Thursday 31 October 2019

Magical Tales of Gandaloka: long post about thoughts on the first batch


Semasa kanak-kanak, membaca (sekaligus mengoleksi beberapa macam) novel serial untuk anak-anak dan remaja merupakan kegemaran saya. Pasukan Mau Tahu? Cek. Goosebumps dari R. L. Stine? Cek. Animorphs, the most magnificent teenagers-vs-alien war story ever? Cek. Ada sejumlah judul-judul lain yang pada tahun 2018 lalu sempat saya tuliskan juga dalam sebuah postingan lama yang notabene memang membahas bacaan nostalgia. Kalau berminat ngintip apa sajakah mereka, silakan klik bagian 'sebuah postingan lama' di kalimat sebelumnya, atau arahkan kursor ke sebelah sini

Ketika Naobun Project merilis Magical Tales of Gandaloka pada awal Oktober 2019, saya langsung menaruh minat pada serial novel yang terinspirasi konsep Goosebumps dan Animorphs ini. Keseluruhan cerita akan mengambil latar tempat yang sama, yakni "Gandaloka", sebuah kota fiktif yang lokasinya dikisahkan tak terlalu jauh dari DKI Jakarta. Walaupun secara kasat mata ia tampak seperti kota biasa, sejatinya Gandaloka menyimpan kekuatan magis yang sangat besar. Sejak lama, Gandaloka adalah tempat bermukim kaum siluman yang dijuluki―atau mereka justru menjuluki diri sendiri?―Demit. Para Demit ini tinggal di antara manusia, meniru penampilan manusia, dan menjalani cara hidup ala manusia. Singkat kata, setiap installment Magical Tales of Gandaloka akan menceritakan dinamika dan riak interaksi Demit maupun manusia yang menjalani hari-harinya di kota magis itu. Tapi alih-alih seperti Goosebumps, Pasukan Mau Tahu, ataupun Animorphs yang ditulis oleh satu orang―dan lusinan ghostwriter karena... oh come on!―, masing-masing buku Magical Tales of Gandaloka justru dihadirkan dari tangan-tangan berbeda. Entahlah apabila nantinya akan ada penulis yang menyumbang lebih dari satu judul untuk Gandaloka.

Saya rasa kelima buku Magical Tales of Gandaloka tidak punya nomor urutan tertentu. Sehingga kita boleh-boleh aja ngambil asal buku mana pun dan dinikmati tanpa harus mencemaskan bagaimana kalau bacanya kebalik-balik. That being said, I'll write down my thoughts that came up upon reading each book―and I will put these thoughts in my reading order―and maybe here and there, I will express my thoughts about the whole batch of this series. IMPORTANT NOTICE: there will be spoilers. Barangkali sebatas hal-hal kecil. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa apa yang saya paparkan termasuk hal krusial. So please proceed at your own discretion. Jika kalian sama-sama sudah baca keseluruhan Magical Tales of Gandaloka, atau termasuk kalangan orang-orang yang justru baru akan tergerak untuk menikmati suatu karya setelah dapat bocoran mumpuni dari kanan-kiri, yuk ah gas terus.


Gambar di atas memaparkan urutan saya membaca kloter awal serial ini. Dimulai dari Home yang ditulis oleh Keinesasih, dan dilanjut terus ke Stay Ugly dari Kahlui, kemudian Halfie dari Priscila Stevanni, lalu ke Your Wings-nya Eve Shi. Ditutup dengan Welcome to the Fandom persembahan Utiuts. Kelima buku Magical Tales of Gandaloka diberikan rating 13+, sehingga jelas bahwa target utamanya memang para remaja yang sudah duduk di bangku pendidikan sekolah menengah. Namun saya pikir-pikir, kayaknya sebagian besar dari kelima buku ini secara khusus nggak akan bermasalah andaikan dibaca oleh anak-anak usia sepuluh tahunan. Lho, kok 'sebagian besar' aja? Kenapa nggak semua? Nanti kita bahas ya. Pelan-pelan.

*Cracking fingers.*

Here we go.

