Tuesday, 22 November 2016

Closure.

Tuesday, November 22, 2016 12

"I really hate myself for being incapable of moving on unless I get proper closure."

Kalimat pembuka di atas merupakan sebuah postingan dari akun Twitter pribadi saya beberapa waktu lampau. Frase 'moving on' di sini nggak terbatas pada urusan romansa saja ya, walau tidak memungkiri kalau topik itu juga terlibat. Hohoho. Tetapi pada intinya, saya adalah tipe manusia yang butuh mendapat proper closure nyaris untuk segala hal, agar bisa melanjutkan langkah tanpa kepikiran lagi tentang masalah yang itu-itu melulu.. hanya karena statusnya masih nggantung. Tanpa ending. Belum kelar. Ibarat kalimat tanpa tanda titik. Atau tulisan yang nggak beres diketi

(Barusan itu disengaja, ya.)

Coba saya kasih ilustrasi sederhana saja. Contoh paling normal yang mestinya pernah dialami semua makhluk Homo socialis: bikin janji bertemu teman. Ketika saya janjian dengan seseorang untuk hang out bersama, kemudian tiba-tiba acaranya batal atau mendadak orangnya nggak mood keluar rumah, saya butuh informasi. Butuh pemberitahuan. Butuh kabar. Ada kan, tipe-tipe siluman kaleng sarden yang bersikap semena-mena dengan janji yang sudah dibuat bersama orang lain? Sepakat bertemu di tempat X pada jam sekian, eh ternyata setelah kita tiba di lokasi pun mereka nggak ngontak sama sekali. Begitu waktu janjian lewat barulah mak glundung-glundung ada pesan Whatsapp/LINE/segala macam aplikasi ngobrol gratisan yang bunyinya, "Aduh sori ya gue nggak jadi bisa dateng."

Yea, tell me something I don't know.

Setiap tidak mendapat closure atau ending, terus terang saya merasa direpotkan karena jadi ribet sendiri. Uring-uringan sendiri. Hampir selalu kepikiran. Saya akan selalu teringat suatu peristiwa yang tidak ada closure-nya itu sewaktu-waktu, bahkan di momen-momen random sekalipun. And that, people, is never a fun thing. Apalagi jika posisi saya sebagai pihak yang dirugikan, sebagaimana contoh ilustrasi di atas. Tiap kali akan melakukan aktivitas yang melibatkan orang yang sama, saya jadi malas. Sebab masih terbayang-bayang pengalaman sebelumnya.

Ingin contoh lain? Baiklah. Anggap saja saya patah hati. Masalah patah hati, bagi saya, dampak yang ditimbulkan dan penanggulangannya akan berbeda jika kasusnya berlainan. Saya tidak punya masalah jika orang yang saya taksir habis-habisan ternyata memilih bersama orang lain. "Pilihan orang tersebut untuk bersama dengan yang lain" adalah closure bagi saya. Sudah. Cerita untuk saya jelas selesai sampai di situ. Mau lihat orang tersebut gandengan sama yang lain pun oke-oke saja. Tapi jika katakanlah, orang yang tadinya begitu dekat dengan saya tiba-tiba menghilang dari peredaran. Berhenti mengontak. Tak ada kabar. Komunikasi putus mendadak, padahal saya tahu dia masih 'beredar' di sekeliling saya, tidak direkrut kaum ekstremis lalu dikirim ke Suriah atau diculik untuk dijadikan budak di luar negeri. Jika sudah begini, saya biasanya jadi cranky, insekyur, dan gelisah sendiri. Menganalisis seenaknya dalam kepala apa yang kira-kira memicu hal ini terjadi. Kesalahan apa yang sudah tanpa sadar saya lakukan. Belum lagi terbayang-bayang tampang orang tersebut sewaktu-waktu. Kacau.

Screw you. Screw this all. Screw everything.

Merepotkan betul.

Biasanya, ketika saya tidak mendapatkan closure, yang saya lakukan adalah lari. Maka begini-begini, diam-diam saya adalah pelari handal. Nggak, ding. Maksudnya adalah saya kabur. Pergi, pindah ke tempat lain yang membuat saya tidak perlu bertemu kelompok atau peer yang akrab dengan orang tersebut. Bahkan terus terang, salah satu faktor utama yang menyemangati saya untuk lulus kuliah adalah karena saya punya masalah tanpa closure dengan satu teman kampus. Daripada saya ke sekolah(?) cuma buat kepikiran dia apalagi berpapasan, mending saya lulus terus nyari duit.

Kayak gini cuma saya aja nggak sih yang ngalamin?

z. d. imama

Friday, 18 November 2016

Ie Uru Onna: because your home is my business

Friday, November 18, 2016 0

Rumah. Suatu aset yang―katanya orang-orang tua―nggak bisa dibeli generali millennials apalagi Z gara-gara mereka kebanyakan jajan kopi mahal lima puluh ribuan. Padahal nggak beli kopi pun tetep aja harga rumah di luar kemampuan beli lha wong gaji cuma selemparan kolor. Tapi ya sudahlah ya. Jaman orang-orang tua kan sawah berlimpah, tetangga juga dikit, makanya mereka berlomba-lomba beli tanah dan memperbanyak anak. Eh ini ngomongin apa, sih?

Mari kembali ke jalan yang benar. 

Salah satu drama musim gugur 2016 yang menggelitik keingintahuan saya adalah Ie Uru Onna (terjemahan bahasa Inggris harfiah: House-selling Lady), yang mana judul versi Inggris-nya berubah menjadi Your Home is My Business. Walau saya hampir tidak menonton serial ini karena judulnya yang agak-agak terlalu a la kadarnya dan kurang intriguing, begitu melihat jajaran pemain yang kebetulan banyak di antara mereka masuk favorite list pribadi, langsung deh disambar.


Opening sequence yang menampilkan Kitagawa Keiko sebagai tokoh utama, the house-selling lady, Sangenya Machidibaca san-gen-ya, bukan sang-enya, apalagi sange-nya―dengan penuh wibawa dan elegan membuat saya berpikir, "Oh drama profesi ya. Mungkin ceritanya agak-agak serius". Dugaan saya, episode demi episode sepanjang seri drama ini akan mengisahkan seorang agen properti dengan berbagai kelihaian dan kemampuan untuk menjual hunian kepada klien-klien yang ditemuinya. Well, I am not wrong. At least not completely. Sangenya Machi is portrayed as indeed a very capable and professional real estate agent.

