Saturday 25 March 2017

The Angkot Blues


Beberapa hari belakangan, linimasa Twitter saya ramai dipenuhi kawan-kawan―dan kawannya kawan-kawan, bahkan hingga orang-orang yang sama sekali tidak saya kenal―membahas mengenai jasa transportasi online dan konvensional (bus swasta, Metromini, angkot, dan lain sebagainya) karena peraturan Kementerian Perhubungan, yang contoh artikel beritanya bisa dilihat dari sini dan sini. Terus terang saya cukup tergelitik untuk ikut bersuara... dan akhirnya saya putuskan untuk membuat tulisan ini.

Jika dinilai dari keriuhan di Twitter, kebanyakan orang-orang menyatakan dukungan pada eksistensi transportasi online. Aturan Kemenhub tidak adil, katanya. Jaman sudah berganti, masyarakat sebagai konsumen butuh moda alternatif, dan saya juga melihat orang-orang (here I am trying my best not to use that N word) beramai-ramai mengisahkan pengalaman buruk mereka saat naik angkot, Metromini, atau transportasi umum konvensional. Saya membaca puluhan―atau ratusan?―tweet-tweet pengalaman itu dengan perasaan agak miris. Sedih. Nyaris tidak ada yang 'membela' angkutan konvensional. Tetapi saya lebih sedih lagi karena tahu betul bahwa... benar adanya semua hal-hal yang dikeluhkan masyarakat pengguna transportasi umum.


Angkot dan bus swasta merupakan sarana transportasi saya sehari-hari sejak SMP hingga kelas 2 SMA. Bahkan kuliah pun, karena saya gadis rantau yang tidak memiliki kendaraan pribadi di perantauan, saya selalu menggunakan transportasi umum, Ibaratnya, jika Paula Hawkins membuat novel best seller dengan judul The Girl on The Train (yang difilmkan dan saya buat review-nya di sini), maka saya sesungguhnya bisa membuat novel tandingan bertajuk "The Girl on the Angkot" dengan bermodal pengalaman hidup pribadi.

Kecopetan handphone? Pernah. Dua kali, malah. Bahkan ketika itu saya masih anak sekolahan. Diturunin seenaknya di tengah jalan? Sering. Dipaksa turun padahal belum sampai tempat tujuan, tapi ongkos tetap ditarik? Berkali-kali. Dikata-katain pengamen semi-preman karena nggak ngasih, tapi kernet cuek-cuek aja berlagak nggak liat? Bukan sekali-dua kali. Sempat juga diancam mau diperkosa (waktu itu hanya saya yang ada di dalam Metromini) oleh tiga orang pengamen karena saya menolak memberi mereka uang. Ngetem kelamaan sampai buyar semua rencana? Hahaha... lagu lama. Belum lagi ditambah episode angkot dan bus yang kebut-kebutan karena kejar setoran atau berebut penumpang. Padahal tahu sendiri sebagian dari angkot dan Metromini itu sudah tidak layak jalan, besi tua, bodinya lebih mirip kaleng kerupuk... jadi ya kalau dipakai ngebut ugal-ugalan suaranya gedumbrangan dan setengah 'terbang'.

Oh, satu lagi. Jangan lupakan frase legendaris sang kernet/supir angkot dan bus: "Ayo, ayo, masih kosong.. masih lega" padahal kondisi penumpang sudah lebih mirip pepes sarden. Nggak paham deh sumpah. Saya pernah protes kepada supir ketika angkot yang saya naiki ngetem lama. Jawabannya, "Kalau mau cepet nggak usah naik angkot! Bawa motor!" Pernah juga sejumlah penumpang di Metromini yang saya naiki meneriaki kernet yang memaksakan muatan, eh dibalas dengan nada menghina, "Kalau mau lega ya naik taksi sono!"

Masih ingat kecelakaan tahun 2015 ini?

Dulu, sering sekali saya menahan kemarahan hanya gara-gara naik angkot atau Metromini. Sumpah nggak sehat. Bikin stres. Makin rawan depresi akibat meratapi ketidakmampuan diri bayar lebih untuk naik kendaraan yang lebih 'oke'. Wajar kan apabila belakangan ini transportasi umum yang kerap saya gunakan (selain ojek online, because my broke ass cannot afford the 'car version') hanya TransJakarta dan Commuter Line? Kondektur TJ adalah satu-satunya yang berani mengatakan, "Tunggu bus selanjutnya, ini sudah tidak muat" kepada penumpang.

