Monday 23 July 2018

"Your standards for a man are way too high," they say.


I've written several pieces of posts regarding relationships here. Tidak ada yang berisi nasihat. Rata-rata hanya curhat. Bercampur sambat. Baik itu tulisan ini, yang ini, coretan ini, atau sebelah sini. Lalu semalam, setelah 2,5 jam ngobrol seru dengan seorang teman (sebut saja A), saya terpikir untuk menuturkan isi pikiran dan uneg-uneg yang tertumpah di blog pribadi. And as you can see, I've put a title up there which insinuates what this piece is about.

Time to take a guess.

Perjalanan romansa saya boleh dibilang setandus gurun Gobi. Saat orang-orang bertukar cerita, menghitung mantan-mantan pacar sambil tertawa-tawa dan nostalgia di sosial media, saya hanya terdiam. Cannot relate. I've gotten myself one or two relationships previously, but both were very different experience that I cannot even dare to compare one to the other. Tapi saya sudah berkali-kali menyukai orang. Gebetan, kecengan―terserah apa pun sebutannya, intinya orang yang disuka―saya jumlahnya sampai hari ini ada lebih dari selusin. Dihitung sejak pertama kali mengalami cinta monyet. Oke saya memang fangirl, tapi orang-orang ini bukan kategori 'karakter fiksi' maupun 'selebriti idola'. Suer. They are regular people. And I liked them very much so. I've received rejections after rejections but then again my feelings managed to linger for quite awhile, and even now I still remember what made me have feelings for them back in the days. How they made me feel.

Nyatanya, hingga hari ini saya jomblo.
*plays Beyonce's Single Ladies*


Tidak jarang saya bertanya-tanya pada diri sendiri. Apalagi waktu sedang fase patah hati. Emang gue sejelek itu ya sebagai seorang cewek? Like, physically? And perhaps personality-wise? Am I THAT undesirable? Sampai hari ini saya pernah naksir lebih dari dua belas cowok dan persentase saya ditolak kayaknya tinggi banget hingga males ngitung. Jadi, apakah kejombloan berkelanjutan ini disebabkan oleh saya yang memang tidak pernah masuk pertimbangan para gebetan saking jeleknya? Jangan-jangan yang berkenan sama cewek kayak saya cuma mamang-mamang tukang nongkrong di pinggir jalan yang hobi menyiuli perempuan lewat secara random? What the hell with this status quo?

"Standar cowoknya ketinggian, kali?"

I've heard this. Plenty of times. Way too often than my liking. Sering diucapkan oleh anggota kerabat. Tetangga. Orang-orang yang ketemunya jarang tapi komentarnya penuh semangat. Atau mereka yang terpaksa rajin ditemui karena tuntutan aktivitas. And I gave it a serious thought... do I surprisingly have very high standards for a man?

But the answer is: ugh... really? Kayaknya nggak juga. I'm just hoping for a decent human being. Seseorang yang punya nilai kemanusiaan. Nggak diskriminatif dengan orang-orang yang punya seksualitas berbeda, agama berbeda, lahir dari ras yang berbeda. Nggak bersikap kayak tai terhadap orang-orang yang bekerja di bidang jasa. Punya empati. Bukan misoginis. Bukan mereka yang marah-marah, menertawakan, atau justru sinis saat perempuan bercerita akan ketidaknyamanan disiul-siuli dan digoda orang asing. Mau belajar jadi lebih baik. Menghargai saya sebagai individu yang punya otonomi diri, bukan sebagai target hidden agenda demi keuntungan pribadi (see this post for case example). And if 'a decent human being' is considered way too high for a standard, I wonder how low quality of men actually is? Don't you wonder, too?

