Tuesday 4 September 2018

18th Asian Games 2018: a regular supporter's story


Saya nggak nyangka bakal sesemangat ini soal Asian Games. Sejak awal memang sudah menduga kalau bakal seru, sekaligus yakin bahwa menyaksikan pertandingan-pertandingan tim Jepang akan menghadirkan nostalgia hari-hari jadi siswi SMA Kyoto Tachibana, mendukung tim-tim klub sekolah bertanding untuk Inter-High (iya, kompetisi yang suka nongol dalam sports manga itu ada beneran kok). Namun ternyata dampak psikologis dalam diri saya lebih serius dari yang diduga. Kepelet atlet adalah nyata. Saya sih sebenernya nggak peduli-peduli amat siapa yang ganteng atau apa karena selera saya kadang suka random, tapi menyaksikan mereka mati-matian bertanding agar tidak kalah feels rather extraordinary.

Saya rasa, sebagai seorang warga negara yang sering bete dan dikecewakan Indonesia―baik oleh kaum elit politis, pemerintah, hingga sesama anggota masyarakat―my engagement (and psychological attachment that comes later) with Asian Games is not too bad. Seperti halnya sekian banyak orang Indonesia lain, saya pun merogoh kantong pribadi, menjungkirbalikkan celengan emergency, dan ikut mengantri a la rakyat jelata demi turut mewujudkan 'kesuksesan' perhelatan akbar ini. Mikir dan ngitung kerusakannya belakangan. Pokoknya beli dulu lah semua.

Apapun pertandingan yang ditonton, atributnya Indonesia.

That being said, this is the digest of my experience.

Pertandingan pertama yang saya saksikan adalah babak penyisihan cabor renang. Tertulis di e-ticket, pertandingan dijadwalkan mulai pukul sembilan pagi. Bersama teman-teman, saya sudah tiba di Pintu 7 Gelora Bung Karno sejak satu jam sebelumnya. Antrian mulai mengular dan nggak bisa masuk sampai jam sepuluh pagi dooong. Mau tanya kenapa? Jadi, saat kami tiba di lokasi, penukaran tiket belum dibuka. Yeah you read that right. Belum cukup? Pintu 5, 6, dan 7 yang konon diinformasikan sebagai gerbang masuk pengunjung ternyata hanya dibuka satu. Sisanya? Tetap tutup. LAH INI ASIAN GAMES BUKAN PANGGUNG GEMBIRA KELURAHAN, JENDRAAAAAALLLL. Mbok ya tolong jangan gini amat lah kalau kerja. Deretan panjang manusia dari berbagai negara sampai ngomel-ngomel dalam aneka ragam bahasa tuh kalau bukan karena saking kebangetannya mana ada. Taksumpahi tekan kiamat kowe, KiosTix.

Korban KiosTix yang dijemur di bawah terik matahari di depan Pintu 7 GBK.

Snippet kocak bertambah setelah kami berhasil melewati Tembok Maria gerbang pemeriksaan. Di dalam shuttle bus GBK yang mengantarkan para penumpang ke masing-masing venue, saya mengamati seorang bapak-bapak asyik menyaksikan live streaming via ponselnya. Sadar lagi diliatin orang asing, beliau memutuskan ngajak saya ngobrol.

"Saya sejak tadi nonton live streaming... Masa pertandingan renang jam sembilan, tribun penontonnya kosong. Kurang promosi apa ya. Saya sih ambil cabor lain, mulai jam 12 nanti."

Tawa garing kecampur pait brotowali saya tidak tertahan.

"Lah saya sama temen-temen saya ini penonton renang jam sembilan, Pak. Tapi jadi satu bus sama Bapak karena nggak bisa masuk ke GBK sampai jam sepuluh tadi."

Bapaknya bengong seketika.

Akan tetapi, kekampretan KiosTix aside, hadir sebagai penonton di TKP memberikan banyak pelajaran dan kekuatan tersendiri bagi saya. Berlomba jadi yang tercepat, terhebat, terkuat, memang merupakan esensi dari sebuah kompetisi. Namun perhatian saya juga tercuri oleh para underdogs yang posisinya tertinggal jauh dan tetap berusaha menyelesaikan pertandingan. Nggak kebayang gimana perasaan para atlet yang berada di posisi paling akhir dalam sebuah race, di hadapan mata sekian banyak orang, tapi bagaimanapun harus mencapai garis finish. They really have a huge heart. A very strong mentality. A determination made of steel to reach the end line no matter what, no matter how painful it feelsI could never. Hati saya makin trenyuh saat banyak penonton riuh berteriak menyemangati atlet-atlet yang masih berlaga di belakang. "Go go go!" "Keep going!!!" "Fight oooon!!!

Ya Allah nginget-inget gini aja nangis beler.


