Tuesday 25 April 2023

ONE OK ROCK Luxury Disease Japan Tour 2023: the TOKYO DOME experience

Tuesday, April 25, 2023 2

Awal tahun 2018 lalu, saya berhasil menyaksikan konser ONE OK ROCK untuk yang pertama kalinya dalam hidup di Singapura. TKP tepatnya adalah Singapore Indoor Stadium. Segala gejolak jiwa dan segenap perasaan malam itu tidak lupa saya curahkan panjang lebar ke sebuah postingan blog, persisnya di sebelah sini. Sebagai seorang fangirl yang banyak halu, saya menuliskan, "...if anything, attending Ambitions Asia Tour Live in Singapore makes me wanna go all the way and see ONE OK ROCK concert in their home base: Japan."

Khayalan ini setinggi-tingginya, memang. 

Saat itu saya bahkan tidak berpikir panjang atau menyikapi secara serius tentang angan-angan yang kayaknya nggak napak tanah itu. Sebagai wibu veteran karena sudah menganut mazhab ini sejak belum akil balig (I'm not even ashamed with this fact, mind you), sedikit banyak saya sadar bahwa keinginan tersebut lebih mungkin untuk nggak pernah terkabul lantaran prosedur nonton konser musisi Jepang di Jepang sangat tidak ramah orang asing. Pembeliannya perlu pakai akun yang mencantumkan alamat lokal lah, sistem pembayarannya perlu lewat minimarket lah, ada kode khusus yang dikirimkan ke nomor ponsel area Jepang lah, entah apa lagi. Boleh dibilang, mendaki gunung lewati lembah a la Ninja Hattori masih jauh lebih gampang dibanding perjuangan nyari tiket pertunjukan musik Jepang. 

Waktu berjalan. Pandemi menyerang, konser dan tur dibatalkan, cita-cita terlupakan. Mestinya bulan Mei tahun 2020 silam, ONE OK ROCK menyambangi Jakarta untuk Eye of the Storm Asia Tour. Bahkan jadwal show nambah sehari saking sold out dalam sekejap dan masih banyak permintaan. Gara-gara wabah COVID-19, semuanya porak-poranda. Sempat lumayan kecewa karena nggak bisa ketemu mas-mas kesayangan di negeri sendiri, tapi setelah beberapa lama, ternyata saya nggak merasa sedih-sedih amat. Nggak terlalu merasa kehilangan. Tanya kenapa? Soalnya album Eye of the Storm jelek. Ini menurut saya, yhaaaa. 

Fast forward to 2023.


Beberapa bulan sebelumnya, di paruh akhir tahun 2022, ONE OK ROCK merilis album teranyar mereka berjudul Luxury Disease. Saya. Suka. Banget. Bener-bener no-skip album. Lagu Wonder yang sudah sempat saya anggep lumayan―setelah dihantam trauma panjang thanks to album Eye of the Storm―rupanya begitu ditaruh di antara lagu-lagu penghuni Luxury Disease lain jadi terasa B aja. Saya kembali ngayal halu. "Duh, kayaknya seru deh kalau bisa nonton konser tur album ini di Jepang. Kan Taka pasti nggak mungkin nyanyiin yang International Version, dia bakal bawain lirik yang versi original semuanya." 

Might be important to note: yes, I do not care about any of those International Version songs. Not at all.

Bagaikan diiringi lagu Moonlight Densetsu versi bahasa Indonesia yang merupakan pembuka serial animasi Sailor Moon di televisi lokal, "Tiiiiiba-tiba keajaaaaiban terjadiiii...," berkat satu dan lain hal yang terjadi secara beruntun, saya mendapati diri sendiri berada di sini:


Yep. That's right, baby.
You see things correctly; this is everything you need to see.

Homegirl is attending ONE OK ROCK Luxury Disease Japan Tour 2023 at Tokyo Dome, together with a crowd of more than 55,000 people. 


Ya Allah. Sampai sekarang pun rasanya masih kayak mimpi. Tiap malam sebelum tidur saya selalu menatap langit-langit, memutar ulang memori, dan meyakinkan diri bahwa pada hari Selasa, 4 April 2023, saya betul-betul menunaikan ibadah akbar yang jadi impian bertahun-tahun: nonton konser ONE OK ROCK di kandang mereka. Di Tokyo Dome. This absolutely feels like a miracle that I'm almost terrified, what if I've spent my whole good luck for this year, or even a lifetime, in one quick swoop for this to happen? 


I wouldn't even believe myself if I told my last-year-self I'm going to ONE OK ROCK concert in 2023. Kayaknya saya akan meneriaki diri sendiri, "Lo tuh sinting ya???" (Reality check: maybe I'm a little bit crazy in the decision-making department)

Ibu, lihat Ibu, anakmu berhasil nonton ONE OK ROCK di yaban!!

Tiket ONE OK ROCK Luxury Disease Japan Tour 2023 nggak tersedia versi cetak. 100% e-ticket. Nggak boleh cuma modal screenshot, pula. Harus benar-benar dibuka dari aplikasi khususnya dan diperlihatkan ke petugas yang mengecek tiket. Nantinya layar ponsel bakal dicocol (maafkan keterbatasan kosakata saya) pakai semacam stempel elektronik, dan keluar notifikasi bahwa tiket yang kita pegang sudah ditebus.

Motret layar ponsel demi pamer tiket.

Berdasarkan jadwal yang tertera, pertunjukan akan dimulai pukul 18:00 JST. Open gate, alias waktu di mana penonton mulai boleh dipersilakan masuk ke dalam ruangan, dijadwalkan pukul 16:00. Berhubung saya katro dan takut nyasar di venue segede gaban macam Tokyo Dome, gagal menemukan posisi bangku sendiri lalu berujung nyusahin atau ganggu penonton lain, saya mulai mencari-cari pintu akses yang mestinya dimasuki, yaitu Pintu 41. Jam di ponsel saat itu masih menunjukkan angka 16:15. Sebagian besar jamaah konser masih berkeliaran di luar. Ada yang antri beli merchandise, ada yang antri beli makanan (dan menghabiskan belanjaan makanannya), ada yang di toilet buat ganti baju atau buang setoran. 

Pemandangan di pintu masuk gedung sekitar jam 16:20. Super selow dan antiruwet. No rusuh rusuh club.

Sekali masuk dome, penonton udah nggak bisa balik ke area luar sampai pertunjukan selesai. This is the point of no return. Tapi kalau perut mendadak keroncongan lagi, atau tenggorokan haus, atau mengalami panggilan alam, penonton bisa jajan atau ke toilet yang tersedia di dalam Tokyo Dome. Bahkan bisa beli bir dan minuman beralkohol lain loh (kalau mau). Kurang asyik apa coba, headbang mengiringi suara nyanyian Taka sambil tipsy tipis-tipis?

Mendekati pukul enam sore, arus penonton yang masuk ke venue makin deras. Perut saya makin mules. Tegang, gaes. Untuk menenangkan diri, saya mengalihkan perhatian dengan mengamati lalu-lalang penonton... dan berakhir benar-benar terdistraksi karena ANJIR CAKEP-CAKEP BENER DAH ORANG-ORANG. Asli. Mas, mbak, om dan tante (malah saya sempat melihat beberapa kakek dan nenek) yang hadir di sana untuk menyaksikan ONE OK ROCK benar-benar tampak seperti 100% functional human being, nggak kayak sebagian besar kerumunan yang saya lihat ketika berada di acara-acara sebuah fandom lain yang tidak akan saya sebut namanya demi keselamatan diri (safety first, my friend). Mas-mas yang duduk di sebelah saya juga ganteng banget banget bangettt. Saya setengah mati berusaha nggak sering-sering menoleh ke arah dia karena itu adalah tindakan yang super duper creepy dan saya belum ingin mendemosikan diri menjadi orang creepy.

Jam 18:00 pun tiba. 
Lampu padam, penonton tak lagi diam.

Nyomot dari Instagram ONE OK ROCK. Penonton nggak boleh foto-foto acaranya.

Intro mengalun. Penonton heboh. Jantung saya serasa akan menjebol permukaan dada saking deg-degannya. Mata saya (dan sekian puluh ribu manusia lainnya) mulai mencari-cari sosok anggota ONE OK ROCK di panggung. Tomoya muncul di belakang drum set seperti biasa. Penonton bersorak-sorai. Kami makin jelalatan berusaha menemukan Ryota atau Toru. Tiba-tiba lampu sorot membelah kegelapan di depan mata saya, dan ternyata Ryota dan Toru nongol di tengah-tengah penonton, berdiri di jalan sempit yang jadi area lalu-lintas penonton sekaligus pemisah satu zona dengan yang lainnya. Jeritan dan tepuk tangan meledak di mana-mana, mengiringi sepanjang Ryota dan Toru berjalan ke arah panggung dan mengambil tempat mereka masing-masing di sisi kiri dan kanan.

