Thursday, 27 December 2018

Birthday (and year-end) giveaway! Weebs special

Thursday, December 27, 2018 23

Sebelumnya, saya cuma pernah satu kali bikin giveaway. Itu pun tahun 2017. Nah, berhubung pertengahan bulan Desember saya ulang tahun (it's the fifteenth, if you're asking the date), proyek akbar fangirling Chasing MWAM berjalan lancar, kita semua makin dekat dengan pergantian tahun, dan beberapa hari lalu Yesus juga berulang tahun walau konon salah tanggal, maka saya berniat mengadakan giveaway kedua seumur-umur ngeblog. Berbeda dengan yang lalu, yang sarat nuansa riajuu karena bagi-bagi buku, kali ini edisinya 100% Wibu. Barang-barang dengan fungsi yang cukup dapat dipertanyakan―"Nggak pakai juga nggak masalah kan? Nggak punya juga nggak mengganggu kehidupan kan?"―namun tentu saja mampu memberikan kegembiraan sekaligus kepuasan tersendiri apabila berhasil dimiliki. Apalagi kalau barangnya asli dan dapetnya gratis. Enak kan? Enak dong.

Barang-barang apa saja yang hendak saya lepaskan?
Nyooooooh.


Waduh fotonya kurang jelas, Neng. Tenanglah semuanya. Ini cuma gara-gara kamera yang kualitasnya memang tidak mumpuni. Nanti bakal saya unggah foto-foto jarak lebih dekat supaya nggak burem-burem amat lah. Total ada 4 jenis hadiah untuk 6 orang. Bingung? Sini, sini, saya jelaskan satu per satu barang dan pembagiannya.

Boku no Hero Academia Clear File Folder: Yellow


Jika kalian mengikuti akun Twitter saya, atau memang kenal secara pribadi, pasti sudah tahu bahwa saya tuh bucin banget nggak ada obat sama Midoriya Izuku, sosok protagonis dalam serial Naruto-but-elevated berjudul Boku no Hero Academia (My Hero Academia) karangan Horikoshi Kouhei yang saat ini memang superpopuler. Bisa nangis-nangis beler dan baper lah saya tiap baca rilisan bab baru. Malah pernah sampai bikin tulisan rekomendasi di postingan sebelah sini. Begitu lihat pernak-pernik yang berkaitan pun rasanya langsung kepengin punya aja. Sungguh berbahaya dan gelap mata.

Clear file folder, sebagaimana yang kita tahu, yaa fungsinya untuk menyimpan dokumen dan kertas-kertas yang cenderung tersebar semrawut di mana-mana. Misalkan ogah dipergunakan, niat mau sekadar dipajang doang di kamar ya monggo. Ilustrasinya menggambarkan Midoriya Izuku dan sebelas teman-teman sekelasnya di SMA Yuuei kelas 1-A, Departemen Superhero, lagi pakai 'kostum dinas' masing-masing. 

Boku no Hero Academia Clear File Folder: Red


Ukurannya sama persis dengan versi kuning di atas, namun clear file folder ini beda desain gambar dan warna dasar saja. Alih-alih tampil dalam kostum superhero mereka, Midoriya Izuku dan kawan-kawannya cukup nongol dengan seragam SMA Yuuei. Gemes banget kaaaaaaaan. Duh Gusti nu Agung, saya sayang banget dedek-dedek ini... Midoriya kapankah kamu nambah tinggi???

Ngomong-ngomong, clear file folder di atas merupakan original merchandise Boku no Hero Academia yang bekerja sama dengan Tower Records. Jadi nggak akan ditemukan di JUMP Shop. Hehe.

Gundam Coasters



Bagi yang belum tahu coasters tuh benda macem apa: alas gelas (botol juga boleh). Biar nggak gampang kepleset di meja atau permukaan apa pun tempat kita meletakkan gelas dan botol tersebut. Coaster akan dihadiahkan kepada 2 orang. Masing-masing dapat 3 buah coaster yang dipilihkan acak. Biar makin berasa untung-untungannya gitu. Lucu-lucu kaaan? Lumayan banget menghiasi meja kerja. Yah meski bakal ditindes botol Tupperware atau gelas pribadi sih. Sekali lagi, umpama hanya akan disimpen karena sayang makainya juga oke kok..

