Saturday, 27 October 2018

How to Ask Someone Out... Especially When That Someone is The One Writing This Post.


Setelah sembelit tulisan di bulan September―dan selama berbulan-bulan sebelumnya cuma mampu bikin tiga postingan meskipun nggak bejuntrung, nggak penting, dan tidak dipedulikan juga, tampaknya sejak memasuki Oktober, isi kepala saya jauh lebih penuh dari biasanya. Atau saya lagi kebanyakan waktu luang aja. But that aside, a couple of days ago I received an interesting comment from Nanoki here, asking me on how to get closer and build a friendship with a person who's―suspected―rather selective in interacting with new people. Lah. Mendadak muncul pertanyaan kelas Nobel. Lumayan heran sih. Motivasi dan pertimbangan apa yang bikin saya, sesosok manusia krisis pergaulan ini, dianggap layak dimintai pendapat tentang tips berteman dengan orang lain? 

Komentar tersebut memang sudah saya respon di halaman yang bersangkutan, namun kok ya berhari-hari kemudian rupanya masih kepikiran. Barangkali karena saya sendiri penasaran. Gimana ya orang-orang di luar sana bisa punya teman main, ada yang diajak begini-begitu ke mana-mana, owning each other as BFFs, sementara saya bahkan nggak ngisi emergency contact di formulir kantor karena nggak tahu kira-kira in the event of emergency di perantauan, siapakah yang sebaiknya dihubungi terkait saya. Pertanyaan tersebut bikin saya mikir. Mengingat-ingat. Kondisi-kondisi macam apa yang bikin saya berangkat ke suatu tempat bersama orang lain, baik itu teman lama ataupun orang yang masih nggak kenal-kenal amat?

Maka saya putuskan bikin tulisan:

How to ask someone out (but it's actually just me).


Inti dari semua celotehan ini hanyalah bagaimana saya mengajak orang lain pergi bareng, serta ajakan-ajakan seperti apa yang lebih punya peluang untuk saya iyakan (dan bukan sekadar dibiarkan lewat). Narsis abis. Bodo amat lah. Wong tolok ukur yang dimiliki ya cuma diri sendiri. Sebenarnya pattern saya dalam mengajak (atau diajak) orang untuk menghabiskan waktu bersama-sama nggak berbeda jauh, tapi yang lebih jadi alasan penentu adalah: apakah sebelumnya saya sudah cukup mengenal orang tersebut?

  • Clear plan.

Ultimately, hal ini berlaku jika saya hendak berjumpa orang-orang yang sebelumnya tidak pernah, atau sangat jarang saya jumpai. Ajakan yang lebih terencana seperti nonton film Q, jalan-jalan mengunjungi pameran XYZ, datang ke convention ABC, punya kecenderungan untuk saya iyakan dibanding sebatas, "Ketemuan yuk, ngopi-ngopi di mana gitu". Kenapa? Clearer destination and purposes help me understand whether there is a shared interest or not, and how many hours will be spent together. Apakah bakal bareng seharian? Atau cukup beberapa jam? Nyari topik pembicaraan juga lebih gampang. Lebih terarah. Jika ternyata setelah dicoba ngobrol ketahuan kalau kurang nyambung, ada hal lain yang bisa dijadikan pusat perhatian. Minimal ketika nonton film, ada 90-120 menit di mana saya dan orang tersebut tidak perlu intens berbincang (sekaligus jadi sarana judging manner di dalam studio bioskop). Gitu.

  • Number of participants.

Penting nih. Ada berapa manusia yang nantinya saya temui? Bakalan berdua? Bertiga? Sejumlah anggota Super Junior circa 2009? Atau seluruh alumni Universitas Monas berangkat semua? Hm. Saya sih nggak benci berada di tengah kerumunan orang asing, toh hepi-hepi dan hore-hore aja berbaur di pasar malam, konser, atau area festival Asian Games 2018 maupun Asian Para Games 2018 tempo hari. Kenalan dengan sejumlah orang baru di suatu acara pun nggak masalah. Namun beda cerita kalau ditempatkan dalam situasi di mana saya dianggap sudah mengenal seabrek-abrek orang yang hadir (padahal nyatanya tidak), i.e. reunian sekolah. God please not that shit. Syukurlah jika bisa termasuk orang-orang yang menikmati kumpul-kumpul satu angkatan (bahkan lintas angkatan). Because I do not.

  • Expenses.

Ini lebih krusial lagi. Sebagai perempuan mandiri yang bekerja tapi penghasilan ceremende, bagaimana duit akan dikeluarkan saat berkegiatan bareng berperan penting. Keluar seratus ribu sekali jalan aja sudah sering bikin pening, apalagi kalau ngumpul dengan sejumlah orang di tempat yang minumannya segelas Rp40,000. Nggak pesen kok ya haus dan seret (lantaran banyak ngobrol), tapi kalau pesen sama aja bunuh diri. Memang rupanya alesan utama saya nggak punya teman dan fakir pergaulan itu kemiskinan finansial. Sehingga bisa dengan mudah ditebak, saya nyaris tidak pernah menolak ajakan main gratis atau makan gratis. Try to drop me an invitation to someplace with, "Nanti gue yang bayar" or "Acaranya gratis kok elo tinggal dateng aja" and I'll rush there riding a Pegasus.  Kecuali pas lagi sakit. Gini-gini saya masih punya kesadaran diri untuk berusaha tidak menulari orang lain lho.

  • Cats.

Saya perlahan menyadari bahwa kecepatan saya mengiyakan undangan seseorang untuk datang ke tempat tinggalnya agar bisa main-main dengan kucing-kucing yang mereka pelihara, mulai membahayakan keselamatan diri sendiri. And I guess... this explains itself. I don't need to elaborate further, right?


They will be the cause of my destruction.

Preferensi pribadi dalam menerima ajakan dari orang lain membuat prinsip yang sama  cenderung saya terapkan ketika hendak nyolek-nyolek orang agar bersedia main bareng. Tujuannya jelas, peserta terbatas―seringnya hanya berdua dengan saya, dan nggak pernah kemahalan. Barulah kalau sudah berteman dan akrab (yang hingga kini jumlahnya cuma segelintir), saya bisa random ngajak ngopi, lompat dari satu toko ke toko lain berburu buku, atau jalan-jalan keliling kota seharian tanpa juntrungan. Kan udah ngerti satu sama lain maunya apa. Bahkan ada tipe teman yang cukup saya kirimi pesan LINE, "Lho aku punya kok anime Captain Tsubasa tahun 1983 lengkap," untuk membuatnya datang ke kos dan binge-watching berdua sepanjang akhir pekan sambil ngata-ngatain kekonyolan adegan. Dasar wibu.

Bagaimana dengan kalian?

z. d. imama

4 comments:

  1. Eh kalo aku, bukan selektif, tapi ngrasa nggak nyaman. Sma nggak si itu?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Di mata orang lain sih mungkin nggak akan kelihatan beda, mbak :")))

      Delete
  2. Aku lagi di masa belum menemukan temen ngegig yang 'pas'.

    Udah 3 minggu ini dari 20 Okt sampe 4 Nov pergi ngedate dengan 3 cewek berbeda, seru tapi kayak yang belum sempurna aja gitu.

    Masih ingin cari yang lain. hahaaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lah di dunia nan fana ini tiada yang sempurna mz

      Delete