"HOME"

Penulis: Keinesasih


Ayah Riona tiba-tiba memutuskan akan menjual rumah keluarga yang diwariskan dari kakek. Sebuah penyelidikan kecil-kecilan mengantar Riona pada sebuah fakta: kedua orang tuanya dikenai hipnosis oleh konglomerat properti bernama Darius Tejakusuma agar bersedia menyerahkan tempat tinggal mereka. Masalah makin tumpang-tindih ketika Riona menyadari bahwa anak-anak Darius, Samuel (yang tampangnya relatif lokal tapi ganteng) dan Haniel (blasteran bule yang katanya jauh lebih ganteng), ternyata satu sekolah dengannya. Malahan, salah seorang dari mereka adalah rekan sekelasnya. Riona harus memutuskan apakah kedua cowok itu lawannya, atau mereka cukup bisa dipercaya untuk dijadikan kawan dalam usahanya mempertahankan rumah keluarga. Sebab bagaimanapun, sulit bagi anak sekolahan melawan pengusaha kaya raya seorang diri.

Begitu kira-kira garis besar cerita Home.

Novel ini adalah sebuah perjalanan. Setidaknya itu yang terlintas di benak saya sewaktu membaca. Entah benar atau tidak, saya merasakan ada bagian di mana seolah-olah sebuah switch dinyalakan, dan mbak Ines selaku penulis berhasil menemukan posisi pewe dalam menuturkan cerita. Bab-bab eksposisi di awal masih mempunyai sedikit kesan canggung. Seiring lembaran demi lembaran buku saya balik, kesan itu lebur. Persis seperti berkenalan dengan orang baru. Semula hanya satu-dua patah kalimat interaksi obligatory yang ada, tapi selang beberapa saat kemudian kita tertawa-tawa bersama seolah sudah berkawan sejak lama.

Foto di atas memang sengaja diambil #DemiKonten. Sudah, jangan protes.

Satu hal yang sangat, sangat, SANGAAAT saya sukai dari Home adalah penampilan fisik Riona, meski ia seorang protagonis, hampir sama sekali tidak dideskripsikan lebih lanjut sepanjang cerita. Oke, kita para pembaca sempat diberitahu bahwa rambutnya lurus dan tidak berponi. Tapi ya udah. Gitu doang. Apakah berat badannya ideal? Tinggi badannya berapa? Jerawatan, nggak? Apa pipinya tembem? Punya lesung pipit atau gingsul, nggak? Cantikkah? Jelekkah? Jangan-jangan B aja? Berkulit hitam, sawo matang, kuning langsat, atau putih cerah bak bintang iklan Shinzui? Tidak pernah ada penjelasan. Bahkan di kaver bukunya pun sosok Riona cuma digambarkan sebagai siluet! Suatu hal yang tidak biasa.

But I'd opine that this unexplained detail is what makes Riona so great for the readers. This is self-insert time, people. Siapa pun dari kita bisa, dan boleh, menjadi Riona. Asalkan kita memiliki hobi yang sama dengannya. Asalkan kita pernah mengalami atau merasakan hal-hal yang ia alami dan rasakan. As long as you can relate with her way of thinking or her life problems. Bingung menemukan tempat dalam pergaulan untuk berbagi percakapan tentang hobi yang kerap dipandang sebelah mata oleh orang lain pada umumnya? Hello, so you're another Riona! Nice. Lagipula, beragam permasalahan dan konflik yang harus dihadapi oleh Riona sama sekali tidak berkaitan dengan penampilan fisiknya. Her appearance doesn't matterShe could look like Maudy Ayunda, or she could look like me, and none of those options would disturb the story.

