Friday, 7 October 2016

On being Luna Lovegood-ish (and not Hermione)


EARLY WARNING: 
This is a long, long, rambling. So read it at your own risk.
___

Saya mulai membaca buku Harry Potter ketika kelas empat SD, berkat hadiah dari wali kelas. Ketika itu buku Harry Potter and the Order of the Phoenix baru saja diterbitkan oleh Gramedia. Saya menamatkannya dalam semalam, dan ketagihan. Ingin melengkapi seluruh serinya. Berhubung harga buku Harry Potter lumayan mahal untuk anak SD, saya pun menghabiskan seluruh angpau hadiah ranking pertama  yang saya terima dari om dan tante untuk memborong seluruh seri yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Iya, keluarga saya memang tidak mengenal istilah 'dibelikan orang tua' untuk masalah hobi. Jadi ya sejak kecil saya dibiasakan menyisihkan uang saku sendiri jika ada barang tertentu yang ingin saya miliki.

Saat masih kecil, saya beranggapan bahwa saya adalah Hermione Granger


Ini bukan masalah sok ngaku-ngaku atau gimana. I had my reasons. And of course, I didn't mean it literally. Boro-boro belajar ilmu sihir di Hogwarts, mentransfigurasi cangkir menjadi tikus sesuai instruksi Profesor McGonagall, realitanya saya belajar di sekolah dasar swasta Islam yang melarang siswa-siswinya membaca novel-novel Harry Potter karena dianggap menyesatkan umat. Oke. Tapi ya dasarnya saya punya bakat keras kepala, tetap saja nekat membaca (bahkan mengoleksi) dengan dalih klasik: "Bodo amat yee..."

Saya memang cuma seorang siswi SD normal yang satu-satunya pelajaran paling extraordinary adalah Life Skill, di mana murid-murid diajari sejumlah keterampilan hidup seperti bagaimana menyeterika baju, menjahit pakaian sobek atau kancing lepas, memasak beberapa menu sederhana, hingga membuat beberapa prakarya berguna seperti... kotak tisu atau sarung bantal. Namun meski begitu, orang-orang di sekeliling saya (baik saudara, tetangga, kawan-kawan orang tua, hingga para guru) selalu mengatakan bahwa saya adalah anak pandai, berbakat, dan berpotensi. And basically I was kind of close to being called "the brightest kid of her class", the same way Hogwarts professors called Hermione "the brightest witch of her age". So yeah. I started thinking of myself as a Muggle version of Hermione... lengkap dengan unsur kearifan lokal di sana-sini.


Saya bisa lancar membaca bahkan sebelum masuk Taman Kanak-Kanak (waktu itu kayaknya para orang tua belum seambisius sekarang, jadi playgroup dan PAUD belum heboh dan isinya paling main-main doang). Ayah dan ibu bahkan sempat disarankan kepala Taman Kanak-Kanak agar langsung mendaftarkan saya masuk SD saja. Esai-esai serta tugas-tugas mengarang saya selalu mendapatkan nilai tertinggi di sekolah, catatan pelajaran saya paling lengkap dan jadi langganan difotokopi khalayak umat satu kelas, dan guru kerap menunjuk saya untuk mengikuti lomba pidato, membuat cerpen, sinopsis, hingga resensi buku. Banyak orang mengatakan bahwa saya punya banyak potensi. Semasa kecil, saya tidak terlalu paham apa makna 'potensi', tapi kata itu terdengar bagus dan menyenangkan saat ditujukan pada saya.

Sama seperti Hermione, rambut saya ikal, berantakan, dan jelek―ini masih bertahan sampai sekarang. Buku adalah teman saya sebagaimana bola adalah temannya Ozora Tsubasa. Novel Harry Potter tidak pernah mendeskripsikan Hermione sebagai siswa yang cantik (meskipun kita semua tahu kalau Emma Watson cakep minta ampun), sehingga saya yang plain-looking at best ini juga tidak merasa kepedean karena telah mengidentifikasikan diri sendiri sebagai Hermione.


My value as a person came from my good grades. I was worth something because I was smart. Hey, I was a straight As student. My family financial condition did not allow me to find something else to excel at, so I excelled at school. No one told me that I had to get straight As for nearly every subject, but nevertheless I came up with that on my own. Or else, I would feel as if I had nothing to be defined as my 'strongest trait'.

Tapi kemudian saya menyadari sesuatu.

Memasuki masa remaja, posisi akademis saya tidak lagi di puncak. Being a member of an advanced class at school came together with its tough competition. Bukan berarti semua orang berlomba-lomba menjadi yang terbaik (meski harus diakui ada sejumlah rekan sekelas yang sangat obsesif dengan peringkat tertinggi), namun saya makin disadarkan bahwa sekeliling saya adalah anak-anak yang sama pintarnya. They have their own strongest point, and their ability was seen by my school as something more special than mine. While I crafted my own stories or essays, wrote for school paper, and conducted the student magazine, my other classmates were called forward in weekly ceremony on Monday for winning a national science competitionIt came to my realization that I was not that specialBeing in the middle of the herd, was painful to admit at first. A gifted child growing up into a so-so teenager. Probably would end up as a mediocre adult. And hey, who are her friends again? Does she even have a circle or anything?

