Bukan hal berlebihan jika saya bilang, buku adalah teman pertama saya. Dibesarkan di keluarga dengan kedua orang tua yang sama-sama bekerja (karena kalau nggak kerja perekonomian rumah tangga nggak jalan, baby) dan tidak selalu punya kemewahan dibantu asisten rumah tangga, saya sering menghabiskan waktu sendirian. Bahkan sejak balita. Ibu mencari akal bagaimana caranya supaya saya bisa tenang beraktivitas sendirian. Akhirnya yang tebersit di benak Ibu adalah: anak ini kalau bisa baca, mungkin dia bisa ngubek-ubek tumpukan majalah bekas yang dibeli di tukang loak tanpa rewel selama ditinggal beraktivitas. Alhasil, saya sudah lancar membaca bahkan sebelum masuk Taman Kanak-Kanak. Thank god waktu itu kami belum punya televisi dan smartphone baru sebatas imajinasi halu di suatu episode Doraemon. Sebab barangkali ceritanya akan lain lagi.
Semakin dewasa, saya mulai berkenalan dengan banyak kegiatan. Bahkan hal-hal yang saya baca pun jadi beraneka ragam. Komik, novel, fanfiction, artikel di internet, utas pembongkaran aib orang di media sosial (dari yang EYD-nya rapi dan ceritanya terstruktur sampai yang bikin pusing karena penulisnya kayak nggak pernah belajar fungsi tanda baca), dan entah apa lagi. Kegemaran saya bertambah. Kita semua tahu ada peribahasa yang berbunyi "Besar pasak daripada tiang". Nah, barangkali rangkuman terbaik untuk permasalahan yang saya alami adalah "Banyak hobi daripada waktu luang".
Saya menikmati proses membaca. Itu satu hal yang saya bisa akui dari lubuk hati terdalam. Rasanya seperti diajak main dan berjalan-jalan dengan seorang teman lama, mengarungi berbagai cerita berbeda-beda. Kadang kisahnya jelek dan bikin marah. Kadang bagus banget sampai saya rela tidak tidur. Tapi perasaan dan pengalaman serupa juga saya temukan ketika melakukan hobi yang datang belakangan. Misalnya menonton berbagai judul dorama maupun film-film Jepang. Atau anime. Atau film maupun serial televisi Amerika dan Eropa. Atau nonton konser maupun variety show yang memunculkan idola-idola kesayangan saya.
Dulu, menyelesaikan satu novel—anggaplah rata-rata tebalnya 300-400 halaman—adalah perkara sepele. Sepulang sekolah, saya cukup ganti baju dan duduk leyeh-leyeh di lantai kamar di samping jendela dan membalik halaman demi halaman buku yang saya pinjam dari perpustakaan sekolah. Agak sorean dikit nonton serial kartun yang tayang di televisi lokal. Habis mandi baca lagi. Kadang-kadang selepas bikin PR saya masih bisa meneruskan satu-dua bab. Buku perpustakaan bisa saya kembalikan dalam satu atau dua hari.
Sekarang?
Tiap ada buku yang berhasil saya tamatkan dalam tiga hari rasanya udah ingin sujud syukur. Masa kejayaan progres membaca ini sudah pergi entah ke mana.
Perjalanan menyelesaikan suatu buku yang jadi berkali-kali lipat lebih lama ini tak ayal membuat saya mempertanyakan: apakah saya masih berhak mengklaim diri sebagai seseorang yang gemar membaca? Do I have the rights to self-proclaim as a Reader?
Barangkali (barangkali, ya) suasana hati saya sedikit-banyak mirip mereka yang ditodong dan dicurigai oleh pasangannya—minimal orang-orang yang sedang dekat—tentang kenapa tidak pernah mengunggah foto berdua ke akun media sosialnya. Atau lebih tepatnya, mereka yang diragukan perasaannya karena tidak cukup banyak menghabiskan waktu bersama pihak-pihak yang disukai. "Kamu tuh bener-bener sayang aku nggak, sih? Apa kamu jangan-jangan malu kalau ketahuan lagi sama aku? Kamu nggak inget ya kalau aku udah ada di sini sejak dulu? Bahkan sebelum kamu kenal internet dan bisa baca atau nonton berbagai hiburan lain itu?? Aku nggak cukup penting buat kamu, makanya kamu jarang mempedulikan aku??? JAWAB!!!"
Repot, kan.
Intensitas membaca yang mbuh banget ini sedikit banyak juga menghalangi saya untuk bergabung buddy reading dengan orang lain. I don't even know if I can finish it on time, or even at all. Katakanlah saya menemukan waktu untuk membaca secara rutin setiap harinya, yaitu sembari ngeden di atas kloset (yang dengan bangganya saya sebut kegiatan ini BASARA—baca sambil berak). Saya masih perlu mengambil keputusan: bacaan mana yang akan saya lanjutkan di waktu yang terbatas itu. Apakah mau menambah satu bab di novel thriller yang sejak tiga minggu lalu nggak kelar-kelar dibaca? Ataukah memilih menikmati bab terbaru shounen manga yang baru dirilis kemarin? Mungkin sebaiknya saya baca artikel viral terkait pengalaman wartawan iseng-iseng jadi kurir marketplace yang sudah berhari-hari mangkrak di tab Bookmark? Atau justru mencoba bab perdana dari webtoon yang direkomendasikan hampir seluruh orang yang saya kenal?
Decision, decision...
Terus terang, ketika sesama pembaca buku memaparkan pencapaian mereka, misalnya "Aku baca 25 buku dalam sebulan, ini dia judul-judulnya!" saat itulah benak saya kembali mempertanyakan apakah diri ini masih layak menyatakan klaim sebagai orang yang suka baca. Muncul keraguan dan kecurigaan yang menyeruak. "Tuh lihat, orang lain yang ngaku suka baca tuh bisa melakukan sejauh itu, kok. Kamu apa kabar?" Jangan-jangan saya ini impostor? "What if I am nothing more than a poser?" Terlebih ketika mendengar cerita bahwa seseorang yang saya kenal sedang mengalami reading slump dan hanya sanggup membaca buku sejumlah jari sebelah tangan. Hati kecil saya berbisik, "Kamu pas reading slump bisa nggak menyentuh apa pun sama sekali dalam sebulan, lho. Apa nggak malu?"
While I know this thought is not the healtiest, if at all, it's just inevitable. Bukan berarti saya melarang-larang atau tidak suka melihat orang lain menceritakan keberhasilan perjalanan membaca mereka. My feelings are my own business. Me ending up questioning myself is not anyone's fault. Really.
But then again, does my love for reading still count and matter when I cannot even finish one book? What kind of reader does that make me?
Saya sampai detik ini masih berusaha mencari jawabannya.
z. d. imama
Bagus tulisannya. Semangat cari jawabannya mbak 😁
ReplyDeleteSama banget, Ziii... Dulu aku bahkan bisa baca Harry Potter dan Orde Phoenix sampai selesai dalam waktu 18 jam. Non stop bacanya, begadangan, lupa makan, dan lupa mandi. Sekarang? Satu hari bisa baca sampai 100 halaman saja sudah bagus. Seminggu bisa selesai satu buku sudah hebat. Kalau dulu aku tidak takut baca buku setebal apapun, sekarang tuh jadi gak berani lagi baca buku tebal-tebal. Pengennya tuh baca buku yang di bawah 300 halaman aja. Wkwkwk.
ReplyDelete