Monday, 12 February 2018

The Maling Mentality


Nggak. Nggak, nggak. Tulisan ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan merek makanan kaleng yang―kata banyak khalayak―enak banget itu, apalagi ditulis untuk mendiskreditkan. Nggak. Saya mendukung segala bentuk perkulineran. Mulai dari yang halal banget sampai haram banget (Sari Roti dan air mineral Equil, misalnya). Tolong jangan anggap saya menistakan salah satu sumbangsih kuliner terbaik. Topik bahasan sekaligus omelan saya kali ini adalah maling dalam hakekat dan kaidah yang sebenarnya. Istilah pergaulannya: tukang ngembat.

What triggered me to write this post is something many may deem unimportant, but it frustrates me to no end nonetheless. Maling jemuran is real. SO FREAKING REAL. Sebagai gadis rantau yang tinggal sendiri di kos-kosan, jasa in-house laundry tentu menjadi pertimbangan dalam menentukan tempat tinggal. Jelas dong. Saya kan stok baju-bajunya terbilang sedikit (sekitar 35 buah―sudah termasuk jaket, daster, kaos, dress, celana kolor buat tidur, dan segala kostum pergembelan lain), sehingga nggak mungkin menumpuk cucian untuk dikerjakan akhir pekan. Keburu abis stok baju-baju bersih saya. In-house laundry to the rescue... tetapi jika dan hanya jika penanggung jawabnya punya kejujuran. Which, in my case, turned out otherwise.

Nasib.

Keterbatasan pakaian membuat saya makin enggan bikin akun Instagram.

I'll let you know the story whether you want to or not. Alkisah, tersebutlah mbak Iyah, seorang penanggung jawab kebersihan di lantai X sebuah kos-kosan Z di Jakarta Selatan. Mbak Iyah ini pekerja teladan. Semuanya terselesaikan dengan baik dan paripurna. Lantai bersih kesat berkilau. Pakaian yang masuk cucian tidak pernah ada yang ketlisut, rusak, apalagi hilang. Wis pokoke ibarat lagu Andra and The Backbone. Sempurna. Tanpa cela. Sayang beribu sayang... sekitar akhir bulan Oktober, mbak Iyah pindah kerja, tidak lagi mengurus kos-kosan tempat saya tinggal. Negara api pun menyerang.

Bukan gitu, ding.

Anyway, sepeninggal mbak Iyah, selang beberapa hari datanglah penanggung jawab kebersihan yang baru. Sebut saja namanya mbak Q. Saya ngeluarin cucian seperti biasa. Tapi lama-lama terasa ada sesuatu yang aneh: pakaian saya mulai 'tidak pulang'. Baju-baju yang jumlahnya semenjana itu berkurang! Setelah ditunggu sepekan kok ya nggak balik-balik juga, saya lapor dong ke koordinator kos, ibu-ibu yang jadi semacam bosnya mbak-mbak penanggung jawab kebersihan. Jawaban yang saya terima dari ibu koordinator sungguh klasik: "Mungkin keselip, mbak. Tunggu dulu aja."

Yha. Nunggu sih nunggu, tapi sampai kapan??? Saya sudah cukup kenyang dapet ketidakpastian dari para gebetan. Masa harus ditambah menghadapi ketidakpastian jemuran?? Saya makin bete ketika tahu bahwa seiring waktu, bukannya baju-baju yang tadinya hilang jadi kembali, malah baju-baju yang sebelumnya nggak hilang ikut nggak balik ke loker cucian saya. What the hell.

Where. Are. My. Freaking. Clothes???

Kesabaran saya out of stock sekitar bulan Januari lalu, sebab baju saya yang 'tidak pulang' secara keseluruhan sudah berjumlah tujuh potong. Gila. Dari total tiga puluh lima potong baju berkurang tujuh dalam jangka waktu sekitar tiga bulan. Hitung gembel aja deh. Anggaplah baju saya per buahnya seharga Rp50,000 hingga Rp100,000. Total yang ditilep udah Rp350,000 - Rp700,000. Kesel nggak? And I don't have any spare money to deal with this kind of shit. Saat komplen (untuk kesekian kalinya) ke ibu koordinator kosan dan barang-barang saya yang hilang dicatat ulang secara detil, ada seorang penanggung jawab kebersihan yang nyeletuk...

"Lho, baju yang model ini kan pernah dipakai sama si mbak Q? Tapi orangnya udah minggat sejak tiga hari lalu, mbak."

Bye. Saya bisa apa selain jadi masyarakat Budaya Timur yang baik dan memasrahkan diri kepada higher entity. Tapi terus terang, saya nggak habis pikir sih. Kenapa sampai ada orang-orang yang maling jemuran? Sama halnya dengan kenapa ada orang yang suka ngembat makanan atau minuman di kulkas bersama kos-kosan? Atau nyolong sendal dan sepatu yang diletakkan di batas suci masjid. Ngambil bakwan di kantin tiga biji tapi ngakunya cuma makan dua. Kenapa untuk barang-barang seremeh, setidak-signifikan, sesepele itu saja harus ngambil milik orang lain tanpa izin? That leads me to another question: apa jangan-jangan mental maling di masyarakat Indonesia memang sedemikian mengakarnya―mentang-mentang kemerdekaan pun diperoleh berkat curi-curi kesempatan?


Sumpah deh nggak ngerti.

z. d. imama

*P.S.: Terima kasih kepada Uni Dian yang berbaik hati menyumbangkan beberapa potong baju-baju lama untuk saya sebagai pengganti mereka yang direnggut paksa. Huhuhu. Saya benar-benar tidak siap menghadapi serangan maling jemuran ini.

4 comments:

  1. Paling ngeseliiin memang yang namanya maling jemuran. Saya pernah pas jaman kuliah dulu aja beberapa baju hilang dari jemuran terus ketemu temen kos yang ga kenal-kenal amat pakai baju saya yang hilang. Awkward.

    ReplyDelete
    Replies
    1. I CALL FOR THE HIGHEST OF FIVE!!! Gimana ya, emang sih kalau beli baju juga bukan bikinan desainer yang nggak ada kembarannya, tapi somehow kayak ngerti aja "Lah itu bukannya baju gue" kalau ada orang asing yang pake...

      Delete
  2. Setujuu. Temenku yang jurnalis pernah bikin liputan ttg barang2 yang rawan raib d kosan. selama di kosan lama, yang hilang cuman 1 biji sweater, tapi yang paling mahal :( di kosan baru ini, adek kosannya aja yang menggemaskan. Helm dipake, kalo udah keliatan yang punya baru minta ijin. Pernah kehilangan sepatu converse, pas mau berangkat eh si ade kos pulang pake sepatu itu.
    "Dek, itu sepatunya siapa?"
    "Nggak tau mbak, ada di rak jadi yaudah aku pake aja"
    "Btw, itu sepatuku sih,"

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waduuuh udah kayak di mushola/masjid aja sembarangan main pake-pake alas kaki orang lain :))))

      Delete