Friday, 11 November 2016

When People Say "Pacar-able"...


Semua bermula dari ketika saya membaca sebuah status Facebook milik teman seseorang yang pernah saya kenal di masa lalu tapi sekarang sudah sama sekali nggak ingat gimana ceritanya kok bisa kenal, beberapa pekan silam. Perempuan, fyi. Tadinya ingin menyertakan lampiran berupa printscreen status tersebut (tentunya dengan upaya sensor identitas karena saya orang baik kelihatan keren aja), tapi saya sudah lupa siapa nama orang yang memposting ke Facebook. Ya sudah. Tidak bisa dilacak lagi. Way to go, short-term memory!

Inti status yang ingin saya bahas itu kurang lebih seperti ini:

"Barusan dibilang temen kalau gue orangnya pacar-able banget, dan sahabat gue meskipun nggak pacar-able tapi katanya nikah-able. Hehehe."

Reaksi perdana saya ketika membacanya adalah mengerutkan kening. Bak para komika-komika medioker, saya heran. Kemudian mulai mempertanyakan ke diri sendiri, ini saya yang bego karena gagal menemukan unsur baik dari status di atas atau gimana? Kok rasanya ada yang salah? Rasanya ada yang aneh? Akhirnya, sebagai mantan mahasiswi yang masih ingin berupaya berpikir, saya putuskan untuk merenungkan sedikit status ini. Saya nggak akan ngutip-ngutip buku (kayaknya) agar terdengar cerdas. Nggak akan ngutip-ngutip quote orang (juga kayaknya). Kalau mau nyari kumpulan quote orang terkenal, mending baca novel 5 cm aja yang jumlah kutipannya jauh lebih banyak dari bobot ceritanya. Modal saya cuman kamus dan isi kepala sendiri.


Mari kita mulai dari membahas kata "able"; satu-satunya kosakata bahasa Inggris yang dipaksakan nyempil bersama rangkaian kata bahasa Indonesia. Berdasarkan hasil pendeskripsikan kamus online (karena kamus Oxford bentuk fisik milik saya adanya di kampung halaman), dapat dilihat bahwa able memiliki arti di bawah ini.


Jika kita tidak switching codes dan menggunakan bahasa Indonesia secara total, maka status itu bisa dituliskan ulang menjadi kurang lebih demikian: "Barusan dibilang temen kalau gue orangnya berpeluang untuk pacaran (atau menjadi pacar), dan sahabat gue meskipun nggak berpeluang pacaran tapi katanya berpeluang untuk menikah (atau dinikahi seseorang). Hehehe."

IKI PIYE KAREPMU?



Serius. Saya tidak paham bagaimana, sekaligus kenapa, masyarakat kita―termasuk generasi muda, sedihnya―merasa perlu membuat batas pemisah antara 'kandidat diajak pacaran' dan 'kandidat diajak menikah'. Apalagi menyatakan dan menghakimi secara terang-terangan bahwa seseorang memiliki kemampuan(?) atau peluang untuk mendapatkan hanya salah satu di antara kedua hal tersebut. Seolah-olah jika kita telah dijebloskan ke dalam sebuah kategori oleh mereka, maka di saat yang sama kita akan terblokir otomatis dari yang lainnya. Wealah cempe, mangsamu kowe ki sopo?

Saya mencoba menduga-duga, apa mungkin ini karena asumsi masyarakat selama bertahun-tahun dan diwariskan turun-temurun? Jangan-jangan ini erat kaitannya dengan nilai-nilai patriarki yang―sudahlah akui saja―masih sangat kental di kehidupan sosial Indonesia. I'm not saying that patriarchy is all bad, no. But sometimes it's just ridiculous. Masih ingat kan tahun 2015 lalu ada berita bahwa petinggi militer Indonesia mengatakan kalau tes keperawanan diperlukan sebagai benchmark moral seorang perempuan? Sampai masuk TIME dan BBCPeople care SO MUCH about whether women's hymen is still intact or not but in rape cases where the victims coincidentally happen to be women, the fault also lies with women. Gosh, please don't even make me start ranting about this. It's gonna be an endless shit. 

Shall we move along?


Sepanjang tumbuh besar (besar doang, dewasa kayaknya enggak), cukup kerap saya mendengar celetukan-celetukan berbunyi semacam ini mampir ke telinga: "Pas dapet pacar, puas-puasin dulu aja pacarannya. Nanti kalau pengin nikah ya putusin, cari lagi yang perawan. Cari gadis baik-baik, yang kalem. Cari yang bisa diajak susah. Nggak usah yang kepinteran nanti kamu repot. Pokoknya yang mau ngurus rumah tangga aja." Biasanya ucapan tersebut ditujukan kepada kaum laki-laki. Biasanya pula, disampaikan oleh sesama laki-laki, baik yang seumuran maupun yang lebih tua. What a brilliant way to educate younger generation.

