Friday 13 September 2019

I left the studio after "Gundala" feeling confused and angry.


Malam itu, saya masuk ke studio bioskop yang menayangkan Gundala―film perdana dari rangkaian Jagat Bumilangit―dengan suasana hati biasa-biasa saja. Tanpa ekspektasi. Dua jam kemudian, setelah lampu bioskop kembali dinyalakan dan ending credit bergulir di layar, saya punya hasrat kuat untuk menjambak-jambak rambut sembari melolong. Saya marah. Sekaligus bingung. Sepanjang perjalanan pulang isi kepala saya masih kusut. Setiba di kosan, saya mandi dan beranjak tidur. Berharap di pagi hari emosi yang bergejolak di dalam diri sudah jauh lebih terkendali, dan saya bisa menyingkirkan hal-hal yang membuat Gundala terasa mengganjal. Ternyata, nggak juga. Keinginan untuk ngomel-ngomel masih tetap menggelora.

Saya marah. Saya frustrasi. Rasa marah dan frustrasi ini muncul karena berkali-kali, sepanjang duduk manis di hadapan layar lebar, saya harus berusaha menghibur diri dengan mengingatkan, "Ini baru film pertama dari satu semesta.. Masih banyak yang bisa diungkap di belakang" tiap kali kening berkerut karena dipertontonkan hal-hal mengundang tanda tanya. Tapi sampai kapan mau berlindung di balik tameng 'pembuka sebuah jagat sinema' ketika nyatanya memang Gundala tidak cukup solid dan koheren sebagai film mandiri?

I want to like this movie. Ooooh dear Lord I really do. The first thirty to forty-five minutes was incredibly fun to watch. But as a whole, Gundala to me ends up being something that I can't bear to watch for the second time. And yet at the same time I cannot hate Gundala because, let's face it and let's be real, when it's chopped up into many small shards, even I have my favorite parts. Here and there, it has glorious moments.


"Style over substance"―is what I think describes Gundala's problem in a nutshell. Namun sebelum saya memuntahkan kata demi kata sebagai pelampiasan uneg-uneg pribadi selaku penonton, ada baiknya kepingan-kepingan favorit dibeberkan lebih dulu. Supaya tulisan ini nggak sekadar sambat. Here we go. Also, please welcome: SPOILERS. Proceed only if you've seen this movie, or not minding good scenes being spoilt.

Favorite Piece #1: Masa Kanak-Kanak Sancaka

Bagian terfavorit sepanjang Gundala. Hands down. Interaksi Sancaka dengan tetangganya, dengan keluarganya, dengan anak-anak jalanan lainnya sangat jelas mengarahkan film ini mau ke mana. Meskipun yaa cukup bergelimangan dialog-dialog cheesy di sana-sini. Tapi masih bisa diampuni. Akting Muzakki Ramdhan sebagai Sancaka kecil juara banget. Clueless-nya dapet. Because sometimes life is too quick to keep up with and too much of a nonsense, yet despite your zero understanding, it goes on nonetheless. Adegan Sancaka kecil nendang rantang kiriman tetangga yang mengkhianati keluarganya sampai berserakan―untuk kemudian dipunguti lagi sisa-sisa makanannya dari tanah saking kelaparan sungguh luar biasa. Too stronk.

Sosok Sancaka di sini gamblang tergambar sebagai orang yang lahir dan tumbuh di tengah kemelaratan, sibuk bertahan hidup di tengah kerasnya dunia. Meskipun bapaknya punya semangat berkobar-kobar memperjuangkan keadilan dan peduli pada sesama, Sancaka sepanjang hidupnya justru digempur 'pelajaran' bahwa ikut campur urusan orang lain cuma bikin sengsara, yang dia alami sejak matinya sang ayah. Terus terang, pertanyaan yang muncul di paruh awal film sangat menarik: gimana ceritanya protagonis yang masa bodoh terhadap sekitarnya ini bisa jadi pahlawan?

Tolong siapapun yang bisa ketemu dek Muzakki Ramdhan, saya titip satu kekepan yang kenceng.

Bapaknya Sancaka yang mati dibacok oknum pas sibuk demo buruh.