Sekarang tinggal vokalisnya. 

Penonton makin nggak sabar. Ritme tepuk tangan makin cepat, suara-suara memanggil "Takaaaa!!!" makin terdengar di sana-sini. Layar besar di atas panggung mulai tersinkronisasi dengan kamera yang menyorot berbagai tempat, seakan-akan ikut dalam permainan Where's Taka. Pencarian berakhir tatkala fokus kamera tertuju pada suatu titik di klaster penonton, merekam salah seorang dari mereka yang mendadak membuka jaket hitam dan muncullah Taka. The crowd went WILD. Broooooo. Apa kabar penonton jelata yang posisinya di sekitar dia?? Gimana rasanya dijejerin Taka?? Masih sehat?? Belum hilang akal??

Komentar perdana saya: "Bang, kagak takut gerah apa pake lengan panjang...?"

...and the show begins.


M01. Wonder (Japanese version)

Konser dibuka dengan lagu paling B Aja di seantero album Luxury Disease, but the song does its job well in getting the audiences going. Pas bagian chorus penonton ikut nyanyi rame-rame. "Don't you ever WONDER? If you only had ONE BREATH! Tell me, would your ONE LOVE, pull you out of the DEEP END?"

M02. Save Yourself (Japanese version)

Well, duh. Tentu saja yang dinyanyikan tetap versi bahasa Jepang. Isn't it the whole point of watching them at home? Saya hampir nangis saking bahagia banget di titik ini, karena mungkin mendengarkan Save Yourself dinyanyikan dalam bahasa Jepang akan menjadi sebuah kemewahan yang tidak saya dapatkan jika kelak ONE OK ROCK melakukan Asia Tour dan mungkin mampir ke Jakarta.

M03. アンサイズニア (Answer is Near) 

Okay, this one is unexpected. Gegap gempita seisi Tokyo Dome tidak main-main ketika intro dimainkan. Clearly, this track is fan favorite, meskipun nggak heran juga. Adalah sebuah fakta yang perlu diakui bahwa dalam album 残響リファレンス (Zankyo Reference) (2011) memang nggak ada lagu jelek. Yeah, the answer is inside of me.

M04. Let Me Let You Go (Japanese version)

I'm gonna admit something: this song BANGS hard. Tadinya ketika mendengarkan album Luxury Disease, saya lebih menyukai Vandalize dibandingkan Let Me Let You Go. Tapi begitu lagu ini dibawain di konser... ALLAHU AKBAR, SERU SEKALI, PEMIRSA!!! Berbondong-bondong menyanyikan bagian chorus dan mengalunkan "Go, oh, go, why'd you let me let you goooo??" adalah sebuah nikmat duniawi yang tidak akan saya dustakan sampai kapan pun.

Para jamaah yang berbahagia

M05. Clock Strikes

Album 人生x僕= (Jinsei Kakete Boku wa) (2013) tempat lagu Clock Strikes bernaung, menurut penilaian pribadi saya, juga termasuk salah satu rekaman tanpa cela dari ONE OK ROCK. Histeria ketika Taka mengacungkan jari tangannya lurus ke atas meniru jarum jam di awal lagu benar-benar nggak terbendung. Saya juga jerit dari ujung tenggorokan saking dahulu, tatkala nonton Ambitions Asia Tour 2018 di Singapura, entah kenapa Taka nggak melakukan gerakan ikonik itu. Jadi baru kali ini pengalaman saya sebagai fangirl terbilang kaffah. Kalau boleh saya bilang sih Clock Strikes tuh lagu pamer. This is that track where Taka gets his moment to fully become a show-off, menunjukkan kapasitas vokalnya dengan tarikan panjang "Believe that time is always foreveeeer woooooo ooooh aaaaaaaaah!"

M06. カゲロウ (Kagerou)

Bingung, nggak? Saya sih bingung, TAPI SENENG. BANGET. Sama sekali nggak menduga lagu Kagerou dari album lawas ゼイタクビョウ (Zeitakubyou) (2007) bakal nongol di konser ini. Para fans juga menyambut meriah saat Kagerou dimainkan. Banyak mas-mas yang lonjak-lonjaknya jauh lebih semangat berkali-kali lipat di lagu ini, apalagi mungkin udah lumayan panas karena lagu-lagu sebelumnya.

M07. Mad World (Japanese version)

Lagu ini juga favorit!! Sebagaimana diderita sejumlah lagu-lagu ONE OK ROCK yang tersedia dalam dua versi lainnya, lirik Mad World versi bahasa Jepang dan International Version BEDA JAUH, dan menurut saya lebih lucu, lebih riil, sekaligus lebih merakyat versi bahasa Jepang. It's a total shame that the International Version lost the funny edge the Japanese version has. Sehingga, tentu saja saya sepenuhnya menikmati pengalaman jejingkrakan bersama Taka dan menyerukan "Anna jibun ga ima, iya hora kou natta yo ima!!" dari lubuk jiwa terdalam.

M08. Vandalize (Japanese version)

SOUND THE ALARM!!! Akhirnya dimainin juga dia. Keterlibatan psikologis saya dengan lagu ini kayaknya udah nggak sehat. I don't know about you but the part of the lyrics that go, "Breaking bottles on the pavement just to watch it crash" does something to me that I cannot explain. Maybe it vandalizes my heart.

Orang ini juga tukang vandal perasaan.

M09. So Far Gone

We're going slower. Saatnya menurunkan tensi dengan memasuki lagu-lagu yang lebih tenang dan tidak lompat-lompat heboh. So Far Gone termasuk satu dari sedikit lagu dalam album Luxury Disease yang nggak dibuat dua versi, alias full English untuk rilisan Jepang maupun internasional. This is a good ballad if you ask me.

(MC) I Want You Back (The Jackson 5)

Usai menggeber So Far Gone, ada sesi MC pendek. One thing leads to another dan Toru, Ryota, dan Tomoya tiba-tiba memainkan intro I Want You Back dari The Jackson 5. Katanya Taka sambil ketawa-ketawa, ini lagu yang sering mereka mainkan pas sesi rehearsal. Glad to know my beloved band is a group of cultured men.

(MC) 努努 (Yume Yume)

Saya MENJERIT. Sejujurnya ini masih masuk dalam sesi MC, alias momen tarik napas, minum, dan ngobrol-ngobrol hore. Taka mengode Toru untuk "Main lagu itu yuk?" sembari cengar-cengir cengengesan, dan sebagai bapak rekan satu band yang baik, Toru pun mengiyakan. Surreal banget denger Yume Yume secara langsung, denger Toru nge-rap di depan mata, mengingat ini tuh lagu jaman jebooooot. Yume Yume hanya dimainkan hingga chorus pertama, dan begitu kelar, Toru seketika curhat, "Sumpah otot lidah gue udah belibet banget sekarang, saking gak pernah nge-rap lagi." Ya makanya sering-sering dilatih dong, Bang~

M10. Heartache (Japanese version)

MC berakhir, namun sesi lagu slow masih berlanjut. Sudah saatnya kita semua mendapatkan lagu yang termasuk dalam ONE OK ROCK Starter Pack. I'm dead serious. Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa lagu Heartache, bersama dengan Wherever You Are dan The Beginning adalah trifecta yang berhasil membuat banyak orang ngeh akan keberadaan ONE OK ROCK, kejeblos dalam fandom ONE OK ROCK, atau ya.. menjadi alasan orang bilang "Gue suka ONE OK ROCK juga kok" ketika cuma pernah dengerin tiga sampai lima lagu. Sooo this is heaaaartaaaacheeee...

M11. Gravity

Mantaaaaap. Sebagai track yang hanya ada di album Luxury Disease versi rilisan Jepang, Gravity termasuk lagu yang saya nanti-nantikan untuk dibawakan. Meskipun nggak ada vokal Fujihara Satoshi (Offical Hige Dandism) sebagaimana versi albumnya, tidak masalah. Ini momen transisi yang bagus banget untuk mengakhiri pojok sendu dan menuju momen lonjak-lonjak lagi. My feet won't touch the ground! Your gravity will not keep me down! I'm not falling for it, no~

Instrumental break

Taka minum. Ryota, Tomoya, dan Toru menguasai panggung. Pengin banget banget banget nonton rehat gonjrang-ganjreng ini di versi rekaman supaya bisa lebih puas memelototi Yamashita Toru dengan kibasan gondrongnya yang bikin gatel nyuruh potong rambut itu. Pada titik ini semua orang sudah kemringet. Taka kemringet. Toru kemringet. Ryota kemringet. Tomoya kemringet. Saya kemringet. Mas-mas ganteng yang berdiri di sebelah saya juga sudah panas kemringet, sesekali meneriakkan "TAKAAAAA!!" dengan gelegar suara membahana.


