Monday, 10 December 2018

Japan Cinema Week 2018: Movie Recap Part #1


Desember. Memasuki penghujung 2018, akhirnya datang juga festival penayangan film-film Jepang yang selama ini rutin digelar tahun ke tahun di CGV Grand Indonesia, bahkan sejak namanya masih Blitz Megaplex. Acara yang kali ini bertajuk Japan Cinema Week (atau nama lokalnya: Pekan Sinema Jepang) resmi dibuka hari Jumat, 7 Desember 2018 dan akan berlangsung hingga Minggu, 16 Desember 2018. Rasanya seolah-olah acara ini diadakan untuk merayakan ulang tahun saya. Dasar kegedhen rumangsa. Kepedean kronis, memang. Anyway.. ada lebih dari 30 film produksi Jepang yang diboyong ke Indonesia untuk JCW, dengan tiket dijual cukup Rp25,000 saja per lembarnya. Sebagai manusia kurang hiburan, ingin bersenang-senang, namun keterbatasan uang, tentu saja saya tidak sudi melewatkan kesempatan emas ini. Tahun lalu, saya hanya sempat menyaksikan Yu wo Wakasu Hodo no Atsui Ai dan Shinobi no Kuni. Mumpung sekarang momennya pas dengan bulan kelahiran, saya sudah membulatkan tekad untuk menghabiskan sebanyak mungkin waktu di acara ini. Self-reward for staying alive. Splash that cash, bitch.

Akhir pekan kemarin saya benar-benar seharian menghabiskan waktu di CGV Grand Indonesia. Sitting through movie to movie. Demi meramaikan acara dan kewajiban moral selaku self-proclaimed #BudakYapan, lewat postingan ini saya mau berbagi ulasan serta kesan terhadap film-film yang telah ditonton pekan lalu. Ada beberapa film yang saya rasa wajib ditonton karena berbagai alasan, dan berhubung satu judul hanya mendapat jatah dua kali pemutaran, sayang aja gitu kalau nggak termanfaatkan.

Oke. Saatnya mulai nyerocos.
GAS POL!

Mary to Majo no Hana

(Mary and the Witch's Flower)

Karya debut Studio Ponoc, sebuah studio animasi kemarin sore yang baru mulai beroperasi tahun 2015. Melihat poster, typeface judul, desain karakter, dan berbagai hal sebelum masuk ruangan teater, saya tidak bisa berhenti berpikir: "Yakin nih, yang bikin 'Studio Ponoc'? Bukan Studio Ghibli? Apa jangan-jangan Ghibli re-branding?" dan rasanya tidak aneh jika saya menduga demikian. Belakangan saya tahu bahwa Nishimura Yoshiaki, pendiri Studio Ponoc, dulunya merupakan produser film di Studio Ghibli dan pernah menangani sejumlah karya besar seperti Howl no Ugoku Shiro, Kaguyahime no Monogatari, dan Omoide no Marnie. Bahkan sutradara, animator, serta staf yang mengerjakan film ini pun kebanyakan merupakan mantan staf Studio Ghibli. That very much explains why Mary to Majo no Hana really screams "Ghibli! Ghibli! Ghibli!" all over, from its mere appearance to the storytelling style.

Film berdurasi 103 menit ini mengisahkan petualangan Mary Smith (disuarakan oleh Sugisaki Hana sang Cahaya Asia), gadis kecil yang dititipkan di rumah kerabat jauhnya Bibi Charlotte yang terletak di pedesaan. Bosan setengah mati karena tidak punya teman bermain, suatu hari Mary mengejar kucing milik keluarga tetangga bibinya, Peter, masuk ke dalam hutan. Di sanalah dia mendapati bunga ajaib berkekuatan sihir. Masalah bermunculan karena ternyata bunga tersebut diburu selama bertahun-tahun oleh para penyihir, dan Mary pun harus membereskan semua hal yang berantakan akibat konsekuensi ulahnya.

This movie is fun. Sugisaki Hana does a good voice acting job: she manages to sound really annoying when she's supposed to be. Kamiki Ryunosuke as Peter is lovely, too. And I'll say it again: everything feels and looks like Studio Ghibli 2.0, only with less intriguing scenes. Jadi bagi yang demen nonton film-film dari Studio Ghibli pasti bakal bisa menikmati Mary to Majo no Hana. Satu-satunya perbedaan yang paling terasa adalah nyaris tidak ada adegan-adegan eerily fascinating a la Ghibli di tangan Miyazaki Hayao, seperti Kaonashi ngamuk ngabisin makanan sambil bagi-bagi emas di Sen to Chihiro no Kamikakushi, atau momen di Tonari no Totoro sewaktu Totoro menguap sehingga giginya yang segede roda mobil kelihatan berjajar.

