Monday 4 February 2019

A short afternoon in The Cat Cabin: (not) a review


Urusan ngabisin duit, Jakarta punya banyak solusi. Baik itu yang berujung girang maupun sekadar kepala pening badan meriang. Alternatif rekreasi di luar rumah cukup bervariasi, mulai dari main ke mal, main ke mal lagi, jalan-jalan ke taman kota yang entah kenapa baru cakep beberapa tahun belakangan, mengunjungi museum, hingga mendatangi kafe kucing. Yap. Ingin main dengan kucing ras tapi tidak punya kenalan yang memelihara? Atau semata-mata sedang kebanyakan uang dan waktu luang, lalu tidak tahu hendak melakukan apa, dan tidak benci atau alergi kucing? The Cat Cabin, kafe khusus untuk bermain-main dan menghabiskan waktu bersama segerombolan mengs dalam hitungan jam yang beralamatkan di Jalan Kemang Raya No. 31, Kemang, Jakarta Selatan, bisa jadi sasaran singgah.

Saya sudah cukup lama penasaran pada kafe ini. Beberapa kali mbak Kimi dan mbak Anggie mengajak ke sana, tapi kok ndilalah waktunya nggak ketemu. Sehingga pas mas Eron, yang belakangan saya tahu bahwa aslinya tidak demen-demen amat sama kucing, menyeret saya yang kebetulan sedang nganggur, langsung lah diiyakan tanpa mikir kelamaan. The Cat Cabin terletak di lantai dua sebuah gedung. Tapi jangan cemas, signage cukup menyolok dan di depan tangga diletakkan papan petunjuk yang meyakinkan calon pengunjung bahwa mereka berada di tempat yang benar.

Papan petunjuk yang sungguh gumash.

Langkah pertama memasuki pintu kafe, pengunjung akan disambut oleh rak sepatu berjajar dan meja kasir. Rak... sepatu? Benar sekali, saudara-saudara. Konsepnya kayak batas suci gitu deeh. Demi melindungi kucing-kucing dari kotoran dan bakteri asing yang nempel di sol alas kaki, maka pengunjung akan diminta melepaskan sepatu dan sandalnya dan disimpan pada rak yang telah disediakan. Wajib nyeker di dalam ruangan bermain.

Rupanya, warga The Cat Cabin nggak cuma dari golongan kucing ras. Ada beberapa kucing kampung biasa juga dan nggak kalah lucu. Justru berdasarkan pengamatan saya, para mengs dusun ini lebih lincah, aktif, berlarian ke sana kemari tanpa kenal lelah... sementara geng kucing ras cuma goler-goleran malas. Saya sampai seenaknya menyematkan julukan Heri (alias heboh sendiri) pada seekor kucing kampung yang gesit bukan main, sibuk ngejar-ngejar bola wol meski sekelilingnya leyeh-leyeh doang.

Heri (bukan nama sebenarnya) baru berhenti ngejar bola gara-gara kepentok badan kucing lain.

Mengs hinggap di jendela.

Secara desain interior, ruang bermain The Cat Cabin cukup nyaman, ramah anak, dan Instagram-able. Banyak sofa dan bantal bertebaran. Perintilan dan dekorasi lucu-lucu ada di mana-mana. Beberapa buku diletakkan pada rak dinding sebagai sekadar properti pemanis (nemu Never Let Me Go karya Ishiguro Kazuo yang edisi bahasa Inggris, by the way). Mainan kucing serta berbagai plushies juga tersedia. Ibarat nggak ada kucing hidup yang berkenan kalian dekati, ya udahlah bisa ngedekepin bonekanya aja. #ngenes

Bisa loh mejeng di depan temboknya doang terus dihestekin #OOTD.

Paling mungil seantero kafe: mengs KW seratus (tanpa nyawa).

Aturan main di The Cat Cabin terpampang nyata.

Penghuni The Cat Cabin montok-montok sekali!!! Subur ginuk-ginuk. Bawaannya pengin body-shaming mereka semua terus-terusan sampai puas. Nyoba ngangkat aja susah bener, apalagi gendong-gendong sambil menimang-nimang. Beuuuhhh berasa bawa barbel hidup yang bisa menggeliat sesuka hati. Saya lupa nggak nanya ke mas dan mbak staf sih, tapi sepertinya mereka semua memang kucing-kucing dewasa. Barangkali demi faktor keamanan ya. Kalau masih kekecilan alias kitten, takutnya terinjak-injak pengunjung atau kegencet kucing lain.

