Baru kali ini ada dua tulisan beruntun dengan opening image yang sama persis. Mohon maaf, saya cuma malas bikin dokumentasi sendiri, dikombo dengan rasa tidak percaya diri untuk foto-foto di lokasi. Barangkali terdengar agak kontradiktif mengingat saat Asian Games 2018 dan Asian Para Games 2018 lalu saya cukup banyak mengunggah foto pribadi, tapi ya emang gini orangnya. Musiman. Sakdhet-saknyet, kalau menurut istilah bahasa Jawa. Anyway, setelah pekan lalu saya menghabiskan dua hari penuh maraton setengah lusin film di Japan Cinema Week 2018 yang diselenggarakan di CGV Grand Indonesia, 7-16 Desember 2018, di tulisan paruh akhir ini jauh lebih toned down dan selow karena saya hanya membeli tiket penayangan dua film karena kebetulan banyak kegiatan kepentok keterbatasan dana.
Yuk mari dibahas.
Yoake Tsugeru Lu no Uta
(Lu Over the Wall)
Seorang siswa SMP penyendiri, Ashimoto Kai, yang hidup di desa terpencil bernama Hinashi bersama kakek dan ayahnya, menghabiskan waktu luang sehari-hari dengan bermain musik dan mengunggah rekaman permainannya ke internet. Suatu hari, akunnya ketahuan teman satu sekolah, Yuho dan Kunio. Mereka mengajak (setengah memaksa) Kai bergabung dalam band iseng-iseng yang dinamai Seiren. Ketiganya pun mulai berlatih diam-diam di Pulau Duyung yang dihindari warga desa lainnya. Ternyata, suara permainan musik mereka menarik perhatian seorang―atau seekor?―putri duyung kecil bernama Lu. Masalah muncul ketika sosok Lu terekspos di hadapan khalayak umum, sementara sejumlah penduduk punya kepercayaan bahwa duyung hanya akan mendatangkan bahaya bagi manusia.
Disutradarai oleh Yuuasa Masaki yang cukup populer di kalangan wibu pengguna Netflix lantaran Devilman Crybaby (meski sejatinya serial anime tersebut rilis belakangan dibandingkan film ini), dan screenplay yang ditulis Yoshida Reiko, Yoake Tsugeru Lu no Uta menghadirkan konsep animasi unik yang bikin bingung memutuskan: ini tuh jadul atau modern? Klasik atau groundbreaking? Tiap desain karakternya terlihat sangat hemat tarikan garis―nggak ada tuh helai-helai rambut njlimet atau kibaran baju digambar mendetil, namun rupanya sama sekali tidak mengurangi pesona filmnya. Yoake Tsugeru Lu no Uta adalah suatu karya yang sebaiknya disaksikan dengan mengosongkan bermacam standar animasi yang pernah kita ketahui dan cukup menikmati frame demi frame yang disuguhkan di hadapan mata. It was colorful, fascinatingly teetering between weird and charming at the same time for the whole 112 minutes.
Meski Yoake Tsugeru Lu no Uta menjuarai Annecy International Animated Film Awards di Prancis tahun 2017, faktor utama yang bikin saya kepengin menyaksikan film ini justru nama penulis skenarionya. Yoshida Reiko. She was the one who wrote the screenplay of my ultimate baper-inducing Koe no Katachi back in 2016. And apparently, one important fact that I only learned a couple weeks ago thanks to Wikipedia, she was also one of the scriptwriters for 1999's Digimon Adventure TV series. I shit you not.
DIGIMON. FREAKING. ADVENTURE.
Dengan kata lain: budhe Yoshida adalah salah satu terdakwa yang telah berjasa menjerumuskan saya ke dalam palung perwibuan dan tidak bisa keluar-keluar lagi. Mana mungkin saya nggak berbakti pada beliau lewat nonton kan?
Kamera wo Tomeruna!
(One Cut of the Dead)
Yassssssss. Akhirnya bisa juga nonton film yang heboh dibahas di media sosial, khususnya Twitter. Begitu keluar dari studio teater CGV Grand Indonesia 90 menit setelah penayangan dimulai, saya bener-bener ngerti rasa frustrasi teman-teman penonton yang kebelet ngebahas film ini tapi nggak bisa lantaran nyaris mustahil membicarakannya tanpa ngasih spoiler. I feel you, guys. Kacau lah film ini. Bedebah luar biasa. Gimana ya... pengin ngakak sekaligus mengumpat di setiap adegannya. Berhubung memang sengaja tidak mencari informasi apa pun tentang Kamera wo Tomeruna, semula saya pikir film ini modelnya kayak found footage gitu lho, macem REC (yang sama-sama tentang zombie apocalypse) atau The Blair Witch Project.
Boy, I've never been more wrong.
Peringatan tunggal yang mampu saya sampaikan mengenai Kamera wo Tomeruna sama persis seperti nasihat yang pernah dikatakan sesama penonton lain: apapun yang kalian rasakan atau pikirkan sepanjang 30 menit awal, TAHAN. Jangan ke mana-mana. HOLD YOUR POSITION. Walk out adalah keputusan paling tidak bijaksana yang mampu kalian lakukan dalam karir seumur hidup sebagai pemirsa film bioskop. Kesabaran akan berbuah manis. Percaya deh. Jika nggak yakin dengan opini pribadi saya, yakinlah pada opini segenap khalayak di luar sana yang sama-sama super terhibur.
It was a fun two weeks. Japan Cinema Week 2018 menghadirkan lebih banyak film dibanding 2017 lalu, padahal slot waktu yang tersedia sama-sama dua minggu. Nggak heran kalau masing-masing kebagian jatah jam tayang dua kali doang, yekan. Meski jumlah film yang menarik dominan jauh, sayang sekali tetap ada beberapa judul yang kayaknya bisa-bisa aja tuh digantikan oleh karya lain yang lebih oke. Misalnya Perfect World (sebagaimana tulisan sebelumnya). Kan mending ditukar apa kek... Laplace no Majo, Uso wo Aisuru Onna, Hitsuji to Hagane no Mori, atau malah blockbuster 2018: Code Blue The Movie. Huft. My wishful thinking.
z. d. imama
Wah baru tau ada Code Blue The Movie. Info yang sangat penting
ReplyDeleteAda kok, the highest grossing movie 2018 lho hahaha makanya sebel banget pas nggak masuk JCW... KAMI INGIN YAMASHITA TOMOHISA DAN GENGNYA
DeleteYes banget buat one cut of the dead, sampe bela-belain pulang tengah malem kemaren demi bisa merasakan euforianya. Kacau, fresh banget dah tuh film.
ReplyDelete30 menitan pertama itu nggak jelas banget.. kayak.. APAAN DAH NEH tapi habis itu ya Rabb ngakak nggak berhenti-berhenti
Delete