Home memberikan lebih banyak porsi character growth kepada kedua anak-anak Darius Tejakusuma, Samuel dan Haniel, alih-alih protagonisnya. Riona, di mata saya, adalah sesosok karakter yang 'sudah jadi'. Ia memang mengalami hal-hal baru seiring berjalannya kisah, namun relatif tidak ada self-discovery. She's got this. Saya tahu Riona akan baik-baik saja, sehingga saya punya waktu luang dan kapasitas mental untuk dibikin baper jumpalitan oleh segala pergolakan batin yang dialami Samuel. YA ALLAH DEK.. RASANYA PENGIN MELUK. His pain feels too real for me. Saya nyesek bukan main ketika persaingan dua bersaudara itu menyebabkan mereka berantem gontok-gontokan sendiri sementara sang bokap yang―secara langsung maupun tidak―jadi biang kerok justru nggak tahu apa-apa. Barangkali nggak peduli juga. Ealah, Le...

"STAY UGLY"

Penulis: Kahlui


Sejak ia kecil, Solaria harus hidup dengan mengemban beban kutukan Kelambu. Sebuah sihir yang membuat wajahnya di mata orang lain tampak jelek dan menjijikkan. Safe space Sola di sekolah adalah ekstrakurikuler seni peran bernama Teater HaWe yang krisis anggota dan terancam dibubarkan dalam waktu dekat. Sola pun mati-matian berusaha mempertahankan satu-satunya tempat di mana ia tidak harus menghadapi dunia yang selalu berpaling tiap melihatnya (dan saat pementasan teater, orang-orang justru harus menatapnya) dibantu Yudhistira―alias Yasha; di bukunya dijelasin kok kenapa panggilannya geser jauh banget dari nama asli―, cowok cakep bertampang mirip (lagi-lagi) blasteran yang lumayan populer seantero sekolah sekaligus penyumbang penonton terbesar di setiap pementasan HaWe. Tetapi Sola curiga manusia rupawan seperti Yasha punya udang di balik batu karena Yasha mau bersikap sebaik itu padanya, si buruk rupa yang dihindari semua orang.

Apabila Kahlui bermaksud menciptakan seorang protagonis yang bikin pembaca kebelet menjitak dan adu otot leher dalam duel bentak-bentakan sewot saking sebalnya, saya harus mengakui: ia sukses besar. Anjiiiiiiiiiiiiiiir gedeg banget sumpah ngadepin Solaria. Terakhir kali saya segondok ini terhadap karakter utama tuh saat ketemu tokoh Marianne Dashwood dari Sense and Sensibility-nya Jane Austen, walau di dua kasus ini kekesalan saya punya sebab-musabab berbeda. Well... I'm a huge ball of insecurities myself, and sometimes I'm trapped inside my own bubble of wild assumptions, but it feels like Solaria turned it up to the max and poured a gallon of steroid on that matter. Terdapat sejumlah adegan-adegan di mana saya secara sadis meneriaki dalam benak, "LO TUH KALAU UDAH JELEK YA KELAKUAN JANGAN IKUTAN RESEK????" Semua orang diketusin. Semua dikenai prasangka. Dikit-dikit ngegas ke kanan-kiri. Hih.

Emotional relapse yang berulang kali dialami Solaria sangat tidak mudah saya lewati sebagai pembaca. Ada perasaan jengkel, "Yaelah gini lagi????" ketika ia berkali-kali mencurigai orang-orang yang peduli kepadanya. Padahal meskipun sering kena damprat, mereka masih ikhlas dan mau-mau aja bertahan menemani Solaria. Tetapi saya harus sadar diri. Saya pun tidak jarang mengalami emotional relapse, menghabiskan semalaman menangis di tempat tidur lantaran memikirkan hal-hal yang sudah pernah sejuta kali saya pertanyakan dalam hati. 

That shit happens

Mungkinkah kekesalan pada Solaria timbul karena hal-hal picik yang ia pikirkan juga tak jarang melintasi benak saya? Am I seeing pieces of myself in her and that's why many scenes and talks and thoughts feel like personal attacks? Hmm. Tampaknya, Stay Ugly dan segala tetek-bengeknya akan lama singgah di kepala.