Satu hal lucu yang saya perhatikan, kucing-kucing The Cat Cabin sama sekali nggak manja dengan manusia! Hahahaha. Cuek bebek. Sumpah. Nggak menghampiri. Boro-boro ndusel, gelendotan. Seolah-olah dalam hati berkata, "I'm tired of this shit already". Mereka diem anteng dan membiarkan pengunjung garukin perut atau membelai kepala saja sudah layak disyukuri. Kalah jauh dibandingkan piaraan-piaraan jablay sahabat saya, Puti, yang pernah mejeng di tulisan sebelumnya. Bahkan ada beberapa ekor yang rada jumpy dan selalu pindah tempat tiap kali disamperin. Rasanya ingin ngajak ngobrol baik-baik dan bertanya apakah pernah ada kejadian traumatis dalam karir(?) mereka selaku binatang penghibur(?) selama ini. Mungkinkah mereka lelah? Atau cuma ilfil sama saya? Hmm. Sebuah misteri.

Mati-matian berusaha diwaro mengs. Hasil: nihil.

Tatapan segarang ibu tiri sinetron lokal.

Walau penampilan mereka gembul-gembul sehat dan menggemaskan, saya agak kepikiran apakah makanan kucing-kucing The Cat Cabin ini kualitasnya cukup oke. Khususnya geng kucing ras. You wonder why? Bulu-bulu mereka lumayan mbrudhul. Gampang sekali rontok. Mereka gerak dikit aja, lari dikit aja, wuidiiih... keliatan banget helai-helai bulu beterbangan ke udara. Kondisi tersebut bertolak belakang dengan ulasan The Cat Cabin tahun 2015 yang saya temukan di sebelah sini. Saat saya pergi ke sana, bahkan kucing kampung yang biasanya dikasih makanan rada elit udah kece alamakjan pun bulunya tetep rontok saat dibelai. Hingga detik ini saya mempertimbangkan secara serius apa lebih baik di kunjungan berikutnya―jika ada―pakai masker dulu sebelum masuk ke ruang bermain The Cat Cabin. It was a rather serious mess, trust me on this. Harus super hati-hati agar nggak ada bulu ikut terhirup waktu tarik napas.

Do I recommend visiting The Cat Cabin?

Well... if it doesn't hurt you financially, or you're just the type of person going YOLO all the time (like me), go ahead and give these chubby cats a visit and a bit of your cash. But you won't really lose anything if you skip this place. Kucing kampung yang keliaran di sekitar area komplek juga nggak seburuk itu kok.


The Cat Cabin buka pada hari kerja sejak pukul 10:00 hingga 21:00. Sedangkan di akhir pekan (Sabtu serta Minggu) sudah bisa dikunjungi mulai pukul 09:00 sampai 22:00. Hari Senin tutup. Jangan sampai kecele, ya.

z. d. imama


*P.S.: Terima kasih banyak, mas Eron, atas foto-fotonya. It's a rare occurrence that somehow I managed to look like a human being. Biasanya lebih menyerupai dugong terdampar.

6 comments:

  1. Tolong jangan slutshame anak-anak saya ya wqwqwqwqwqwq

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kucing apa cabe: memoirs of anak-anak bulu Puti Andiyani

      Delete
  2. Akhirnya ke sana juga ya hehe... Ngomongin soal bulu-bulu kucing yang gampang rontok, memang betul sih. Saya sudah dua kali ke sana; yang pertama sih selow tapi di kunjungan yang kedua, saya bersin-bersin soalnya bulunya banyak yg terbang-terbang gitu. Sempat kepikiran juga kalo memang mau ke sana lagi, harus pake masker biar aman.

    ReplyDelete
  3. Wah saya baru tahu ada ginian di Jakarta. Meskipun gak suka-suka amat ama kucing, tapi seru juga kalau iseng datang ke sana

    Btw foto-fotonya bagus mbak

    ReplyDelete
  4. Konsepnya unik juga ya. Aku suka kucing, asal gak galak, wkwk. Penasaran, itu buku-buku murni pajangan doang apa boleh dibaca-baca ya? Hmm 😯

    ReplyDelete
  5. Kalau di kota ada2 aja tempat usaha macam the cat cabin, padahal ngapain sih bikin cafe buat kucing, nih lu kaya kurang kerjaan giu bikin cafe buat kucing, tapi yah itu sih pemikiran orang desa seperti saya... pada kenyataanya di kota2 besar seperti jakarta hal semacam ini memang ada, sumpah aja sih yah seumur hidup baru tahu kalau dijaman now ada cafe buat kucing, dan dengan kejadian seperti ini,, aku jadi tahu kalau dijakarta populasi cewek2 cakep pecinta kucing itu banyak, whahahahah

    ReplyDelete