Asian Kung-fu Generation - Rewrite (Single)


Kaver depan (foto atas) dan belakang (foto bawah)

Single ini berisi dua track, yakni Rewrite dan Yuugure no Aka. Memang bukan rilisan terbaru dari Ajikan―nickname untuk Asian Kung-fu Generation dari masyarakat Jepang yang enggan nyebut nama kepanjangan dan susah ngomong Inggris―bahkan umurnya sudah sepuluh tahun lebih, namun single Rewrite yang dirilis perdana pada Agustus 2004 masih punya kesan kuat bagi saya. Lagu tersebut pernah didapuk sebagai soundtrack anime Fullmetal Alchemist (serial perdana tahun 2003; yang BUKAN Brotherhood), dan selaku manusia yang ngaku-ngaku pemuja Fullmetal Alchemist tentu saja saya hobi dengerin lagu-lagu soundtrack-nya. Dari celotehan sejak awal seharusnya sudah jelas kan ya.. saya nggak akan giveaway sesuatu yang sendirinya nggak demen. I'm not throwing things out. I'm giving them as gifts.

Man with a Mission - distance (Single)


Sebagai perwujudan rasa syukur karena proyek #SowanSerigala alias Chasing MWAM tidak mengalami hambatan berarti (selain kepanikan ekstrem sebelum berangkat), saya putuskan memasukkan salah satu rilisan para serigala itu pada kesempatan giveaway. Baguslah jika bisa berpindah tangan ke sesama penggemar Man with a Mission yang belum pernah punya karya fisiknya, apalagi datang ke konser mereka. Lebih kece lagi apabila ada orang yang tadinya nggak kenal bisa jadi penggemar baru Man with a Mission karena kepo setelah baca-baca giveaway ini! Hahaha. Boleh dong, ngarep dikit.

Dibandingkan CD single Rewrite Ajikan, konten CD single distance lebih banyak. Total ada empat track: distance, Focus Light, Wabi-Sabi-Wasabi, dan Fly Again (remix). Walau gambarnya burem parah sehingga huruf-huruf tulisannya rada susah dibaca, begini tampak belakang CD yang menyertakan informasi tracklist:



Sekarang, mari bahas bagian terpenting.

Cara ikut giveaway-nya bagaimana?


Gampang, kok. Cukup tinggalkan komentar di bawah, yang menyertakan hal-hal berikut:

  • Barang yang diinginkan. Contoh: "Aku mau Gundam coaster!!"
  • Tulisan favorit dari segala postingan carut-marut yang ada di blog ini beserta alasannya. Nih, misalnya: "Aku paling suka baca review Resident Evil: The Final Chapter karena kerasa banget emosi ngamuk-ngamuknya dan spoiler semua jadi nggak usah nonton di bioskop. Ngirit deh."
  • Sertakan akun Twitter (plis jangan Instagram, saya nggak punya) yang aktif, atau email. Agar saya bisa menghubungi kalian kalau-kalau menang.
Giveaway akan berlangsung sampai pertengahan Januari. Tanggalnya belum ditentukan sih. Namun kemungkinan pekan terakhir Januari hadiahnya akan dikirimkan. Maklum, nunggu gajian dulu. Jadi masih ada cukup kesempatan untuk iseng-iseng ngulik isi blog pribadi tidak bejuntrung ini dan memutuskan tulisan mana yang paling digemari, atau paling tidak yaaa... meninggalkan kesan tertentu, lah. Sekadar saran: berhubung blog saya sempat mati suri, akan lebih bijaksana jika yang dibaca-baca mulai tahun 2015 saja.

Saya tunggu partisipasinya yah.
Salam wibu!

z. d. imama

Monday, 17 December 2018

Japan Cinema Week 2018: Movie Recap Part #2

Monday, December 17, 2018 4

Baru kali ini ada dua tulisan beruntun dengan opening image yang sama persis. Mohon maaf, saya cuma malas bikin dokumentasi sendiri, dikombo dengan rasa tidak percaya diri untuk foto-foto di lokasi. Barangkali terdengar agak kontradiktif mengingat saat Asian Games 2018 dan Asian Para Games 2018 lalu saya cukup banyak mengunggah foto pribadi, tapi ya emang gini orangnya. Musiman. Sakdhet-saknyet, kalau menurut istilah bahasa Jawa. Anyway, setelah pekan lalu saya menghabiskan dua hari penuh maraton setengah lusin film di Japan Cinema Week 2018 yang diselenggarakan di CGV Grand Indonesia, 7-16 Desember 2018, di tulisan paruh akhir ini jauh lebih toned down dan selow karena saya hanya membeli tiket penayangan dua film karena kebetulan banyak kegiatan kepentok keterbatasan dana.