Favorite Piece #2: Awang, the Best Shounen Boi

Gila. Gila, gila. Pertemuan Sancaka yang nyaris dikeroyok anak jalanan dengan Awang yang datang menolong (padahal aslinya paling malas nimbrung urusan orang lain) adalah personal highlight Gundala bagi saya. Keren banget. THAT ENTRANCE. THAT FUCKING HAIR FLIP. THAT STREET BRAWL SCENE WHICH LOOKED LIKE TAKEN STRAIGHT OUT OF MANGA PAGES, OR ANIME. Oooooooooh boy. I fell in love. Saya berbinar-binar di atas bangku penonton sepanjang durasi kemunculan Awang. Dari sekian banyak karakter yang nongol sepanjang Gundala, boleh dibilang Awang adalah sosok paling efektif. Peranan dia di hidup Sancaka sangat jelas. Awang tidak butuh monolog moralis yang bikin meringis untuk bikin penonton paham bahwa nilai-nilai pragmatis yang dia yakini kadang bertolak belakang dengan suara nurani.

Faris Fadjar you rock!!!! 

Favorite Piece #3: Style (especially when there is little to no substance needed)

Gundala ini film style-over-substance kan, ya. Banyakan fokus ke gaya daripada naruh perhatian ke cerita. Sehingga pada adegan-adegan atau frame yang memang nggak butuh-butuh banget esensi karena bergantung di camerawork atau pengemasan visual, hasilnya emang keren nampol. Butuh contoh? Ghazul disorot dari samping sehingga hanya siluet wajah yang tampak jelas. Anak-anak bekas asuhan Pengkor muncul satu per satu dan siap-siap berangkat bareng naik mobil dengan slow-motion. Those kind of cuts.

Gundala punya banyak visual highlight yang menunjukkan film ini memang punya budget dan para pembuatnya memiliki modal pengetahuan yang mumpuni perihal 'film language', serta bagaimana menonjolkan suatu hal melalui visual dan teknik pengambilan gambar. This is not necessarily a bad thing to flaunt about, really. Bisa menyajikan visual oke? Cool. It's a great thing for your eyes to enjoy. Setidaknya sampai para penonton tersadar betapa memprihatinkannya Gundala dari segi penceritaan.

Now, we're getting into the main course.
HERE COMES MY RANTS, FILLED WITH DISAPPOINTMENT.


Ultimate Problem: The writing. You know.. plot, pacing, storytelling. That.

Gusti Rabbi, pancen kudu nangis. Ambyar, cuk. Banyak suara-suara di media sosial yang menyuarakan perkara plot hole, tapi saya tidak setuju. Gimana mau ngomongin 'lubang' di alur kisah jika alurnya aja... ngalor-ngidul-ngetan-ngulon, semrawut, amburadul, seakan-akan film Gundala juga nggak ngerti mau menceritakan apa? Nggak tahu mau menuju ke mana selepas setengah jam (oke, anggep aja empat puluh lima menit) awal? Penceritaannya lompat-lompat ke sana dan kemari. Banyak hal-hal krusial yang hasil akhirnya kentang. Setengah matang. Gundala should be an origin story. And considering where he comes from, his background, his story should be grounded enough so the audience cares about it. Penonton seharusnya jadi bisa punya kepedulian terhadap Sancaka. Terhadap bagaimana dia akhirnya merasa terpanggil untuk membela mereka yang terpojok, meskipun bertahun-tahun hidup sibuk nyari aman sendiri. Nyari selamat sendiri. Ogah direpotkan oleh masalah orang lain. Namun film ini secara ajaib berhasil bikin saya makin lama makin masa bodoh terhadap protagonisnya. Protagonis, lho!