But never once did I expect the comedy.

Setelah penetapan Tokyo Olympics 2020, dikisahkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan bisnis real estate naik drastis. Salah satu perusahaan yang turut berkecimpung dalam perhelatan itu adalah Teiko Real Estate, dan sebuah kantor cabang mereka di Shinjuku kedatangan kepala bagian marketing baru. Siapa lagi jika bukan Sangenya Machi. Kehadiran perdana Machi di kantor Teiko Real Estate cabang Shinjuku yang digambarkan seolah-olah dia adalah malaikat penyelamat, lengkap dengan sinar matahari menyinari dari belakang punggung sudah bikin saya kebingungan. Adegannya kok cheesy amat? If this is going to be a serious drama, that scene is absolutely out of place and messing with the vibe. 



Ketika Sangenya Machi mulai memperkenalkan diri pada rekan-rekan kerja barunya, kecurigaan saya makin diperkuat dengan cara bicara yang kaku. Mirip robot. Atau tentara. That's... weird, right? Bahkan tanpa tedeng aling-aling, Machi segera menunjukkan ketidakbergunaan salah satu kolega, Shirasu Mika (diperankan Imoto Ayako), yang semenjak mulai bekerja memang belum pernah berhasil menjual satu properti pun. Whoa, I didn't expect this. My prejudice that this drama is going to be serious and heavy started to crumble. But what got me the first laughter and blurted, "Anjeeeer!" to my laptop screen was when Machi snatches an old property that's supposed to be everyone's responsibility to sell (because it was rather an unconventional and difficult to advertise). And with full determination, ultra-serious face, and wide eyes, she speaks in front of her colleagues:


Kampret. Ngakak malem-malem kenceng banget. And that doesn't stop there. Agar Shirasu Mika punya kontribusi terhadap Teiko Real Estate, Machi dengan ketegasan yang bleber-bleber ke mana-mana dan bikin takut semua orang memplester signboard ke tubuh Shirasu Mika, kemudian menyuruhnya berdiri membagikan selebaran di depan stasiun. Semacam sandwich girl, gitu. Belum sempat saya pulih dari tawa sebelumnya, tiba-tiba saya dikejutkan seruan Machi kepada kolega-koleganya yang malas-malasan mencari klien.


Taek. The "Go!" is the main highlight in this series. Setiap kali Machi menyerukan kalimat itu, selalu ada efek hembusan angin menyibakkan rambut, super close-up shot, dan BGM tersendiri yang nggak akan saya ceritakan di sini agar tetap jadi surprise point. Sumpah ya. Sangenya Machi sangat tidak kenal ampun dan brutal terhadap rekan-rekan kerja dan bawahan-bawahannya. She even doesn't take any advice from her boss, the poor and lacking charisma Head of Branch Yashiro DaiThe ruthlessness comes off almost like a military soldier. Seriously. I can totally imagine it: Kitagawa Keiko as Sangenya Machi putting on a uniform and voila!

Tetapi tidak semua orang jadi korban perintah-perintah Machi. Adachi Satoshi (dibawakan dengan sangat nauzubilah gemes oleh forever youthful Chiba Yudai), salesman terbaik Teiko Real Estate merasa adanya rivalry tersendiri. Maklum, sebelum Machi hadir ke tengah-tengah mereka, Adachi merupakan satu-satunya orang dengan penjualan tertinggi. Interaksi antara Machi dengan Niwano Seiji (Kudo Asuka, mas-mas penuh pesona a la Karang Taruna) yang awkward tapi punya semangat tinggi juga termasuk hal yang menyenangkan untuk disimak.


Adachi yang bete.


Adachi dan Niwano menggunjingkan Machi di dalam lift dan bar sepulang kerja.

Ie Uru Onna dengan mudah merebut hati saya. Bagaimana Machi menghadapi klien-kliennya, tindakan-tindakan out of the box yang dia lakukan untuk menangani kemalasan Shirasu Mika serta sikap ogah-ogahan beberapa kolega lain menjadi poin utama yang tidak membosankan. The awesome "Go!" is a delightful cherry on top. I've seen many Japanese drama with eccentric main characters, and Ie Uru Onna is arguably one of the most memorable and likable. It doesn't take itself too seriously, yet it doesn't abandon the human side of those people involved. Someone could just call it a comedy masterpiece and I won't even complain.

Penasaran, deh. Kitagawa Keiko ngakak sendiri karena kelakuan karakter yang dia perankan nggak ya saat syuting?

z. d. imama

Thursday, 17 November 2016

Fantastic Beasts and Where to Find Them: a brand new start

Thursday, November 17, 2016 9

"Harry Potter taught us strength, loyalty, honesty & bravery. Twilight taught us how important it is to have a boyfriend." - tweet saya sendiri, 21 November 2011. Oke yakin deh saya setelah ini bakal dicegat sepulang kantor oleh penggemar Twilight Saga (kisah medioker gitu dibilang saga..) dan ditempeleng di tempat.

Saya tumbuh besar bersama novel-novel Harry Potter, and I love all of them. Very much. Oleh karena itu, ketika mendengar kabar bahwa akan dibuatkan film spin off-nya (tanpa buku sebagai original material), saya agak-agak deg-degan juga. Tidak berani pasang ekspektasi ketinggian. Bahkan saat tahu bahwa David Yates yang akan menangani film ini pun perasaan saya masih gonjang-ganjing. Tapi memang harus diakui, universe Wizarding World Harry Potter terlalu kompleks untuk kisahnya berhenti di The Boy Who Lived. Tokoh-tokoh yang muncul sangat banyak dan back story-nya begitu detil sehingga sayang aja jika dicuekin tanpa diapa-apain kayak saya di hadapan gebetan.

Batin saya baru agak tenang setelah tahu bahwa J. K. Rowling sendiri yang menulis ceritanya. Ternyata sing mbaurekso turun gunung. Baiklah, saya sudah kalem. Namun hingga kemarin menyaksikan sendiri filmnya di layar lebar (Potterhead wajib nonton di hari pertama penayangan!) saya belum benar-benar bisa jatuh cinta dengan Fantastic Beasts and Where to Find Them. Sekarang? Saya selalu kebayang-bayang adegan saat Thunderbird muncul kali pertama.