M12. Neon

Make your daddy ashamed, Tokyo to LA! 
SING IT! Na na na na... 

Contrary to popular opinions―only if Western music reviewers count as 'popular' opinions to you―I truly like Neon. Seru aja gitu. Berasa ONE OK ROCK nge-cover lagu Panic! At the Disco meskipun lagu ini emang dibikinin, bukan nyanyiin ulang. This is the kind of song I'm dancing to when I'm drunk.

M13. Deeper Deeper

Taka berdehem dua kali. Lalu, "PrrrrrrRAAAAAAAAAHHH!!!" dan seisi Tokyo Dome pecah. Here we are going loudeeeeer! Again!! Kayaknya sampai kapan pun Deeper Deeper akan tetap jadi favorit khalayak masyarakat. Mau berapa kali pun dimainkan, lagu ini bakal memancing hasrat lonjak-lonjak a la kelinci baterai Duracell. We never, we never, we will not stop right here!

M14. Renegades (Japanese version)

This is where the red ocean appears. Kalau sebelum-sebelumnya lautan merah muncul di lagu Mighty Long Fall, kali ini ia mengisi setiap sudut Tokyo Dome ketika Renegades dilantunkan. Nggak ada mosh pit karena konser kali ini all-seated, but it felt amazing all the same. Layar besar di atas panggung menampilkan gerbang raksasa yang pelan-pelan membuka, mirip adegan dalam video klip. Orang-orang yang kenal ONE OK ROCK dari adaptasi film Rurouni Kenshin lumayan hepi nih, sejauh ini sudah ada dua lagu soundtrack-nya yang dimainin.

M15. Your Tears Are Mine

Satu lagi dari Mayora lagu yang baik versi Internasional maupun Jepang sama-sama 100% berbahasa Inggris. I swear upon everything on this planet, this is definitely a show-off song. Lagu pamer skill. Vokalnya Taka indaaaaaaaah banget di sini. Jauh lebih bening dibanding muka cici-cici idola K-pop yang suka nampang jadi duta merek produk perawatan kulit lokal yang jelas-jelas nggak mereka pakai. Sebelum menyanyikan Your Tears Are Mine, Taka sempat ngasih wejangan berbunyi kurang lebih, "Coba bikin orang lain bahagia, mungkin dengan begitu kita bisa menemukan kebahagiaan untuk diri kita juga." I'm not at all ashamed to admit that I cried when he sang, "You're beautiful even when you feel broken." 

Open up that tearductssss!!!

M16. The Beginning 

It's official. Memang yang menang banyak adalah orang-orang yang kenal ONE OK ROCK berkat adaptasi film Rurouni Kenshin. Lagunya nongol tiga nih! Jamaah ONE OK ROCK Starter Pack bergembira ria. Namun memang harus diakui bahwa The Beginning adalah lagu bagus yang sanggup memicu reaksi bagus dari penonton, nggak peduli berapa tahun sudah terlewati sejak ia dirilis. Say another word I can't hear youuuu...

M17. キミシダイ列車

Ya Allah. Ketika intro mengalun, rahang saya jatuh hingga ke lantai. Mangap lebar banget. Sebelumnya saya sudah bilang kan, lagu-lagu dalam album 残響リファレンス (Zankyo Reference) (2011) nggak ada yang jelek. None. Cuma gimana ya, terus terang sama sekali nggak menyangka bakal muncul dua lagu dari album itu yang masuk ke setlist konser Luxury Disease kali ini. Are you ready now? We are ready now for tonight!! (Udah siap dari tadi, Bang!!!)


M18. the same as...

When this song came, somehow I could sense that we were in the beginning of the end. Tensi the same as... lebih turun dibandingkan lagu-lagu sebelumnya, dan mengingat tenggorokan saya juga sudah lumayan serak, sepertinya tidak aneh jika kami semua telah mendekati penghujung pertunjukan. Pada titik ini saya mules bukan main, nggak ikhlas konsernya selesai, belum mau pulang dan mengakhiri malam ajaib ini (for ME, it is a miracle), cuma kok ya nggak punya kekuatan menghentikan waktu atau memutarbalikkan...

M19. We Are (Japanese version)

The crowd was freaking amazing here. Bener-bener kayak paduan suara. Barangkali karena bagi sebagian jamaah konser, We Are adalah lagu tema 18際 (18sai—18 Fes) perdana yang digelar oleh NHK tahun 2016 silam, dan melibatkan 1000 orang remaja berusia 18 tahun. Maybe they do have personal attachment with the song, because everyone sang their parts like their life depends on it

M20. Wasted Nights (Japanese version)

I'm so sorry for not giving enough fuck about anything that's from Eye of the Storm album, but Wasted Nights is one of the better tracks. Cukup bersyukur bisa dengerin Taka nyanyi Wasted Nights secara langsung karena lumayan meredakan kebencian ketidaksukaan pribadi terhadap album tempat lagu ini bernaung. He dragged that last "I don't wanna wait, no more waaaaaaaaaaaaaaaaaaasted niiiiiiiiiiiiiiiiiggghts" until forever. Gila emang tarikan napasnya. Numero uno.

DONE
Kelar. Bubar. 

Tenang, masih ada encore. Tapi tetap saja, untuk sementara waktu, Taka, Ryota, Tomoya, dan Toru balik ke backstage untuk melakukan apa pun yang ingin mereka lakukan. Mungkin ngulet. Mungkin juga minum. Atau nyomot entah cemilan apa yang tersedia di belakang panggung. Sekaligus ganti baju, mengingat apa pun yang mereka pakai udah basah kuyup. Keguyur keringet sendiri. And the crowd started to light up the dome with their phone torch to call for encore. Merinding banget. Sekian puluh ribu orang nyalain senter ponsel bareng-bareng, mengayunkan tangan di udara. Sungguh ukhuwah konseriyah.

M21. When They Turn The Lights On (Encore)

Menangiiiisssss. This song is beyond heavenly. Apalagi saat dicocoklogi dengan bagaimana kami semua menyalakan senter ponsel... oh yeah so we turn the lights on. Apalagi lagunya kan diawali vokal tanpa iringan musik sama sekali ya, jadi dari keheningan tiba-tiba menyeruak suara Taka, "I been climbing since I was young..." Duh Gusti, memang terlalu indah. Hamba nggak kuat.

M22. Stand Out Fit In (Japanese version) (Encore)

Lagu ini jauh, jauh, jauuuh lebih oke dinyanyikan live daripada rekaman studionya. Abso-freaking-lutelyAnd I genuinely think that this song is a good encore piece. Kayak memang ditakdirkan untuk dinyanyikan ketika mau menyudahi sesuatu. Maybe I started to warm up to this song, maybe not, but I can honestly say that singing along to Stand Out Fit In in Tokyo Dome was not a bad experience.


No 完全感覚Dreamer (Kanzen Kankaku Dreamer), yang belakangan saya ketahui ternyata dibawakan sebagai encore untuk pertunjukan Tokyo Dome hari berikutnya. No Prove and no Broken Heart of Gold, despite Prove being my ultimate favorite track from the Luxury Disease album and the grandest one, arrangement-wise. But of course it doesn't matter. What matters is that tonight is a magical night. Tonight is a night that is nearly impossible to happen to me but it happens nonetheless. Saya bahkan nggak merasa iri sedikit pun kepada orang-orang beruntung yang berhasil nangkep lemparan pick gitar dan bas, stik drum, bahkan kaos(!!!) dari Taka, Ryota, Toru, dan Tomoya di salam penutup konser. Me attending this concert spends a huge amount of luck already.

I might be stating the obvious, namun sebagaimana yang saya alami ketika menghadiri Man with a Mission Chasing the Horizon Tour Final: ONE MAN 2018 di Koushien Stadium, sepanjang tiga jam durasi konser, sama sekali nggak ada manusia di sekitar yang angkat-angkat ponsel dan rekam-rekam. Damai banget, kawan. Indahnya kebersamaan. Saya yang pendek ini nggak terhalang sedikit pun untuk menikmati pemandangan seisi Tokyo Dome dari ujung kanan hingga ujung kiri. Kapan ya bisa ngalamin yang begini lagi...


See you again, ONE OK ROCK.

Hopefully this won't be the last miraculous thing I am able to pull, because my life is a series of YOLO decisions that I will never ever regret. Semoga album kalian yang berikutnya akan jauh lebih bagus. Semoga suatu hari nanti akan tiba momen di mana saya bisa mendengarkan Prove dinyanyikan langsung oleh Taka (kalau boleh rikues sih yang Japanese version aja karena saya purist snob).

z. d. imama


*P.S.: Foto-foto manggung yang bertebaran di tulisan ini diambil dari akun Instagram ONE OK ROCK, Taka, Toru, Ryota, dan Tomoya, berhubung sepanjang konser penonton dilarang jeprat-jepret dalam bentuk apa pun.

