Sunday 19 May 2019

"Perfect World" drama series is a redemption of its movie


Setelah sebulan blog ini mengalami kegelapan―please don't make me explain anything―, saya akhirnya menemukan sesuatu yang ingin ditumpahkan uneg-unegnya secara panjang lebar. Desember 2018 lalu, pada event Japan Cinema Week yang ulasannya saya sampaikan dalam dua tahap (di sebelah sini dan sini), saya menonton Perfect World. Diadaptasi dari manga populer berjudul sama, film tersebut mengisahkan tentang kisah romansa seorang perempuan yang di dunia kerja bertemu lagi dengan kakak kelas gebetannya semasa SMA dalam kondisi duduk di atas kursi roda akibat kecelakaan semasa kuliah, dan sukses membuat saya menangis... saking frustrasi memikirkan betapa medioker karya ini. Padahal sudah bawa-bawa Sugisaki Hana, salah satu aktris muda favorit saya yang paling bisa dipercaya dalam berakting dibanding seangkatannya, sebagai protagonis. Itu pun filmnya gak ketolong. Sangat sulit untuk menikmati filmnya saking membosankan dan segalanya terasa berjalan sangat lambat. Heran.

Fast forward ke 2019, tepatnya musim semi, tampaknya ada sejumlah manusia-manusia yang gemes dengan kualitas film Perfect World dan memutuskan bikin ulang semuanya. Jajaran aktor dan aktris berbeda. Tim produksi berbeda. Bahkan medium berbeda, sebab kali ini Perfect World dihadirkan sebagai serial drama televisi. Saya hampir tidak mau nonton. Ternyata lumayan trauma juga sama filmnya, men. Tetapi setelah mempertimbangkan banyak hal.. sekaligus karena rupanya saya banyak waktu luang, tombol Play di laptop pun saya tekan. Adegan demi adegan bergulir.

WOW THIS IS ACTUALLY RATHER GOOD????

Kawana Tsugumi versi film bioskop (2018): Sugisaki Hana.

Kawana Tsugumi versi serial drama (2019): Yamamoto Mizuki

Thanks to enough screen time, so many happenings, backstories, and details are well-put in the drama series. While its movie counterpart is cliche scene after cliche scene along with equally cliche lines (and sometimes with "How the hell is this happening????" inward scream), the drama series fleshes out everything in between and ACTUALLY MAKES THINGS WORK. I haven't read the manga so I don't really know how they both compare with the highly-praised original material, but there are some small differences that I think the drama series gets them right.

  • Kawana Tsugumi dan Ayukawa Itsuki (Matsuzaka Tori) dikisahkan sebagai teman sekelas, alih-alih senior-junior SMA sebagaimana filmnya
Saya curiga kalau versi film pasti diubah dari manga karena emang maksain mau nampilin Iwata Takanori dan Sugisaki Hana sebagai protagonis, tapi mereka berdua jarak usianya cukup terlihat. This ex-classmate trope works wonders in this story because there is a particular closeness and familiarity built up, it makes exchanging banters and hangout invitations feel so much natural. Both characters are on a level ground instead of blind adoration of a junior to her senior. Interaksi Kawana dan Ayukawa versi serial drama sangat menyenangkan disimak, dan karakter Ayukawa dihidupkan sedemikian rupa oleh Matsuzaka Tori sampai-sampai saya kadang lupa kalau dia duduk di atas kursi roda. His personality is very much apparent and it comes forward beautifully and if this doesn't mean justice to any handicapped people out there in real life then I don't know what does. Umur masing-masing tokoh utama yang digambarkan sudah mencapai (atau hampir) 30 tahun pun membuat banyak hal lebih masuk akal, khususnya realita bahwa adulting is hard. Huhuhu.

Menikmati pemandangan sakura di atas bukit: Perfect World drama series (2019)

  • Relasi keluarga dan sosial yang bisa dipercaya.
I really like how social interaction in the drama series turns out. Masing-masing punya keluarga, teman, rekan kerja, bahkan... mantan, dengan hubungan yang meyakinkan. Nggak bikin kita merasa "Ini masa di hidup mereka gak ada siapa-siapa sama sekali sih??" yang kadang justru tidak masuk akal. Bahkan ayah Tsugumi yang rajin menelepon demi ngogrek-ogrek anak perempuannya agar pulang kampung setiap pekan karena "Toh di perantauan kamu nggak dapet pacar dan kerjaan juga gitu-gitu aja" terasa sangat dekat dengan apa yang bisa terjadi pada kehidupan nyata. Well, okay, perhaps that's just me. But hey, we even get spectacles-wearing Seto Kouji as Koreeda Hirotaka, Tsugumi's best friend since school days, and that serves as cherry on top.


Pola hubungan antara Tsugumi dan Hirotaka sebenarnya sangat tidak asing: yang cowok sebenarnya naksir sejak lama tapi bertepuk sebelah tangan, dan yang cewek sama sekali tidak menyadari kalau ada yang naksir. A bit worn and overused trope, however, this series use that scenario rather wisely, as the second male lead can pull off the disruptive role without making us the audience pity him unnecessarily, or turning him into the 'villain'.

  • Overall color palette.. or scheme? Whatever you name it.
ITU LOH WARNA FILM SECARA KESELURUHAN. Apa sih namanya???? Perfect World versi film terasa dipaksakan agar tampak bubbly, dreamy, berasa dikasih dandanan berlapis-lapis filter Instagram. Cakep sih.. tapi lama-lama capek juga di mata kalau nggak berhenti-berhenti selama satu setengah jam durasi pemutaran film. Apalagi layar yang dipantengin segede gaban. Bandingkan dengan shot dari serial drama yang lebih.. biasa aja, nggak di-gloss over pakai apa-apa.

Adegan rumah sakit: Perfect World movie version (2018)

Adegan rumah sakit: Perfect World drama series version (2018)

In summary: this drama is a good redemption attempt of its movie counterpart. Walau bercerita tentang seseorang dengan keterbatasan fisik, Perfect World versi drama nggak berminat menjual menye-menye, dan sejauh empat episode yang sudah tayang sampai tulisan ini dibuat, saya rasa tim produksinya berhasil. Love does apply to everyone. No matter how, what, and who you are.

z. d. imama

4 comments:

  1. hi! if its not a bother, would you please tell me where do you watch it? the one with subtitle���� thanks in advance!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi. I just finished watching the series on netflix. It was waaaaay better than the movie.

      Delete
  2. IMHO kemampuan akting sugisaki hana masih jauh di bawah yamamoto mizuki sih. Auranya juga beda.

    ReplyDelete
  3. Setuju banget, awal pertama kali nonton yang tv series dan langsung kehipnotis, emosinya dapet.
    Kaya bikin penonton juga merasakan.
    Berharap lebih di versi filmnya, dari awal udah agak males, karena cewenya terlalu manja (cmiiw belum pernah baca manganya) alurnya terlalu cepet, kaya moment2 sama ayukawa aja ga bisa dirasakan. Tiba2 udah putus. Sangat membosankan.
    Terus berpikiran "Ini film apaan "sih? Kecewa banget.

    Untung ada tv seriesnya, walaupun udah lama beresin smua episode, tapi berhasil dibikin baper sampai sekarang.

    ReplyDelete