Selain itu, kenapa begitu banyak perempuan didesak untuk menurunkan standar―"Mbok kamu itu jadi cewek yang realistis, jangan halu... Mumpung ada yang mau tuh terima aja lamarannya."―namun laki-laki rasanya jarang ditapuk ben sadhar? Tak peduli bagaimana kualitas diri sendiri, mereka bisa merasa oke-oke saja berkoar-koar bahwa perempuan solehah berat badannya tidak boleh lebih dari 55 kilogram, menyamakan perempuan dengan permen maupun barang lainnya, atau bebas-bebas saja menyatakan bahwa sudah fitrah lelaki menginginkan teman hidup yang sejuk dipandang. Hal-hal yang sekadar menitikberatkan pada penampilan.


Nek njaluk konco urip koyo bidadari ki yo minimal bentukanmu dhewe ojo macem remukan peyek teri, Mas.. Women don't exist to be your eye-candies to begin with, but women also have a say whether or not they want someone who make efforts to present themselves nicely, be it men or fellow women. Terima kasih banyak feminisme karena telah membuka kesempatan bagi perempuan untuk protes dan ngomel-ngomel mengenai hal-hal kampret seperti ini. Setidaknya di akun media sosial. Atau di blog pribadi, sebagaimana yang sedang saya lakukan.


Namun anggap saja saya bertemu seseorang yang baik. Ini juga tidak menjamin kami akan berakhir sebagai pasangan. Is he single? Does his sexual orientation matches mine? Does he like me back? Do we have shared interests that we can discuss passionately? Memang sih opposites attract, tapi kalau sama sekali tidak ada hal yang bisa dibahas bersama-sama, aktivitas di luar rutinitas kehidupan dasar yang dapat dilakukan bareng-bareng, won't it affect the relationships in a not-so-good way? Because I've seen the living proofs of this kind of thing and one of the examples is my own parents. Hell, finding the good ones is difficult enough. But guess what sucks? Even if we know some of the good ones, they are not always the right ones.

Being a person who's struggling with self-esteem on daily basis, I still need to tell myself every day that maybe I'm just not that lucky. That it's not my fault. That my 'standards for a partner' are NOT too high. (Well, if I could dream, I want to marry the ass of a Gundam pilot but then it means we shall have another World War first).

z. d. imama

7 comments:

  1. You seem to be a very outspoken person. How about you try holding back on certain opinions and only, ONLY share them with the guy you're interested in? It could make them feel special and appreciated.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hmmm...

      *Looking at a great pile of guys from comics, anime series, and books whom I'm interested in*

      Well, at the first place, so far never once I'm interested in men who can't have proper discussion or share opinions peacefully, or those who belittle my opinions merely because I'm a girl, so no need to worry about "only share opinions to those I'm interested in".

      Delete
  2. Mbak, kamu itu terlalu keminggris. Lha gimana nanti ada mas-mas yang wuwuwuwuwuwu tapi dia keminder karena nda bisa keminggris? Mereka juga mau outspoken tapi nda bisa keminggris.

    Ya mungkin, ajak ngobrol aja mba.. mereka itu lucu kok. Kawaiiiii

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mereka yang tidak keminggris biar sama pakdhe Ivan Lanin saja ~

      Nek baru sama yang keminggris udah minder lha piye nek aku omongan nggo boso Rusia mz wqwqwq

      Delete
    2. Menyerah. Wis dadi koyo sego kucing ra dikareti, ambyar.

      Delete
  3. Huhuhu... Baca ini aku jadi ingin semacam curhat juga di blog. Curhat beneran yang mendayu-dayu, yang merendahkan diri sendiri, yang marah-marah, gara-gara urusan cinta. Tapi, ya... Aku takut nanti netyjen mem-bully aku. :(

    ReplyDelete
  4. Belajar dari pengalaman.. Sebaik jangan pacaran aja dek. Ga enak, bikin mumet, korban waktu pikiran etc.. Syukur kalo jadi. Kalo ga? Ternyata masih banyak yang harus kita urus dan pikirkan dari pada seorang pacar.
    Kalau nemu yang cocok dan sesuai kriteria, mending nikah aja sekalian. Atau kalau memang belum memungkinkan, berteman aja, dulu. Jangan maen perasaan..

    Maaf kalau saya sok menggurui. :)

    ReplyDelete