*P.P.S.: Khusus pertunjukan hari berikutnya (Rabu, 5 April 2023), ada momen-momen ketika encore di mana Taka ngasih izin penonton untuk rekam-rekam, hence some videos you might find going around the internet.

Tuesday 31 January 2023

I feel like I know you better now that you're gone, Bapak.

Tuesday, January 31, 2023 3

Selamat hari ulang tahun pernikahan, Bapak. 

Today is not your birthday. Not even the day when you left Mother and your daughters forever. But since it feels like you made more effort to be Mother's husband rather than a father, I decided to write this all today: on your wedding anniversary. When you're no longer with us. When I am the same age as you were when you married Mother.

Quick update: I am still married to no one.
You didn't miss anything. Chill.

We didn't have the best relationship, let's get real. We didn't talk that much. Most of our exchanges turned into arguments, fights without victors that only left the participants with heavy hearts and itching scars. Maybe I am not your favorite daughter, as you were a distant father to me. That's weird and a little bit sad, actually, because I have these fragments of shattered recollection where you put me in front of your old, rusty but trusty motorbike, and we rode around the village, looking over the vast spread of green ricefield, watching little boys playing football in the vacant lot nearby, counting the passing goats and buffalos under the soft warmth of the twilight sun, when I was small enough to not be able to retain the complete version of my own memory. 

What went wrong? 

You might question that, because I did. 
I still do. 

I still question why you never once said that I did a good job even if I brought home perfect scores on tests. I still question why you never asked what I wanted. I still question why you didn't let me grow my hair, wear skirts, or choose what shoes to wear to school when we bought them. As if everything I did is wrong in your eyes, not good enough, less than satisfying. So I took step back and when you didn't turn around and reached out your hands to me, I took another step. Soon we had a gaping crater stood between us. It didn't help at all when I knew that you actually wished for a son—had a whole plan to teach the hypothetical kid whatever things you love, and that plan crashed because it was me who came out of Mother, bloody and wailing, and very much a girl. It made me think that maybe if I were born a boy you could love me better, you could spare a second to actually listen, and you could be interested to know just how much I tried to be a good child. How I never asked for things twice after you said no. 

And you always said no.

For the decades we shared together, I don't remember you consuming arts or pop culture products. You listen to the radio daily, sure, but it felt more like the need to fill the stretching silence with background noises. Other than going to religious gatherings, your hobbies revolve around football and tennis, which eventually claimed your life. Maybe the only thing I'm grateful about with your sudden passing is that you died doing what you love, surrounded by your friends in your last moments. I don't know, probably you were happier there than at home. Maybe when you're with your friends, you can be yourself. You don't have a role to fulfill, a duty to perform. Out there, you're neither a failing husband nor a withdrawn father, you're just... you.

Out of the blue, you're not coming back home.

Then I found myself cleaning up your things. Folding old and new clothes, opening boxes, reading sheet after sheet of paper, trying to figure out what to keep, what to donate, and what to throw out. That afternoon I sat on the floor, pulling shelves open, rummaging through parts of your life I've never met and known.

And I saw them.

Your school diplomas with your signature I've never seen before. I guess even you had them too, that awkward time period when you need to sign things but had no idea how to do that, so you just wing it. I call them signature prototypes.


Shelves full of unused birthday presents. The brand-new ties. Crisp shirts, now yellowing from age and bad air circulation. The leather wallet Mother bought for you at the local department store because she knew your old wallet almost turned into shreds, now cracked. Everything we got you as birthday presents for year after year until we didn't do it anymore. Because you never wore them, never used them, never carried them with you. Giving you gifts felt like throwing things into a black hole; it sucks every matter and substance in view and they could never appear again.

Until that afternoon, apparently.

Because you hoarded them. You collected them as if they were rare items when we gave it to you every year. You lined them up like museum pieces. You kept them brand-new and untouched when we wanted you to make full use of them, to give them tear and wear as the time goes by. For years we swallowed the bitterness clutching on our throat, because it seemed like you preferred the cheap, badly-made things you bought for yourselves rather than the presents we carefully selected with the little money our household managed to spare.

So I sat around dozens of old, time-worn packages of nice things that never got a chance to shine. You didn't take them along with you when you were alive, despite knowing they all wouldn't follow you to the grave. You left them behind, for me to find. You let me deal with all these mixed feelings, anger and disappointment and frustration and god knows what else. 

I found them, too. Rows and rows and rows of old cassette tapes, branded with well-known names of Indonesian 70s and 80s bands and singers, all the ribbons and lyric sheets intact. I asked Mother, "Lho, Ma, ini kaset-kaset koleksi Mama ya? Disimpen di sini semua." She told me, "Bukan, itu semua punya bapakmu. Mama sejak dulu nggak nyetel lagu." Mother said she doesn't know why you never played them again, although we still have a working cassette player. We always have.


What went wrong, Bapak?

Did you fall out of love with them? Did you 'outgrow' them, or were you forced to stop doing what you like because people around said that you shouldn't do that anymore, after being a man with a family? How long did you hold back, restraining yourself for the sake of answering people's expectations and fit in their standards of manhood? Did you feel empty after being robbed of self-actualization all these years, and that was one reason that caused your bad temper? If you loved music to the extent of collecting them oh-so carefully, why did you often yell angrily at me when I hummed my favorite song as I swept the floor or washed the dishes? Were you mad because you thought you no longer had the liberty to enjoy things, as I did so freely and openly? Was watching me gave you pain because I was a reminder of the much, much younger version of you? 

The you that you've lost, or worse, threw away? 

Did my personality that makes me able to immerse myself in books and movies and music actually come from you? How much parts of you I inherited without knowing? How much of yourself did you see in me?

Now all I have are tons of questions you could not provide answers to and a piling crumbs of clues. Of course you'd never respond to them. I don't think you'd give any explanation, even if I asked you when you were still here. I feel like journeying without a compass, following only a faint trail, trying to head to a place where I could get the whole picture of you. I have the lead, yet I can never be too sure.

But you know what's funny? I feel like I know you better now that you're gone, Bapak. Because while you may not provide an answer or cannot confirm a single thing, there is nothing you can hide now. 

The boxes are all opened.
The keys are in my hands.

z. d. imama

Thursday 15 December 2022

Happy birthday, me.

Thursday, December 15, 2022 5


The title says it all.  

So, yeah.

Today is my birthday.


Another year added to my gear. And I've been counting all the things I hold dear. It's not a lot, but it's also not just a single plot. The greatest thing about being a December-born person is that, in a way, your birthday feels like the concluding event of the year. The encore of a show that you run solitarily. You know, like a Spotify Wrapped but make it your own life. You can look back on what you've been through during the whole twelve months and reminisce things like, "Probably I spent 267 hours crying, 2500 hours fangirling, and 198 hours overthinking all night while listening to Taylor Swift's Midnights album" or "May was truly the month when I felt the shittiest about myself, rating 0 out of 5" or "Holy shit COVID-19 got me twice this year and it happened on the first and the last month as if it is an opening and ending theme for my 2022".

Throughout my life, how I think about my own birthday and react to it varied. They changed and evolved. Not gonna lie, there was a time when I thought birthdays only mean you were getting closer to death, which leads to the conclusion that birthdays are not something that should be celebrated. It's not exactly a 'wrong' thought, since we undoubtedly walk towards death the moment we are born, but that's such a bleak take for something that will definitely happen once a year. It didn't spark joy at all.

There was also a very, very long period when I dislike my birthday because it reminds me of those birthday parties and celebrations I couldn't have because of my family's financial situation. And maybe because I didn't have enough friends, or 'cliques'. And maybe because deep down, there was this feeling of shame lingering around. My schoolmates always had nice birthday parties; good clothes, good food, and good gifts. What my family could afford was far from those 'standards' I have seen multiple times, and I didn't want my day to be compared. Kids are shallow, you see. We want the same things our peers have, and I tried my best to be a 'good, understanding child' who never asks for anything her parents cannot obtain. Thus "nice birthday parties" become my what-ifs, my longtime fancy, my dream that never came true. I buried that wish so deep and it turned into thorns in my flesh. 

Now I think having your birthday, again and again, means you didn't die. Not yet, at least. I haven't made up my mind about how to feel on this particular day. I don't hate it anymore, but it's not like I can shout "Yaaay! My birthday!!!" from the rooftop gleefully. It's quite an awkward relationship. We're still on the 'bridging the gap and testing the boundaries' term.