Saya, yang tidak menikmati nongkrong di kantin, mulai dilabeli "anak aneh" oleh sejumlah orang di lingkaran pergaulan. Teman-teman sekelas. Saya, yang menggemari hal-hal yang cenderung kurang dinikmati di kalangan kawan-kawan, berangsur kehilangan tempat di tengah-tengah mereka. Bahkan pernah, anak cowok yang saya taksir semasa abege nggak bersedia bicara langsung kepada saya karena katanya ilfil berat. Hahaha. I then realized that I was that "straight A student who fails to get along with her peers". I had no BFFs. I had no 'squad' like Taylor Swift. I had no particular person who spends much time by my side, like Harry or Ron, for whatever reason.

I was never Hermione Granger.

I was a kinda Luna Lovegood.

(For lack of a better comparison.)


Well, characteristically I might not as distinctive as her, but Luna was sorted into Ravenclaw by The Sorting Hat, and my entrance examination result put me into a class full with bright students. We are kind of an 'outcast' in our own peers. Sure both me and Luna had friends, but none of them were close enough; none of them could meet me on daily basis. I had good friends, but mostly, people would find me doing something alone.

It sounds pretty suck and lonely, I know.


But when I started thinking of myself like I think of Luna Lovegood, everything got better. Luna is just... being Luna. She embraces herself. She is smart; at least clever enough for Sorting Hat to put her into Ravenclaw. She has her own good points and she doesn't even need validation from someone else. Mungkin dia memang agak dihindari oleh teman-temannya, tapi Luna tidak pernah menyingkirkan atau menolak siapa pun yang menghampirinya. She is kind to everyone who's willing to get close to her.

Perhaps I can do that. I can try to just be myself. Mungkin saya bisa berusaha menerima diri sendiri apa adanya―which is suuuper hard and I think I'm still failing. Berusaha hidup tanpa terlalu peduli-peduli amat terhadap validasi dari lingkungan sekitar. Barangkali saya bisa melatih diri untuk selalu bersikap dan berbuat baik; minimal tidak menyusahkan orang lain. Rambut saya mungkin kusut dan jelek dan berantakan, selera berpakaian saya mungkin mengerikan, hal-hal yang saya sukai mungkin dianggap aneh atau kekanakan bagi sebagian orang. But I can always try to live my life genuinely.

Maybe Luna Lovegood is not that bad.

(And she didn't have to experience a torture from Bellatrix Lestrange.)

z. d. imama

10 comments:

  1. Aku menikmati banget tulisan ini, kayak side story dari buku Harry Potter. :)))

    Btw aku sendiri baru menemukan teman yang benar-benar teman (dekat) justru setelah dewasa. Teman-teman dari semasa kecil mulai hilang satu persatu. Teman-teman yang dekat dengan aku bisa dibilang kebanyakan teman-teman yang aku kenal dari blog.

    Percayalah, nanti kamu pasti akan menemukan teman yang benar-benar satu irama dengan kamu. :)

    (dengan catatan, kamu juga jangan terlalu aneh kayak Harley Quinn #apeu)

    ReplyDelete
  2. Luna sih keren. Salah satu tokoh yg saya suka selain Harris & Snape

    ReplyDelete
    Replies
    1. HAHAHAHAHAHA Harris Potter dan Calvin Harry.

      Delete
    2. Hahahaha baru nyadar kalo typo. Maksudlu Hagrid #matiinautocorrect :3

      Delete
    3. Masih typo jg. Asemik :3

      Delete
    4. Om, minum dulu gih :))))

      Delete
  3. Waa.. baru baca ke sini..

    Dan merasa mirip juga, dari TK, SD, SMP aku gak pandai berteman. Nilaiku katanya bagus, tapi gak jenius juga kok. Baru setelah mendewasa, dan bisa melihat balik, jadi mulai bisa menurut benang merah dan pembelajaran dulu dulu.. Sabar ya Zi, semoga 2018 ini semua yang baik-baik terjadi pada kamu :D

    ReplyDelete
  4. Saya juga gak pandai bersosialisasi pun tingkat kecerdasan tidak outstanding, paras biasa saja, dan selera outfit yang agak aneh. Tapi ternyata jauh dari lingkungan saya ada yang bilang saya keren (meski cuma satu dua orang) dan itu kabar yang sangat menggembirakan buat saya. Saya yakin itu juga berlaku sama kamu, kan? Malah jauh lebih baik dari saya.

    Oh, iya, gimana caranya mendekati seseorang dengan maksud ingin berteman, karena menurut saya orang itu keren dan saya suka sama opini dan cara berpikirnya tapi kayaknya agak pemilih menerima keberadaan orang baru?

    umm, saya udah merenung kayaknya, sih, saya gak menyebalkan-menyebalkan amat jadi orang.

    Terima kasih ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hm. Hmmm. Saya sendiri nggak tahu apakah ada cara yang "tepat" untuk berteman dengan seseorang yang (diduga) selektif dengan orang baru. Mungkin bisa langsung coba ajak untuk datang ke suatu acara yang jelas? Maksudnya, bukan "Ngopi yuk kapan-kapan di suatu tempat" tapi lebih ke "Eh ini ada pameran A, acara B, ke sana yuk bareng?"

      (Tidak ada jaminan berhasil sih, cuma setidaknya pihak yang diajak lebih punya gambaran bakal ngobrolin tentang apa atau apa-apa saja yang bisa dikerjakan.)

      Delete