Wednesday 29 August 2018

"Amaama to Inazuma" is a warm roll of fluffy blanket


Serialisasi manga "Amaama to Inazuma" bulan ini akhirnya berakhir. Jujur saja semenjak Gerakan Pengkhianatan Usagi Drop 2015, which I won't elaborate further so please just open the link I attached previously, saya punya trauma cukup besar dan trust issues menganga terhadap manga yang melibatkan tema parenthood. Pertanyaan-pertanyaan seperti, "Will this be as good as it starts or will this series run long enough to turn itself into another horrendous, sickening shit called Usagi Drop 2.0???" berkecamuk di benak saya. Setiap twists and turns yang terjadi dalam Amaama to Inazuma―yang mana judul terjemahan bahasa Inggrisnya adalah "Sweetness and Lightning", whatever the hell that means―selalu saya simak dengan perut mules.

Thank god, Amagakure Gido knows better. Barangkali jika Amaama to Inazuma berakhir buruk, saya nggak akan sudi capek-capek menuliskan ini. It's a seinen manga (if we go by the genre), but it can also dive into shoujo manga category with ease. Bahkan menurut saya, kisah Amaama to Inazumi jauh lebih baik ketimbang segepok judul shoujo manga kebanyakan keju―overly cheesy―yang memang membanjir di luar sana dan menuh-menuhin populasi.


Inuzuka Kouhei, seorang guru SMA, kehilangan istrinya yang meninggal karena penyakit misterius enam bulan lalu. Mau tidak mau, dia harus mengurus anak perempuannya, Tsumugi, yang masih berusia empat tahun sendirian. Berhubung Kouhei tidak bisa masak, selama enam bulan dia selalu membelikan Tsumugi ready-to-eat bento, yang rupanya lambat laun Tsumugi juga merasa bosan sehingga tidak menghabiskan makanannya. Di tengah-tengah kebingungan, Inuzuka bertemu salah satu siswi di sekolah tempatnya mengajar, Iida Kotori, yang keluarganya membuka restoran. Sejak saat itu, Inuzuka kerap bertandang ke dapur restoran keluarga Iida untuk belajar masak demi nutrisi Tsumugi yang lebih baik.

Udah. Gitu aja sih. Cerita Amaama to Inazuma sebenarnya lebih condong ke gastronomi, dengan berbagai menu makanan dicantumkan dalam judul setiap bab. Tapi setiap cerita memuat hal-hal yang menurut saya sangat manis dan penting dalam hidup. Aspek lain yang saya gemari di dalam kisah ini adalah bagaimana masing-masing karakter berkembang. Baik itu Inuzuka Kouhei sebagai single father, Tsumugi selaku anak-anak, Kotori yang harus mulai memikirkan masa depannya, hingga orang-orang di sekeliling mereka.

Berbeda dengan kebanyakan manga slice-of-life, waktu di Amaama to Inazuma digambarkan bergerak secara eksplisit. Paling kentara memang Tsumugi, sih. Bab pertama, dia diceritakan masih berumur sekitar empat tahun, namun di bab pamungkas Tsumugi diperlihatkan sudah menginjak usia remaja. Luar biasa. Masalah demi masalah yang dihadapi pun jadi terasa makin relevan dengan bergeraknya waktu. Misalnya ketika Tsumugi pertama kali berbohong―bagaimana dia menyikapi apa yang dia rasakan serta tindakan apa yang diambil ayahnya ketika mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, menurut saya sangat menghangatkan hati.




Premis sesederhana "Belajar masak karena sayang anak" tidak pernah semenyenangkan, sehangat, dan segemas ini. Dinamika antarkarakter yang demikian menarik untuk diikuti juga menjadi faktor utama kenapa saya sangat, sangat. sangat merekomendasikan manga Amaama to Inazuma terhadap siapa pun. This series is so pure and full of kindness it might return your faith to humanity and loveNow let me list a few things on why nobody shall not skip, or sleep on, Amaama to Inazuma.

  • The artwork. Amagakure Gido-sensei knows his shit. Desain karakternya sempurna. Semua terlihat sebagaimana usia mereka, baik secara penampilan maupun perilaku. Selain itu, tidak ada satu makanan pun yang dimunculkan dalam keseluruhan serial Amaama to Inazuma yang membuat saya tidak merasa lapar. All the foods are drawn very, very well.
  • The characterizations. Ya Rabb. Ini kekuatan terbesar Amaama to Inazuma, jika berdasarkan penilaian pribadi. Bagus banget sumpah. Kalau boleh minjem jempol tetangga demi mengapresiasi Amagakure Gido-sensei, I'd do it for sure. Saya nggak akan heran jika ternyata Amagakure-sensei punya penasihat psikologis anak-anak untuk membantu menyampaikan perkembangan Tsumugi. Sekeren itu.
  • The pacing. Masing-masing cerita terpisah Amaama to Inazuma bergulir dengan sangat baik. Tidak ada yang terburu-buru. Santai. Tapi nggak bikin pembaca bosan atau berpikir, "Ini mah kagak ada apa-apa yak?"
  • The fact that it successfully went the direction Usagi Drop failed, or refused, to take. Nuff said. Bravo, Amagakure-sensei. Bravo.
  • INUZUKA TSUMUGI. Holyyyyyyyy angel. Tsumugi tuh levelnya udah kayak Ashida Mana versi 2D. GEMES BANGET. Kebayang kan kadang suka ada tokoh anak-anak yang mau gimana pun, dan meski harusnya jadi cute, pure factor di sebuah cerita, jatohnya malah bikin ingin melakukan tindakan kekerasan saking nyebelinnya kayak Soo An dalam film Train to Busan? Nah, Tsumugi adalah the epitome of pureness. She actually behaves like little girl (the good, educated, empathetic one) and not a squirrel on crackNo one in their right mind won't volunteer to protect this child.

Please, please read Amaama to Inazuma. Let the series heal your heart. Sebagai penutup tulisan propaganda ini, saya sertakan potongan video adaptasi anime di mana Tsumugi menyanyikan lagu ikan hiu ketika melakukan perjalanan keluar rumah seorang diri untuk pertama kali.


Yes, yes. I know. No need to thank me. Just... read the whole series. And adding to the good news: Elex Media Komputindo telah memperoleh lisensi untuk penerbitan Amaama to Inazuma di Indonesia. Yay! Bagi yang ingin mengoleksi, bisa langsung mampir ke toko buku terdekat atau pesan di Gramedia online. Trust me, you will never regret this one.

z. d. imama

1 comment:

  1. Barusan nonton dua episodenya, dan ya ampun...emang heartwarming banget! Di episode pertama bahkan bercucuran air mata saking terharunya di beberapa scene. (Entah, mungkin karena efek PMS juga). Sebelumnya, nonton Boku Dake ga Inai Machi juga karena rekomendasi di blog ini. Terbaik memang!

    ReplyDelete