"HALFIE"

Penulis: Priscila Stevanni


Pindah dari Jakarta ke Gandaloka lantaran ibunya dimutasi, Naira bertekad mengisi hari-harinya di sekolah baru dengan berbagai kegiatan positif seperti jadi pengurus OSIS. Sayang, rencananya harus gagal total lantaran ia terperangkap di tengah-tengah perkelahian dua sosok Demit (yang mana salah satunya adalah rekan sekelasnya, Gesta) dan nyaris kehilangan nyawa. Gesta secara sepihak memutuskan untuk menyelamatkan Naira dengan menyumbangkan kekuatannya―menjadikan Naira sesosok Halfie, alias separo-Demit. Naira kini harus bisa berdamai dengan hidup barunya yang jauh lebih merepotkan, mengatasi kemarahannya terhadap Gesta, sekaligus menyadari bahwa with great power, comes great danger (I'm not even sorry for ripping off Spider-Man quote here, and it rhymes, so yay me).

Halfie bukanlah interaksi pertama saya dengan Gandaloka dan unsur-unsurnya. Home dan Stay Ugly yang mengambil latar sekolah sama, yakni SMA Gandaloka, telah berhasil menciptakan suatu imaji dalam otak. Khayalan pribadi saya sudah terbentuk. Bagaimana kira-kira suasana di SMA Gandaloka. Seperti apa anak-anak remaja yang bersekolah di sana. Bagaimana mereka menikmati jam pelajaran hingga menggeluti kesibukan ekstra kurikuler. Tak dinyana, Halfie menggoyang apa yang saya percayai tentang mereka. Semula saya duga, meski sekolah menengah swasta, SMA Gandaloka merupakan tempat ramah untuk beragam siswa dari berbagai latar belakang. Baik itu yang ekonominya biasa-biasa (baca: dibilang kaya tak sampai, dibilang miskin kok hidupnya masih memadai), bergelimang harta bak anak-anak Darius Tejakusuma, sampai penerima program beasiswa. Semuanya berbaur. Tak ada yang perlu merasa terasingkan dalam percakapan karena keterbatasan ekonomi. Semacam ada konsensus sosial yang digalakkan Sukmaloka sang Kepala Sekolah, bahwa tak peduli seberapa besar-kecil uang yang dimiliki orang tua murid, penting untuk menjaga lingkungan sosial di balik pagar SMA Gandaloka agar selalu bersahaja.

Sepanjang Halfie, saya tidak bisa memungkiri timbulnya perasaan bahwa SMA Gandaloka tiba-tiba telah berubah seratus delapan puluh derajat. Percakapan demi percakapan bergulir, interaksi demi interaksi saya saksikan, dan mendadak saya tidak lagi merasa disambut di tengah-tengah mereka. Saya merasa asing. Saya kebingungan mencari tempat. Seolah-olah dalam sekejap mata saya diceburkan ke lingkungan sekolah swasta internasional berbiaya selangit, di mana kisah wisata mahal ke ujung negeri saat libur semester, saling pamer pakaian dalam bermerek premium ketika ganti seragam olahraga, atau pertanyaan panik para siswi kepada teman segengnya apakah sudah butuh berlatih angkat beban (apa ini maksudnya nge-gym?) untuk menghilangkan lemak-lemak di tubuh adalah dengungan lumrah di tiap sudut bangunannya.

I just.. cannot relate.

Me, questioning the validity of my personal experience and feelings.

But these feelings of being disconnected and confused actually get me to wonder about which one is the real 'SMA Gandaloka'. Am I just fantasizing things out of nowhere for two whole novels? Is this high school just another portrayal, another representation of rich kids society? Don't we have enough of those people in our television screen, Instagram feed, or any other platform..?

WAIT, WAIT―

Apa jangan-jangan saya merasakan ketidaknyamanan ini lantaran sudah bukan remaja lagi?
Apa jangan-jangan kaum remaja sekarang tuh betul-betul kayak gini, dan saya doang yang nggak ngerti?

So I've got my tenth-grader sister at home to read the book and asked for her opinion. Later she said something like, "Aku nggak mungkin bisa nyari temen dengan nyaman kalau tipe anak-anaknya kebanyakan kayak gini. Nggak konek", which makes two of us now. Then I wonder again, is it because I am a person who was born and raised in a particularly small town, thus I simply don't understand all these clamor and glamour of the people growing up in Jakarta and its neighboring cities? Jangan-jangan saya―dan adik saya―cuma merasa nggak nyambung karena sejatinya diri ini ya wong ndeso? Entahlah.