Yuk mari dibahas.

Yoake Tsugeru Lu no Uta

(Lu Over the Wall)


Seorang siswa SMP penyendiri, Ashimoto Kai, yang hidup di desa terpencil bernama Hinashi bersama kakek dan ayahnya, menghabiskan waktu luang sehari-hari dengan bermain musik dan mengunggah rekaman permainannya ke internet. Suatu hari, akunnya ketahuan teman satu sekolah, Yuho dan Kunio. Mereka mengajak (setengah memaksa) Kai bergabung dalam band iseng-iseng yang dinamai Seiren. Ketiganya pun mulai berlatih diam-diam di Pulau Duyung yang dihindari warga desa lainnya. Ternyata, suara permainan musik mereka menarik perhatian seorang―atau seekor?―putri duyung kecil bernama Lu. Masalah muncul ketika sosok Lu terekspos di hadapan khalayak umum, sementara sejumlah penduduk punya kepercayaan bahwa duyung hanya akan mendatangkan bahaya bagi manusia.

Disutradarai oleh Yuuasa Masaki yang cukup populer di kalangan wibu pengguna Netflix lantaran Devilman Crybaby (meski sejatinya serial anime tersebut rilis belakangan dibandingkan film ini), dan screenplay yang ditulis Yoshida Reiko, Yoake Tsugeru Lu no Uta menghadirkan konsep animasi unik yang bikin bingung memutuskan: ini tuh jadul atau modern? Klasik atau groundbreaking? Tiap desain karakternya terlihat sangat hemat tarikan garis―nggak ada tuh helai-helai rambut njlimet atau kibaran baju digambar mendetil, namun rupanya sama sekali tidak mengurangi pesona filmnya. Yoake Tsugeru Lu no Uta adalah suatu karya yang sebaiknya disaksikan dengan mengosongkan bermacam standar animasi yang pernah kita ketahui dan cukup menikmati frame demi frame yang disuguhkan di hadapan mata. It was colorful, fascinatingly teetering between weird and charming at the same time for the whole 112 minutes.

Meski Yoake Tsugeru Lu no Uta menjuarai Annecy International Animated Film Awards di Prancis tahun 2017, faktor utama yang bikin saya kepengin menyaksikan film ini justru nama penulis skenarionya. Yoshida Reiko. She was the one who wrote the screenplay of my ultimate baper-inducing Koe no Katachi back in 2016. And apparently, one important fact that I only learned a couple weeks ago thanks to Wikipedia, she was also one of the scriptwriters for 1999's Digimon Adventure TV series. I shit you not.

DIGIMON. FREAKING. ADVENTURE.

Dengan kata lain: budhe Yoshida adalah salah satu terdakwa yang telah berjasa menjerumuskan saya ke dalam palung perwibuan dan tidak bisa keluar-keluar lagi. Mana mungkin saya nggak berbakti pada beliau lewat nonton kan?


Kamera wo Tomeruna!

(One Cut of the Dead)


Yassssssss. Akhirnya bisa juga nonton film yang heboh dibahas di media sosial, khususnya Twitter. Begitu keluar dari studio teater CGV Grand Indonesia 90 menit setelah penayangan dimulai, saya bener-bener ngerti rasa frustrasi teman-teman penonton yang kebelet ngebahas film ini tapi nggak bisa lantaran nyaris mustahil membicarakannya tanpa ngasih spoiler. I feel you, guys. Kacau lah film ini. Bedebah luar biasa. Gimana ya... pengin ngakak sekaligus mengumpat di setiap adegannya. Berhubung memang sengaja tidak mencari informasi apa pun tentang Kamera wo Tomeruna, semula saya pikir film ini modelnya kayak found footage gitu lho, macem REC (yang sama-sama tentang zombie apocalypse) atau The Blair Witch Project.

Boy, I've never been more wrong.