IKI PIYE TOH KAREPMU???

(Jilid dua.)

So, somehow our society has this kind of mindset... that someone whom you have a relationship with (or spend lots of time together) and someone whom you marry should have different 'standard qualifications'. Menilik dari apa yang selama ini berseliweran di sekeliling saya, segala asumsi-asumsi itu akan saya rumuskan dalam bentuk bullet points supaya lebih ringkas. Pertama-tama, mari kita kulik bersama asumsi bagi kategori orang-orang pacar-able.
  • Maunya senang-senang, tidak bisa―minimal sulit―diajak susah.
  • Karena inginnya senang-senang, cenderung hedonis. Ngabisin duit. Masalah apakah orang itu pakai duit-duitnya sendiri atau modal ngutang kanan-kiri sih masa bodoh.
  • Tidak kalem. Entah ini maksudnya apakah begajulan, banyak tingkah, atau malah atlet-atlet silat, karateka, dan Tae Kwon Do yang sekali tendang musuh terbang.
  • Pintar. Terdidik. Mau berpikir.
  • Tidak bersedia mengurus rumah tangga.
  • Bukan gadis baik-baik(?)
  • Allegedly sudah tidak perawan(?), atau berpotensi untuk dibuat jadi tidak perawan(?)

Belum-belum kok saya sudah pusing, ya. Tapi tidak apa-apa. Bisa nenggak Paramex dulu sebelum melanjutkan. Oke. Sementara itu di lain pihak, orang-orang nikah-able dipandang sebagai antithesis dari golongan pertama. Maka dengan kata lain, kualifikasi mereka ya begini: 
  • Bersedia diajak (hidup) susah. Kalau boneka Kak Ria Enes itu Susan. Beda cerita. Aduh ini lawas betul...
  • Tidak hedonis, sederhana, bersahaja. Misalnya kepepet ya bisa agak condong ke arah ala kadarnya.
  • Kalem.
  • Nggak pinter-pinter amat. Pinternya dikit aja.
  • Mau mengurusi rumah tangga, walaupun si rumah tangga nggak kurus-kurus kayak saya.
  • Gadis baik-baik(?)
  • Perawan suci(?)

Kok beracun sekali rasanya. Saya tahu tidak semua anggota masyarakat di luar sana punya pola pikir sedemikian rupa, tetapi penting untuk diakui bahwa mindset semacam ini masih ada. Anggapan bahwa mereka yang seru diajak menghabiskan waktu bersama, berakrab-akrab ria, pacaran dan sebagainya, bukan orang yang sebaiknya dipilih sebagai pasangan hidup. KAN ANEH. Why would you choose someone to become your life partner if they are not intelligent enough to keep the fun in your every day? To engage you in conversation so interesting that you forget about checking your boring Path or Facebook feed? And who decides that only virgins should be 'eligible' to get married?


Kalimat 'mau mengurus rumah tangga' juga benar-benar membingungkan. Bukannya―pada kasus normal―kita memutuskan sendiri saat hendak membangun rumah tangga? Mengurusinya bukan menjadi opsi lagi, melainkan suatu bentuk tanggung jawab. Tak peduli mau atau enggan. Mengenai pembagian peran dan tugas harus didiskusikan berdua. Dilakukan berdua. Kenapa harus spesifik menuntut salah satu pihak untuk 'mau mengurus rumah tangga'? Salah satu pihak sejak awal sudah berniat ingin lepas tangan? Atau gimana?

Singkatnya, saya mau ngomong begini. Wahai kalian semua, apalagi sesama perempuan, jangan gampang terharu, terenyuh, tersanjung, atau terbawa perasaan ketika ada yang mengatakan kalian ini pacar-able, nikah-able, atau sejenisnya. Those people who say that to you, mostly won't matter so much in your life. Jangan mau dibohongi orang-orang yang pakai kata nikah-able dan pacar-able, karena sesungguhnya mereka tidak sedang memuji kalian.

They are stereotyping you.