Thunderbird (from different cut; not first appearance)

Fantastic Beasts and Where to Find Them―akan saya singkat menjadi FB karena judulnya panjang amit-amit―memusatkan kisahnya pada seorang penyihir berkewarganegaraan Inggris bernama Newt Scamander (diperankan oleh Eddie Redmayne) yang mendarat di New York, pada tahun 1926. Newt datang membawa satu magically expanded koper untuk memuat binatang-binatang sihir yang ditangkap/diselamatkan dari seluruh dunia dan dirawatnya baik-baik. Masalah pertama muncul ketika satu insiden menyebabkan koper bawaan Newt tertukar dengan milik seorang No-Maj (istilah Amerika untuk kaum non-penyihir) bernama Jacob Kowalski, yang bercita-cita ingin membuka toko roti. Sejumlah binatang menerabas keluar koper dan berkeliaran di kota New York, menciptakan kekacauan skala kecil di sana-sini. Satu contoh: membuat binatang di Central Park, termasuk singa, kabur karena ketakutan. Ditemani oleh eks-Auror dari The Magical Congress of the United States of America (MACUSA), Porpentina Goldstein (plus saudara perempuannya, Queenie) dan Jacob yang sudah terlanjur melihat terlalu banyak sebagai seorang No-Maj, Newt berupaya mengumpulkan kembali binatang-binatang sihirnya dan memasukkan mereka ke kopernya lagi.

Kalau diceritakan seperti ini kok kisah FB jadi terdengar mirip-mirip sama Card Captor Sakura ya... Malah jadi lintas negara lintas fandom pula. Hahaha. *digebukin masyarakat*

Newt dan Porpentina di jalanan New York


Surat kabar versi Ameriki

Tapi sesungguhnya, Wizarding World Amerika tidak sedang adem-ayem saja. Gellert Grindelwald, penyihir aliran gelap, masih berstatus buronan. Kondisi antara komunitas penyihir dan No-Maj pun cenderung tidak akur dan bersitegang. Apalagi dengan propaganda antipenyihir yang didengungkan Second Salemers, di mana salah satu anggota mereka, Mary Lou Barebone, aktif melakukan kampanye dan tidak jarang melakukan intimidasi terhadap anak asuhnya. MACUSA, di bawah rezim Seraphina Picquery, pun mau tidak mau harus senantiasa berada dalam suasana alert karena hal tersebut. Belum lagi ditambah kasus entitas misterius yang belakangan merusak kota dan membunuh salah seorang senator No-Maj. Kisah pun mulai diungkap pelan-pelan di hadapan mata kita sebagai penonton...

Secara movie experience, FB menyenangkan sekali untuk ditonton. Pandangan kita dimanjakan oleh eksplorasi dunia sihir yang belum pernah kita lihat, kemunculan binatang-binatang sihir yang selama ini hanya terdengar namanya saja (misal: Murtlap), sekaligus penyajian realita yang membuat kita menyadari bahwa Harry Potter hanyalah seorang manusia yang hidup di tengah-tengah luasnya dunia. Harry might be The Boy Who Lived, but Wizarding World does not revolve around him. Saya terus terang jadi makin sayang sama Budhe J. K. Rowling setelah menyaksikan film ini tadi malam. Screenplay perdana J. K. Rowling ini kadang agak kasar dan cukup jumpy di awal, barangkali akibat faktor kebanyakan elemen, tapi secara keseluruhan tidak terlalu mengganggu kenyamanan dalam menikmati cerita. Saya juga tidak setuju ketika ada yang mengatakan bahwa Fantastic Beasts and Where to Find Them cuma jualan nostalgia serial Harry Potter. Good Lord, no. Film ini bukan AADC 2. This is a whole new story in a whole new timeline. Bahkan sepanjang film pertama ini―berhubung sudah dikonfirmasi bahwa total akan ada lima film―sama sekali tidak ada tokoh familiar yang muncul. Semuanya baru. Albus Dumbledore pun hanya disebutkan namanya satu kali pada sebuah adegan. Sumber nostalgia dari FB hanyalah theme song yang melantun pada opening scene dan mantra-mantra yang dilancarkan oleh para tokoh, serta menyaksikan bagaimana luwesnya para penyihir menggunakan tongkat sihir masing-masing and fight like badasses.

Saran saya, coba nonton deh. Go watch this movie on cinema for your personal happiness and wizarding experience tanpa perlu jadi musyrik. Oleh karena saya orangnya nggak terlalu hobi nonton trailer film demi mendapatkan elemen surprise yang lebih hakiki, saya tidak mengecek cuplikan FB sebagaimana yang dilakukan orang-orang. Tapi jika kalian termasuk golongan yang harus lihat trailer dulu supaya bisa timbul minat, bisa dicek trailer film Fantastic Beasts and Where to Find Them di bawah ini:


Hasrat terpendam saya untuk bisa memiliki kekuatan sihir berhasil bergejolak lagi saat keluar studio. Meski rasanya mustahil, tapi jika saya bisa menyihir, kemungkinan sih mantra yang akan paling sering saya gunakan adalah "Reparo". Semata-mata untuk memperbaiki nominal uang di rekening pribadi yang hancur lebur...

Kalau kalian apa?

z. d. imama

Monday, 14 November 2016

Analekta Vol. 01 with Serana42

Monday, November 14, 2016 2

Akhir bulan Agustus lalu, saya iseng-iseng mengikuti sayembara menulis (sedikit berhadiah) yang diselenggarakan Serana42. Well, I reckon it's safe to say that Serana42 is a newfound local community―plus magazine―which talks about science-fiction. Meskipun saya tidak begitu pede menyusun kisah sains fiksi karena takut logikanya nggak masuk, rasa sayang terhadap menulis membuat saya memutuskan untuk berpartisipasi dan membuat sebuah cerita pendek (yang sebetulnya bisa dilanjutkan jadi panjang) berjudul The Capsules.

Eh.. ternyata masuk sepuluh cerita terbaik. Terima kasih kepada seluruh tim juri yang sedemikian murah hati dalam mengapresiasi tulisan saya. Terharu banget sumpah. Maklumlah, seumur-umur nggak pernah bikin cerita berbau sains karena nilai fisika saya semasa sekolah flop total. Nah, bulan ini, tepatnya tanggal 13 November 2016, Serana42 mengadakan acara gathering perdana bagi para sci-fi enthusiasts yang dinamakan Analekta Vol. 01, dan berlokasi di co-working space Ke:Kini, Cikini, Jakarta.

Penasaran deh sama typeface yang dipakai... kece bener.

Because I'm broke as fuck, jadi akhirnya pada malam sebelum acara saya menyempatkan diri bertapa di hadapan layar laptop untuk menuliskan sepotong cerita yang terdiri dari 500 kata. Sebagai #ShohibulMizqin, apa pun akan saya lakukan demi upaya menghemat ongkos jalan-jalan keluar kosan! Tengah malam cerita selesai disusun. Saya segera ubah formatnya menjadi PDF supaya bisa dimasukkan ke memory card ponsel dan dibaca dari sana. Bagi teman-teman yang ingin membaca kisah pendek yang ditulis secepat kilat tersebut bisa langsung main ke halaman ini.

Saya sengaja tiba di lokasi setengah jam lebih awal karena menghindari hujan yang belakangan kerap mengguyur Jakarta, sekaligus antisipasi nyasar. Maklum anak kuper nggak pernah jalan-jalan. Ternyata Ke:Kini cukup nyempil dan tidak ada papan tanda yang signifikan sehingga saya hampir saja tidak menyadari eksistensinya. Huhuhu. Mirip dengan keberadaan diri saya yang mendekati nihil di mata dia. #SelaluAdaPeluangUntukNumpangCurhat


Baru tahu kalau di Jakarta banyak co-working space macam begini yang bisa disewa.

Dari luar cuma kayak rumah penduduk kan...

Bukan salah saya kalau sempat tidak ngeh. Namun setelah masuk ke dalam, tak disangka ambience-nya terbilang nyaman dan kondusif sebagai ruang kerja atau aktivitas. Desain minimalis tapi sedikit acak dengan jenis-jenis meja dan kursi yang berlainan. Lucu banget. Istilahnya apa ya, sungguh sangat Pinterest-ish. Minuman standar seperti teh dan kopi juga tersedia. Gratis. Kekurangannya cuma bantal dan selimut... dua benda yang ternyata butuh suplai sebab aduh mak AC-nya dingin bener. Gadis dusun macam saya yang kipas angin aja nggak punya (serius ini bukan sekadar dusta) sampai bolak-balik ke toilet tiga kali. Tambah dua kali lagi bakal menyaingi intensitas solat dalam sehari.

Told ya. The room looks pretty good.

Nggak sempat duduk di sofa kuning itu. Sad.

Berhubung di rundown acara ada sub-event nonton film bareng-bareng (alias screening, demi efek yang lebih terdengar sophisticated dan middle-class), maka disiapkan juga layar dan LCD. Jujur, saya jadi teringat masa-masa SMA di mana masing-masing kelas disediakan fasilitas LCD. Dampak laten yang muncul adalah, setiap jam pelajaran kosong, sekelas selalu nonton film bajakan beramai-ramai. Dari Paranormal Activity hingga TwilightOh, those good old days...

LCD yang memicu nostalgia SMA

Selesai pemutaran film, acara dilanjutkan dengan soft-launching Serana42 ditambah penjelasan singkat oleh Kak Bonni Rambatan dan Kak Falissa Putri―yang lebih akrab dipanggil Uti―pakai presentasi PowerPoint pula! Hahaha. Rupanya saya bukan satu-satunya orang yang menyukai desain minimalis color-based putih untuk presentasi. Enak kan dibacanya? Looks clean and sleek. Senang sekali bisa tahu kalau punya kawan satu selera.

Lagi slide transition jadi presentasinya nggak nongol.

Moving on to the Sci-fi Slam. Ada beberapa kisah sci-fi pendek yang dibacakan peserta gathering, salah satunya saya. Urutan pertama pula. Cry. Sepanjang berdiri di hadapan teman-teman yang datang, jari tangan saya yang memegang ponsel gemetaran lho. Gila deg-degan banget. Tapi syukurlah semua berjalan lancar. Lidah juga tidak terbelit. Nggak kesandung juga pas maju ke depan. I was doing a decent job, I guess? Selain saya, mereka yang ikut berbagi karya ada Kak Uti, Kak Kirana, Kak Astri sang pemenang sayembara sebelumnya, Har, Pras, dan Kak Bonni. Sementara itu Kak Adhytia, yang berkaus hijau, sibuk pindah ke sana kemari demi mengabadikan momen. Pengin lihat foto-fotonya deh... bisa nggak ya?

A bit of info reminder: you can take a look at my story here.

Kak Astri membacakan kisahnya tentang Putri dan Rana.

Kak Kirana dan fiksi 100 kata karangannya.

Tapi dari seluruh cerita yang dibacakan, secara pribadi saya paling suka milik Kak Bonni. Didesain sebagai kisah untuk anak-anak, cerpen Kak Bonni manis sekali dan menyenangkan. Terdapat beberapa dialog repetitif khas dongeng sebelum tidur yang membuat ceritanya meninggalkan kesan familiar. Hangat. Baik tema dan pilihan kata juga sederhana. Judulnya pun relatif klise, in an overwhelmingly cute way: "Petualangan Miu di Luar Angkasa", if I am not mistaken. Maaf ya Kak Bonni kalau judulnya keliru. Salahkan saja short-term memory saya.

Kak Bonni menyampaikan petualangan Miu

Hari itu sungguh syahdu. Hujan turun di luar membasahi jalanan. Saya berada di dalam ruangan yang AC-nya dingin ampun-ampunan bersama teman-teman baru, berbagi ide dan cerita-cerita seru. Andaikata Kak Iboy tidak mengingatkan kami soal waktu yang sudah beranjak malam, tampaknya acara bakal berlanjut hingga kebablasan. Setelah berpose bersama untuk foto kenang-kenangan―sayang file-nya cuma Kak Adhyt yang punya gara-gara dia doang yang ngefotoin―saya, Kak Uti, Kak Kirana, Kak Astri, Kak Bonni, Kak Adhyt, Pras, dan Harbowo berbondong-bondong mampir ke kafe terdekat karena perut sudah nge-rap ala Yanglek saking laparnya. After party gitu deh. Kami makan diselingi ngobrol-ngobrol sesi encore, membahas dari mulai superhero hingga persamaan antara Obama-Biden dan Jokowi-Ahok.

Saat semua sudah kenyang dan akhirnya ingat bahwa esok hari adalah Senin, Kak Uti memanggil mbak-mbak pramusaji untuk minta tagihan. Begitu tagihan datang, semua langsung merubung Kak Uti dan lembaran uang berhias gambar palu arit pun segera memenuhi meja di hadapannya. Sungguh after party rasa buka bersama anak sekolahan, dengan Kak Uti sebagai bendahara kelas.

Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam (lebih sekian menit) ketika saya menginjakkan kaki kembali di kamar kosan. Capek, sih, gara-gara terlalu banyak tertawa. Antusiasme menyedot habis energi saya. Tapi hati saya senang sekali. Ditambah lagi, setelah bertahun-tahun merasa seorang diri, batin tersiksa dan merana karena tidak ada rekan geeking over the same stuffs, baru di Analekta Vol. 01 kemarin saya tahu bahwa yang suka baca Animorphs ternyata bukan hanya saya! Huwaaaa.

Nggak sabar ih, nunggu Analekta Vol. 02!

z. d. imama

Friday, 11 November 2016

When People Say "Pacar-able"...

Friday, November 11, 2016 16

Semua bermula dari ketika saya membaca sebuah status Facebook milik teman seseorang yang pernah saya kenal di masa lalu tapi sekarang sudah sama sekali nggak ingat gimana ceritanya kok bisa kenal, beberapa pekan silam. Perempuan, fyi. Tadinya ingin menyertakan lampiran berupa printscreen status tersebut (tentunya dengan upaya sensor identitas karena saya orang baik kelihatan keren aja), tapi saya sudah lupa siapa nama orang yang memposting ke Facebook. Ya sudah. Tidak bisa dilacak lagi. Way to go, short-term memory!

Inti status yang ingin saya bahas itu kurang lebih seperti ini:

"Barusan dibilang temen kalau gue orangnya pacar-able banget, dan sahabat gue meskipun nggak pacar-able tapi katanya nikah-able. Hehehe."

Reaksi perdana saya ketika membacanya adalah mengerutkan kening. Bak para komika-komika medioker, saya heran. Kemudian mulai mempertanyakan ke diri sendiri, ini saya yang bego karena gagal menemukan unsur baik dari status di atas atau gimana? Kok rasanya ada yang salah? Rasanya ada yang aneh? Akhirnya, sebagai mantan mahasiswi yang masih ingin berupaya berpikir, saya putuskan untuk merenungkan sedikit status ini. Saya nggak akan ngutip-ngutip buku (kayaknya) agar terdengar cerdas. Nggak akan ngutip-ngutip quote orang (juga kayaknya). Kalau mau nyari kumpulan quote orang terkenal, mending baca novel 5 cm aja yang jumlah kutipannya jauh lebih banyak dari bobot ceritanya. Modal saya cuman kamus dan isi kepala sendiri.


Mari kita mulai dari membahas kata "able"; satu-satunya kosakata bahasa Inggris yang dipaksakan nyempil bersama rangkaian kata bahasa Indonesia. Berdasarkan hasil pendeskripsikan kamus online (karena kamus Oxford bentuk fisik milik saya adanya di kampung halaman), dapat dilihat bahwa able memiliki arti di bawah ini.


Jika kita tidak switching codes dan menggunakan bahasa Indonesia secara total, maka status itu bisa dituliskan ulang menjadi kurang lebih demikian: "Barusan dibilang temen kalau gue orangnya berpeluang untuk pacaran (atau menjadi pacar), dan sahabat gue meskipun nggak berpeluang pacaran tapi katanya berpeluang untuk menikah (atau dinikahi seseorang). Hehehe."

IKI PIYE KAREPMU?



Serius. Saya tidak paham bagaimana, sekaligus kenapa, masyarakat kita―termasuk generasi muda, sedihnya―merasa perlu membuat batas pemisah antara 'kandidat diajak pacaran' dan 'kandidat diajak menikah'. Apalagi menyatakan dan menghakimi secara terang-terangan bahwa seseorang memiliki kemampuan(?) atau peluang untuk mendapatkan hanya salah satu di antara kedua hal tersebut. Seolah-olah jika kita telah dijebloskan ke dalam sebuah kategori oleh mereka, maka di saat yang sama kita akan terblokir otomatis dari yang lainnya. Wealah cempe, mangsamu kowe ki sopo?

Saya mencoba menduga-duga, apa mungkin ini karena asumsi masyarakat selama bertahun-tahun dan diwariskan turun-temurun? Jangan-jangan ini erat kaitannya dengan nilai-nilai patriarki yang―sudahlah akui saja―masih sangat kental di kehidupan sosial Indonesia. I'm not saying that patriarchy is all bad, no. But sometimes it's just ridiculous. Masih ingat kan tahun 2015 lalu ada berita bahwa petinggi militer Indonesia mengatakan kalau tes keperawanan diperlukan sebagai benchmark moral seorang perempuan? Sampai masuk TIME dan BBCPeople care SO MUCH about whether women's hymen is still intact or not but in rape cases where the victims coincidentally happen to be women, the fault also lies with women. Gosh, please don't even make me start ranting about this. It's gonna be an endless shit. 

Shall we move along?


Sepanjang tumbuh besar (besar doang, dewasa kayaknya enggak), cukup kerap saya mendengar celetukan-celetukan berbunyi semacam ini mampir ke telinga: "Pas dapet pacar, puas-puasin dulu aja pacarannya. Nanti kalau pengin nikah ya putusin, cari lagi yang perawan. Cari gadis baik-baik, yang kalem. Cari yang bisa diajak susah. Nggak usah yang kepinteran nanti kamu repot. Pokoknya yang mau ngurus rumah tangga aja." Biasanya ucapan tersebut ditujukan kepada kaum laki-laki. Biasanya pula, disampaikan oleh sesama laki-laki, baik yang seumuran maupun yang lebih tua. What a brilliant way to educate younger generation.

IKI PIYE TOH KAREPMU???

(Jilid dua.)

So, somehow our society has this kind of mindset... that someone whom you have a relationship with (or spend lots of time together) and someone whom you marry should have different 'standard qualifications'. Menilik dari apa yang selama ini berseliweran di sekeliling saya, segala asumsi-asumsi itu akan saya rumuskan dalam bentuk bullet points supaya lebih ringkas. Pertama-tama, mari kita kulik bersama asumsi bagi kategori orang-orang pacar-able.
  • Maunya senang-senang, tidak bisa―minimal sulit―diajak susah.
  • Karena inginnya senang-senang, cenderung hedonis. Ngabisin duit. Masalah apakah orang itu pakai duit-duitnya sendiri atau modal ngutang kanan-kiri sih masa bodoh.
  • Tidak kalem. Entah ini maksudnya apakah begajulan, banyak tingkah, atau malah atlet-atlet silat, karateka, dan Tae Kwon Do yang sekali tendang musuh terbang.
  • Pintar. Terdidik. Mau berpikir.
  • Tidak bersedia mengurus rumah tangga.
  • Bukan gadis baik-baik(?)
  • Allegedly sudah tidak perawan(?), atau berpotensi untuk dibuat jadi tidak perawan(?)

Belum-belum kok saya sudah pusing, ya. Tapi tidak apa-apa. Bisa nenggak Paramex dulu sebelum melanjutkan. Oke. Sementara itu di lain pihak, orang-orang nikah-able dipandang sebagai antithesis dari golongan pertama. Maka dengan kata lain, kualifikasi mereka ya begini: 
  • Bersedia diajak (hidup) susah. Kalau boneka Kak Ria Enes itu Susan. Beda cerita. Aduh ini lawas betul...
  • Tidak hedonis, sederhana, bersahaja. Misalnya kepepet ya bisa agak condong ke arah ala kadarnya.
  • Kalem.
  • Nggak pinter-pinter amat. Pinternya dikit aja.
  • Mau mengurusi rumah tangga, walaupun si rumah tangga nggak kurus-kurus kayak saya.
  • Gadis baik-baik(?)
  • Perawan suci(?)

Kok beracun sekali rasanya. Saya tahu tidak semua anggota masyarakat di luar sana punya pola pikir sedemikian rupa, tetapi penting untuk diakui bahwa mindset semacam ini masih ada. Anggapan bahwa mereka yang seru diajak menghabiskan waktu bersama, berakrab-akrab ria, pacaran dan sebagainya, bukan orang yang sebaiknya dipilih sebagai pasangan hidup. KAN ANEH. Why would you choose someone to become your life partner if they are not intelligent enough to keep the fun in your every day? To engage you in conversation so interesting that you forget about checking your boring Path or Facebook feed? And who decides that only virgins should be 'eligible' to get married?


Kalimat 'mau mengurus rumah tangga' juga benar-benar membingungkan. Bukannya―pada kasus normal―kita memutuskan sendiri saat hendak membangun rumah tangga? Mengurusinya bukan menjadi opsi lagi, melainkan suatu bentuk tanggung jawab. Tak peduli mau atau enggan. Mengenai pembagian peran dan tugas harus didiskusikan berdua. Dilakukan berdua. Kenapa harus spesifik menuntut salah satu pihak untuk 'mau mengurus rumah tangga'? Salah satu pihak sejak awal sudah berniat ingin lepas tangan? Atau gimana?

Singkatnya, saya mau ngomong begini. Wahai kalian semua, apalagi sesama perempuan, jangan gampang terharu, terenyuh, tersanjung, atau terbawa perasaan ketika ada yang mengatakan kalian ini pacar-able, nikah-able, atau sejenisnya. Those people who say that to you, mostly won't matter so much in your life. Jangan mau dibohongi orang-orang yang pakai kata nikah-able dan pacar-able, karena sesungguhnya mereka tidak sedang memuji kalian.

They are stereotyping you.

Break it.

z. d. imama

Monday, 7 November 2016

The Black Sheep of the Family

Monday, November 07, 2016 16

Black sheep (np): someone who feels left out in a family; the outcast of the family because they choose to do other things than to live up to their family's standards.

The definition above is taken from here.

Yak, jumpa lagi bersama saya di episode ngomel sekaligus numpang curhat berikutnya! Saya sudah menyerah dan berusaha menerima kenyataan bahwa blog pribadi ini memang isinya Nano-Nano bak merek permen yang rasanya campur aduk nggak jelas, bukan blog bertema tertentu macam beauty blog, travel blog, food blog, fashion blog, atau hedon blog. But at least I want to keep it real. Segala hal yang tertulis di sini (fiktif maupun nyata) adalah hasil ketikan kesepuluh jari saya sendiri, dan asalnya dari pikiran saya sendiri. Barangkali malah lebih orisinil dari skripsi para mahasiswa.

Oke.
Langsung saja ya.

Saya tidak tahu apakah yang mengalami ini hanya saya, tapi rasanya tidak. Mungkin kalian juga merasakan. Tapi semakin dewasa, saya kian menyadari bahwa tidak jarang reuni-reuni keluarga atau upaya silaturahim/kunjungan berubah menjadi bragging fest di sesi ngobrol-ngobrol. Alias adu pamer. Berkompetisi satu sama lain mengenai siapa yang hidupnya paling wow. Atau justru siapa yang hidupnya paling susah (tapi masih tetap tegar dong, pokoknya jangan lupa bersyukur).

A gathering―especially a familial one―should be fun, right?

Jika boleh jujur, dan saya akan jujur di blog sendiri, saya jengah. Jengah mendengar bragging fest yang saya rasa tujuannya bukanlah untuk saling berbagi atau memberikan informasi bermanfaat, melainkan menyelamatkan ego masing-masing. Rangkaian kalimat berita yang sesungguhnya tidak perlu-perlu amat untuk diberitakan. Membanggakan hal-hal yang rasanya tidak perlu dibanggakan berlebihan. Beberapa waktu lalu, saya berjumpa dengan seorang kerabat jauh. Percakapan yang terjadi adalah sebagai berikut:

  Kerabat Jauh (KJ): "Sekarang anu lho, Dik, anakku juga sudah bekerja."
  Saya: "Wah, syukurlah Tante."
  KJ: "Iya, alhamdulillah. Nggak kayak anaknya Tante Markonah itu, masa kuliah lama banget nggak kelar-kelar. Kan sayang duitnya... bisa dipakai yang lain."
  Saya: "Oooh."
  KJ: "Tapi gajinya anak aku juga nggak banyak kok, Dik. Namanya juga baru lulus, jadi sebulan cuma _____ juta aja." (KJ menyebutkan angka yang lumayan besar untuk seorang fresh graduate).
  Saya: *diam, masih sambil tersenyum tipis*
  KJ: "Tapi ya sampai sekarang aku masih kasih anakku uang saku, Dik. Soalnya nggak tega aja, gajinya kan nggak seberapa..."
  Saya: *mulai menyanyikan lagu opening anime Saint Seiya dalam hati sebagai pengalih perhatian*

Sounds familiar, people?


Barangkali ingin contoh lain? Oke. Bagaimana dengan kerabat jauh yang ketemunya lebih jarang terjadi daripada fenomena komet Halley tapi pas nongol-nongol yang dilontarkan kali pertama adalah:


  • "Lho kok kamu sekarang gendut?"
  • "Kamu makin jerawatan aja mukanya?"
  • "Kok dekil gini, nggak kayak dulu pas masih kecil?" 
    Hello, excuse me, have you ever heard of something called shitty puberty?
  • "Kapan lulus? Kamu nggak usah idealis kalau bikin skripsi." 
    ― Padahal saudara tersebut paham persoalan yang kita hadapi aja enggak. Nanya kenapa skripsi belum beres dan apa halangannya aja enggak.
  • "Kamu kapan nikah? Nanti keburu ketuaan. Nggak usah terlalu selektif nanti malah nggak laku lho." 
    Sementara yang bersangkutan kalau kita habis nonton konser atau jalan-jalan, komentarnya "Duh enak ya masih single, mau ngapa-ngapain nggak usah kepikiran anak."

Saya gagal paham. Mustahilkah reuni keluarga dilakukan tanpa harus membuat orang lain merasa tidak nyaman? Saya nggak butuh dengar pamer-pameran ini-itu. Nggak merasa wajib tahu juga. Pada saat yang sama, saya juga tidak berkenan mendapatkan pertanyaan demi pertanyaan bernada mencecar.. seolah-olah hidup saya adalah sebuah balapan yang mana kalau saya tidak memenangkan kompetisi ini maka mereka yang menonton juga akan rugi karena kalah taruhan.

Hal-hal demikian itulah yang membuat saya cenderung enggan diajak ke acara-acara reuni keluarga besar. Atau menolak untuk masuk ke dalam grup Whatsapp yang dalam sehari bisa penuh berisi ratusan chatAnd that, people, is how you become the black sheep of your extended family in this whole #BudayaTimur awesomeness.


I may be the black sheep of the family, but some of the white sheeps aren't as white as they think they appear.

Terkadang, keputusan untuk pergi meninggalkan kerumunan yang selama ini menjadi tempat kita berada bukanlah karena ingin memutuskan tali persaudaraan. Terkadang, langkah-langkah menjauh itu terjadi karena kita sudah tidak lagi menemukan kenyamanan. Supaya perasaan yang masih tertinggal tidak berubah menjadi suatu hal yang tak menyenangkan.


Urip kok yo ngene banget.
z. d. imama

Saturday, 5 November 2016

Miscellaneous #01

Saturday, November 05, 2016 2

I thought you were one of the good guys. I really did.

Pada saat itu, kamu memang terlihat seperti orang yang sangat baik. Tentu saja tidak sempurna, aku tahu kamu hanya manusia biasa, tetapi kupikir kamu sudah lebih dari cukup. Perkenalan kita berawal sederhana. Tidak ada yang istimewa. Hanya karena sahabatmu berkawan dengan temanku, dan malam itu kita sama-sama memutuskan untuk mengekor mereka yang punya janji saling jumpa. Keputusan yang sempat kusesali karena temanku segera sibuk dengan sahabatmu, seolah menguap dari ingatannya bahwa di tempat itu masih ada aku.

"Nama lo siapa?"

Itu kata-kata yang kamu lontarkan pertama kali padaku. Kita saat itu sama-sama terlupakan. Sama-sama mati gaya. Kamu memilih menyalakan rokok dan mengamati orang-orang di sekitar serta kendaraan lalu-lalang yang tampak dari jendela kafe, sedangkan aku menekuri layar ponselku dan membaca beberapa e-book yang sempat kumasukkan ke dalam memory card-nya. Sudah jelas bahwa aku tidak siap dengan pertanyaanmu yang tiba-tiba, memecah hening yang mengambang di antara kita sejak sekian puluh menit lalu.

Sepasang matamu yang gelap dan tampak lelah malam itu masih tertuju padaku yang tertegun seperti orang bingung, karena tidak yakin baru saja diajak bicara.

"Nama lo. Siapa?"

Nada bicaramu sedikit lebih keras dari sebelumnya untuk memperjelas. Lalu tanpa menunggu respon dariku, kamu menyebut nama lebih dulu. "Gue Egi."

Sejak malam itu, kita berteman.

Atau setidaknya aku berpikir demikian.

Dan waktu berjalan. Sementara kita sibuk bicara. Kita asyik tertawa. Kita biarkan pikiran berkelana. Kita bertukar berita. Kita berbagi cerita. Jarak yang tadinya kasatmata itu―setidaknya bagiku―terasa makin fana. Berangsur tiada. Lalu tiba-tiba, entah bagaimana mulanya, aku mendapati sosokmu adalah yang pertama kali terlihat saat pagi hari kubuka mata. Sampai di situ kusangka semua akan tetap baik-baik saja. Tidak akan ada apa-apa. Segalanya masih akan berlangsung sebagaimana mestinya... kan?
* * *
Aku berdiri di ambang pintu dengan gusar. Ujung jemariku yang berkeringat dingin memilin-milin secarik kertas bertuliskan alamat, yang telah menuntunku ke tempat ini. Kedatanganku kemarin tidak mengharapkan apa pun selain bantuan. Mungkin saran. Bahkan sekadar mendapat pertanyaan, "Jadi kamu sekarang bakal ngapain?" darimu pun aku tidak keberatan. Tapi jika kamu tidak percaya apa yang kukatakan, bukti di dalam ransel sudah kusiapkan. Aku belum membuang alat tes yang pagi tadi kugunakan.

"Temannya Mas Rezky?" sapa seorang perempuan yang membukakan pintu, tak lama setelah aku menekan bel. Sempat aku tercengang; namun secepat kilat aku menyadari bahwa 'Egi' yang selama ini kugunakan untuk menyebut namamu berasal dari 'Rezky'. Dan tatkala perempuan itu mendorong pintu sedikit lebih lebar untuk mempersilakanku masuk, tatapan mataku tertumbuk pada logam tipis yang melingkari jari manisnya. Juga perutnya yang bundar dan besar, menandakan usia kehamilan cukup tua.

Hatiku mencelos.

I thought you were one of the good guys. I really did.
But now, all I can think of is how stupid I was for believing someone too easily.

z. d. imama

Thursday, 3 November 2016

Doctor Strange: a Wonderful Night of an IMAX Virgin

Thursday, November 03, 2016 3

"Clarity, detail and size make IMAX more than a movie. Our remastering—or DMR—process fully transforms every frame of a film to produce the best possible version of a filmmaker's vision. Two projectors run simultaneously to provide the perfect image with a balance of warmth and sharpness." - regarding IMAX technology, which can be found here.

Saya sudah tinggal di area Jabodetabek semenjak masuk kuliah, yang artinya empat tahun silam. And somehow I am still an IMAX virgin. Good god, my own level of 'tidak gaul'-ness never ceases to amaze me. Well, at least I was an IMAX virgin until last night... because finally I tore my hymen of never-watching-any-movies-in-IMAX-studio! Hooyah!

Okay this sounds wrong but you know what I mean, right? Mumpung masih awal bulan sehingga duit gajian masih bersisa setelah dipakai bayar-bayar tagihan, semalam saya dan Uda Anest sepakat janjian sepulang jam kerja untuk nonton Doctor Strange bareng. Tumben saya nonton film di bioskop ada temannya, hahaha. Biasanya single fighter. Alias nonton sendirian. 80% sih gara-gara nggak nemu orang yang bisa diajak pergi bersama, sedangkan 20% sisanya karena saya terlalu malas untuk menghubungi kawan (saking keseringan gagal).

Sore itu secara luar biasa kantor dipulangkan setengah jam lebih awal karena ada jadwal fogging gedung. Terima kasih, yaa Rabbi. Ini sudah pasti konspirasi Ilahi yang merestui saya untuk foya-foya. Saya segera melesat pulang, ganti baju yang lebih nyaman, kemudian melompat ke jok mamang-mamang ojek online menuju lokasi janjian.

Mainnya ke Gancit kayak orang punya duit.

Setelah sampai di lokasi langsung antri di loket. Barangkali karena memang hari kerja dan pegawai-pegawai kantoran lain masih cukup waras untuk tidak kelayapan malam-malam seperti saya karena sadar besoknya harus bangun pagi, antrian pengunjung nggak ramai-ramai amat. Apalagi untuk last showing, masih lumayan lega sehingga berhasil dapat best seat! Yay me.

WARNING: MINOR SPOILERS AHEAD.

Jempol saya lebih cakep dari tampang. Serius.

Secara sederhana, Doctor Strange ini mirip kisah kasus-kasus masyarakat awam Indonesia yang suka kurang percaya sama pengobatan medis ala dokter spesialis dan akhirnya beralih ke pengobatan alternatif berbau magis (baca: dukun) lalu mendalami ilmunya. Lha kok ternyata justru cocok.

Eh, sinopsisnya terlalu sederhana?

Ya sudah mari sedikit kita rumitkan dan panjangkan penceritaan ringkasannya, agar mirip birokrasi Indonesia. Uhuk. Sesuai judulnya, film ini mengisahkan tentang seorang dokter bedah ahli bernama Stephen Strange yang diperankan oleh Benedict Cumberbatch. Memiliki kecerdasan super dan memori fotografisbisa mengingat hanya dalam sekali lihat—karir Dr. Strange sebagai dokter melesat luar biasa cepat, membuatnya tajir melintir-lintir bak perut saya saat lagi menstruasi. Namun karena suratan takdir, suatu malam Dr. Strange mengalami kecelakaan parah dan harus merelakan karir medisnya terhempas hanya dalam kejapan mata. Surprise, surprise.

Stres. Tangan semi-paralyzed. Boro-boro operasi, cukuran aja nggak bisa...

Berbagai cara medis sudah dicoba oleh Dr. Strange, tapi nihil. One thing leads to another, and our lead character can be seen roaming about in crowded streets of Kathmandu to find someone who can help him heal. Bertemulah Dr. Strange dengan padepokan(?) klenik(?) yang dipimpin oleh The Ancient One, seorang sorcerer sakti mandraguna yang berkata bahwa dengan mengendalikan kekuatan jiwa atau spirit, maka bukan tidak mungkin regenerasi sel-sel tubuh bisa diperintahkan. Meskipun Dr. Strange tadinya nggak percaya, akhirnya dia memutuskan berguru di padepokan tersebut. Apapun demi kesembuhan!

Lagian kalau nggak begitu, nanti filmnya kelar prematur.

And this is where I stop talking about the storyline because, trust me, the lesser you're exposed to its plot and development, the better your experience will be.

Dr. Strange kena gebuk The Ancient One akibat kurang ajar.

Kesan perdana menonton di studio IMAX adalah, "Ya Allah layarnya gede!!" kayak pas masih anak-anak lalu diajak pertama kali ke Keong Mas. Suara pun terdengar jernih tanpa overwhelming. Bangkunya nyaman layaknya bioskop XXI pada umumnya. Ketika layar menggelap, saya merasa seolah 'ngambang' sambil menatap layar lebar yang dibentangkan di hadapan mata. Apalagi ternyata visual Doctor Strange cantik sekali.

I hereby declare that no one can make me dislike Doctor Strange. There, I said it. Nyaris seperti waktu saya menonton Guardian of the Galaxy, film ini amat sangat menyenangkan. Padahal materinya cukup sulit dan terbilang riskan. This movie can go wrong at so many turning points but it always manages to keep itself in check. Plot-wise, terbilang sederhana. Standar. Marvel played it safe, but it's decent for an introductory movie, perhaps because not everyone follows the original material and they wanted it to reach bigger audience. Humor dan lelucon di sana-sini yang dilontarkan pun sangat kampung nan receh, yang mana anehnya justru mengena dan masuk ke dalam atmosfer filmnya alih-alih merusak. Saat credit roll akhirnya bergulir pun rasa-rasanya saya berharap ada tombol Play yang bisa ditekan, saking kepengin menonton ulang lagi semua yang baru saja dinikmati.

Doctor Strange is in THAT level of fun.

Jadi bagi kalian yang belum menonton, segerakan untuk menunaikan ibadah menyaksikan Doctor Strange di bioskop terdekat! Termurah juga boleh jika pada kenyataannya dompet memang agak mencengkeram uang erat-erat. Sebab sensasi yang dirasakan waktu nonton di layar lebar dan layar laptop masing-masing bakal jauh banget. Sayang aja sih kalau kehilangan momen-momen penuh pesona itu. This is a wonderful ride, so please hop along!

...Saya saja kalau budget-nya masih masuk kepengin nonton lagi. Huks.

Bapak Doktor sedang berdoa agar Zulfana lekas kaya raya.

Oh, dan ternyata film Doctor Strange ini berhasil mendapatkan feedback positif hingga lebih dari 90% di situs Rotten Tomatoes, sebagaimana bisa dicek sendiri lewat sini. Makanya yuk, mari dinikmati filmnya selekasnya! Supaya bisa sama-sama memulai obrolan seru dengan kalimat pembuka, "Eh elo udah nonton Doctor Strange, belum?"

z. d. imama