Momen besar yang menyebabkan Sancaka memutuskan aktif 'menolong orang' dan berhenti bersikap pasif nan apatis gagal dihadirkan. Tidak terasa. Tidak berbekas. Tidak ada hal yang membuat penonton mak dheg di bangku masing-masing dan terkesan dengan pilihan Sancaka. There is nothing at stake here. Padahal motivasi Sancaka untuk nggak mau tahu urusan orang sangat nyata: bapaknya mati dibunuh gara-gara memperjuangkan orang lain, ibunya hilang tiada kabar, dia jadi sebatang kara dan menggelandang sedari kecil. Tapi perkara apa yang berhasil bikin dia mau jadi pahlawan? Karena cetusan satpam senior pas nganterin copet menyerahkan diri? Karena Tara Basro kebetulan ngomong hal yang sama dengan almarhum bokapnya? Lah, ngapain dia harus tertohok sedemikian dalam terhadap kata-kata mereka? Emang mereka berdua siapanya Sancaka? Punya keterlibatan emosional sejauh apa? Lantas orang-orang pasar yang selalu dijadikan alasan Tara Basro mendesak partisipasi Sancaka to the level of guilt-tripping ini punya dampak pribadi apa bagi dia? Becoming superhero is a job that demands constant selflessness, yes, but the reason for that huge first step is almost always.. arguably selfish. Something, someone, or whatever immensely close to youPersonal. Yet I shall repeat: there is nothing at stake here.

And dear Lord, why is the storyline THIS convoluted???? Cerita Gundala rusuh banget sampai-sampai semua terasa seperti subplot, bahkan untuk kisah semendasar perjalanan―baik fisik maupun psikologis―Sancaka jadi Gundala. Which is immensely sad, because isn't the origin story of Gundala supposed to be the main body of this movie?


Saya juga mau bahas sedikit tentang Pengkor. Sure he is great villain, the one people should be careful about, or even fear. Pemaparan betapa menakutkannya Pengkor dengan memanfaatkan seorang anggota DPR muda tereksekusi dengan sangat, sangat, SANGAT bagus. Tensinya kece sumpah. Sang anggota dewan mempermalukan Pengkor di hadapan orang lain. Dia diingatkan kenapa sebaiknya tidak macam-macam terhadap Pengkor. Sepanjang perjalanan pulang, dia kepikiran dan diselimuti ketakutan, yang lalu berakhir dengan kematiannya. Anggota DPR tersebut terjun dari gedung apartemen akibat efek hipnosis anak buah Pengkor. Sepanjang satu kasus ini, ketegangan dan suspense yang dihadirkan benar-benar terjaga. The audience could actually sense the danger. Mantap.

Sayang, keemasan ini justru dirusak sendiri oleh film Gundala di penghujung film. Setelah terluka parah di showdown pamungkas dengan Sancaka―which was painfully anticlimactic and lukewarm at best, Pengkor sibuk bermonolog panjang memaparkan motivasinya menyebarluaskan serum amoral dan antidote palsu yang mana saya sama sekali nggak ngerti. Sekaligus nggak percaya. I don't buy his bullshit at all. Pengkor, sosok antagonis buruk rupa yang hidupnya susah lantaran jadi korban pembakaran, disiksa pengurus panti asuhan, dicibir, digunjing, dan disepelekan, saya pikir nggak punya urusan terhadap apakah rakyat pintar atau bodoh. Apakah generasi baru akan bisa membedakan hal baik dengan hal buruk atau tidak. Barangkali saya justru jauh lebih maklum dan paham jika alasan Pengkor menyebarkan serum berbahaya yang dampaknya bikin bayi terlahir cacat adalah―misalnya―keinginan agar orang lain merasakan yang dia alami. Hidup dipandang sebelah mata dan ditatap dengan raut aneh hanya gara-gara fisiknya rusak. Karena cacat. As petty as it is, at least such personal revenge is believable. Not everyone should be anything like Thanos whose 'selfless' ambition affects all living things, you know.


Lagipula ngapain sih konfliknya harus bawa-bawa rakyat dan DPR? Harus bawa-bawa masa depan generasi penerus bangsa? Pakai bawa-bawa keadilan sosial? Kejauhaaaan. Kegedeaaaan. Cannot relate, brothers and sisters. Pahlawannya bahkan baru di level berantem lawan preman perusuh dan pelaku pembakar pasar! Kostumnya masih makeshift dari benda-benda yang bisa didapet di Ace Hardware! Emang kenapa kalau secara kebetulan Sancaka hadir tepat waktu untuk nolong anggota DPR yang diserang pembunuh di perhentian kereta api? Apakah itu cukup kuat untuk bikin dia iya-iya aja saat dituntut turun tangan menangani masalah skala nasional? Apakah itu juga membuat Sancaka bisa dengan tenang pakai kostum baru yang secara terang-terangan dibilang bahwa dibiayai oleh uang rakyat?

