"I really hate myself for being incapable of moving on unless I get proper closure."
Kalimat pembuka di atas merupakan sebuah postingan dari akun Twitter pribadi saya beberapa waktu lampau. Frase 'moving on' di sini nggak terbatas pada urusan romansa saja ya, walau tidak memungkiri kalau topik itu juga terlibat. Hohoho. Tetapi pada intinya, saya adalah tipe manusia yang butuh mendapat proper closure nyaris untuk segala hal, agar bisa melanjutkan langkah tanpa kepikiran lagi tentang masalah yang itu-itu melulu.. hanya karena statusnya masih nggantung. Tanpa ending. Belum kelar. Ibarat kalimat tanpa tanda titik. Atau tulisan yang nggak beres diketi
(Barusan itu disengaja, ya.)
Coba saya kasih ilustrasi sederhana saja. Contoh paling normal yang mestinya pernah dialami semua makhluk Homo socialis: bikin janji bertemu teman. Ketika saya janjian dengan seseorang untuk hang out bersama, kemudian tiba-tiba acaranya batal atau mendadak orangnya nggak mood keluar rumah, saya butuh informasi. Butuh pemberitahuan. Butuh kabar. Ada kan, tipe-tipe siluman kaleng sarden yang bersikap semena-mena dengan janji yang sudah dibuat bersama orang lain? Sepakat bertemu di tempat X pada jam sekian, eh ternyata setelah kita tiba di lokasi pun mereka nggak ngontak sama sekali. Begitu waktu janjian lewat barulah mak glundung-glundung ada pesan Whatsapp/LINE/segala macam aplikasi ngobrol gratisan yang bunyinya, "Aduh sori ya gue nggak jadi bisa dateng."
Yea, tell me something I don't know.
Setiap tidak mendapat closure atau ending, terus terang saya merasa direpotkan karena jadi ribet sendiri. Uring-uringan sendiri. Hampir selalu kepikiran. Saya akan selalu teringat suatu peristiwa yang tidak ada closure-nya itu sewaktu-waktu, bahkan di momen-momen random sekalipun. And that, people, is never a fun thing. Apalagi jika posisi saya sebagai pihak yang dirugikan, sebagaimana contoh ilustrasi di atas. Tiap kali akan melakukan aktivitas yang melibatkan orang yang sama, saya jadi malas. Sebab masih terbayang-bayang pengalaman sebelumnya.
Ingin contoh lain? Baiklah. Anggap saja saya patah hati. Masalah patah hati, bagi saya, dampak yang ditimbulkan dan penanggulangannya akan berbeda jika kasusnya berlainan. Saya tidak punya masalah jika orang yang saya taksir habis-habisan ternyata memilih bersama orang lain. "Pilihan orang tersebut untuk bersama dengan yang lain" adalah closure bagi saya. Sudah. Cerita untuk saya jelas selesai sampai di situ. Mau lihat orang tersebut gandengan sama yang lain pun oke-oke saja. Tapi jika katakanlah, orang yang tadinya begitu dekat dengan saya tiba-tiba menghilang dari peredaran. Berhenti mengontak. Tak ada kabar. Komunikasi putus mendadak, padahal saya tahu dia masih 'beredar' di sekeliling saya, tidak direkrut kaum ekstremis lalu dikirim ke Suriah atau diculik untuk dijadikan budak di luar negeri. Jika sudah begini, saya biasanya jadi cranky, insekyur, dan gelisah sendiri. Menganalisis seenaknya dalam kepala apa yang kira-kira memicu hal ini terjadi. Kesalahan apa yang sudah tanpa sadar saya lakukan. Belum lagi terbayang-bayang tampang orang tersebut sewaktu-waktu. Kacau.
Screw you. Screw this all. Screw everything.
Merepotkan betul.
Biasanya, ketika saya tidak mendapatkan closure, yang saya lakukan adalah lari. Maka begini-begini, diam-diam saya adalah pelari handal. Nggak, ding. Maksudnya adalah saya kabur. Pergi, pindah ke tempat lain yang membuat saya tidak perlu bertemu kelompok atau peer yang akrab dengan orang tersebut. Bahkan terus terang, salah satu faktor utama yang menyemangati saya untuk lulus kuliah adalah karena saya punya masalah tanpa closure dengan satu teman kampus. Daripada saya ke sekolah(?) cuma buat kepikiran dia apalagi berpapasan, mending saya lulus terus nyari duit.
z. d. imama
kalau aku sih, kesel dan jadi kepikiran kalau ada orang yang tiba-tiba ngilang. diajak ngobrol ga bisa, dikontak ga bisa. tanpa penjelasan. jadinya kepikiran. apakah aku bikin salah? apakah aku ternyata menganggu waktunya dia? rasanya ingin tanya, "kalau memang merasa ada yang terganggu, ya jujur saja". apalagi aku bukan tipe orang yang bisa basa basi.