Selaku protagonis, Naira dikisahkan sebagai anak tunggal yang hidup hanya bersama ibunya. Ia dibesarkan oleh single mother yang sibuk bekerja keras memenuhi tugas kepala rumah tangga sekaligus peranan orangtua. Barang-barang pribadinya cenderung biasa-biasa saja karena enggan membebani ibu dengan pengeluaran tambahan. Saya menduga penulis bermaksud menobatkan Naira jadi seorang anomali di lingkungan pergaulan sekolah, sebagaimana Naira juga merupakan anomali dalam identitasnya, terombang-ambing di antara manusia maupun Demit. But after meeting Riona, Yuni, Hosea, Yoga, Solaria, and so many other characters who go to the same school as Naira... this particular setup doesn't feel like cutting it. Naira should not be 'that different kid' at school. To me, this totally unexpected maneuver is deeply disconcerting.

Apabila dipandang sebagai satu novel independen, kisah Halfie cukup solid dan menarik. Memaparkan bahwa seseorang tidak harus sepenuhnya manusia atau sepenuhnya Demit; you can be a bit of both and it's a cool thing, tooPerjalanan Naira menerima identitas baru hingga akhirnya mampu berkontribusi dalam pertikaian klimaks nyaris menyerupai origin story superhero. I'm not saying the book isn't good enough, no. It's just that... when put together with the rests of Magical Tales of Gandaloka series, I no longer know whether or not a person like me has a place to belong in this school named 'SMA Gandaloka'.

"YOUR WINGS"

Penulis: Eve Shi


Chendra yang hubungan romansanya baru kandas karena diakhiri sepihak oleh Fifi, mengalami kesulitan untuk move on. Seakan-akan dikerjai semesta, kelasnya kedatangan murid baru bernama Amel, yang meski nggak ada mirip-miripnya dengan Fifi, membuat Chendra teringat mantan pacarnya. Kondisi ini bikin Chendra uring-uringan sendiri dan berdampak pada sikap cueknya terhadap Amel. Suatu kebetulan menyebabkan Chendra tanpa mengaja memergoki Amel yang tengah berbincang dengan Damion membentangkan sayap, dan saat itulah ia mengetahui bahwa Amel bukan manusia biasa. Ia sesosok Demit. Rasa penasaran Chendra ternyata berhasil mengalahkan rasa takutnya terhadap segala hal berbau gaib nan mistis, dan hubungannya dengan Amel pun kian akrab.

Your Wings is that classic boy-meets-girl storyCompared to the other installments of Magical Tales of Gandaloka I've finished, its core is more of a sweet-colorful-and-flowery transition from awkwardness to friendship, and then from friendship to budding romance. Terus terang, saya tidak punya cukup banyak opini yang dapat disampaikan panjang lebar. Pilar besar novel ini adalah bagaimana Chendra berupaya mengenal Amel lebih jauh dan menerima situasi unik mereka sebagaimana adanya. Mungkin hal ini nggak akan seberapa rempong kalau saja Gardalor, klan bangsawan yang berperan selaku penjaga keamanan dan keseimbangan sosial-masyarakat para Demit, tidak mengendus fakta bahwa Chendra tahu identitas Amel yang sebenarnya dan menerapkan tindakan penanggulangan demi keselamatan komunitas Demit. Gardalor percaya, "Janji manusia ringan bobotnya. Mudah dilanggar dan dilupakan".

Nggak salah-salah amat, sih.

Detik demi detik, menit demi menit, dan jam demi jam yang saya habiskan untuk membaca Your Wings berlangsung penuh kedamaian. Menurut saya, novel ini akan menyenangkan bagi pembaca yang suka kisah-kisah romansa macam A Walk to Remember-nya Nicholas Spark. Or.. John Green, perhaps?