Peringatan tunggal yang mampu saya sampaikan mengenai Kamera wo Tomeruna sama persis seperti nasihat yang pernah dikatakan sesama penonton lain: apapun yang kalian rasakan atau pikirkan sepanjang 30 menit awal, TAHAN. Jangan ke mana-mana. HOLD YOUR POSITION. Walk out adalah keputusan paling tidak bijaksana yang mampu kalian lakukan dalam karir seumur hidup sebagai pemirsa film bioskop. Kesabaran akan berbuah manis. Percaya deh. Jika nggak yakin dengan opini pribadi saya, yakinlah pada opini segenap khalayak di luar sana yang sama-sama super terhibur.

It was a fun two weeks. Japan Cinema Week 2018 menghadirkan lebih banyak film dibanding 2017 lalu, padahal slot waktu yang tersedia sama-sama dua minggu. Nggak heran kalau masing-masing kebagian jatah jam tayang dua kali doang, yekan. Meski jumlah film yang menarik dominan jauh, sayang sekali tetap ada beberapa judul yang kayaknya bisa-bisa aja tuh digantikan oleh karya lain yang lebih oke. Misalnya Perfect World (sebagaimana tulisan sebelumnya). Kan mending ditukar apa kek... Laplace no Majo, Uso wo Aisuru Onna, Hitsuji to Hagane no Mori, atau malah blockbuster 2018: Code Blue The Movie. Huft. My wishful thinking.


z. d. imama

Monday, 10 December 2018

Japan Cinema Week 2018: Movie Recap Part #1

Monday, December 10, 2018 4

Desember. Memasuki penghujung 2018, akhirnya datang juga festival penayangan film-film Jepang yang selama ini rutin digelar tahun ke tahun di CGV Grand Indonesia, bahkan sejak namanya masih Blitz Megaplex. Acara yang kali ini bertajuk Japan Cinema Week (atau nama lokalnya: Pekan Sinema Jepang) resmi dibuka hari Jumat, 7 Desember 2018 dan akan berlangsung hingga Minggu, 16 Desember 2018. Rasanya seolah-olah acara ini diadakan untuk merayakan ulang tahun saya. Dasar kegedhen rumangsa. Kepedean kronis, memang. Anyway.. ada lebih dari 30 film produksi Jepang yang diboyong ke Indonesia untuk JCW, dengan tiket dijual cukup Rp25,000 saja per lembarnya. Sebagai manusia kurang hiburan, ingin bersenang-senang, namun keterbatasan uang, tentu saja saya tidak sudi melewatkan kesempatan emas ini. Tahun lalu, saya hanya sempat menyaksikan Yu wo Wakasu Hodo no Atsui Ai dan Shinobi no Kuni. Mumpung sekarang momennya pas dengan bulan kelahiran, saya sudah membulatkan tekad untuk menghabiskan sebanyak mungkin waktu di acara ini. Self-reward for staying alive. Splash that cash, bitch.

Akhir pekan kemarin saya benar-benar seharian menghabiskan waktu di CGV Grand Indonesia. Sitting through movie to movie. Demi meramaikan acara dan kewajiban moral selaku self-proclaimed #BudakYapan, lewat postingan ini saya mau berbagi ulasan serta kesan terhadap film-film yang telah ditonton pekan lalu. Ada beberapa film yang saya rasa wajib ditonton karena berbagai alasan, dan berhubung satu judul hanya mendapat jatah dua kali pemutaran, sayang aja gitu kalau nggak termanfaatkan.

Oke. Saatnya mulai nyerocos.
GAS POL!

Mary to Majo no Hana

(Mary and the Witch's Flower)

Karya debut Studio Ponoc, sebuah studio animasi kemarin sore yang baru mulai beroperasi tahun 2015. Melihat poster, typeface judul, desain karakter, dan berbagai hal sebelum masuk ruangan teater, saya tidak bisa berhenti berpikir: "Yakin nih, yang bikin 'Studio Ponoc'? Bukan Studio Ghibli? Apa jangan-jangan Ghibli re-branding?" dan rasanya tidak aneh jika saya menduga demikian. Belakangan saya tahu bahwa Nishimura Yoshiaki, pendiri Studio Ponoc, dulunya merupakan produser film di Studio Ghibli dan pernah menangani sejumlah karya besar seperti Howl no Ugoku Shiro, Kaguyahime no Monogatari, dan Omoide no Marnie. Bahkan sutradara, animator, serta staf yang mengerjakan film ini pun kebanyakan merupakan mantan staf Studio Ghibli. That very much explains why Mary to Majo no Hana really screams "Ghibli! Ghibli! Ghibli!" all over, from its mere appearance to the storytelling style.