ReplyDeleteNah, kayaknya saya juga paling lemah sama yang namanya basa-basi karena masa udah tahu bahasanya basi kok ya masih dipakai like I don't get people at all???? Menurut saya 'being nice and civil' nggak sama dengan 'SKSD' atau 'berakrab-akrab', jadi kalau ketemu orang yang sudah masuk ke tahap 'akrab' tapi mendadak ngilang, mau nggak mau pasti kepikiran. HHHH.
DeleteSoal siluman kaleng sarden itu memang menyebalkan, tapi saya pikir2 pernah jg sih bbrp kali membatalkan janji, tp ya ndak ujug2 batal mendadak meper banget. Kd saya ini termasuk apaan coba.
ReplyDeleteDan soal kawan yg menghilang dr peredaran udahlah biarin aja dipikirin malah tambah mumet.
Btw td saya sdh ngetik2 pas mau diposting tiba2 pret mati lampu beh
Tiap kali kita janjian be like
ReplyDelete1.Line pagi hari H.
2. Line bbrp jam kemudian
3. Line tiap kali ada perlu mendadak dan mesti telat
4. Line pas mau brangkat
5. Line begitu sampe parkiran
6. Continuous line ampe ketemu.
Come to think of it, we r both insecure.
...ga deng. Aku sering ketemu siluman sarden kaleng(I personally hate sarden kalengan so yeah this term works) dan berujung keluyuran sendirian. Ga masalah sih, karna keluyuran sendirian tetep asik kalo aku. Closure? Ya bakal penasaran but I think of it as yaudah mungkin emang jodoh dan nasibnya brenti zampe sini...
bukan gini ya mainnya?
(gak)
.......
Delete#SelaluAdaPeluangUntukNumpangTjurhat
Aku juga biasanya berujung keluyuran sendirian, Mis. Cuma kan kadang ada tuh, hari di mana sebenernya aku pengin mengerjakan hal lain tapi berhubung ada janji sama orang tertentu yaudah jadwalnya aku geser. Batal sebelum waktu janjian masih oke, tapi kalau udah lewat sejam atau setengah jam terus baru ngabarin kan tehong juga X'))))
you guys are such insecure blob of water =_=
DeleteGapapa insekyur yang penting ada yang sayang. Bwek.
Delete(This is completely irrelevant, right? No?)
Hahaha istilahnya keren
ReplyDelete(( siluman kaleng sarden ))
SILUMAN KALENG SARDEEEEN! Kamu pinter ya bikin istilah-istilah ajaib. :)))))
ReplyDeleteSering banget ngadepin yang beginian. Janjian, pas tanya udah di mana, katanya bentar lagi berangkat. Ujug-ujug taunya K-E-T-I-D-U-R-A-N. Key.
Tapi karena udah sering banget ngadepin temen-temen macam gini (yang ternyata ada di sekeliling), sekarang jadi lebih kreatif aja kalau pada mendadak batalin janji. Misalnya langsung belajar merajut atau senam lantai di mall (oke ini becanda).
Ah, aku juga begituuuuu. Rasanya hidup lebih nyaman, simple, dan less deg-deg an gajelas kalo semua ada kepastian, ya to. Tapi kata beberapa teman, itulah sebabnya saya menjadi orang yang spaneng-an. Kalo jaman masih single dulu, dibilangnya saya orang yang nggak bisa menikmati face paling indah dalam masa PDKT yaitu fase hepi-hepi sendiri sambil deg-degan menebak isi hati sang 'pemburu'. Bila perlu fase tarik ulur itu dipanjang-panjangin biar nikmatnya makin lama. Halah, males! *kokjadicurhat
ReplyDeleteSebagai orang yang cukup commit dengan janjian, hal ini sering terjadi. Udah nungguin di TKP, tp pada flaky entah ngapa. Hence I always keep myself productive (baca: bawa perlengkapan perang dari kerjaan sampe hobi).
ReplyDeleteTapi urusan sama pengajak janjian yang insekyur itu........ juga ngeselin. Tanya mulu besok jadi gak, hari H masih tanya jadi gak, stgh jam mau berangkat masih tanya jadi ngga, pas jalan ngabarin dia jalan, pas sampe ngabarin sampe, sampe di tempat janjian, masih nelpon "woy lu dimana?" ebuset apalagi kalo janjian di cafe yang kaga lebih besar dari kelas SMA. literally you can see all people in it.
Lagian sebelum eksekusi juga ngabarin secukupnya aja. Unless something bad happen to you on the way to the meeting, by bad I mean... grand piano falls into ur head or something.
..... come to think about it, I can make a whole blog post about this. LMAO
I used to be reallllly hung up on closure, too. I think it's human - we don't like uncertainty. It's terrifying, not knowing. But as I grew older, and realized that maybe, I too, was once an uncertainty in someone's life, a disturbance in their picture-perfect plan... I learn to tolerate it. Forgive it. There are just things that will stay a what if, a maybe, a someday. It's okay to feel the feelings it triggers, but not okay to obsess, fixate and linger. Of course I still obsess, fixate, and linger - it's in my blood. But it's not as devastating as it felt back then. Maybe I got stronger. Maybe I got used to it. Maybe I'm just bidding my time, before the next earthquake.
ReplyDelete