I thought you were one of the good guys. I really did.
Pada saat itu, kamu memang terlihat seperti orang yang sangat baik. Tentu saja tidak sempurna, aku tahu kamu hanya manusia biasa, tetapi kupikir kamu sudah lebih dari cukup. Perkenalan kita berawal sederhana. Tidak ada yang istimewa. Hanya karena sahabatmu berkawan dengan temanku, dan malam itu kita sama-sama memutuskan untuk mengekor mereka yang punya janji saling jumpa. Keputusan yang sempat kusesali karena temanku segera sibuk dengan sahabatmu, seolah menguap dari ingatannya bahwa di tempat itu masih ada aku.
"Nama lo siapa?"
Itu kata-kata yang kamu lontarkan pertama kali padaku. Kita saat itu sama-sama terlupakan. Sama-sama mati gaya. Kamu memilih menyalakan rokok dan mengamati orang-orang di sekitar serta kendaraan lalu-lalang yang tampak dari jendela kafe, sedangkan aku menekuri layar ponselku dan membaca beberapa e-book yang sempat kumasukkan ke dalam memory card-nya. Sudah jelas bahwa aku tidak siap dengan pertanyaanmu yang tiba-tiba, memecah hening yang mengambang di antara kita sejak sekian puluh menit lalu.
Sepasang matamu yang gelap dan tampak lelah malam itu masih tertuju padaku yang tertegun seperti orang bingung, karena tidak yakin baru saja diajak bicara.
"Nama lo. Siapa?"
Nada bicaramu sedikit lebih keras dari sebelumnya untuk memperjelas. Lalu tanpa menunggu respon dariku, kamu menyebut nama lebih dulu. "Gue Egi."
Sejak malam itu, kita berteman.
Atau setidaknya aku berpikir demikian.
Dan waktu berjalan. Sementara kita sibuk bicara. Kita asyik tertawa. Kita biarkan pikiran berkelana. Kita bertukar berita. Kita berbagi cerita. Jarak yang tadinya kasatmata itu―setidaknya bagiku―terasa makin fana. Berangsur tiada. Lalu tiba-tiba, entah bagaimana mulanya, aku mendapati sosokmu adalah yang pertama kali terlihat saat pagi hari kubuka mata. Sampai di situ kusangka semua akan tetap baik-baik saja. Tidak akan ada apa-apa. Segalanya masih akan berlangsung sebagaimana mestinya... kan?
* * *
Aku berdiri di ambang pintu dengan gusar. Ujung jemariku yang berkeringat dingin memilin-milin secarik kertas bertuliskan alamat, yang telah menuntunku ke tempat ini. Kedatanganku kemarin tidak mengharapkan apa pun selain bantuan. Mungkin saran. Bahkan sekadar mendapat pertanyaan, "Jadi kamu sekarang bakal ngapain?" darimu pun aku tidak keberatan. Tapi jika kamu tidak percaya apa yang kukatakan, bukti di dalam ransel sudah kusiapkan. Aku belum membuang alat tes yang pagi tadi kugunakan.
"Temannya Mas Rezky?" sapa seorang perempuan yang membukakan pintu, tak lama setelah aku menekan bel. Sempat aku tercengang; namun secepat kilat aku menyadari bahwa 'Egi' yang selama ini kugunakan untuk menyebut namamu berasal dari 'Rezky'. Dan tatkala perempuan itu mendorong pintu sedikit lebih lebar untuk mempersilakanku masuk, tatapan mataku tertumbuk pada logam tipis yang melingkari jari manisnya. Juga perutnya yang bundar dan besar, menandakan usia kehamilan cukup tua.
Hatiku mencelos.
I thought you were one of the good guys. I really did.
But now, all I can think of is how stupid I was for believing someone too easily.
z. d. imama
Harusnya namana Eky
ReplyDelete*pembaca riwil*
Lanjutkan fiksinyaa
Komen saya sebelumnya ilaang
Saran ya Om, sebelum pencet tombol "Publish" komennya dikopas dulu. Njagani nek ada error terus ilang sewanci-wanci sebelum keposting. Hihihi.
Delete