Namun, di belakang rentetan pengalaman tidak mengenakkan itu... saya pernah satu kali ditolong oleh bapak supir angkot. Nggak aneh-aneh sih ceritanya. Suatu hari saat masih mahasiswa, saya pulang kemalaman setelah dari Bandung mengunjungi teman. Kehabisan bus MGI arah Depok, dan akhirnya naik bus tujuan Bogor... diturunkan di sebelum tol Jagorawi. Hahaha. Padahal itu sudah lewat dari jam sebelas malam apa ya? Nah, saya melompati pagar pembatas jalan tol, turun ke jalanan 'biasa' yang letaknya agak di bawah, lalu terbengong-bengong mencari cara untuk pulang ke kosan. Kemudian lewatlah sebuah angkot kosong yang ketika saya tanya, "Sampai Pondok Cina, Pak?" supirnya mengiyakan. Berkilo-kilo meter kemudian, saya baru tahu kalau ternyata jalur angkot tersebut sama sekali berbeda... namun pak supir memutuskan mengantar saya pulang agar tidak kelamaan di jalanan tengah malam.

Terima kasih banyak, bapak supir angkot. Saya tidak sempat menanyakan nama bapak, tapi kebaikan bapak waktu itu tidak akan pernah saya lupakan, Pak.


Well, anyway...

Semoga dengan segala hiruk-pikuk transportasi online ini, angkot, Metromini, bahkan ojek pangkalan (yang pasang tarif seenak jidat meski seringkali tidak mau menyediakan helm) mau berbenah diri. Masyarakat maunya sederhana kok: aman dan terjangkau. Urusan nyaman... sepertinya selama masih manusiawi dan tidak membahayakan keselamatan, cukup bisa dikompromikan kok. Contoh: Commuter Line pada jam sibuk. Penuh sesak, terbilang tidak nyaman, tapi berhubung masih relatif 'aman' ya sudahlah.

Gitu aja sih.

z. d. imama

16 comments:

  1. Setuju banget. Memang miris karena semua kejadian yang disebutin itu faktanya udah umum di kita. Meskipun tetep ada juga yang baik (seperti yang dicontohin dalam postingan ini) tapi jumlahnya paling segilintir sekali.

    Mau ga mau pemerintah harus melek dengan masalah ini. Toh jujur kasian juga sih karena rata-rata supirnya emang orang-orang susah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nambahin pengalaman dikit, kalo kejadian kayak copet, dipalak atau sejenisnya alhamdulillah belum pernah ngerasain sih. Tapi kalo tarif yang semaunya itu pernah banget ngerasain. Ngasih duit 10 ribu ngasih kembaliannya cuma goceng, dan langsung kabur padahal tarif normalnya cuma 3 ribu. Belum lagi kalo pas harga bensin naik, tarifnya bisa 2x kali lipat, terus pas harga bensin rada turun tarifnya sendiri gak ikut turun dengan alesan "belinya bensinnya pas masih harga naik".

      Seandainya bisa lebih rapi dan tertata pengelolaannya, pasti gak akan begitu banyak komplain dari masyarakat kayak kemarin ini huks.

      Delete
    2. Ya Allah mas ini niat sekali ninggalin komennya... :"))))

      Delete
  2. Semacam tulisan yg imbang & bijak ttg angkutan umum, share di twitter ah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya beberapa waktu lalu buka blog Om kok nggak bisa ya? Misteri apa ini..

      Delete
  3. Thanks for sharing yaa..
    Memang udah waktunya angkutan umum itu "berbenah" dengan lebih mengutamakan kenyamanan..
    :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, apalagi banyak yang bodi kendaraannya sudah kayak besi tua rongsokan, karat di mana-mana.. Ketar-ketir kalau naik :((

      Delete
  4. Dulu, paling sering ngerasain itu ngetem... beuuuuh sampe penuh, kalo bisa umpel2an, apalagi yang di depan kantor pos itu, atau kalau pas dari arjosari mau ke kampus UM, naik AL beuuuuh bisa sampe dibuat nyelesaikan baca 1 novel... dah jauh jalannya dengan kecepatan yang hmmmm... #curcolan sambil nostalgia ini ceritanya hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mending mbak kalau bisa sambil baca novel.. lha kalau umpel-umpelan kadang sampai jalannya kerasa miring-miring saking kepenuhan muatan. Serem :(((

      Delete
  5. nggak pernah kan digodain om om di commuter line. AMAN APANYA??? *kok curhat*

    ReplyDelete
  6. Aku mah dah kapok naik metro. Waktu itu pernah diturunin, padahal belom sampe tujuan. Suruh cari metro lain. Lah... padahal aku kan dah bayar. Nyebelin 😕

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaaa.. dan ongkosnya nggak dikembaliin! Kan KZL.

      Delete
  7. Itu fotonya kenapa si cewek lagi mau megang bokong ya? :))))

    ReplyDelete