Belum lama ini di Jakarta ada sebuah pameran karya seni yang mengusung perpaduan instalasi seni rupa, teknologi, dan musik dengan tema yang disetel semi-futuristik. Namanya? Wave of Tomorrow. Berlokasi di Jakarta Selatan, tepatnya The Tribrata Grand Ballroom, Dharmawangsa, yang menurut saya desain bangunannya mengingatkan pada rumah tokoh antagonis kaya-raya bergelimang harta yang kerap muncul di opera sabun televisi. Ngerti, kan. Pilarnya gede-gede, chandelier bergelantungan, dindingnya diukir-ukir macem candi, lalu si karakter jahat yang tinggal di sana selalu pakai high heels 24/7, bangun tidur dalam keadaan muka full makeup lengkap dengan bulu mata palsu cetar membahana..
Lho jadi melantur.
Pameran berlangsung selama 10 hari saja: 19-28 Oktober 2018 lalu. Saya―yang secara ajaib mendapatkan undangan; please don't ask me why because I have no idea―baru sempat mampir di hari terakhir setelah matahari terbenam. Alamakjang ramai sekali rupanya. Banyak yang datang berbondong-bondong dengan kawan-kawan satu geng sepermainan, namun mayoritas hadir bersama pasangan masing-masing. Gandengan gitu deeeh. Single-serving me cannot relate. Saya sih nongol sendirian seperti biasa. Hehe. Tolong dimaklumi jika krisis dokumentasi, apalagi foto diri.
Cukup dengan menilik entrance gate pun sudah cukup terasa bagaimana atmosfir yang hendak diusung oleh Wave of Tomorrow. Tagline-nya super menyakinkan: Ahead of Its Time.
Sebelum masuk, saya menukar undangan dengan gelang akses. Nah, di sini ada sepotong cerita lucu. Mbak-mbak petugas loket menyerahkan selembar kertas begitu saya bilang, "Mbak, mau redeem undangan". Katanya, "Isi nama ya Kak. Sekaligus tulis di situ, akun Instagram-nya apa."
Saya akan anak jujur, ya. Ngaku dong. Mengungkapkan kebenaran yang hanya ada satu. "Oh, saya nggak punya Instagram. Kolom ini dikosongin aja boleh kan, mbak?"
AND THERE WAS THIS AWWWKKWARDDDD PAUSE.
Jika hidup saya dibikin versi film kartun, adegan tersebut pasti ada burung gagak terbang berkoak-koak di belakang punggung kami, lengkap dengan titik tiga berjajar mengisyaratkan keheningan. I swear to God the look she gave me was priceless. Tatapan mbaknya terlihat murni keheranan seolah-olah menyuarakan isi hatinya: "Lah ini orang mau ngapain di dalem sana kalau Instagram aja kagak punya??"
Maafkan saya, mbak. Beginilah nyatanya.
Keseluruhan instalasi di Wave of Tomorrow tidak terlalu banyak. Hanya sekitar sepuluh. Namun karya-karya yang dihasilkan dari tangan-tangan Nonotak, 9matahari, Rebellionik, Maika Collective, Ageless Galaxy dan Kinara Darma x Modulight punya daya pikat yang berbeda-beda. Format yang diusung pun tidak repetitif sama sekali, sehingga mengunjungi satu instalasi ke instalasi lainnya terasa menyenangkan. Sebagian besar menghadirkan nuansa remang-remang seperti ruang angkasa, dengan penerangan hanya dari lampu yang sesekali berpendar atau memang disetel redup. Terus terang, saya sempat mikir apa jangan-jangan suasananya berasa gelap gara-gara saya datengnya pas udah malem. Tapi nampaknya tidak demikian. Ini kan bukan Sekaten.