"WELCOME TO THE FANDOM"

Penulis: Utiuts


Finally we've reached the fifth book (based on my reading order, mind you, not the official one). Arakisya Maltarani, yang akrab disapa Kisya, adalah Demit dengan kemampuan sihir kromatik. Profesi sehari-harinya ialah penggemar berat grup K-Pop bernama Fireen sembari jadi pelajar. Berhubung pada dasarnya Kisya senang bermusik, bersama teman-teman dekatnya yaitu Angel dan Adrian (yang lantas menggaet dua anggota tambahan: Kukun dan Lukas), ia membentuk band Taylor's Alive. Setelah terus-menerus berlatih dan melalui proses audisi, kesempatan mereka untuk manggung perdana di pentas seni sekolah lain akhirnya tiba. Sayangnya di hari yang sama, kesempatan Kisya untuk hadir menyaksikan langsung konser Fireen juga datang! Kisya harus memutar otak agar bisa menang banyak dan tidak perlu mengorbankan salah satu acara. Ia bahkan siap mengeksploitasi kemampuan sihir khas Demit demi mengejar ambisi fangirl-nya. Tekadnya yang kelewat kuat membuat Kisya melupakan kata pepatah: Demit berencana, Tuhan menentukan.

Saya sudah tidak lagi mendengarkan K-Pop sejak bertahun-tahun silam. Namun, segala yang Kisya rasakan terhadap Fireen sama sekali tidak berbeda dengan gejolak jiwa saya yang menggandrungi karya-karya musisi dari Jepang, baik itu band, solo artist, sampai grup idola. Mulai dari ONE OK ROCK, Hamasaki Ayumi dan Utada Hikaru, hingga the one-and-only legendary Arashi. Saya merasa terwakili. Saya pun sangat memahami bagaimana para idola (yang bahkan nggak tahu keberadaan saya di dunia ini) mengalami proses pergeseran peran di hati. Awalnya sekadar memberikan hiburan, memicu rasa penasaran, lambat laun berubah menjadi sumber kekuatan.

Ajaib, memang.

Pemaparan backstory Kisya dengan keluarganya yang mengantarkannya ke haribaan Fireen terasa begitu personal bagi saya hingga di sejumlah halaman, saya nyaris sulit melanjutkan. Membalik kertas saja makan waktu lama karena sibuk mewek sendirian. Funny, I know. Welcome to the Fandom is so light, fluffy, warm, full of love so explosive and sincere. Yet here I am shedding my tears upon reading where the money for Kisya's education actually comes from. I know how it feels, Kisya. I really, really know.

Mengatasnamakan budaya fangirl, dengan ini saya mengizinkan diri sendiri untuk secara sewenang-sewenang membuat tagar #GandalokaReadersSelcaDay agar foto-foto bersama novel-novel Magical Tales of Gandaloka yang saya unggah di sini punya sekelumit argumen dasar.

Yep. I'm embracing my fangirl self by wearing Arashi's 24hr TV Charity T-shirt 2019.

Nun jauh di atas sana―coba scroll ke atas sampai lumayan mentok jika lupa―saya sempat mengemukakan bahwa sebagian besar cerita-cerita di Magical Tales of Gandaloka dapat dikonsumsi oleh anak-anak yang belum menginjak usia remaja. Kok, cuma sebagian besar? Alasannya apa? Gini. Tiap-tiap novel Gandaloka punya cukup banyak muatan bahasa Inggris tanpa dilampirkan terjemahan, entah itu sebagai catatan kaki atau dibuatkan daftar sendiri di bagian akhir. Bahkan jika saya tidak salah ingat, tidak ada satu buku pun yang tidak menyelipkan kalimat lengkap berbahasa Inggris. Baik itu sewaktu perbincangan antartokoh atau monolog semata. Kalimat-kalimat utuh berbahasa asing yang tidak disertai bantuan terjemahan ini barangkali dapat mengganjal pembaca-pembaca belia yang kebetulan masih kurang terekspos dengan penggunaan bahasa Inggris di keseharian mereka. Ada sejumlah bagian yang mungkiiiiiiiin bakal mereka 'lompati' atau tidak dipedulikan karena tidak mengerti.