But I want to stand tall and accept the fact that I'll only be getting older like a champ. I want to be proud that I've lived all these decades, learning, de-learning, and re-learning things as I go. Maybe I didn't always do my best, but I want to believe I did enough. I did what I could, while dealing with whatever shit I was feeling at that time. And I want to be grateful simply for being alive. As Stephen King wrote, "The good thing about being old is that you don't have to worry about dying young".

That's what I want.

I want those days when I feel relieved I didn't die young to come.


Flowers from me to me, because why not?

Today, I am no longer whatever age written beside my name for the last 12 months. I also will never be 25 again, which means I will never get married at the same age as my mother. I will never give birth to a child at the same age as my mother. I am officially strengthening my foothold in the demographic segmentation to whom society LOVES to ask the ultimate question: "Kapan nikah??"

Or they will simply talk and gossip behind my back. Whispering that there must be something wrong with my personality, because I fall right into "Udah umur segitu kok ya belum nikah-nikah" pool. They will question the overall standards I hold for people and give advice like "Kamu tuh mbok ya jangan terlalu pemilih". Society will see me as an unfortunate person because my marriage status remains unchecked. There will be people who compare girls like me to leftovers, to spoilt milk, to anything else but a human being. They say I have less value now because I cannot get any younger.

But that, is not true at all.

I don't feel I become less of a human by getting older.


I still feel like myself. My way of thinking, my personal traits, my knowledge, my experiences, and everything else that makes me "Me" are still mine. I still love all the things I've been loving for the past years: books, music, comics, taking a bus ride with no particular destination, strolling around the city, all that stuff. And I hope to keep it that way. I don't wanna let them dictate how to see my personal worth. If society thinks I no longer have the appeal to be loved by other people, I will prove them wrong by loving and respecting myself better. Probably won't be an easy fight in the long run, but I'm used to picking the trickier road and walking it.

It will be okay.

I should be okay.

Once again, happy birthday, me.
Live long, prosper, and be happier than ever.

Amen.

z. d. imama

Monday 6 June 2022

Langganan Majalah BOBO di tahun 2022: WHY NOT?

Monday, June 06, 2022 2

 

Hello, lovely internet folks! Finally. My first ever post in 2022, and also, the first time in forever.  Tanpa banyak babibu dan fafifu, saya akan langsung masuk ke topik bahasan kita kali ini. Yah, sebenarnya juga sudah ke-spoiler dari judul postingan sekaligus gambar pembuka, sih.

Pada suatu sore di pertengahan tahun 2022 (maksudnya hari ini), tiba-tiba seorang netizen yang tinggal di sebuah kos-kosan di Jakarta-alias saya-tersentak dari e-book yang sedang dibacanya. Suatu pikiran random muncul dari benaknya: 

"Majalah BOBO sekarang apa kabar, ya?" 


Rada aneh, memang. Padahal sejenak sebelumnya, si netizen ini-alias saya-sedang menikmati sebuah novel misteri yang sama sekali nggak punya sangkut-paut dengan majalah BOBO. Layaknya netizen pada umumnya, manusia satu ini kadang-kadang memang suka berkelakuan ajaib.

Dahulu kala, di suatu masa sebelum pandemi menyerang, saya pernah menyentil betapa majalah BOBO berjasa besar dalam postingan tentang Magic Knight Rayearth. Ibu selalu membelikan edisi-edisi lawasnya dari tukang loak dan pedagang majalah bekas, untuk saya gunakan berlatih membaca. Sekaligus, tentu saja, untuk disobek-sobek dan digunting-gunting (karena setiap anak kecil adalah tornado ukuran mini yang bisa jalan-jalan dengan dua kaki). Sewaktu bangku Sekolah Dasar pun, saya pernah memenangkan suatu perlombaan yang hadiahnya adalah langganan gratis majalah BOBO selama beberapa bulan. 

Majalah BOBO adalah salah satu bagian penting dalam hidup saya. Saya juga yakin bahwa yang merasakan seperti ini bukan cuma saya seorang. Berhubung tiba-tiba kepikiran, saya memutuskan duduk di depan laptop. Membuka browser. Mencari-cari informasi. Pertanyaan yang saya ingin temukan jawabannya sudah jelas: Majalah BOBO masih ada nggak sih sekarang? Apa masih bisa langganan? Tersedia versi cetak atau sudah jadi majalah digital?

Jawabnya ada di ujung langit.

Masih ada. Bisa. Tersedia baik cetak maupun digital.


WOW.
Saya mangap.

Bisa langganan majalah BOBO! Yay!

Hasil awal browsing saya mengantarkan langsung ke laman Gramedia Digital. Dari situ, saya jadi tahu beberapa hal:
  • Harga eceran majalah BOBO (per edisi) sekarang Rp15,000
  • Beberapa paket langganan Gramedia Digital bisa dipakai mengakses majalah BOBO
  • Logo dan huruf majalah BOBO sampai saat ini tetap nggak berubah

Masih kurang puas, saya kembali meneruskan perjalanan menjelajah internet. Gramedia Digital, sebagaimana namanya, memberikan akses majalah BOBO versi e-book. Bagaimana dengan versi cetak? Ke mana saya harus menghubungi kalau ingin beli majalah BOBO edisi konvensional? Ayolah internet, pinjamkan kehebatanmu!!

Tak seberapa lama kemudian, misteri terpecahkan.

Opsi langganannya lebih banyak! Harganya lebih murah!

Saya terdampar di sebuah situs bernama Grid Store. Usut punya usut, Grid Store ini merupakan situs yang menjual produk-produk majalah dan tabloid terbitan Grid Network, Kompas Gramedia. Majalah anak-anak yang tersedia dalam katalog tidak hanya BOBO, tetapi juga ada BOBO Junior (walaupun terus terang saya nggak tahu apa beda target pasarnya dibandingkan BOBO-senpai), MOMBI, dan MOMBI SD.

Bisa dilihat dari screenshot di atas, Grid Store menyediakan lebih banyak opsi langganan dibanding Gramedia Digital. Tidak cuma itu, harganya pun lebih murah. Tarif per eksemplar bahkan ada selisih seribu Rupiah. Lumayan cuy.

Tanpa pikir panjang, saya klik salah satu rencana langganan dan menekan Masukkan Keranjang. Barangkali inilah kekuatan kangen. Inilah kesaktian rasa sayang. Bikin ikhlas melakukan hal-hal yang sejatinya nggak butuh-butuh amat. Apalagi timbunan bacaan pribadi tingginya setara Monas dan nggak kunjung berkurang.

Isi keranjang belanjaan

Bisa dibayar dengan berbagai macam cara!

Proses transaksinya nggak berbeda dengan kebanyakan lapak belanja online lainnya: bikin akun baru terlebih dahulu baru bisa belanja. Nggak terlalu banyak data yang dibutuhkan Grid Store. Cukup nama, alamat email, nomor ponsel, tanggal lahir, serta gender—yang sayangnya, tapi juga sudah bisa diduga, masih hanya tercantum Laki-Laki dan Perempuan.

Setelah pembayaran dilunasi, majalah BOBO yang jadi belanjaan saya langsung bisa diakses dari kolom Bookshelf. Muncul dalam sekejap mata. Works like magic. Sungguh luar biasa kekuatan internet dan konten digital.

It sits prettily, ready to wait for me <3

Jika kalian nggak ikhlas merogoh saku untuk berlangganan mingguan, beberapa konten majalah BOBO secara terbatas juga bisa diakses gratis via situs resmi di sebelah sini. Silakan kakak-kakak yang mau nostalgia kehidupan masa kanak-kanak. Everything is just one click away~

Saya mau pamit dulu. Sudah ditunggu Bobo, Coreng, dan Upik. And really, the greatest perk of being an adult, with your own hard-earned money, is that now you can pay for things you love as a child, and nobody can stop you from doing so

z. d. imama

Tuesday 30 November 2021

"Pasukan Buzzer": Siapa pun bisa menjadi siapa pun di internet

Tuesday, November 30, 2021 1

Jika bukan karena membaca ringkasan di sampul belakang buku dan memergoki tulisan “Novel” yang tertera di sudut kanan bawah buku, saya hampir mengira “Pasukan Buzzer” karya Chang Kang-Myoung (judul asli: 댓글부대 Daetgeulbudae) adalah buku nonfiksi. Rasanya prasangka ini tidak berlebihan. Buzzer adalah istilah yang sejak beberapa tahun belakangan ini semakin marak diperbincangkan, sangat dekat dengan hal-hal yang berbau kampanye. Pilpres, pilgub, pilkada, kebijakan-kebijakan publik kontroversial, peluncuran produk baru, entah apa lagi. Bahkan sebagai pengguna media sosial yang lumayan aktif, tidak jarang cuitan saya di Twitter yang mengandung kata kunci tertentu mendadak disambar seenaknya oleh akun-akun bot yang menimpali dengan makian atau kalimat-kalimat pembelaan berlebihan. Pokoknya menyebalkan. Begitu tahu bahwa “Pasukan Buzzer” merupakan novel, saya langsung punya firasat yang mengatakan buku ini bukan sesuatu yang bisa saya baca sebagai hiburan semata. Bukan cerita haha-hehe. 