Favorit saya? Constellation Neverland dari 9matahari. Dengar-dengar, memang banyak orang lain yang sama-sama menyukai instalasi ini, salah satunya ya senpai kesayangan saya, Kak Chika. Gumpalan awan-awan dan untaian benang yang ditata sedemikian rupa sehingga terlihat seperti hujan. Saat saya mengunjungi instalasi ini, kilatan cahaya lampu berwarna putih menciptakan pemandangan seakan-akan sedang datang badai. Cantik banget. Sekaligus agak bikin merinding.
Redupnya paruh awal pameran bikin saya agak terkejut memasuki sisi lain Wave of Tomorrow. Terutama Stereoflow. SO COLORFUL, BEYBEH. Bahkan warna-warna gonjreng seperti pink, kuning, dan biru cerah menyeruak ganjen tanpa malu-malu. Saya mengerjap-ngerjap beberapa kali pada pandangan pertama saking harus membiasakan mata dulu. Hahaha. Di instalasi Stereoflow inilah saya akhirnya mengambil satu-satunya foto diri, berkat bantuan seorang mas-mas superbaik hati yang berkenan menekankan shutter kamera ponsel.
Secara konten, Wave of Tomorrow sangat menyenangkan. Asal sabar ngantri aja. Mau gimana, lumayan timpang juga antara jumlah instalasi yang bisa diamati dan dilihat-lihat dengan jumlah pengunjung. Apalagi saat akhir pekan. Wuidih. Ruaameee! Untuk bisa dapat giliran menikmati karya yang dipamerkan, saya menghabiskan waktu selama 5-20 menit mengantri. Secara durasi sebenarnya nggak lebih parah dari antrian The World of Ghibli Exhibition Jakarta 2017 silam, sih. Cuma kan luas ruangan ballroom The Tribrata rada kecilan, ya... dibandingkan Ritz-Carlton Pacific Place. It just felt more packed. Sempat bingung juga antrian apa masuk barisan mana, sebab ketika itu ada tiga lajur panjang terbentuk di depan instalasi Ageless Galaxy namun sama sekali tidak ada petunjuk dari panitia.
Penempatan panggung pertunjukan musik yang terlalu berdekatan dengan instalasi seni pun menurut saya kurang pas. Beberapa karya dilengkapi dengan suara-suara background music tersendiri untuk menyuguhkan atmosfir paling nampol, dan saat sesi music performance dimulai, BGM dari instalasi benar-benar kelelep oleh penampilan musisi yang tampil di panggung. Bayangin lah. Mestinya meresapi reversible narration di instalasi Kinara Darma x Modulight setelah beres ngantri puluhan menit dengan mood mellow, tapi yang kedengeran justru suara Saykoji nyanyi lagu Online. Sayang aja gitu. Nggak maksimal pengalamannya.
Jika hidup saya dibikin versi film kartun, adegan tersebut pasti ada burung gagak terbang berkoak-koak di belakang punggung kami, lengkap dengan titik tiga berjajar mengisyaratkan keheningan. I swear to God the look she gave me was priceless. Tatapan mbaknya terlihat murni keheranan seolah-olah menyuarakan isi hatinya: "Lah ini orang mau ngapain di dalem sana kalau Instagram aja kagak punya??"
Maafkan saya, mbak. Beginilah nyatanya.
Ageless Galaxy. Di mata saya, pesawat luar angkasa ini kayak ada wajahnya.
Keseluruhan instalasi di Wave of Tomorrow tidak terlalu banyak. Hanya sekitar sepuluh. Namun karya-karya yang dihasilkan dari tangan-tangan Nonotak, 9matahari, Rebellionik, Maika Collective, Ageless Galaxy dan Kinara Darma x Modulight punya daya pikat yang berbeda-beda. Format yang diusung pun tidak repetitif sama sekali, sehingga mengunjungi satu instalasi ke instalasi lainnya terasa menyenangkan. Sebagian besar menghadirkan nuansa remang-remang seperti ruang angkasa, dengan penerangan hanya dari lampu yang sesekali berpendar atau memang disetel redup. Terus terang, saya sempat mikir apa jangan-jangan suasananya berasa gelap gara-gara saya datengnya pas udah malem. Tapi nampaknya tidak demikian. Ini kan bukan Sekaten.