Mungkin, lho ya.

Sebaliknya, justru tidak ada tokoh yang menyeletuk dalam bahasa daerah mana pun. Termasuk Yudhistira, padahal ia diceritakan sempat pindah tinggal beberapa lama di suatu wilayah bermuatan lokal relatif kental. Rasanya agak... sayang aja. Walau saya tahu lokasi Gandaloka memang digambarkan tidak seberapa jauh dari Jakarta, Magical Tales of Gandaloka masih belum lepas dari kesan yang mengatakan seakan-akan ia ditulis sebatas untuk warga ibukota dan kota-kota yang menempel lekat di pinggirannya, yang mayoritas menggunakan kata ganti "lo-gue" dan gampang kegeeran saat disapa dengan kata ganti "kamu" oleh seseorang yang menyebut dirinya "aku".

Ngomong-ngomong, unsur paling memikat dari Magical Tales of Gandaloka ya semestanya. World building-nya rapi, anjir. Tata kota yang dibagi dalam sektor-sektor dengan ciri khas tertentu, kesepakatan sosial agar Demit dan manusia sanggup hidup berdampingan, serta penjelasan tentang pihak-pihak berwenang yang secara turun-temurun saling bekerjasama demi mempertahankan keseimbangan dan 'kedamaian' di Gandaloka benar-benar mempermudah terbentuknya imajinasi atas kehidupan di kota fiktif tersebut. Bikin kepengin menyurati Naobun Project, sumpah. Isi suratnya? Tuntutan warganet semenjana agar peta kota Gandaloka dirilis. Seriusan. Pengin lihat petanya beneran, nih. Andaikan harus nongol sebagai merchandise pun saya beli, deh.

Magical Tales of Gandaloka adalah bacaan ringan berkonsep segar yang perlu dijajaki. Silakan mulai dari buku mana saja. Silakan pilih untuk menyusuri dunia Gandaloka bersama siapa saja. Silakan tarik kesimpulan dari tiap kisah yang telah dilewati. Silakan ajak saudara serta teman-teman untuk mencoba melirik ke dalam Gandaloka. You (or they) may have a completely different perspective and reading experience from my own, and draw a different opinion, but whatever it's gonna be, I think it's worth to find out.

Semoga akan ada novel-novel Magical Tales of Gandaloka jilid berikutnya yang diterbitkan. Lima buku tuh masih kurang. *fingercrossed*


*P.S.: Seluruh foto-foto terlampir dalam tulisan ini berasal dari jepretan jemari sakti mandraguna mas Eronu. Silakan kontak langsung di akun Twitternya apabila berminat ngasih duit jajan tambahan lewat proyekan (supaya ia bisa jajan Gundam lebih banyak lagi dan selalu hepi).

z. d. imama

7 comments:

  1. ulasannya kok menarik, ntar nyari ah, terutama yg bagian terakhir.

    btw Pasukan Mau Tahu, salahsatu serial yg ingin saya koleksi sejak dulu..

    dan btw, kapan kita bisa kopdar Zi? #lah :))

    ReplyDelete
  2. Replies
    1. Konon sih katanya semua berkat Man Behind the Weapon™

      Delete
  3. Review Zi tuh selalu bikin pembaca jadi pengen baca buku-buku yang diulas (atau dengerin lagunya, atau nonton film/serialnya, di postingan lain). Untuk postingan kali ini, aku kok jadi pengen baca Welcome to The Fandom ya. Kayanya menarik ^^

    ReplyDelete
  4. Another good read, another good review. Thank you.

    ReplyDelete
  5. Tertarik banget sebenernya sama seri Gandaloka ini, tapi belum berjodoh wkwk.. Pas pertama diumumin terus baca sinopsis satu-satu dulu paling tertarik sama Halfie dan Stay Ugly padahal, tapi abis baca review Zi jadi paling pengin baca Welcome To The Fandom ehe

    ReplyDelete
  6. Thanks for the blog loaded with so many information. Stopping by your blog helped me to get what I was looking for. touring kayaks

    ReplyDelete