Monday 17 June 2019

The Reading Dilemma


Sebagai salah satu manusia yang ngaku-ngaku kebanyakan hobi, saya selalu pusing membagi waktu untuk melakukan semuanya―dan masih berusaha menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab terhadap hidupnya sendiri dengan bekerja nyari nafkah sehari-hari, tanpa keenakan jadi pengangguran. Nonton serial drama atau film dan variety show, kirim-mengirim kartupos, pergi ke bioskop, jalan-jalan random tanpa tujuan, termasuk hobi saya yang paling senpai alias tertua: baca buku. Jenis buku langganan saya sebatas komik dan novel. Terus terang, saya tidak terlalu punya ambisi melahap buku-buku nonfiksi kecuali ensiklopedia―semata-mata lantaran buanyak dijejali foto-foto ilustrasi berwarna-warni yang sangat menarik hati.

Semasa kanak-kanak sampai remaja, mengoleksi buku cetak adalah satu-satunya hal yang terlintas di benak saya tiap ingin memiliki suatu judul. Ada puluhan, bahkan mungkin ratusan judul berjajar berdesakan memenuhi rak-rak dan lemari buku di kamar selama bertahun-tahun. Hingga saya masuk jenjang pendidikan tinggi, di mana para dosen banyak mengirimkan materi serta referensi belajar berupa buku elektronik (selanjutnya secara selang-seling akan saya sebut 'e-book' sebagaimana istilah populer) yang bisa dibaca melalui komputer. Udah nggak usah ngoreksi dengan nyebut, "Lho kan bisa pakai smartphone juga???" karena mahasiswa gembel macem saya baru berhasil nabung cukup untuk beli smartphone di penghujung tahun ketiga kuliah.

Dunia saya terguncang.

Gak kok. Itu gak lebay. I was really shooketh the first time I read a proper book from my handheld device. Sebelumnya kan mentok-mentok fanfiction ya.. dari situs terkait masing-masing. Nggak nyangka aja ternyata baca novel (dan materi kuliah) bisa sepraktis itu. Sekaligus sejereng itu―disclaimer: layar ponsel pintar saya di masa tersebut relatif sangat kecil.

But which one I prefer best amongst the two?


Buku-buku bacaan cetak punya banyak kekuatan. Terutama karena secara fisik mereka ada, sense of existence sangat kuat. Berasa banget ketika kita memang 'punya'. Bisa dilihat berjajar di lemari atau rak buku. Dipegang, digrepe, dan dibolak-balik sampul maupun halamannya. Bisa ketahuan secara jelas apakah buku-buku tersebut dirawat, dianiaya, atau ya terlupakan begitu saja keberadaannya setelah beberapa lama. ALSO, THE SMELL. Pernah nggak sih memperhatikan aroma kertas dari sebuah buku baru yang masih kinyis-kinyis? Wanginya tuh sangat menenangkan hati. Bau buku-buku bekas, atau buku lama, juga beda lagi. Mengendus-endus kertas buku adalah suatu pengalaman yang nggak akan bisa didapati jika kita berhadapan dengan versi non-cetak.

Saya rasa penyusunan buku cetak pun melibatkan lebih banyak manusia. Banyak pihak bahu-membahu dalam sebuah penerbitan, terutama ya karena mereka memang perlu diurus percetakan, digotong-gotong ke mana-mana saat proses distribusi, dipajang di toko buku yang butuh penataan khusus agar menarik, gudang penyimpanan, dan lain sebagainya. Maybe it's a sentimental value after all, but still a value nonetheless.

The biggest letdown is that printed books demand so much space. SO. MUCH. SPACE. Buset dah gimana nyimpennya kalau tempat tinggal gedenya segitu-gitu aja, rak buku juga cuma satu-satunya? Belum lagi jika ternyata sang kolektor adalah warga kos-kosan yang ruangannya sepetak doang. Mampus ae. Saya yang saat ini hanya mengoleksi beberapa judul komik cetak terbitan lokal sudah berasa empot-empotan karena rasanya nggak ada tempat layak lagi untuk naruh jilid-jilid baru yang rutin bermunculan kayak jerawat. Mau dibawa jalan-jalan pun harus super selektif. Tidak bisa seenaknya main cemplang-cemplung ke dalam tas lantaran berat. Bicara pemeliharaan, musuh buku cetak juga tidak sekadar waktu. Hewan-hewan kecil hama rumah tangga yang serangannya kadang tak bisa diduga harus diperhitungkan sebagai lawan tangguh. Lembar-lembar halaman berangsur menguning, lapuk, hingga bolong-bolong digerogoti kutu, rayap, tikus.. bahkan tidak jarang buku cetak justru rusak akibat keteledoran pemilik sendiri. Ketumpahan kopi, misalnya. Hhhhh. Makan ati. Perih.

