Friday 12 October 2018

The Ojek Online Blues


Tahun 2017 silam, saya pernah menulis The Angkot Blues, yang notabene berisi curhatan saya selaku pengguna jasa transportasi publik―yang tidak mendahulukan kepentingan publik―tersebut. Belum lama ini uneg-uneg pribadi selaku pengguna TransJakarta yang kerap dizolimi pengguna jalan selain TransJakarta itu sendiri juga sudah ditumpahkan. Kini tibalah giliran saya turut menggelontorkan sedikit (atau justru banyak?) curahan hati tentang pasukan yang setia menghijaukan kota: pengemudi ojek online. Baik yang konon aplikasinya karya anak bangsa maupun karya osang-aseng. Lagian kan mumpung segenap netizen di ranah Twitter belakangan sibuk ngomongin mereka gara-gara kasus dan blunder yang menimpa. Sok-sokan menunggang isu, gitu. Berhubung duit saya cuma cukup buat naik yang versi sepeda motor, maka kisah-kisah maupun pikiran-pikiran tentang layanan jasa taksi online mungkin hampir nggak akan ada. 

Ya emang nasib jadi rakyat kere ceremende.

Sebagai satu dari seabrek-abrek kaum pekerja dan perempuan mandiri (baca: tidak punya kawan maupun pasangan yang bisa diajak ke mana-mana, boro-boro supir pribadi), saya termasuk golongan yang tertolong dengan kehadiran ojek online. Kenapa nggak? Tersedia 24 jam. Harganya jelas. Belakangan ini, sistem pembayaran bisa cashless―selamat tinggal kalian yang suka nilep kembalian dengan berbagai alasan. Dijemput di lokasi. Penumpang disediakan helm. Nomor polisi tercatat. Pengemudi mudah dihubungi. Dibantu GPS, jadi bisa ke mana saja selama masih dalam radius jarak yang ditetapkan perusahaan. Posisi pengemudi terlacak. Ada Layanan Pelanggan untuk komplain. Bisa titip beli makanan dan belanja. Hal-hal tersebut di atas kalau komparasinya adalah ojek pangkalan yang gemar sekali menetapkan tarif sesuka duburnya, atau Metromini dan Kopaja yang tidak bejuntrung kehadirannya, jelas bikin ojek online terasa bagai pahlawan berhelm tanpa cela. And well, to be fair, their existence does play a big help in my life.

And then, came the plot twists.



Walau nggak tiap hari jadi pengguna ojek online, saya terbilang cukup sering duduk di belakang pengemudi berjaket hijau. Masih tergolong frequent user lah. Pengalaman saya, dari hari ke hari, makin bervariasi dan penuh kejutan. And it's mostly not even in a good way. Bukan tipe-tipe kejutan menyenangkan, masuk taksi konvensional lalu ternyata disediakan permen, air minum, tisu, bahkan minyak kayu putih oleh sang pengemudi tanpa dipungut biaya seperti yang dilakukan Pak Fachruroji dan beberapa pengemudi ojek yang kreatif. Melainkan pencurangan sistem, pelanggaran aturan, dan bahkan munculnya sikap-sikap yang bikin penumpang merasa tidak aman.

Misalnya?

Wrong number, wrong location, wrong registered data, wrong everything

Key factor dari kemudahan sekaligus rasa tenang yang―niatnya―ditawarkan perusahaan jasa ojek online adalah adanya pencatatan data pengemudi di sistem. Penumpang tahu berapa nomor ponsel pengemudi, apa nomor polisi kendaraannya, bagaimana wajahnya. Nyenengin, kan? Memudahkan, kan? Tetapi belakangan, nggak jarang juga permintaan saya diambil oleh orang-orang yang ya udah ngilang aja gitu macem jin-jin Bandung Bondowoso pas ayam berkokok. Ditelepon nggak bisa. Dikirimi pesan via built-in chat feature nggak terkirim. Posisi di aplikasi dieeeeeeeeem aja kagak gerak kayak patung Pancoran. Eh tahunya pakai fake GPS. Emang sih solusinya tinggal batalkan pemesanan, namun apa kabar waktu saya yang terbuang sia-sia untuk meladeni dan mencoba ngontak sobekan sachet Sasa barusan? Bahkan menanti kehadirannya?