Film berdurasi 103 menit ini mengisahkan petualangan Mary Smith (disuarakan oleh Sugisaki Hana sang Cahaya Asia), gadis kecil yang dititipkan di rumah kerabat jauhnya Bibi Charlotte yang terletak di pedesaan. Bosan setengah mati karena tidak punya teman bermain, suatu hari Mary mengejar kucing milik keluarga tetangga bibinya, Peter, masuk ke dalam hutan. Di sanalah dia mendapati bunga ajaib berkekuatan sihir. Masalah bermunculan karena ternyata bunga tersebut diburu selama bertahun-tahun oleh para penyihir, dan Mary pun harus membereskan semua hal yang berantakan akibat konsekuensi ulahnya.

This movie is fun. Sugisaki Hana does a good voice acting job: she manages to sound really annoying when she's supposed to be. Kamiki Ryunosuke as Peter is lovely, too. And I'll say it again: everything feels and looks like Studio Ghibli 2.0, only with less intriguing scenes. Jadi bagi yang demen nonton film-film dari Studio Ghibli pasti bakal bisa menikmati Mary to Majo no Hana. Satu-satunya perbedaan yang paling terasa adalah nyaris tidak ada adegan-adegan eerily fascinating a la Ghibli di tangan Miyazaki Hayao, seperti Kaonashi ngamuk ngabisin makanan sambil bagi-bagi emas di Sen to Chihiro no Kamikakushi, atau momen di Tonari no Totoro sewaktu Totoro menguap sehingga giginya yang segede roda mobil kelihatan berjajar.

*Next viewing: December 16, 2018 (Sunday). 13:30. 
Ghibli fans, go watch it.


Hachinen-goshi no Hanayome

(The 8 Year Engagement)


Drama romansa template di mana salah satu dari pasangan tokoh utama sakit dan keduanya harus melalui masa-masa sulit. Pengin nikah pun mau tidak mau jadi tertunda delapan tahun. Bicara tema cerita sih, sudah pasaran ya. Namun ada beberapa hal yang menyelamatkan Hachinen-goshi no Hanayome, membuatnya cukup menarik untuk ditonton walau masih tetap tidak menjadikannya terlalu istimewa di antara lautan cerita serupa. Chemistry antara Tsuchiya Tao sebagai Mai dan Sato Takeru selaku Hisashi tidak main-main, saudara sekalian. Nontonnya enak banget. Gemes. Manis tanpa bikin mabok gula. Udahlah kalian jadian beneran ajalah, saya merestui. Hachinen-goshi no Hanayome sangat layak jadi escape route orang-orang yang sejatinya menyukai cerita romansa bittersweet tapi paling nggak tahan ketika ada temen curhat berapi-api membagi kehidupan cintanya, "Eh eh dengerin dong masa cowok gue―!!"

I'm staring at my own reflection here.
#SadarDiri

Selain itu, siapa pun yang nyuruh Sato Takeru untuk potong cepak demi peran ini: you seriously deserved a raise. To date, I never really think of Sato Takeru as one of the 'pretty boys' like Miura Haruma or Okada Masaki. Gimana ya.. dia tuh 'keren' alih-alih 'ganteng' atau 'cowok cakep'. Sehingga tiap kali didandanin a la masyarakat pada umumnya efek yang ditimbulkan makin menggelegar karena rasanya nggak asing ada mas-mas berpenampilan macam itu di sekeliling. Duh. Memicu halu.

*Next viewing: December 15, 2018 (Saturday). 15:15.
Watch only if you're into this genre. Otherwise, you may pass this and there will be no regret. Bukan film yang harus dibela-belain nonton ketika kalian sama sekali tidak tertarik dengan kisah cinta berhias derita, kok. 


SUNNY: Tsuyoi Kimochi Tsuyoi Ai

(SUNNY: Our Hearts Beat Together)


Hidup Abe Nami (diperankan salah satu tante favorit saya, Shinohara Ryoko) sebagai ibu rumah tangga mulai terasa muram. Suaminya cuma peduli pada pekerjaan dan anak perempuan tunggalnya sedang masuk masa membangkang. Saat menjenguk ibunya di rumah sakit, tanpa sengaja Nami bertemu Ito Serika (Itaya Yuka) salah seorang sahabatnya di SMA yang juga dirawat inap karena menderita kanker kronis dan divonis dokter hanya punya sisa waktu hidup sebulan lagi. Kepada Nami, Serika minta tolong untuk mengumpulkan kembali anggota geng SMA mereka yang tercerai-berai selama 26 tahun lamanya.

