Tuesday, 25 May 2021

I watched "Tengoku to Jigoku: Psycho na Futari" all night long and now I can't stop thinking about it.


Selamat tahun baru 2021. Selamat tahun baru Imlek 2572. Selamat Hari Raya Idulfitri 1422 H. Wow, ternyata waktu sudah berlalu sekian lama dan banyak sekali hal-hal yang terlewati tanpa saya menyentuh blog ini sama sekali. Membiarkan sarang labah-labah, debu, bakteria, kenangan, dan entah apa lagi menumpuk dan menimbun password situs semenjana tak berharga ini dari memori saya. Lalu, apa yang berubah? Apa alasan saya memutuskan menyingsingkan lengan baju dan pulang ke blog pribadi, bersusah-payah menyusun kata-kata panjang untuk entah siapa? Berharap akan ada seseorang yang menekan tombol klik di tautan yang mengantarkan mereka kemari? Apa motivasi saya melakukan ini semua?

Jawabannya: 
Karena saya menangis semalam suntuk.

Saat ini jam di kamar saya menunjukkan pukul 04:55 AM dan kedua pipi saya masih dibanjiri air mata. Sepasang mata saya masih basah. Muka saya merah. Sembap sampai bengep. Sepanjang malam, selama nyaris 500 menit lamanya, saya terpaku di hadapan laptop dan menyaksikan kesepuluh episode serial drama Jepang, "Tengoku to Jigoku: Psycho na Futari" (Heaven and Hell: The Psychotic Duo) tanpa jeda seperti orang kesetanan. Saya tidak bisa berhenti. Nggak mau. Nggak rela. Seolah-olah kalau saya nggak langsung nonton semuanya sampai tuntas maka saya tidak bisa hidup tenang. Tapi sekarang, nyatanya, lima ratus ajigile menit kemudian, saya juga tidak merasa hidup dalam kedamaian. Cerita, dialog, dan karakter-karakter dalam drama Tengoku to Jigoku tampaknya masih akan menghantui saya setidaknya hingga satu atau dua pekan mendatang.

I'm haunted and I like it.


Pada dasarnya, premis "Tengoku to Jigoku: Psycho na Futari" adalah seorang detektif polisi perempuan bernama Mochizuki Ayako (diperankan Ayase Haruka) yang mengalami insiden bertukar tubuh dengan tersangka pembunuhan berantai, pria kaya-raya mencurigakan dengan nama Hidaka Haruto (dibawakan dengan amat sangat apik oleh Takahashi Issei). Bukanlah sesuatu yang baru, kan. Boro-boro istimewa, baru aja kagak. Kisah penjahat yang bertukar posisi dengan penegak hukum sudah berulang kali dieksekusi. Tapi apakah Tengoku to Jigoku berhenti di sana? Apa yang membuat serial drama ini meraup rata-rata rating di atas 15%, yang mana bagi sebuah sinetron televisi di era banjir konten seperti sekarang adalah sebuah prestasi luar biasa?

Daya tarik awal, selain jajaran nama-nama aktor besar mentereng seperti Ayase Haruka, Takahashi Issei, Mizobata Junpei, Kitamura Kazuki, Emoto Tasuku, dan lain sebagainya adalah kualitas akting. Untuk aspek ini terus terang saya harus memberikan mahkota kepada Takahashi Issei, yang hampir sepanjang serial harus memerankan Mochizuki Ayako yang terjebak dalam tubuh Hidaka Haruto. WAH KACO MEN. GESTUR DAN GERAK-GERIK FEMININNYA OKE BANGET. Cara bicaranya. Tatapan matanya. Cara dia pakai jaket. Udahlah Om ambil pialanya. Ambil sepedanya. Ambil mobilnya. Ambil permatanya. Ambil uangnya. Borong dah.

PERHATIIN DEH ITU CARA DUDUKNYA MAS ISSEI... PAHANYA NGATUP...



Tokoh-tokoh pendukung yang ada bisa dibilang hampir semuanya punya motivasi dan tujuan. Nggak sekadar tempelan. Kepribadian masing-masing cukup distinctive. Bahkan karakter yang diperankan Kitamura Kazuki, Kawahara Mitsuo, detektif senior berangasan yang seksis dan menjengkelkan maksimal sampai-sampai dijuluki 'Sekuhara' (sexual harassment) diam-diam oleh Mochizuki, tanpa terkecuali berhasil mendapatkan respek dari saya yang secara pribadi menganggap bahwa diri ini feminis. Each of them has flaws and everyone gets their moment of redemption. Suka. Suka banget.

BAPAK INI SEBENERNYA PEKERJA KERAS, GAES. TAPI NYEBAHI.

Dinamika antarkarakter yang tidak kalah menarik disimak adalah antara Mochizuki dan kombi juniornya, Yamaki Hideo, serta roommate-nya, Watanabe Riku. Agak-agak kayak cinta segitiga padahal ya nggak tepat dibilang gitu. Lebih mirip dua orang yang sama-sama berjuang mendapatkan perhatian tersendiri dari Mochizuki. 

Saya yakin kalian akan mempertanyakan kenapa Yamaki bisa lulus akademi kepolisian.

Teman sekamar merangkap layanan cleaning service.

