Tuesday 31 October 2017

Save your "Kirain kalian serius..." comment


Sebenarnya saya defisit pengalaman pribadi yang mumpuni sebagai dasar atau latar belakang tulisan ini. Jomblo. Jumlah mantan pasangan pun kalah banyak dengan jumlah lampu di tiang traffic light. Apa sih yang saya tahu? Tapi sewaktu mengingat kembali apa yang pernah saya alami, rasakan, serta ditambah mengamati orang-orang di sekitar, akhirnya saya putuskan untuk lanjut mengetik. Tidak ada salahnya uneg-uneg ini dilepaskan.

Jadi begini. Memasuki usia 20-an tahun, entah kenapa orang-orang di sekeliling semakin rajin berkomentar terhadap kondisi hubungan romansa. Punya pasangan dikomentari. Nggak punya juga semakin dikomentari. Posisi default saya sih di kalimat kedua, but you knew that already. Tetapi ternyata ada sebuah kondisi tertentu yang juga cenderung sukses memancing komentar kanan-kiri: ketika kita punya pasangan―pacar, tunangan, partnerwhatever you name itdan berpisah setelah cukup lama bersama. Kebayang nggak sih seberapa malesinnya hal tersebut? Sudah patah hati, sedih bercampur kesal (apalagi jika bubarannya nggak terjadi secara baik-baik), eh masih dapat surplus ucapan-ucapan tak dibutuhkan. Salah satu contoh template yang lumayan sering dilontarkan orang adalah:

"Kirain kalian serius, lho."


Gusti Allah. Rasanya hasrat untuk menjungkirbalikkan meja, membanting kursi, memecahkan gelas biar ramai melesat ke ubun-ubun tiap ada yang komentar kayak gitu. Sabar. Sabar. Tarik napas. Oke, saya nggak tahu bagaimana menurut pendapat orang lain, tapi bagi saya secara personal, celetukan tersebut terasa sebagai suatu penghinaan.

Kenapa? Sebab mengasumsikan bahwa saya 'tidak serius' hanya karena hubungan tadi kandas dan tidak berlanjut―misal: bertunangan, pernikahan, artinya mereka menganggap segala perasaan yang saya alami ketika masih bersama pasangan tidak signifikan. Tidak penting. Barangkali nihil. Apa-apaan, coba. Bagaimana kalau setelah menginjak tahun ketiga berpacaran, atau bahkan sudah tunangan, baru ketahuan bahwa ternyata pasangan saya misoginis? Beranggapan perempuan adalah properti laki-laki, lalu sebaiknya tidak usah 'terlalu mandiri'? Bagaimana jika setelah sekian lama bersama, baru terasa bahwa hubungan kami abusif dan tidak sehat? Bagaimana kalau ternyata belakangan diketahui adanya perbedaan prinsip hidup yang tak mungkin dikompromikan?


Apa hubungan romansa antarmanusia hanya bisa dikatakan 'serius' apabila mereka menikah? Hanya boleh disebut 'serius' hanya kalau mereka membangun lembaga sosial terkecil? Lantas apakah, meski menyadari sedang berada dalam hubungan yang tidak sehat dan penuh ketidakcocokan, suatu pasangan harus tetap bersama selamanya sebagai bukti betapa 'serius' mereka? Doesn't that sound, and feel, incredibly wrong to you?

Saya pikir semua emosi yang dialami ketika patah hati, baik itu gara-gara bertepuk sebelah tangan dengan gebetan (persentase terjadi dalam hidup saya sebanyak 95%) maupun putus dengan pacar, adalah jejak keseriusan perasaan saya. Kemarahan. Kekecewaan. Kesedihan. Ketidakpuasan terhadap kenyataan. Segala hal yang bercampur aduk di dalam dada dan menyebabkan perasaan tidak karuan itu merupakan bukti. That I was serious about this thing. I seriously wanted to be with that person. I seriously liked, maybe even loved, that particular someone. I had a bunch of serious fun, and experienced serious happiness. We overcame serious obstacles together. I seriously believed what we had was real. But at the end of the day, I realized that it just didn't work out. All that seriousness is what makes me get brokenhearted. and those people who know nothing like Jon Snow still have the audacity to say, "Lho.. kirain kalian serius."

Seriously, shut up.

z. d. imama

10 comments:

  1. Thank you,
    This article is so pretty right.
    Saya mohon ijin untuk menulis hal serupa berdasarkan 'pengalaman' saya dengan mencantumkan beberapa kutipan dari artikel ini ya. 🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Zakia! Kabarin ya kalau tulisannya sudah jadi, mau baca juga hehehe

      Delete
  2. Aku kok sedih ya baca ini? :(

    *peluk*

    ReplyDelete
  3. Postingan yg sensitif & serius, aseli saya jd takut pengen komen .. 😔

    ReplyDelete
    Replies
    1. Berhubung ketakutannya ditulis dalam bentuk komen jadi saya tetep dapet komen dari Om h3h3h3

      Delete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini... masnya nggak paham sama isi tulisan saya atau gimana sih kok komentarnya melenceng jauh dari poinnya begini.

      Delete
    2. This comment has been removed by the author.

      Delete
  5. saya mengerti perasaanmu mbak..
    entah kenapa rangorang selalu mengharapkan ekspektasi mereka terjadi untuk hidup kita. Mereka gak tahu apa yang kita alami, and then judge us seenak udelnya. Aku sih mbak, biarin aja deh. Toh ini hidup aku yang jalanin juga. :)
    thankyou for this sharing.

    ReplyDelete