Belum ngomongin pengemudi yang tidak menggunakan kendaraan terdaftar. Atau, justru pinjam akun orang lain (dan ngasih pinjem). Konon katanya mau dijemput dengan motor Honda Supra Fit, dateng-dateng yang muncul Honda Supra Sakit-Sakitan. Di aplikasi tercatat yang akan menghampiri adalah Ridho Rhoma, eeeh nongol-nongol ternyata biskuit Roma Kelapa. GIMANA YA. Mana sering nggak ngasih tahu perubahan itu karena takut dilaporkan―ngelanggar aturan kok takut dapat sanksi, karepmu piye...? 



Pertanggungjawaban pengemudi terhadap penumpang pun jadi nyaris nihil kalau data-datanya nggak sesuai kenyataan. Apa coba gunanya rekaman data jika saat ada kasus masih bisa ngeles, "Oh kemarin akunnya dipakai temen saya, kenalan saya, adik saya, bapak saya, gebetan saya, paman saya, nabi saya"? Heran deh. Kok kayaknya susah bener berharap seseorang bekerja tertib sesuai sistem dan peraturan. Kenapa sih semua-muanya mesti dicurangi? Setidak mampu itu ya masyarakat Indonesia hidup tanpa siasat yang dibuat demi kepentingan diri sendiri?

Harassment, harassment, harassment

Saya tidak tahu apakah penumpang ojek online yang laki-laki juga mengalami ini. Bukan sekali-dua kali ada pengemudi yang setelah perjalanan usai, menyalahgunakan nomor penumpang untuk kirim-kirim pesan chat tidak pantas, bahkan terang-terangan mengancam akan membahayakan keselamatan penumpang tersebut jika tindakan mereka dilaporkan ke perusahaan. Buosok tenan


Saya bahkan pernah terang-terangan digoda pengemudi ojek online di tengah-tengah kemacetan Jakarta... ketika sedang jadi penumpang ojek online lainnya. Bayangiiiin. Motor sama-sama nggak ada yang bisa gerak saking padatnya lalu lintas, orang berjubel di kiri-kanan, lalu satu bapak-bapak pengemudi ojek online random  tiba-tiba buka kaca helm dan melontarkan kalimat-kalimat pelecehan kepada saya. Di hadapan semua orang. Di antara banyak manusia yang semuanya diem mingkem. Pura-pura budek. Berlagak nggak lihat. Cuma saya yang hampir menangis, gemetaran saking malu dan marah.

Iya, ngerti.  Ada banyak pengemudi ojek online baik-baik yang kepengin cari nafkah secara damai. Nggak aneh-aneh. Ada pula tipe-tipe penumpang rese yang cuma pengin menang sendiri. TAPI TOLONGLAH. JANGAN MENYEPELEKAN MASALAH KESELAMATAN DAN KEAMANAN. Jangan melecehkan penumpang. Jangan melanggar peraturan kerja. Ikuti tata tertib berlalu lintas. Gitu doang masa nggak sanggup?

Drivers, you are still lifesavers for many people. Please stop this crap. Please fix this. Be better. Please don't be another jerk on the road. We have way too many already.

z. d. imama

5 comments:

  1. so, skarang lebih suka pake yg mana?
    dan ndak ikut2an uninstall aplikasi kan? hehehe

    jangan laaah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masih pakai semuaa...

      Menurut saya sih boikot-boikotan cuma bikin insiden Sari Roti 2.0, yang mana yang paling kena dampak bukan korporasi atau pihak-pihak yang bermasalah, tapi mitra-mitra yang emang niat kerja 'bener'.

      Delete
    2. nah, kui aku setuju.
      ada-ada sahaja itu euy.

      dan kalo ada yg terang2an kurangajar gitu di tengah macet, sesekali coba nekat tinggalin aja udah, ngeri .

      Delete
  2. untung sampe sekarang ga ada pengalaman aneh-aneh sih. tapi pernah dapet babang grab yang nanyain kerjaan aku ngapain aja ujung-ujungnya minta diajarin jadi youtuber hahahaha...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Subhanallah... menjadi Yucuber adalah cita-cita sejuta umat.

      Delete