Screenshot segelintir koleksi e-book pribadi. Please (don't) judge me.

Sementara itu, buku digital (atau yang biasa disebut e-book) memang tidak semelankolis buku fisik. Itu fakta. But oh dear Lord isn't it groundbreaking. Saya bisa bawa lusinan buku-buku yang saya miliki sekaligus saat bepergian ke mana-mana cukup dengan bermodal satu gawai elektronik―biasanya sih ponsel biasa, berhubung tidak punya Kobo ataupun Kindle―tanpa harus keberatan beban bawaan akibat menggotong-gotong ribuan lembar kertas. Malahan bisa santai nyolong-nyolong nyambi baca novel di komputer kantor sewaktu sedang jenuh ngadepin kerjaan dan perlu penyegaran pikiran (maafkan saya, Bapak dan Ibu bos). Anjer praktis syekale!!! Saya tidak berlangganan paket di situs baca tertentu seperti Gramedia Digital Store atau Bookmate sehingga selalu beli ketengan via Google Playbooks. Agak tidak cukup hemat jika dibandingkan ongkos pengeluaran paket baca bulanan, terlebih saat kalap, namun gini aja saya udah hepi banget karena ada banyak sekali judul-judul yang bisa ditemukan meski rilisan fisiknya udah dicari sampai jebol ke berbagai toko buku tetap kagak dapet-dapet.

Kelemahan terbesar dari e-book ya nggak bisa dipamerin. Taek banget, kan. Hahaha. No, really. I'm dead serious. Cenderung mustahil―atau setidaknya, sulit sekali―pakai buku-buku digital koleksi pribadi sebagai properti untuk foto-foto cantik dan diunggah ke media sosial. Seandainya temen, pacar, saudara, atau gebetan berkunjung ke tempat tinggal, tidak peduli mau seheboh apa katalog e-book kita di akun pribadi, nggak akan semudah itu kepergok bahwa ternyata kita seorang kolektor buku atau hobi membaca. Lah ya mau gimana wong wujud fisiknya nggak ada... Perhaps this can teach us one or two about humility? I don't know. I wonder?

Buku digital tidak butuh susah-payah dipersenjatai dari serangan hama rumah tangga lantaran tidak menggunakan kertas. Lebih mudah dirawat. Asalkan kita nggak lupa password atau melakukan tindakan bodoh lain yang menyebabkan akun terkunci selamanya, sih. Even it's arguably friendlier to nature. Ketakutan terbesar saya terhadap e-book yang berjajar manis dalam koleksi pribadi adalah membayangkan situs atau penyedia layanan buku digitalnya kukut suatu hari nanti. Bangkrut. Tutup usia. Tidak masalah jika datanya bisa diunduh dan disimpan sebagai salinan. Tapi kan nggak semuanya begitu, kamerad. Bohong kalau saya bilang buku digital bikin bebas kekhawatiran. Tetep cemas, hanya saja lain perkara. Wk.

Meski kerap terbelit dilema tentang buku cetak versus digital, belakangan ini saya lebih sering baca buku digital. Alasannya sederhana: kamar kos berukuran mungil. I need my precious space! Tidak akan saya serahkan lahan kosong untuk goler-goler di kamar saya, bahkan kepada buku sekalipun.

Ada yang berkenan bagi-bagi pengalaman berbeda?
Atau sekadar numpang curhat di kolom komentar?
Silakan, lho.

z. d. imama

10 comments:

  1. Dulu aku #TimBukuCetak, tapi sekarang dengan alasan yang sudah kamu jabarkan (plus, harganya yang semakin lama semakin sinting mahalnya) aku jadi #TimEbook. Apalagi setelah langganan Gramedia Digital Premium. Cuma bayar Rp89ribu dibagi 5 orang (jadi masing-masing cuma bayar Rp17.800), aku sudah puaaaas banget. Budget buku bisa dialihkan ke yang lain, misalnya skincare. Ehe. Belum lagi ebook lain yang aku dapat secara ilegal. Haduh, yang ini jangan ditiru. Hihihi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Enak sih mbak kalau cocok sama paket baca yang murah-meriah gitu. Kebanyakan buku yang kuminati nggak masuk di katalog Gramedia Digital, jadi ya sampai sekarang aku masih beli ketengan di Google Playbooks. Nggak terbilang hemat juga sih, cuma tiap rupiah yang kuhabiskan nggak mubazir karena emang yang dibeli inceran semua...