*Next viewing: December 16, 2018 (Sunday). 13:30. 
Ghibli fans, go watch it.


Hachinen-goshi no Hanayome

(The 8 Year Engagement)


Drama romansa template di mana salah satu dari pasangan tokoh utama sakit dan keduanya harus melalui masa-masa sulit. Pengin nikah pun mau tidak mau jadi tertunda delapan tahun. Bicara tema cerita sih, sudah pasaran ya. Namun ada beberapa hal yang menyelamatkan Hachinen-goshi no Hanayome, membuatnya cukup menarik untuk ditonton walau masih tetap tidak menjadikannya terlalu istimewa di antara lautan cerita serupa. Chemistry antara Tsuchiya Tao sebagai Mai dan Sato Takeru selaku Hisashi tidak main-main, saudara sekalian. Nontonnya enak banget. Gemes. Manis tanpa bikin mabok gula. Udahlah kalian jadian beneran ajalah, saya merestui. Hachinen-goshi no Hanayome sangat layak jadi escape route orang-orang yang sejatinya menyukai cerita romansa bittersweet tapi paling nggak tahan ketika ada temen curhat berapi-api membagi kehidupan cintanya, "Eh eh dengerin dong masa cowok gue―!!"

I'm staring at my own reflection here.
#SadarDiri

Selain itu, siapa pun yang nyuruh Sato Takeru untuk potong cepak demi peran ini: you seriously deserved a raise. To date, I never really think of Sato Takeru as one of the 'pretty boys' like Miura Haruma or Okada Masaki. Gimana ya.. dia tuh 'keren' alih-alih 'ganteng' atau 'cowok cakep'. Sehingga tiap kali didandanin a la masyarakat pada umumnya efek yang ditimbulkan makin menggelegar karena rasanya nggak asing ada mas-mas berpenampilan macam itu di sekeliling. Duh. Memicu halu.

*Next viewing: December 15, 2018 (Saturday). 15:15.
Watch only if you're into this genre. Otherwise, you may pass this and there will be no regret. Bukan film yang harus dibela-belain nonton ketika kalian sama sekali tidak tertarik dengan kisah cinta berhias derita, kok. 


SUNNY: Tsuyoi Kimochi Tsuyoi Ai

(SUNNY: Our Hearts Beat Together)


Hidup Abe Nami (diperankan salah satu tante favorit saya, Shinohara Ryoko) sebagai ibu rumah tangga mulai terasa muram. Suaminya cuma peduli pada pekerjaan dan anak perempuan tunggalnya sedang masuk masa membangkang. Saat menjenguk ibunya di rumah sakit, tanpa sengaja Nami bertemu Ito Serika (Itaya Yuka) salah seorang sahabatnya di SMA yang juga dirawat inap karena menderita kanker kronis dan divonis dokter hanya punya sisa waktu hidup sebulan lagi. Kepada Nami, Serika minta tolong untuk mengumpulkan kembali anggota geng SMA mereka yang tercerai-berai selama 26 tahun lamanya.

Remake dari film Korea bertajuk sama yang dirilis 2011 lalu, SUNNY: Tsuyoi Kimochi Tsuyoi Ai berkhianat dari materi asli pada satu titik tema: zaman. Jika versi Korea berlatarkan present day versus Korea in 80s, adaptasi Jepang menyeret kita ke tahun 90-an di mana hampir semua cewek-cewek SMA jadi gal berseragam loose socks, rok pendek hasil digulung, sweater Ralph Lauren, dan pergi sekolah dengan wajah full makeup ngejreng warna-warni. Sepulang sekolah nongkrong di family restaurant atau kelayapan keliling Shibuya, Ikebukuro, Shinjuku, dan baru pulang malam hari. The time when Amuro Namie and TRF was the peak definition of cool, when Hamasaki Ayumi hadn't even debuted.

