Sunday, 25 July 2021

(Maybe) I don't want kids and people are mad about it.


Mau mulai dari mana, ya. Bingung juga. Beberapa hari terakhir ini feed media sosial saya (Twitter) ramai membicarakan tentang keputusan orang-orang untuk tidak memiliki anak, yang istilah populernya adalah "Child-free". Jujur, saya tidak terlalu menyukai terminologi ini. Frase "Voluntary childlessness" yang ada di Wikipedia justru lebih cocok bagi saya sendiri. Tapi itu perkara lain. Saya nggak mau membahas semantik. Berhubung "childfree" lebih populer, selanjutnya saya akan pakai istilah itu di sini meskipun nggak demen-demen banget.

Semalam saya secara tidak sengaja menemukan postingan di internet yang mengkritisi penyebarluasan pemahaman konsep childfree sebagai 'masalah'. Perspektif ini bikin dahi saya berkerut. Apalagi, yang menuliskan seorang laki-laki, yang jelas tidak mengalami kehamilan, melahirkan, menyusui, dan secara umum tuntutan sosial terhadap keterlibatan dia di masa tumbuh-kembang anak tidak seintens perempuan. Bagaimana postingan tersebut mencampuradukkan komentar klasis ala-ala netizen abai seperti "Kalau miskin jangan punya anak dulu" dan secara tidak langsung mengasumsikan childfree sebagai sesuatu yang antagonistik juga tidak menolong. 

Terlepas dari alasan-alasan pribadi yang membuat seseorang tidak berkenan memiliki anak, pada hakikatnya childfree merupakan kesadaran bahwa berketurunan adalah pilihan. Bahwa untuk tidak memiliki anak, terlebih lagi anak biologis, merupakah sebuah opsi yang solid di kehidupan. It's not a crime when you choose not to have kids. Not to give birth. It's not a shame. It's just another choice in this life of yours. Intinya kan di situ.


Kenapa kesadaran bahwa "berketurunan atau tidak merupakan hal yang bisa dipilih" menjadi penting untuk diinformasikan kepada yang lain? Meme di atas, meskipun niatnya pasti cuma buat lelucon, justru merangkum salah satu perkara terbesar terkait masalah keturunan ini: tekanan sosial. Manusia, khususnya perempuan, sudah terlalu lama dinilai dan distigmatisasi berdasarkan kondisi serta kemampuan reproduksinya. Apakah dia perawan atau tidak. Bisa punya anak atau tidak. Sudah dewasa tapi belum menikah, ditakut-takuti nanti tidak bisa punya anak. Bahwa tidak ada yang mau menerima sebagai pasangan. Jangan mau dengan perempuan yang lebih dewasa, dia sudah tua dan organ reproduksinya tidak seaktif sebelumnya. Kemandulan adalah aib. Tidak berketurunan diberikan berbagai label tak mengenakkan, mulai dari egois hingga menyalahi kodrat. Tidak perlu bersikap munafik atau menampik dengan mengatakan "Nggak ada yang maksa untuk punya anak" atau "Komentar kayak gitu sih kamu karang-karang sendiri". We knew. We've heard of them. The pressure is real. And when people cave in to these pressure, there are real life consequences. Abandoned children. Unhappy family. Build-up hatred. Losing self-worth. Masih banyak lagi kondisi-kondisi fatal yang tidak bisa saya jabarkan satu per satu di blog yang isinya cuma buat curhat dan nyerocos tentang kultur pop ini.


Pandangan bahwa sebuah keluarga tidak sempurna dan tidak lengkap tanpa anak juga bukan sesuatu yang saya setujui. Maybe we all need to learn to feel 'enough'. Sama halnya dengan keluarga yang hidup bahagia tanpa ayah atau tanpa ibu, saya percaya bahwa pasangan suami-istri yang tidak memiliki anak juga tetap harus diakui bersama sebagai satu keluarga yang solid. Saya sendiri hingga detik ini tidak berencana berketurunan (ini saatnya kalian mengejek saya, "Yaelah nikah aja belum tentu bisa atau enggak, udah mikirin perkara anak!"). This planet is dying, disease-ridden, and the adults are awful and I just don't want to deliver another soul to this terrible, horrible world. My eggs are going straight to the menstrual pads and cups for the time being. Take this whatever way you want, oh dear strangers on the Internet realm.

Salah satu hal yang paling sering diributkan adalah tuduhan bahwasanya childfree menganggap anak-anak sebagai beban. Menurut saya sih ini agak kocak, karena secara umum memang anak-anak dikategorikan 'tanggungan orang dewasa'. Memang perlu ada kompromi. Memang perlu ada pengorbanan di level tertentu ketika seseorang merawat dan mengasuh anak-anak—terlebih yang usianya masih sangat belia. Some people might not want that because they have other things to prioritize. Some just doesn't feel having the capacity to do so. It's fine. Lagipula, apakah bukan kita yang kerap mengucapkan, "Wah lu enak ya masih bisa jalan-jalan, gue mah ada anak sekarang"? Apakah bukan kita yang kerap bersikap kurang menyenangkan, mendesak orang dengan menggunakan anak-anak sebagai buffer? Memotong antrean dengan kalimat "Saya diduluin dong, ini mau nganter anak ke sekolah"? Haven't we for years been using kids as our excuse? Why you mad now, Bro?

Pada akhirnya peran utama konsep childfree yakni memberikan dukungan kepada mereka yang megap-megap di bawah tekanan, serta mereka yang tidak menghendaki keturunan—apa pun pertimbangan pribadinya. You don't have to. There is no need to be ashamed. It does not lessen our value as a person. It's not a 'wrong' thing to do. It's a valid life choice. Sama halnya dengan seseorang bisa mengonsumsi minuman beralkohol karena punya organ pencernaan tapi memilih untuk tidak mabuk, sah-sah saja bagi seseorang apabila ingin tidak menggunakan organ reproduksinya untuk berketurunan. Jika ada yang merasa terganggu dengan diakuinya pilihan childfree ini dan tidak suka terhadap semakin banyaknya orang yang menyadari bahwa keputusan ada di tangan mereka, then I don't know, dude, maybe you're a chunk of the problem iceberg?

Dah gitu doang.
Saya mau balik ngewibu lagi.

z. d. imama

1 comment:

  1. I think lots of our people simply have way too much time on their hands 😄

    ReplyDelete