      Delete
    2. Kamu minatnya baca buku yang kayak mana, Zi?

      Delete
  2. masalah lain yang mungkin muncul dari satu gawai untuk banyak hal adalah, semua bentuk gangguan (sns, browsing, youtube, dsj) hanya berjarak beberapa ketukan tangan saja. pun jika airplane mode diaktifkan, video yang tersimpan offline masih berjarak dekat juga. ya setidaknya begitulah yang terjadi dengan attention span gue yang selebar kentang.

    ReplyDelete
  3. Buku cetak atau ebook pastinya punya kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Tergantung apa yang kita mau. Kalo mau simple, ya ebook. Tp kalo pengin baca buku dengan experience yang "nyata", tentu cetak pilihannya.

    ReplyDelete
  4. Pernah punya banyak buku, semasa masih SD sampai SMP. Walhasil, buanyaak banget sampe berdus-dus. Koleksi rata-rata buku paket, LKS dan RPUL, hanya segelintir komik dan buku gambar. SMA sampai kuliah makin dikit koleksi karena space. Masa SMA isinya nyimpen halaman web jadi PDF, save as teroos. Karena nyari buku digital di masa itu masih sulit, nggak semudah sekarang. Lanjut pas kuliah, cuman bisa ngoleksi digital. Tapi tetep, untuk beberapa buku tertentu kadang ya beli juga.

    Btw, sering ngerasa heran aja sih. Ramainya gawai, buku digital dan kawan-kawannya, penjual buku fisik masih punya pasar. Tapi, bisa sampai kapan. Heheh//////////~

    ReplyDelete
  5. yang nggak aku suka kalau baca ebook adalah...mata pedih jendral, mataku mudah pedih lihat layar ponsel :(

    ReplyDelete
  6. Aku selalu memilih #TimBukuCetak. Jauuuh lebih nyaman dan menyenangkan baca buku cetak daripada ebook. Dulu pernah bela-belain beli ebook reader supaya akses buat baca buku tambah banyak tanpa mengurangi space. Tapi kemudian ada satu momen yang bikin aku jadi nyesel udah ngandelin ebook reader. Jadi ceritanya aku lagi jalan ke luar kota. Malas bawa buku cetak yang berat, aku udah pede bawa ebook reader. Malam-malam udah santai sambil niat baca ebook, eh ternyata baru dibaca bentar, ebook readerku mati donk. Ternyata baterainya habis. Daaan...aku gak bawa chargernya. Trus jadi kesel sendiri XD Walopun ebook reader udah didesain dengan teknologi e-ink tanpa backlight dan memungkinkan kita untuk membolak-balik halaman dengan layar sentuhnya, rasanya tetap beda. Cuma memang betul juga yang kamu bilang. Buku cetak itu perawatannya lebih sulit dan sangat makan tempat. Sebagai anak kosan yang kamarnya sempit, yang bisa aku lakukan hanyalah...membeli rumah di pinggiran Jakarta dan mendedikasikan satu kamarnya untuk buku-bukuku haha! Jadi yang ditaruh di kamar kosan hanya buku-buku yang paaaaling disuka dan buku-buku baru yang belum dibaca habis ._.

    ReplyDelete
  7. Aku #TimBukuCetak hehe, kenapa ya? Rasanya enak aja gitu megang fisiknya langsung. Beli printilan bookmark-bookmark lucu sama goods lainnya huhu
    Paling nggak bisa nahan buat nyari-nyari

    ReplyDelete
  8. terus terang saya malah membatasi jumlah buku yang akan saya beli, mengingat ternyata ada kurang lebih 10 buku yang belom saya baca sama sekali. entah karena memang lagi malas membaca atau malas membawa buku kemana-mana yang orang pasti akan "heh? baca buku apasih serius amat." dan kita musti meluangkan waktu untk menyodorkan judul bukunya. lebih panjang lagi "buku tentang apasih iyu?" yang ada saya gak jadi nyesesain buku karena malah diajak ngobrol bab buku yang saya selesai saja belum. hiks. padahal kalo baca di rumah doang bosen. pindah dari kamar, depan tv, ke teras, gitu terus sampe kesemutan dan harus pindah lagi.
    mungkin janji sama diri sendiri paling ga setahun menyelesaikan baca 3 buku yang sudah dibeli lalu kemudian bisa beli buku baru lagi. heheee. padahal sudah hampir 2 kardus novel teenlit saya kirim dan bagi-bagi ke orang.

    ReplyDelete