Dua ratus delapan puluh sekian halaman kemudian, insting saya terbukti benar.

(Memang) Bukan bacaan ringan.


“Pasukan Buzzer” menyoroti Tim Aleph, perusahaan pemasaran online yang menawarkan jasa promosi, baik produk hingga perusahaan. Tim Aleph digawangi oleh Sam-goong yang jago bersiasat sekaligus pakar fafifuwasweswos, Chatatkat yang luwes merangkai kata, dan 01810, yang hingga akhir kisah tak pernah diungkap nama sebenarnya, sebagai ahli komputer. Proyek-proyek manipulasi opini yang mereka bertiga tangani selama ini bisa terbilang berjalan mulus, sehingga boleh dikatakan tampaknya ketiganya cukup berbesar kepala. Percaya diri bisa melakukan apa saja. Tatkala sebuah tawaran pekerjaan yang tidak lazim muncul di hadapan mereka, yakni menghancurkan situs Kafe Jumda dalam rentang waktu satu bulan dengan imbalan sembilan puluh juta won, Tim Aleph pun mengiakan. Meski Chatatkat dan 01810 sempat bimbang. Tanpa dinyana, proyek Kafe Jumda ini menjerumuskan Tim Aleph dalam suatu permainan yang lebih besar, yang entah apakah ketiganya berhasil keluar dari sana. 

Hidup-hidup, tentunya.

Satu hal yang paling awal mencuri perhatian saya ketika membuka “Pasukan Buzzer” adalah judul-judul tiap bab yang tertera dalam Daftar Isi. Novel ini tampak menganggap serius dirinya sendiri. Penulisnya sengaja mengutip kata-kata Joseph Goebbels yang beredar di internet, walau kemudian disertai penafian bahwa tidak bisa dipastikan apakah Goebbels benar-benar pernah mengucapkan hal-hal yang dikutip tersebut. 

Di titik ini, alis saya sudah terangkat. 
Hmm. Menarik.

Jajaran judul bab pada novel "Pasukan Buzzer" yang sungguh lain dari yang lain

Cerita disajikan dalam bentuk kombinasi narasi dan transkrip rekaman wawancara yang alurnya maju-mundur. Agak membingungkan, terus terang. Butuh konsentrasi khusus agar tidak tersesat di tengah-tengah membaca. Komposisi tiap bab tergolong formulaik: transkrip rekaman, foya-foya, seks atau aktivitas sejenis, paparan kegiatan manipulasi opini. Ulangi. Ketika progres membaca saya mencapai sekitar 50%, benak saya mulai mempertanyakan apakah skena seperti ini memang identik dengan dunia seks? Ataukah penulisnya, Chang Kang-Myoung, hanya ingin memasukkan detil-detil adegan perlendiran yang tidak berkaitan dengan pokok permasalahan agar tulisannya terdengar dewasa, maskulin, dan gagah? Atau barangkali ingin mengekspos betapa misoginisnya pria-pria Korea Selatan kepada dunia?

Kira-kira yang mana nih?

Secara umum, “Pasukan Buzzer” adalah suatu cerita yang digerakkan oleh plot. Bukan tokoh-tokohnya. Penokohan tiap karakter yang muncul terasa hanya sebatas pemukaan. Pembaca tidak belajar banyak tentang sosok Sam-goong, Chatatkat, dan 01810, selain bahwa ketiganya terbilang cukup kikuk di kehidupan nyata dan mudah terbuai perhatian perempuan. Pembaca yang lebih peduli pada keutuhan karakter dibandingkan kompleksitas plot (seperti saya, misalnya) bisa jadi akan merasa kecewa.

Sebagai kompensasi tipisnya karakterisasi tokoh, “Pasukan Buzzer” penuh sesak dengan referensi kasus-kasus, gosip, dan isu sosial di Korea Selatan. Mulai dari rapper hingga pemilihan presiden. Chang Kang-Myoung benar-benar tidak menahan diri dalam mengerahkan berbagai pengetahuan dan referensi yang dia peroleh selama berkarir sebelas tahun sebagai reporter. Jujur, ada beberapa momen di mana saya merasa semua informasi yang dilemparkan ini bikin jengah. Begah. Eneg. Seakan-akan saya sedang duduk bersama seorang laki-laki yang sibuk berceloteh seorang diri, menjabarkan betapa luas wawasannya tanpa sedikit pun berhenti untuk memperhatikan apakah lawan bicaranya menunjukkan minat pada apa yang dia bicarakan. Tidak mengambil jeda untuk peduli apakah lawan bicaranya punya opini untuk disampaikan. Asumsi awal saya yang menduga novel ini menganggap serius dirinya sendiri sepertinya tidak bisa dibilang meleset.

Meski begitu, “Pasukan Buzzer” bukan novel yang buruk. Saya tidak bisa berbahasa Korea, sehingga tidak mungkin memberikan penilaian terhadap cara penuturan kisah ini dalam bahasa aslinya, tetapi terjemahan bahasa Indonesia dari tangan Iingliana terasa mulus dan mengalir. Enak banget. Catatan kaki yang nongol di sana-sini, menjelaskan berbagai referensi kasus maupun istilah-istilah khas budaya Korea Selatan juga sangat membantu pemahaman pembaca. Andaikata skor novel “Pasukan Buzzer” ini 8 dari 10, 5 poin akan saya dedikasikan untuk Iingliana selaku pengalih bahasa. 

Engkaulah juaranya.
Sudah sana ambil sepedanya, Kak. Ambil sepabrik-pabriknya.

Salah satu contoh catatan kaki. Menolong sekali yang gini-gini, tuh.

“Pasukan Buzzer” juga sedikit-banyak memantik renungan. Internet adalah ruang bebas. Terlalu bebas, malah. Di Internet, siapa pun bisa menjadi siapa pun. Membuat akun palsu. Mereka-reka identitas baru. Mengaku-ngaku. Apa yang kita baca, dengar, dan temukan di internet belum tentu sepenuhnya fakta. Opini bisa digiring. Imej bisa dibangun. Apa yang benar dan apa yang dipercaya khalayak umum bisa jadi adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Informasi palsu sekalipun, jika disebarkan oleh cukup banyak orang, akan diinterpretasikan sebagai kebenaran. Sebagai #SaksiPasukanBuzzer, barangkali keraguan adalah sahabat baik yang akan dapat menyelamatkan kita di internet. Sebab seperti halnya Chatatkat yang sanggup menulis artikel “Perjalanan Kami sebagai Suami-Istri Menjelajahi Amerika Utara dengan Mobil” dilengkapi lima ratus lembar foto padahal nyatanya sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di Amerika Serikat, bisa jadi ulasan ini juga ditulis oleh orang yang sebenarnya sama sekali tidak membaca novel “Pasukan Buzzer”.

Jadi, sekarang apa yang mau dipercaya?

____________________________________

"Pasukan Buzzer" - Chang Kang Myoung «««

288 halaman, Gramedia Pustaka Utama (2021)
Diterjemahkan dari 댓글부대 (Daetgeulbudae) ke bahasa Indonesia oleh Iingliana
Editor: Juliana Tan & Raya Fitrah

z. d. imama


*PS: Ulasan ini ditulis untuk berpartisipasi dalam kompetisi Tantangan Membaca #SaksiPasukanBuzzer dari @fiksigpu. 
**PPS: Ulasan ini berhasil menjadi pemenang dalam kompetisi Tantangan Membaca #SaksiPasukanBuzzer dari @fiksigpu.

Tuesday 12 October 2021

Maybe it was me, but maybe it was also you.

Tuesday, October 12, 2021 1

Saya tidak akan berpura-pura. Terkadang saya cukup menikmati menjadi pengamat hubungan orang-orang, baik yang saya kenal langsung maupun cuma pernah lihat sepintas dua pintas sebagai sesama netizen. Memperhatikan bagaimana mereka melontarkan pujian setinggi langit kepada seseorang seolah-olah sosok itu tak bercela ketika sedang mabuk kepayang, lalu secara konstan dan berkala melemparkan makian, cercaan, atau mengungkit hal-hal buruk dan menimpakan segala kesalahan kepada orang yang sama ketika masa-masa indah sudah berakhir. Begitu terus. Berulang. Rinse and repeat. Saya paham bahwa ada yang namanya coping mechanism, tapi ya memang hakikatnya manusia sering terlalu gengsi untuk introspeksi dan menghadapi apakah memang kita juga punya andil dalam kesalahan. Ada perasaan "Mana mungkin gue yang salah!" yang berteriak lantang, keras kepala, apalagi kalau selama hubungan itu kita merasa sudah cukup banyak melakukan 'pengorbanan'.