SO FUN SO GOOD

Meski nyaris segala detil plot setia mengikuti kisah asli versi Korea,  namun keputusan menggeser era remaja karakter-karakternya ke tahun 1990-an dan bukan 1980-an adalah hal terbaik. 1990s Japan was explosive. Rasa-rasanya SUNNY nggak bakal se-charming ini jika yang diangkat bukan tahun-tahun kejayaan cewek-cewek gal yang rusuh, komunal, dan berisik ampun-ampunan. Hirose Suzu yang ketiban sampur memerankan Abe Nami ABG juga tidak mengecewakan, namun bintang sesungguhnya dalam setiap adegan kilas balik masa muda justru Yamamoto Maika, portraying young leader of the gang Ito Serika. I've been watching her and for the last two years I can tell that she improved a lot.

*Next viewing: December 14, 2018 (Friday). 20:45. 
I'd say, catch this movie. Jam penayangan SUNNY selalu paling larut karena memang cukup banyak dialog eksplisit dan unsur kekerasan berupa bullying. Viewer discretion advised. Not for kids. Plis lah jangan jadi penonton nggak bertanggung jawab yang ngajakin anak-anak kecil menyaksikan film yang nggak sesuai usia mereka tapi lantas ngomel-ngomel sendiri ketika ada dialog-dialog relatif dewasa. 


Inori no Maku ga Oriru Toki

(The Crime That Binds)


Salah satu film terbaik yang masuk ke lineup Japan Cinema Week 2018. Diadaptasi dari novel seri tentang detektif polisi Kaga Kyoichiro karya novelis populer Higashino Keigo, Inori no Maku ga Oriru Toki sukses membuat saya (dan banyak orang di studio) sesenggukan di bangku masing-masing. Padahal saya sudah nonton lantaran DVD film ini belum lama rilis. Tapi ternyata ketika disajikan lewat layar lebar, efeknya tetap nampol. Ada sejumlah adegan yang bikin saya kesulitan bernapas saking nyeseknya. This story doesn't sugarcoat things; it tells everything as it is and that's what makes it so gripping. Dibandingkan film-film tentang Kaga Kyoichiro sebelumnya―Nemuri no Mori, Kirin no Tsubasa―, Inori no Maku ga Oriru Toki terbilang paling tepat dosis. Right amount of drama. Right amount of funny scenes for you to breathe. Right amount of suspense. Right amount of twists. Right timing of revelation. And every time you feel choked in your seat, it always comes naturally. Bisa dibilang, tema utama Inori no Maku ga Oriru Toki adalah cinta. Eksplorasi seberapa jauh kekuatan perasaan bisa menggerakkan manusia berbuat sesuatu. Sulit sekali ngomongin film ini tanpa ngasih spoiler. Jadinya yaaa kurang lebih segini saja potongan cerita yang bisa saya paparkan: 

Detektif polisi Kaga Kyoichiro (lagi-lagi dibawakan dengan apik nan karismatik oleh Abe Hiroshi) dan keponakannya, Matsumiya Shuhei (Mizobata Junpei), dihadapkan pada pembunuhan misterius yang mana pria tersangkanya sama sekali tidak ditemukan jejak. Penyelidikan nyaris buntu, tetapi rupanya kunci pemecah kasus tersebut ada pada sebuah benda yang diperoleh Kaga enam belas tahun silam.

*Next viewing: December 16, 2018 (Sunday). 15:45. 
WHAT ARE YOU WAITING FOR??? I swear to God, purchase your ticket and drag your ass to CGV Grand Indonesia. Nggak akan ada ruginya.


Teiichi no Kuni

(Teiichi: Battle of Supreme High)


Teiichi no Kuni bukan film baru kinyis-kinyis. School comedy masterpiece ini dirilis tahun 2017, dan terus terang saya sudah khatam menyaksikan via DVD-nya sejak sepertiga awal 2018. Saya betul-betul menikmati menit demi menit kegilaan yang mengalir lewat layar laptop pribadi. Bahkan saking sukanya, saya pernah mengunggah ulasan rekomendasi singkat lewat akun Twitter, tepatnya bulan Maret lalu di sebelah sini. Apakah masih dirasa penting untuk nonton di bioskop? YA. Apakah layar laptop atau televisi tidak cukup? NGGAK SAMA SEKALI. Holy hell, no. Teiichi no Kuni's exaggeration on everything is beyond hilarious and the power of big screen drastically multiplies the fun and craziness level. Seisi teater ngakak dan cekikikan tanpa terkontrol sepanjang durasi; you are guaranteed a lively movie experience.