Sekelumit elemen mitos rada klenik yang menghiasi Tengoku to Jigoku, menurut saya, memperkaya cerita ini. Selain itu juga ada sedikit elemen komik (manga) diselipkan di sejumlah episode. Beberapa panel ditampilkan dengan gaya animasi yang lumayan creepy. Atmosfer keseluruhan serial drama Tengoku to Jigoku terbilang serius, namun banyak momen-momen kecil yang kocaknya amit-amit. Efektif mencairkan tensi yang barangkali di beberapa menit sebelumnya agak terlalu naik. 

 

Poin terbaik: PLOTTING. Anjay kece parah. Foreshadow-nya oke. The timing for every single revelation is just right. Nggak ada hal-hal yang terasa 'disimpen kelamaan cuma demi ngasih plot twist', tapi penghujung setiap episode selalu menyisakan sesuatu yang bikin penonton deg-degan dan penasaran. Semakin ditonton semakin  membuat saya sebagai audiens di hadapan laptop bertanya-tanya dalam hati apakah tindakan mencurigakan yang diambil suatu karakter akan mengarah ke perkembangan yang saya duga. Pembagian apa saja yang harus terjadi di episode keberapa bener-bener kayak nggak terkalahkan. Tengoku to Jigoku berhasil membuat saya merasa kangen, kayak udah lamaaaaaaaaaaa sekali tidak menemukan serial dengan ritme cerita sesolid ini.

Ratusan judul drama yang pernah saya saksikan sedikit-banyak memberikan pelajaran berharga: pada serial drama televisi Jepang, perkembangan tertinggi alias momen puncak nyaris selalu ada di episode ketujuh. Biasanya di titik ini, all cards are out. Seluruh ekposisi telah keluar dan saatnya bola digelindingkan menuju konklusi.

PERINGATAN: EPISODE TUJUH KAMPRET ASLI. KAGAK NAHAN.


Ya Allah. YA ALLAH. Saya nggak peduli apakah di antara kalian yang akhirnya (entah bagaimana) memutuskan nonton Tengoku no Jigoku akan ada yang berhasil menebak arah perkembangan ceritanya, tapi jika kalian nggak nangis di sini, minimal merasakan sesuatu... man, I have to tell this: you're hopeless as a human being. Dahlah mending jadi patung tugu Pancoran aja.

BUT THEN THE FINAL EPISODE HITS WORSE.


Muka saya berasa transformasi ke air terjun Niagara saking air mata nggak kunjung berhenti. Banyak dialog-dialog yang saya abadikan sebagai screenshot. Sayang beribu sayang, saya nggak mungkin unggah gambar-gambar layar itu ke sini. Not now. Not here. Not today. Nanti jadi spoiler berat. Saya ingin sebanyak mungkin orang mengalami sensasi "Anjiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiir" dan "AAAAAAAAAAAAAAA" yang menyerang saya bertubi-tubi sepanjang malam. Belum lagi ketika intro ending theme song berjudul "Tadaima" dari Teshima Aoi mulai mengalun. Auto remuk.

Nih. Coba aja dengerin.


Alasan bonus kenapa Tengoku to Jigoku perlu ditonton? AYASE HARUKA CAKEP BENER. Masyallah. Kepribadian Hidaka Haruto yang relatif tenang, karismatik, dan enigmatik khas bapak-bapak eksekutif muda kaya cenderung nge-boost betapa cantik dan kerennya mbak Ayase sewaktu jiwanya berdiam di badan Mochizuki Ayako.


Udahlah, Tengoku to Jigoku bagi saya skornya 100 out of 100. Sesuka itu. Nggak perlu dijabarkan detil aspek-aspek apa saja yang diberi penilaian. Gile baper mentok sampai kayak sejengkal lagi kejungkel dalam lembah stres. Saya mau balik sesenggukan lagi dulu deh. Bye, nice to know y'all.

My feelings on "Tengoku to Jigoku in a nutshell:


z. d. imama

2 comments:

  1. selamat datang kembali di duniawi blog, Z. Seneng meliatmu hadir lagi, eh tulisanmu ding.
    dan membaca reviewmu ini jd bikin penasaran. lagian nulisnya kenapa selalu aja rapi sih :))

    ReplyDelete
  2. haiii... saya juga udah lama gak nulis, terkahir november tahun lalu. dan belum ada kepikiran topik apa yang mau ditulis. hehee.
    .
    .
    oh iya sekalian saya mau bilang terima kasih untuk project secret santa desember lalu. meski sampe hari ini, yang saya kirimkan tidak ada kabar balik. tapi yaa sudahlah namanya juga rahasia kan. jujur sya gak gitu paham drama Jepang, tapi saya bisa paham, karena saya pun pernah nangis dini hari tiap weekend gara-gara drama korea. sangat sangat relate sekali dengan apa yang saya alami, jadi malah nangis gak karuan kaya orang putus cinta. padahal temanya soal gangguan mental. rela nunggu tiap jam 11 malem cuma buat nonton eps baru, dan itu jadi drama pertama yang saya bela-belain nonton ongoing tiap minggu. selepas itu, saya belom nonton drama lain. hahaaa entah karena belum move on atau karena lagi males nonton drama lagi. belum siap aja kalo energi dan esmosi saya kembali terkuras hanya karena nonton drama. hahaaa.
    .
    semoga sehat selalu ^.^

    ReplyDelete