Tiba-tiba saya jadi teringat kisah romansa gagal milik saya sendiri.

Cerita ini sudah lama. Sekian BC yang lalu, alias Before Covid. Saya tidak pernah menceritakan, apalagi menuliskan, hal ini di mana pun, karena mungkin saya belum tahu bagaimana cara mengartikulasikan emosi saat itu dengan benar. Dengan baik. Dengan tepat. Atau mungkin justru karena pada saat itu mengingat-ingat adalah hal yang masih menyakitkan.

Sekitar beberapa bulan setelah putus dari seseorang yang saya pacari semasa kuliah, saya iseng-iseng membuka akun media sosialnya. Bukan karena ingin menyiksa diri sendiri. Nggak. Saya sudah kenyang menangis selama mungkin hampir sebulan. Ketika itu motivasi saya murni karena ingin tahu kabar terakhirnya. Saya rasa dia akan baik-baik saja; tapi saya tetap penasaran. Apakah pindah kantor dan dapat pekerjaan baru? Apakah habis piknik dan jalan-jalan dengan keluarganya? 

Bahwa kepo itu ialah hak segala bangsa.

Saya mengetikkan username-nya di kolom Search.

Klik.

Halaman profil terbuka. Saya scroll sedikit. Sumpah, bener-bener cuma sedikiiiiiiiittttttt... dan saya langsung tiba di postingan yang mengisyaratkan kalau dia sudah punya pasangan baru. Tapi bukan itu yang bikin jantung saya berhenti. Serius. Saya tidak mempermasalahkan dia mau ganti pasangan secepat kilat atau justru bertahun-tahun selibat. Pandangan saya tertumbuk pada satu kalimat yang dia tulis yang terus terang membuat saya seperti ditombak. Dada saya ampek luar biasa. Saya kurang ingat bagaimana kata-kata persisnya; mungkin karena kejadiannya sudah cukup lama atau barangkali alam bawah sadar saya tidak berkeinginan mengingat-ingat secara detil. The gist of it was:

"...Akhirnya aku bertemu orang yang benar-benar menyayangiku."


That's it.

And I saw everything within the next second, flashes of flashbacks, in all red. Bright, blinding, burning red
. And it hurt. Holy shit it hurt. I was angry and sad and betrayed and in disbelief and so many emotions rose up at the exact same time like a bubbling sugar mixture: hot and scalding and ready to burst. Membaca kalimat itu berkali-kali lipat lebih menyakitkan ketimbang hari di mana saya menyadari bahwa hubungan kami berdua tidak mungkin dilanjutkan. Hari di mana saya memilih berjalan sendiri daripada kehilangan diri sendiri. Because, newsflash, baby, my feelings were real

Everything was real to me.


There were days when I really, really, really, liked him. There was one time when my world felt so much fun because we were together. I truly, genuinely, cared. I laid all my cards on the table since Day One and he said yes.  I let him know what kind of person I am, told my story, and he accepted. Until he doesn't. Until he said that he had a particular, ideal version of a partner in his mind and I must fit into the mold. A mold that isn't me at all. But every single thing that happened during that time was real to me. "Orang yang benar-benar menyayangi", katanya. Dear Lord how I hate that. Jadi perasaan saya waktu itu dianggap apa? Harus melakukan apa agar apa yang saya rasakan divalidasi dan tidak dilepeh seperti buah mentah yang jatuh prematur dari pohonnya?

Mungkin saya memang tidak pandai mengekspresikan apa yang dirasakan. Mungkin saya tidak melakukan apa yang 'semestinya' dilakukan orang-orang pada umumnya ketika berhadapan dengan orang yang saya sukai. Bahkan saya sayangi. Mungkin saya kikuk. Mungkin saya, karena tidak tahu apa yang sebaiknya dikatakan, memilih untuk tidak bicara apa-apa ketika seharusnya saya mengatakan sesuatu. Mungkin saya, karena tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan, memilih untuk tidak melakukan apa-apa ketika seharusnya saya mengambil sebuah tindakan. So maybe I was at fault. Maybe I contributed something for the relationship to end. Tapi apa itu semua membuat perasaan saya jadi layak untuk dimentahkan? I don't think so. Because I felt it all. Maybe my feelings were not enough for him, but it was true and genuine all the same.

It was real. To me.

And if someone else says it wasn't, perhaps it's their problem.
Not mine. No more.

z. d. imama

Sunday 5 September 2021

I love reading, but... what if I can't even finish one book in a month?

Sunday, September 05, 2021 2

 


Bukan hal berlebihan jika saya bilang, buku adalah teman pertama saya. Dibesarkan di keluarga dengan kedua orang tua yang sama-sama bekerja (karena kalau nggak kerja perekonomian rumah tangga nggak jalan, baby) dan tidak selalu punya kemewahan dibantu asisten rumah tangga, saya sering menghabiskan waktu sendirian. Bahkan sejak balita. Ibu mencari akal bagaimana caranya supaya saya bisa tenang beraktivitas sendirian. Akhirnya yang tebersit di benak Ibu adalah: anak ini kalau bisa baca, mungkin dia bisa ngubek-ubek tumpukan majalah bekas yang dibeli di tukang loak tanpa rewel selama ditinggal beraktivitas. Alhasil, saya sudah lancar membaca bahkan sebelum masuk Taman Kanak-Kanak. Thank god waktu itu kami belum punya televisi dan smartphone baru sebatas imajinasi halu di suatu episode Doraemon. Sebab barangkali ceritanya akan lain lagi. 

Semakin dewasa, saya mulai berkenalan dengan banyak kegiatan. Bahkan hal-hal yang saya baca pun jadi beraneka ragam. Komik, novel, fanfiction, artikel di internet, utas pembongkaran aib orang di media sosial (dari yang EYD-nya rapi dan ceritanya terstruktur sampai yang bikin pusing karena penulisnya kayak nggak pernah belajar fungsi tanda baca), dan entah apa lagi. Kegemaran saya bertambah. Kita semua tahu ada peribahasa yang berbunyi "Besar pasak daripada tiang". Nah, barangkali rangkuman terbaik untuk permasalahan yang saya alami adalah "Banyak hobi daripada waktu luang".

Saya menikmati proses membaca. Itu satu hal yang saya bisa akui dari lubuk hati terdalam. Rasanya seperti diajak main dan berjalan-jalan dengan seorang teman lama, mengarungi berbagai cerita berbeda-beda. Kadang kisahnya jelek dan bikin marah. Kadang bagus banget sampai saya rela tidak tidur. Tapi perasaan dan pengalaman serupa juga saya temukan ketika melakukan hobi yang datang belakangan. Misalnya menonton berbagai judul dorama maupun film-film Jepang. Atau anime. Atau film maupun serial televisi Amerika dan Eropa. Atau nonton konser maupun variety show yang memunculkan idola-idola kesayangan saya.

Dulu, menyelesaikan satu novel—anggaplah rata-rata tebalnya 300-400 halaman—adalah perkara sepele. Sepulang sekolah, saya cukup ganti baju dan duduk leyeh-leyeh di lantai kamar di samping jendela dan membalik halaman demi halaman buku yang saya pinjam dari perpustakaan sekolah. Agak sorean dikit nonton serial kartun yang tayang di televisi lokal. Habis mandi baca lagi. Kadang-kadang selepas bikin PR saya masih bisa meneruskan satu-dua bab. Buku perpustakaan bisa saya kembalikan dalam satu atau dua hari. 

Sekarang?

Tiap ada buku yang berhasil saya tamatkan dalam tiga hari rasanya udah ingin sujud syukur. Masa kejayaan progres membaca ini sudah pergi entah ke mana.


Perjalanan menyelesaikan suatu buku yang jadi berkali-kali lipat lebih lama ini tak ayal membuat saya mempertanyakan: apakah saya masih berhak mengklaim diri sebagai seseorang yang gemar membaca? Do I have the rights to self-proclaim as a Reader? 

Barangkali (barangkali, ya) suasana hati saya sedikit-banyak mirip mereka yang ditodong dan dicurigai oleh pasangannya—minimal orang-orang yang sedang dekat—tentang kenapa tidak pernah mengunggah foto berdua ke akun media sosialnya. Atau lebih tepatnya, mereka yang diragukan perasaannya karena tidak cukup banyak menghabiskan waktu bersama pihak-pihak yang disukai. "Kamu tuh bener-bener sayang aku nggak, sih? Apa kamu jangan-jangan malu kalau ketahuan lagi sama aku? Kamu nggak inget ya kalau aku udah ada di sini sejak dulu? Bahkan sebelum kamu kenal internet dan bisa baca atau nonton berbagai hiburan lain itu?? Aku nggak cukup penting buat kamu, makanya kamu jarang mempedulikan aku??? JAWAB!!!"