Akaba Teiichi (Suda Masaki) berambisi menjadi Perdana Menteri Jepang, dan untuk mencapai cita-cita itu, dia harus memulai langkah awal sebagai ketua OSIS SMA Kaitei, sekolah prestisius yang dikenal telah mencetak satu demi satu politikus elit dan perdana menteri. Perjalanan Teiichi mewujudkan ambisi makin seru dengan kehadiran childhood rival licik Tougou Kikuma (Nomura Shuhei), anak beasiswa serba bisa dan sayang keluarga Ootaka Dan (Takeuchi Ryoma, yang tiap kali punggungnya disorot langsung bikin pening), senior demokratis Morizono Okuto (Chiba Yudai, Lord of Youthful Face), dan sahabat Teiichi yang rada feminin tapi ternyata teknisi handal selevel Profesor Agasa, Sakakibara Koumei (Shison Jun).

*Next viewing: December 13, 2018 (Thursday). 18:00. 
Salah satu penampilan tergoblok Suda Masaki―I say this in a very, very good way―dan terus terang saya tidak bisa membayangkan orang lain memerankan Akaba Teiichi. This role fits him like a glove. Grab your ticket and have tons of fun in there.


Perfect World: Kimi to Iru Kiseki


I'll be frank. Not even Sugisaki Hana could save this movie from its mediocrity. Mengisahkan perjalanan romansa Kawana Tsugumi (Sugisaki Hana) dan cinta pertamanya, senior populer semasa SMA, Ayukawa Itsuki (Iwata Takanori) yang kini harus menjalani hidup di atas kursi roda akibat kecelakaan fatal di tahun ketiga kuliah, Perfect World bisa-bisanya sama sekali tidak meninggalkan kesan apa-apa pada diri saya. Hachinen-goshi no Hanayome, meski nggak spesial, masih terasa lebih superior dibandingkan Perfect World. I have my fair share of mediocre romance movies and this one falls right in the sea. 102 menit belum pernah berasa selama ini. Lambaaaaaaaaat bukan main. Gimana ya, padahal kalau dipikir-pikir aktingnya Iwata Takanori, Suga Kenta, Oomasa Aya, dan jajaran pemeran pendukung lain pun nggak seburuk itu. Is this bad directing? Bad screenplay writing? Perhaps both? I can't say for sure. Not really my expertise.

*Next viewing: December 16, 2018 (Thursday). 13:30. 
Kecuali ingin numpang tidur di bioskop, atau punya duit maupun waktu luang kebanyakan, mendingan beli tiket film lain deh. Mary to Majo no Hana yang sudah dibahas di atas, misalnya. Jam pemutarannya kan barengan tuh. Maafkan saya, Sugisaki Hana. In my defense, Perfect World doesn't deserve you at all. Untung theme song "Perfect World" dari E-girls bagus. Ending credit-nya lebih menarik disimak daripada keseluruhan film. Lmaooo.


Siapa di antara kalian yang hendak―atau malah sudah―bergerilya di Japan Cinema Week juga? Ada rekomendasi film lain? Silakan berbagi di kolom komentar yah jika berkenan. Tulisan ini bersambung ke Part #2, yang bakal diunggah minggu depan!

z. d. imama

4 comments:

  1. Sayang sekali di Bandung baru mulai tanggal 20 dan cuma tiga hari :(( Rasanya ingin kabur ke Jakarta, banyak yang ingin ditonton aaa... Kalau dari judul yang disebut di sini saya penasaran sama Sunny (walaupun udah nonton versi koreanya), Inori no Maku ga Oriru Toki dan Teiichi no Kuni.

    Kebetulan kalo Hachinen-goshi no Hanayome udah nonton dan bener banget yaaa ampun siapapun yang nyuruh Sato Takeru cepak di sini deserve an award, ga pernah nyangka Mas Take cocok dicepak huhuhu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ada Miura Haruma lho mbak di SUNNY.. gondrong gitu macem kayak pas main di dorama Last Cinderella :))))

      Delete
  2. bentar, aku nggak mudeng. Sekali masuk 25 rebu itu maksudnya sekali nonton 1 movie ya bok?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak... tiket per film cuma 25 ribu. Normalnya harga rata-rata tiket bioskop di Jakarta kan dapet 50 ribu pas weekend aja udah untung. Haha.

      Delete