Favorit saya? Constellation Neverland dari 9matahari. Dengar-dengar, memang banyak orang lain yang sama-sama menyukai instalasi ini, salah satunya ya senpai kesayangan saya, Kak Chika. Gumpalan awan-awan dan untaian benang yang ditata sedemikian rupa sehingga terlihat seperti hujan. Saat saya mengunjungi instalasi ini, kilatan cahaya lampu berwarna putih menciptakan pemandangan seakan-akan sedang datang badai. Cantik banget. Sekaligus agak bikin merinding.
Eerily fascinating, don't you think?
Redupnya paruh awal pameran bikin saya agak terkejut memasuki sisi lain Wave of Tomorrow. Terutama Stereoflow. SO COLORFUL, BEYBEH. Bahkan warna-warna gonjreng seperti pink, kuning, dan biru cerah menyeruak ganjen tanpa malu-malu. Saya mengerjap-ngerjap beberapa kali pada pandangan pertama saking harus membiasakan mata dulu. Hahaha. Di instalasi Stereoflow inilah saya akhirnya mengambil satu-satunya foto diri, berkat bantuan seorang mas-mas superbaik hati yang berkenan menekankan shutter kamera ponsel.
Secara konten, Wave of Tomorrow sangat menyenangkan. Asal sabar ngantri aja. Mau gimana, lumayan timpang juga antara jumlah instalasi yang bisa diamati dan dilihat-lihat dengan jumlah pengunjung. Apalagi saat akhir pekan. Wuidih. Ruaameee! Untuk bisa dapat giliran menikmati karya yang dipamerkan, saya menghabiskan waktu selama 5-20 menit mengantri. Secara durasi sebenarnya nggak lebih parah dari antrian The World of Ghibli Exhibition Jakarta 2017 silam, sih. Cuma kan luas ruangan ballroom The Tribrata rada kecilan, ya... dibandingkan Ritz-Carlton Pacific Place. It just felt more packed. Sempat bingung juga antrian apa masuk barisan mana, sebab ketika itu ada tiga lajur panjang terbentuk di depan instalasi Ageless Galaxy namun sama sekali tidak ada petunjuk dari panitia.
Penempatan panggung pertunjukan musik yang terlalu berdekatan dengan instalasi seni pun menurut saya kurang pas. Beberapa karya dilengkapi dengan suara-suara background music tersendiri untuk menyuguhkan atmosfir paling nampol, dan saat sesi music performance dimulai, BGM dari instalasi benar-benar kelelep oleh penampilan musisi yang tampil di panggung. Bayangin lah. Mestinya meresapi reversible narration di instalasi Kinara Darma x Modulight setelah beres ngantri puluhan menit dengan mood mellow, tapi yang kedengeran justru suara Saykoji nyanyi lagu Online. Sayang aja gitu. Nggak maksimal pengalamannya.
Thank you, Wave of Tomorrow.
Terima kasih sudah mengundang saya yang tidak punya akun Instagram. Saya harap semoga kelak akan makin banyak dan kerap diselenggarakan pameran-pameran karya seni kontemporer di Jakarta. Syukur-syukur merembet ke kota-kota lain seluruh penjuru Indonesia. Lumayan jadi variasi melepas suntuk dan penat rutinitas, sekaligus mengakrabkan diri dengan berbagai bentuk kesenian. Agar sesekali saya nggak nyamperin Galeri Nasional melulu saat suntuk. Petugasnya mungkin udah bosen liat tampang jelata ini.
z. d. imama
Wah namaku disebut! Huft, padahal aku di sana sampe mau tutup, kok kita gak berjumpa ya? >.<
ReplyDelete