Break it.

z. d. imama

16 comments:

  1. Postingannya penuh emosiyy dan ada beberapa kata pake huruf kapital semua. Medheni ki ..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lah padahal saya kalau Whatsapp-an sama temen sering banget pakai all capital hanya karena seru :)))
      Kapital kan memang dipakai untuk menegaskan, Om, belum tentu juga karena yang nulis sambil marah-marah ( = 3=)

      Delete
  2. Cara berpikirmu dewasa ya untuk seumuran kamu. :))) *kemudian dijambak*

    Aku pikir yang nulis status sebenernya curhat karena dia suka sama sahabatnya. Eh sahabatnya yang dibilang nikah-able ini beda jenis gak sih? Atau jangan-jangan sebenarnya dia ngasih kode buat sahabatnya? #eaaaaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini kayaknya yang nulis status dan sahabat yang dimaksud sama-sama perempuan Kak..
      Aku berasumsi begini karena dia ngetag temen ceweknya di status itu. Mungkin yang di-tag itu yang bilang, tapi bukan nggak mungkin mereka sama-sama pihak yang dibilangin...

      Delete
  3. Mungkin pacar-able dan nikah-able itu pembenaran atas diri mereka sendiri yang segitunya depresi mbak, ya biasalah jomblo cari mangsa #ehgimana ( . .)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kurang tahu sih, mas. Tapi dengar penggolongan begitu aja rasanya udah kayak mau migren, hahaha... *ketawa asem*

      Delete
  4. Mungkin masih mending daripada nggak pacarable sekaligus nggak nikahable kayak saya dulu hahaha...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini di kalimat mas Galih ada kata "dulu".
      Berarti sudah tidak lagi. HMMM.

      Delete
  5. iyes. bisa jadi konotasi yang negatif. apalagi kalau yg bilang ibu-ibu sotoy. *anaknya ikut kesel*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waini. Pernah kenal dengan seorang teman yang ibunya justru menyarankan dia untuk cari pasangan yang "nggak pinter-pinter" amat biar "gampang diatur". Lha kalau pengin gampang diatur mbok ya pake aja sampo Pantene... :)))

      Delete
  6. Ini problem di kehidupan sosial cewek ya? Baru tau wkwk. Kalo cowok gak pernah ada yg nulis status pacarable/nikahable

    ReplyDelete
  7. You've opened my mind Kak soal berkata-kata pacar-able dan nikah-able...

    ReplyDelete
  8. Saya tahu tidak semua anggota masyarakat di luar sana punya pola pikir sedemikian rupa, tetapi penting untuk diakui bahwa mindset semacam ini masih ada.

    Masih ada dan masih banyak.

    Jengkelin memang. Aku sering banget misuh-misuh soal ini. Kapan masyarakat kita bisa dewasa soal beginian? Entahlah.

    ReplyDelete
  9. lho, bagus itu. khas manusia banget. justru kalo manusia sudah nggak layak lagi buat diprotes macam di atas, saya malah khawatir kehabisan bahan tulisan :))

    ReplyDelete
  10. Kalau aku punya pandangan beda dengan pacar-able dan nikah-able. Dan aku salah satu orang yg menggolongkan pria mana yg cocok dijadikan pacar dan menikah.

    Kalau aku menggolongkan pacar-able itu stop cukup sampai kuliah saja. Memang tujuan pacaran untuk senang2 dan memotivasi hingga lulus kuliah.

    Kenapa? Karena wanita lebih cepat dewasa daripada pria. Pria cenderung lambat untuk menjadi dewasa. Misal sama2 punya pacar seumuran umur 23. 23-25 adalah golden moment yg bagus untuk wanita menikah (menurutku lho ya). Tapi pacarnya yg usia segitu (cowok umur 23) belum mapan untuk diajak berumah tangga, apalagi kalau hbs nikah punya anak. Pria umur segitu masih labil. Belum lagi biasanya dr keluarga pria, umur segitu masih blm dibolehin nikah.

    Trus piye? Ceweknya kan ga bisa nunggu lama2. Keburu tuwek. Ya kalau gak putus, kalau udah pacaran lama2 trus putuh gara2 nunggu pacarnya dewasa, gimana?

    Akhirnya.. Dicarilah pria yang nikah-able. Pria yang usianya 5 tahun lebih tua, yang sudah mapan dalam segi finansial, dan dewasa dari segi pemikiran.

    Buat wanita2 yg fresh graduate, kalau memang niatnya capek pacaran2 gak jelas, silahkan cari pria yg 5 thn lebih tua, lebih mapan yang nikah-able pokoknya.


    TAPI INGAT! JANGAN REBUT SUAMI ORANG. Masih banyak pria nikah-able yang masih jomblo.

    Itulah bedanya cowok pacar-able dan priq nikah-able.

    ReplyDelete
    Replies
    1. This "Ceweknya kan ga bisa nunggu lama2. Keburu tuwek" is the part where I'm thankful that we're not friends actually :")))))

      I think I should agree to disagree.
      But then again, thanks for leaving a lengthy comment! I'm happy :D

      Delete