Sepanjang Asian Games, mengamati variasi kekuatan skuad tiap negara adalah keasyikan tersendiri. Tim basket putra Jepang versus Hong Kong misalnya. Waktu mereka berhadapan satu sama lain, saya yang awam pun bisa menyadari bahwa kekuatan Jepang terletak di teamwork yang sangat solid, serta stabilitas dan kecepatan passing. Gila. Semua orang kayaknya tahu posisi semua anggota timnya tanpa harus tolah-toleh. Aduh mak dan itu bola... ditinggal kedip aja udah entah dipegang siapa. Cepet banget perpindahannya. Tapi walau kalah gesit dan penguasaan bola lebih sedikit, tim basket Hong Kong punya akurasi tembakan luar biasa. Macem cuma main di Timezone gitu. Hampir setiap bola yang dilempar ke arah keranjang pasti masuk. Keturunan sniper kali ya.

Chant dan sorakan pendukung masing-masing negara yang berbeda-beda juga seru untuk diperhatikan. Mulai dari yang sama-sama pakai tepuk lima ketukan kayak Indonesia (Malaysia, Korea Selatan), tiupan terompet empat hitungan (Iran, Qatar―sumpah ini tuh supermacho dan garang, berasa mau berangkat perang), sorakan kompak "A-LI-BA-BA!" bersemangat slengekan dari penonton saat Jack Ma datang nonton partai final voli putri China - Thailand, hingga sensasi bapak-bapak pendukung Thailand beserta temen-temennya yang dengan sepenuh niat perjuangan ngebawa seperangkat set alat musik perkusi untuk ditabuh. Mad respect, Pakdhe!

Silakan ambil sepedanya, Pakdhe. YOU DA REAL MVP!!

Berkat Asian Games pula saya sukses kejeblos jurang fandom voli putra Jepang. You won't understand, nobody would, but I am this attached. Masih untung Yanagida Masahiro―yang konon digadang-gadang memimpin skuad voli Jepang untuk Tokyo Olympic 2020 kelak―nggak ikutan mampir ke Indonesia. Saya mungkin bakal jauh lebih berantakan daripada sekarang. Beberapa hari sudah berlalu sejak terakhir kali saya berada di tribun penonton, menyaksikan mereka bertanding, tapi memori akan spike-nya Chijiki Shunsuke maupun Takamatsu Takuya, serve Takano Naoya yang suka nyangkut di net, hingga kehebohan libero cadangan Horie Tomohiro yang kerjaan utamanya cuma fanservice, masih gentayangan di kepala. Tentu saja, tidak afdol kalau nggak nyebut nama libero andalan kesayangan semua umat: Honma Ryuta.


..ya Allah hatiku terjerembab. I'm beyond help.

Nonton banyak cabor di Asian Games juga berhasil bikin saya akhirnya ngeh dengan peraturan-peraturan olahraga 'asing' macam bisbol, sofbol, hingga judo. Padahal sejak dulu ngablu. Nggak peduli mau ngapalin isi buku paket Penjaskes kayak gimana, sebanyak apa sports manga yang saya baca, berapa episode sports anime yang saya tonton sampai gumoh, rasanya masih ngawang aja. But there, sitting on my spectator seat, everything just... fell into place. Rasanya puzzle jigsaw yang kepingan-kepingannya terkumpul dalam diri saya selama bertahun-tahun akhirnya membentuk kesatuan yang koheren. Finally, I can see the whole picture.

Thank you, Asian Games. It has been, arguably, the happiest two weeks in my 2018. Terima kasih untuk segala tawa, keringat, suara serak, rasa patah hati ketika tim jagoan kalah, hingga godaan menghabiskan uang yang susah-payah saya kumpulkan. Terima kasih untuk momen yang memicu saya keluar kosan sejak pagi-pagi hingga larut malam dan menggerakkan badan. Terima kasih telah mempersembahkan sesi kumpul-kumpul bebas ghibah bersama teman-teman. Terima kasih sudah menyingkirkan Drawa. Terima kasih atas kehadiran sosok Bhin Bhin, Atung, dan Kaka yang bahkan pagi tadi sudah tidak lagi saya temui patung-patung gemasnya di sepanjang jalan Jenderal Sudirman. Mereka bertiga pergi cepat sekali, tapi pasti tidak akan pernah mati.


    

Farewell, 18th Asian Games Jakarta - Palembang 2018.

Now I shall wait for Asian Paragames Jakarta 2018 to start. Perjalanan seorang pendukung figuran yang berteriak menyemangati dari tribun penonton―yang sosoknya cuma nongol di satu panel atau adegan dalam sports manga dan anime dengan desain muka template―masih belum sepenuhnya usai. ONE MORE!

z. d. imama

5 comments:

  1. Gayeng ya, isoh nonton-nonton. Aku mung lewat layar kaca wae, mugo urip diwo gen pas suk mben meneh isoh nonton langsung. Hu hu hu hu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mbok mangkat maaas... kan saiki wis kerep mubeng-mubeng numpak pesawat

      Delete
    2. Rasah menghibur diriku dengan menggampangkan orang lain ya soalnya sama-sama budak kapitalis kan ya dolan-dolan sak karepe udel e dewe kan ya susah

      Delete
  2. Aku malah fokus ke wardrobe-mu. Makin ciamik gayanya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bajuku tuh dikkkiiiiiiiitttt banget kak sumpah dipakenya harus berotasi huhu kita cuma nggak pernah main bareng aja jadi kak Chika nggak pernah liat :")))))))))))

      Delete