Remake dari film Korea bertajuk sama yang dirilis 2011 lalu, SUNNY: Tsuyoi Kimochi Tsuyoi Ai berkhianat dari materi asli pada satu titik tema: zaman. Jika versi Korea berlatarkan present day versus Korea in 80s, adaptasi Jepang menyeret kita ke tahun 90-an di mana hampir semua cewek-cewek SMA jadi gal berseragam loose socks, rok pendek hasil digulung, sweater Ralph Lauren, dan pergi sekolah dengan wajah full makeup ngejreng warna-warni. Sepulang sekolah nongkrong di family restaurant atau kelayapan keliling Shibuya, Ikebukuro, Shinjuku, dan baru pulang malam hari. The time when Amuro Namie and TRF was the peak definition of cool, when Hamasaki Ayumi hadn't even debuted.

SO FUN SO GOOD

Meski nyaris segala detil plot setia mengikuti kisah asli versi Korea,  namun keputusan menggeser era remaja karakter-karakternya ke tahun 1990-an dan bukan 1980-an adalah hal terbaik. 1990s Japan was explosive. Rasa-rasanya SUNNY nggak bakal se-charming ini jika yang diangkat bukan tahun-tahun kejayaan cewek-cewek gal yang rusuh, komunal, dan berisik ampun-ampunan. Hirose Suzu yang ketiban sampur memerankan Abe Nami ABG juga tidak mengecewakan, namun bintang sesungguhnya dalam setiap adegan kilas balik masa muda justru Yamamoto Maika, portraying young leader of the gang Ito Serika. I've been watching her and for the last two years I can tell that she improved a lot.

*Next viewing: December 14, 2018 (Friday). 20:45. 
I'd say, catch this movie. Jam penayangan SUNNY selalu paling larut karena memang cukup banyak dialog eksplisit dan unsur kekerasan berupa bullying. Viewer discretion advised. Not for kids. Plis lah jangan jadi penonton nggak bertanggung jawab yang ngajakin anak-anak kecil menyaksikan film yang nggak sesuai usia mereka tapi lantas ngomel-ngomel sendiri ketika ada dialog-dialog relatif dewasa. 


Inori no Maku ga Oriru Toki

(The Crime That Binds)


Salah satu film terbaik yang masuk ke lineup Japan Cinema Week 2018. Diadaptasi dari novel seri tentang detektif polisi Kaga Kyoichiro karya novelis populer Higashino Keigo, Inori no Maku ga Oriru Toki sukses membuat saya (dan banyak orang di studio) sesenggukan di bangku masing-masing. Padahal saya sudah nonton lantaran DVD film ini belum lama rilis. Tapi ternyata ketika disajikan lewat layar lebar, efeknya tetap nampol. Ada sejumlah adegan yang bikin saya kesulitan bernapas saking nyeseknya. This story doesn't sugarcoat things; it tells everything as it is and that's what makes it so gripping. Dibandingkan film-film tentang Kaga Kyoichiro sebelumnya―Nemuri no Mori, Kirin no Tsubasa―, Inori no Maku ga Oriru Toki terbilang paling tepat dosis. Right amount of drama. Right amount of funny scenes for you to breathe. Right amount of suspense. Right amount of twists. Right timing of revelation. And every time you feel choked in your seat, it always comes naturally. Bisa dibilang, tema utama Inori no Maku ga Oriru Toki adalah cinta. Eksplorasi seberapa jauh kekuatan perasaan bisa menggerakkan manusia berbuat sesuatu. Sulit sekali ngomongin film ini tanpa ngasih spoiler. Jadinya yaaa kurang lebih segini saja potongan cerita yang bisa saya paparkan: 

Detektif polisi Kaga Kyoichiro (lagi-lagi dibawakan dengan apik nan karismatik oleh Abe Hiroshi) dan keponakannya, Matsumiya Shuhei (Mizobata Junpei), dihadapkan pada pembunuhan misterius yang mana pria tersangkanya sama sekali tidak ditemukan jejak. Penyelidikan nyaris buntu, tetapi rupanya kunci pemecah kasus tersebut ada pada sebuah benda yang diperoleh Kaga enam belas tahun silam.

*Next viewing: December 16, 2018 (Sunday). 15:45. 
WHAT ARE YOU WAITING FOR??? I swear to God, purchase your ticket and drag your ass to CGV Grand Indonesia. Nggak akan ada ruginya.


Teiichi no Kuni

(Teiichi: Battle of Supreme High)


Teiichi no Kuni bukan film baru kinyis-kinyis. School comedy masterpiece ini dirilis tahun 2017, dan terus terang saya sudah khatam menyaksikan via DVD-nya sejak sepertiga awal 2018. Saya betul-betul menikmati menit demi menit kegilaan yang mengalir lewat layar laptop pribadi. Bahkan saking sukanya, saya pernah mengunggah ulasan rekomendasi singkat lewat akun Twitter, tepatnya bulan Maret lalu di sebelah sini. Apakah masih dirasa penting untuk nonton di bioskop? YA. Apakah layar laptop atau televisi tidak cukup? NGGAK SAMA SEKALI. Holy hell, no. Teiichi no Kuni's exaggeration on everything is beyond hilarious and the power of big screen drastically multiplies the fun and craziness level. Seisi teater ngakak dan cekikikan tanpa terkontrol sepanjang durasi; you are guaranteed a lively movie experience.

Akaba Teiichi (Suda Masaki) berambisi menjadi Perdana Menteri Jepang, dan untuk mencapai cita-cita itu, dia harus memulai langkah awal sebagai ketua OSIS SMA Kaitei, sekolah prestisius yang dikenal telah mencetak satu demi satu politikus elit dan perdana menteri. Perjalanan Teiichi mewujudkan ambisi makin seru dengan kehadiran childhood rival licik Tougou Kikuma (Nomura Shuhei), anak beasiswa serba bisa dan sayang keluarga Ootaka Dan (Takeuchi Ryoma, yang tiap kali punggungnya disorot langsung bikin pening), senior demokratis Morizono Okuto (Chiba Yudai, Lord of Youthful Face), dan sahabat Teiichi yang rada feminin tapi ternyata teknisi handal selevel Profesor Agasa, Sakakibara Koumei (Shison Jun).

*Next viewing: December 13, 2018 (Thursday). 18:00. 
Salah satu penampilan tergoblok Suda Masaki―I say this in a very, very good way―dan terus terang saya tidak bisa membayangkan orang lain memerankan Akaba Teiichi. This role fits him like a glove. Grab your ticket and have tons of fun in there.


Perfect World: Kimi to Iru Kiseki


I'll be frank. Not even Sugisaki Hana could save this movie from its mediocrity. Mengisahkan perjalanan romansa Kawana Tsugumi (Sugisaki Hana) dan cinta pertamanya, senior populer semasa SMA, Ayukawa Itsuki (Iwata Takanori) yang kini harus menjalani hidup di atas kursi roda akibat kecelakaan fatal di tahun ketiga kuliah, Perfect World bisa-bisanya sama sekali tidak meninggalkan kesan apa-apa pada diri saya. Hachinen-goshi no Hanayome, meski nggak spesial, masih terasa lebih superior dibandingkan Perfect World. I have my fair share of mediocre romance movies and this one falls right in the sea. 102 menit belum pernah berasa selama ini. Lambaaaaaaaaat bukan main. Gimana ya, padahal kalau dipikir-pikir aktingnya Iwata Takanori, Suga Kenta, Oomasa Aya, dan jajaran pemeran pendukung lain pun nggak seburuk itu. Is this bad directing? Bad screenplay writing? Perhaps both? I can't say for sure. Not really my expertise.

*Next viewing: December 16, 2018 (Thursday). 13:30. 
Kecuali ingin numpang tidur di bioskop, atau punya duit maupun waktu luang kebanyakan, mendingan beli tiket film lain deh. Mary to Majo no Hana yang sudah dibahas di atas, misalnya. Jam pemutarannya kan barengan tuh. Maafkan saya, Sugisaki Hana. In my defense, Perfect World doesn't deserve you at all. Untung theme song "Perfect World" dari E-girls bagus. Ending credit-nya lebih menarik disimak daripada keseluruhan film. Lmaooo.


Siapa di antara kalian yang hendak―atau malah sudah―bergerilya di Japan Cinema Week juga? Ada rekomendasi film lain? Silakan berbagi di kolom komentar yah jika berkenan. Tulisan ini bersambung ke Part #2, yang bakal diunggah minggu depan!

z. d. imama