I... don't think so.

Gundala is also unbelievably preachy. And ambitious. And pretentious. Andaikata saya nenggak alkohol tiap kali nongol ceramah moral lewat dialog, pas ending credit bergulir mungkin udah sukses jackpot di toilet bioskop. Saya bisa banget lho hidup tanpa harus menatap anggota DPR ngomong dengan muka memenuhi layar, "Apa itu amoral? Jadi LGBT?" atau bapak-bapak satpam tua ngomel, "Kalau gak peduli sesama, ngapain jadi manusia?" sambil naik motor butut saat dia berangkat nganter copet yang diuber warga ke pos polisi terdekat. Padahal nggak mustahil untuk bikin adegan-adegan bermuatan positif tanpa harus berulang kali, bertubi-tubi, melemparkan kalimat-kalimat yang seolah menuntut dilabeli 'PESAN MORAL' ke penonton. Then why going this route?


Kalau sampai sekarang masih nggak ada satu orang pun di lingkungan terdekat yang menepuk bahu Joko Anwar―atau barangkali hati nuraninya sendiri sudah terketuk―dan bilang, "Jok, mendingan lo rekrut penulis skenario film untuk proyekan Bumilangit ke depannya deh. Lo bisa fokus di penyutradaraan" demi perkembangan jagat sinema ini.. ya hehehe aja. Tenggelam dalam kubangan yes-man memang menyenangkan, kok.

To be fair, Joko Anwar is NOT necessarily a bad scriptwriter. However, I dare to say that Gundala is his most messy work in the last few years of his career. Joko Anwar's strong point, I think, is that he's good at smoothly elaborating simple story into a particular length. But first, the essence or the nucleus of such story must be 'small' enough, as proven in A Copy of My Mind or even Pengabdi SetanWhich isn't exactly the case with Gundala.

Saya udah cukup berpartisipasi dalam mencerahkan masa depan perfilman nasional di Indonesia apa belum nih, om Joko Anwar? Saya, seorang penonton semenjana, apakah telah menjelma jadi ahli skenario dadakan menurut om Joko?


Hingga Gundala rilis, jujur nih, tadinya saya termasuk salah satu dari orang-orang yang berprasangka baik terhadap bagaimana Joko Anwar menghadapi kritik. Khususnya yang disampaikan secara apik, jelas, dan terstruktur, syukur-syukur sopan. Kritik yang nggak sekadar ngomong "Apaan nih jelek" doang, baik itu dilakukan oleh penonton maupun sesama pekerja dunia perfilman. Ternyata ya.. segitu-gitu aja. Hehehe.

z. d. imama

6 comments:

  1. kritik yg keren, tadinya mau aku cc- in ke joko anwar, tapi liat skrinsut cuitannya di bagian akhir tulisanmu itu, ga jd aja deh..

    ReplyDelete
  2. Kita berpikiran sama hahaha. Salam sesama ahli skenario dadakan!

    ReplyDelete
  3. Wow, you are pretty, and smart.
    What a woman

    ReplyDelete
  4. Suwun mbak. Sangat mewakili pemikiran saya setelah nonton film ini.

    ReplyDelete
  5. Setuju mba..
    Menurut pendapat saya pribadi sebenarnya udah ada kalimat yg cukup kuat untuk bisa dijadikan alasan titik balik sancaka dari apatis jadi peduli, tapi malah tidak di highlight. Sialnya sekarang saya lupa.

    Sejujurnya saya baru mulai excited itu saat sudjiwo tejo muncul, karena ngebayangin (masih bayangan aja nih) potensi adanya universe yg bakal pakai budaya nusantara.

    But yes, I love awang too hahah

    ReplyDelete