Repot, kan.

Intensitas membaca yang mbuh banget ini sedikit banyak juga menghalangi saya untuk bergabung buddy reading dengan orang lain. I don't even know if I can finish it on time, or even at all. Katakanlah saya menemukan waktu untuk membaca secara rutin setiap harinya, yaitu sembari ngeden di atas kloset (yang dengan bangganya saya sebut kegiatan ini BASARA—baca sambil berak). Saya masih perlu mengambil keputusan: bacaan mana yang akan saya lanjutkan di waktu yang terbatas itu. Apakah mau menambah satu bab di novel thriller yang sejak tiga minggu lalu nggak kelar-kelar dibaca? Ataukah memilih menikmati bab terbaru shounen manga yang baru dirilis kemarin? Mungkin sebaiknya saya baca artikel viral terkait pengalaman wartawan iseng-iseng jadi kurir marketplace yang sudah berhari-hari mangkrak di tab Bookmark? Atau justru mencoba bab perdana dari webtoon yang direkomendasikan hampir seluruh orang yang saya kenal?

Decision, decision...

Terus terang, ketika sesama pembaca buku memaparkan pencapaian mereka, misalnya "Aku baca 25 buku dalam sebulan, ini dia judul-judulnya!" saat itulah benak saya kembali mempertanyakan apakah diri ini masih layak menyatakan klaim sebagai orang yang suka baca. Muncul keraguan dan kecurigaan yang menyeruak. "Tuh lihat, orang lain yang ngaku suka baca tuh bisa melakukan sejauh itu, kok. Kamu apa kabar?" Jangan-jangan saya ini impostor? "What if I am nothing more than a poser?" Terlebih ketika mendengar cerita bahwa seseorang yang saya kenal sedang mengalami reading slump dan hanya sanggup membaca buku sejumlah jari sebelah tangan. Hati kecil saya berbisik, "Kamu pas reading slump bisa nggak menyentuh apa pun sama sekali dalam sebulan, lho. Apa nggak malu?"

While I know this thought is not the healtiest, if at all, it's just inevitable. Bukan berarti saya melarang-larang atau tidak suka melihat orang lain menceritakan keberhasilan perjalanan membaca mereka. My feelings are my own business. Me ending up questioning myself is not anyone's fault. Really

But then again, does my love for reading still count and matter when I cannot even finish one book? What kind of reader does that make me?


Saya sampai detik ini masih berusaha mencari jawabannya.

z. d. imama

Sunday 25 July 2021

(Maybe) I don't want kids and people are mad about it.

Sunday, July 25, 2021 1


Mau mulai dari mana, ya. Bingung juga. Beberapa hari terakhir ini feed media sosial saya (Twitter) ramai membicarakan tentang keputusan orang-orang untuk tidak memiliki anak, yang istilah populernya adalah "Child-free". Jujur, saya tidak terlalu menyukai terminologi ini. Frase "Voluntary childlessness" yang ada di Wikipedia justru lebih cocok bagi saya sendiri. Tapi itu perkara lain. Saya nggak mau membahas semantik. Berhubung "childfree" lebih populer, selanjutnya saya akan pakai istilah itu di sini meskipun nggak demen-demen banget.

Semalam saya secara tidak sengaja menemukan postingan di internet yang mengkritisi penyebarluasan pemahaman konsep childfree sebagai 'masalah'. Perspektif ini bikin dahi saya berkerut. Apalagi, yang menuliskan seorang laki-laki, yang jelas tidak mengalami kehamilan, melahirkan, menyusui, dan secara umum tuntutan sosial terhadap keterlibatan dia di masa tumbuh-kembang anak tidak seintens perempuan. Bagaimana postingan tersebut mencampuradukkan komentar klasis ala-ala netizen abai seperti "Kalau miskin jangan punya anak dulu" dan secara tidak langsung mengasumsikan childfree sebagai sesuatu yang antagonistik juga tidak menolong. 

Terlepas dari alasan-alasan pribadi yang membuat seseorang tidak berkenan memiliki anak, pada hakikatnya childfree merupakan kesadaran bahwa berketurunan adalah pilihan. Bahwa untuk tidak memiliki anak, terlebih lagi anak biologis, merupakah sebuah opsi yang solid di kehidupan. It's not a crime when you choose not to have kids. Not to give birth. It's not a shame. It's just another choice in this life of yours. Intinya kan di situ.


Kenapa kesadaran bahwa "berketurunan atau tidak merupakan hal yang bisa dipilih" menjadi penting untuk diinformasikan kepada yang lain? Meme di atas, meskipun niatnya pasti cuma buat lelucon, justru merangkum salah satu perkara terbesar terkait masalah keturunan ini: tekanan sosial. Manusia, khususnya perempuan, sudah terlalu lama dinilai dan distigmatisasi berdasarkan kondisi serta kemampuan reproduksinya. Apakah dia perawan atau tidak. Bisa punya anak atau tidak. Sudah dewasa tapi belum menikah, ditakut-takuti nanti tidak bisa punya anak. Bahwa tidak ada yang mau menerima sebagai pasangan. Jangan mau dengan perempuan yang lebih dewasa, dia sudah tua dan organ reproduksinya tidak seaktif sebelumnya. Kemandulan adalah aib. Tidak berketurunan diberikan berbagai label tak mengenakkan, mulai dari egois hingga menyalahi kodrat. Tidak perlu bersikap munafik atau menampik dengan mengatakan "Nggak ada yang maksa untuk punya anak" atau "Komentar kayak gitu sih kamu karang-karang sendiri". We knew. We've heard of them. The pressure is real. And when people cave in to these pressure, there are real life consequences. Abandoned children. Unhappy family. Build-up hatred. Losing self-worth. Masih banyak lagi kondisi-kondisi fatal yang tidak bisa saya jabarkan satu per satu di blog yang isinya cuma buat curhat dan nyerocos tentang kultur pop ini.


Pandangan bahwa sebuah keluarga tidak sempurna dan tidak lengkap tanpa anak juga bukan sesuatu yang saya setujui. Maybe we all need to learn to feel 'enough'. Sama halnya dengan keluarga yang hidup bahagia tanpa ayah atau tanpa ibu, saya percaya bahwa pasangan suami-istri yang tidak memiliki anak juga tetap harus diakui bersama sebagai satu keluarga yang solid. Saya sendiri hingga detik ini tidak berencana berketurunan (ini saatnya kalian mengejek saya, "Yaelah nikah aja belum tentu bisa atau enggak, udah mikirin perkara anak!"). This planet is dying, disease-ridden, and the adults are awful and I just don't want to deliver another soul to this terrible, horrible world. My eggs are going straight to the menstrual pads and cups for the time being. Take this whatever way you want, oh dear strangers on the Internet realm.

Salah satu hal yang paling sering diributkan adalah tuduhan bahwasanya childfree menganggap anak-anak sebagai beban. Menurut saya sih ini agak kocak, karena secara umum memang anak-anak dikategorikan 'tanggungan orang dewasa'. Memang perlu ada kompromi. Memang perlu ada pengorbanan di level tertentu ketika seseorang merawat dan mengasuh anak-anak—terlebih yang usianya masih sangat belia. Some people might not want that because they have other things to prioritize. Some just doesn't feel having the capacity to do so. It's fine. Lagipula, apakah bukan kita yang kerap mengucapkan, "Wah lu enak ya masih bisa jalan-jalan, gue mah ada anak sekarang"? Apakah bukan kita yang kerap bersikap kurang menyenangkan, mendesak orang dengan menggunakan anak-anak sebagai buffer? Memotong antrean dengan kalimat "Saya diduluin dong, ini mau nganter anak ke sekolah"? Haven't we for years been using kids as our excuse? Why you mad now, Bro?

Pada akhirnya peran utama konsep childfree yakni memberikan dukungan kepada mereka yang megap-megap di bawah tekanan, serta mereka yang tidak menghendaki keturunan—apa pun pertimbangan pribadinya. You don't have to. There is no need to be ashamed. It does not lessen our value as a person. It's not a 'wrong' thing to do. It's a valid life choice. Sama halnya dengan seseorang bisa mengonsumsi minuman beralkohol karena punya organ pencernaan tapi memilih untuk tidak mabuk, sah-sah saja bagi seseorang apabila ingin tidak menggunakan organ reproduksinya untuk berketurunan. Jika ada yang merasa terganggu dengan diakuinya pilihan childfree ini dan tidak suka terhadap semakin banyaknya orang yang menyadari bahwa keputusan ada di tangan mereka, then I don't know, dude, maybe you're a chunk of the problem iceberg?

Dah gitu doang.
Saya mau balik ngewibu lagi.

z. d. imama