Mungkin saya tidak melakukan apa yang 'semestinya' dilakukan orang-orang pada umumnya ketika berhadapan dengan orang yang saya sukai. Bahkan saya sayangi. Mungkin saya kikuk. Mungkin saya, karena tidak tahu apa yang sebaiknya dikatakan, memilih untuk tidak bicara apa-apa ketika seharusnya saya mengatakan sesuatu. Mungkin saya, karena tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan, memilih untuk tidak melakukan apa-apa ketika seharusnya saya mengambil sebuah tindakan. So maybe I was at fault. Maybe I contributed something for the relationship to end. Tapi apa itu semua membuat perasaan saya jadi layak untuk dimentahkan? I don't think so. Because I felt it all. Maybe my feelings were not enough for him, but it was true and genuine all the same.

It was real. To me.

And if someone else says it wasn't, perhaps it's their problem.
Not mine. No more.

z. d. imama

1 comment: