Thursday, 17 November 2016

Fantastic Beasts and Where to Find Them: a brand new start


"Harry Potter taught us strength, loyalty, honesty & bravery. Twilight taught us how important it is to have a boyfriend." - tweet saya sendiri, 21 November 2011. Oke yakin deh saya setelah ini bakal dicegat sepulang kantor oleh penggemar Twilight Saga (kisah medioker gitu dibilang saga..) dan ditempeleng di tempat.

Saya tumbuh besar bersama novel-novel Harry Potter, and I love all of them. Very much. Oleh karena itu, ketika mendengar kabar bahwa akan dibuatkan film spin off-nya (tanpa buku sebagai original material), saya agak-agak deg-degan juga. Tidak berani pasang ekspektasi ketinggian. Bahkan saat tahu bahwa David Yates yang akan menangani film ini pun perasaan saya masih gonjang-ganjing. Tapi memang harus diakui, universe Wizarding World Harry Potter terlalu kompleks untuk kisahnya berhenti di The Boy Who Lived. Tokoh-tokoh yang muncul sangat banyak dan back story-nya begitu detil sehingga sayang aja jika dicuekin tanpa diapa-apain kayak saya di hadapan gebetan.

Batin saya baru agak tenang setelah tahu bahwa J. K. Rowling sendiri yang menulis ceritanya. Ternyata sing mbaurekso turun gunung. Baiklah, saya sudah kalem. Namun hingga kemarin menyaksikan sendiri filmnya di layar lebar (Potterhead wajib nonton di hari pertama penayangan!) saya belum benar-benar bisa jatuh cinta dengan Fantastic Beasts and Where to Find Them. Sekarang? Saya selalu kebayang-bayang adegan saat Thunderbird muncul kali pertama.

Thunderbird (from different cut; not first appearance)

Fantastic Beasts and Where to Find Them―akan saya singkat menjadi FB karena judulnya panjang amit-amit―memusatkan kisahnya pada seorang penyihir berkewarganegaraan Inggris bernama Newt Scamander (diperankan oleh Eddie Redmayne) yang mendarat di New York, pada tahun 1926. Newt datang membawa satu magically expanded koper untuk memuat binatang-binatang sihir yang ditangkap/diselamatkan dari seluruh dunia dan dirawatnya baik-baik. Masalah pertama muncul ketika satu insiden menyebabkan koper bawaan Newt tertukar dengan milik seorang No-Maj (istilah Amerika untuk kaum non-penyihir) bernama Jacob Kowalski, yang bercita-cita ingin membuka toko roti. Sejumlah binatang menerabas keluar koper dan berkeliaran di kota New York, menciptakan kekacauan skala kecil di sana-sini. Satu contoh: membuat binatang di Central Park, termasuk singa, kabur karena ketakutan. Ditemani oleh eks-Auror dari The Magical Congress of the United States of America (MACUSA), Porpentina Goldstein (plus saudara perempuannya, Queenie) dan Jacob yang sudah terlanjur melihat terlalu banyak sebagai seorang No-Maj, Newt berupaya mengumpulkan kembali binatang-binatang sihirnya dan memasukkan mereka ke kopernya lagi.

Kalau diceritakan seperti ini kok kisah FB jadi terdengar mirip-mirip sama Card Captor Sakura ya... Malah jadi lintas negara lintas fandom pula. Hahaha. *digebukin masyarakat*

Newt dan Porpentina di jalanan New York


Surat kabar versi Ameriki

Tapi sesungguhnya, Wizarding World Amerika tidak sedang adem-ayem saja. Gellert Grindelwald, penyihir aliran gelap, masih berstatus buronan. Kondisi antara komunitas penyihir dan No-Maj pun cenderung tidak akur dan bersitegang. Apalagi dengan propaganda antipenyihir yang didengungkan Second Salemers, di mana salah satu anggota mereka, Mary Lou Barebone, aktif melakukan kampanye dan tidak jarang melakukan intimidasi terhadap anak asuhnya. MACUSA, di bawah rezim Seraphina Picquery, pun mau tidak mau harus senantiasa berada dalam suasana alert karena hal tersebut. Belum lagi ditambah kasus entitas misterius yang belakangan merusak kota dan membunuh salah seorang senator No-Maj. Kisah pun mulai diungkap pelan-pelan di hadapan mata kita sebagai penonton...

Secara movie experience, FB menyenangkan sekali untuk ditonton. Pandangan kita dimanjakan oleh eksplorasi dunia sihir yang belum pernah kita lihat, kemunculan binatang-binatang sihir yang selama ini hanya terdengar namanya saja (misal: Murtlap), sekaligus penyajian realita yang membuat kita menyadari bahwa Harry Potter hanyalah seorang manusia yang hidup di tengah-tengah luasnya dunia. Harry might be The Boy Who Lived, but Wizarding World does not revolve around him. Saya terus terang jadi makin sayang sama Budhe J. K. Rowling setelah menyaksikan film ini tadi malam. Screenplay perdana J. K. Rowling ini kadang agak kasar dan cukup jumpy di awal, barangkali akibat faktor kebanyakan elemen, tapi secara keseluruhan tidak terlalu mengganggu kenyamanan dalam menikmati cerita. Saya juga tidak setuju ketika ada yang mengatakan bahwa Fantastic Beasts and Where to Find Them cuma jualan nostalgia serial Harry Potter. Good Lord, no. Film ini bukan AADC 2. This is a whole new story in a whole new timeline. Bahkan sepanjang film pertama ini―berhubung sudah dikonfirmasi bahwa total akan ada lima film―sama sekali tidak ada tokoh familiar yang muncul. Semuanya baru. Albus Dumbledore pun hanya disebutkan namanya satu kali pada sebuah adegan. Sumber nostalgia dari FB hanyalah theme song yang melantun pada opening scene dan mantra-mantra yang dilancarkan oleh para tokoh, serta menyaksikan bagaimana luwesnya para penyihir menggunakan tongkat sihir masing-masing and fight like badasses.

Saran saya, coba nonton deh. Go watch this movie on cinema for your personal happiness and wizarding experience tanpa perlu jadi musyrik. Oleh karena saya orangnya nggak terlalu hobi nonton trailer film demi mendapatkan elemen surprise yang lebih hakiki, saya tidak mengecek cuplikan FB sebagaimana yang dilakukan orang-orang. Tapi jika kalian termasuk golongan yang harus lihat trailer dulu supaya bisa timbul minat, bisa dicek trailer film Fantastic Beasts and Where to Find Them di bawah ini:


Hasrat terpendam saya untuk bisa memiliki kekuatan sihir berhasil bergejolak lagi saat keluar studio. Meski rasanya mustahil, tapi jika saya bisa menyihir, kemungkinan sih mantra yang akan paling sering saya gunakan adalah "Reparo". Semata-mata untuk memperbaiki nominal uang di rekening pribadi yang hancur lebur...

Kalau kalian apa?

z. d. imama

9 comments:

  1. Saya blm nonton filmnya, jadi bacanya aku pending wedhi ono spoiler, jd komen saya to be continued..ehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Padahal saya kalau bikin review paling-paling minor spoiler lho, Om.. kayak general plot gitu. Cuma ya mungkin Om kayak saya yang lebih pilih masuk studio dalam kondisi nggak tahu apa-apa jadi ekspektasi beneran bisa diset serendah mungkin :)))

      Delete
    2. oke barusan akhirnya saya nonton jg, dan nonton dengan damai karena satu studio isinya ga nyampe 10 orang kyknya hehe. Dan saya sepanjang film bingung dengan istilah Salem Kedua, malah kebayang ikan salem, duh apa hubungannya..

      dan satu hal yg bikin kepikiran lainnya adalah, knp itu mas Newt ke Amerika pake naik kapal segala, kan bisa tinggal kibaskan mantra teleportasi haha tapi ya maklum sih ilmu sihir katanya tak bisa mujarab kalau liwat tengah samudera, mungkin demikian

      Sisanya, saya menikmati segala efek film yg keren dan binatang2 yg lucu2nya tiada ampun itu XD

      Delete
  2. AKU BELOM NONTOOOONNN 😢😢😢😢

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tapi Adit udah nonton, dan dia bilang "I'm not impressed". Terus aku jadi kesel huhuhu ya itu hak dia (dan manusia-manusia lain yang merasa begitu) sih. Tapi terus ada yang mengeluhkan pemeran filmnya yang semuanya tua-tua(??????) jadi di mataku mereka 'suka' Harry Potter karena cute factor-nya aja. Kray.

      Delete
    2. baru tau kalo di ranah blogging juga ada nomensyen ye. Tetep aku rada "meh" dengan filem ini... di flm pertama blom jelas plot besarnya dia mau ngapain unlike HP1 yang CLEAR & cetho welo2 kalo 1-7 Harry bakal berurusan sm Voldemort. lha iki ngopo? what is next is... idk.... ga jelas.

      Delete
  3. *scroll ke bawah*
    *lanjut scroll sampe nemu kolom komentar*


    Belum nonton. Nanti aja komen lengkapnya kalau udah nonton ya. Atau malah aku jadiin bahan tulisan di blog. =))

    ReplyDelete
  4. Beklaaaaaaaah, akyuh mau nontooooon. Suami tuh yang ngefans lebay sama JK ihik

    ReplyDelete
  5. AKU MAU NONTON LAGI FILM INI!

    ReplyDelete