Tuesday, 12 September 2017

Why I don't think that particular "tweetwar-focused" account is okay


Saya berpikir lama sebelum menulis ini. Lama sekali. Berbulan-bulan. Melihat dan mengingat berbagai macam gunjingan, perkataan merendahkan, olok-olok, dan segala bentuk 'serangan balik'―dari sebatas komentar "Takut kalah saingan ya?""Memang situ siapa sih?", "Dasar maha benar!", "Alah sok bijak", sampai terkadang merambah ke cacian fisik―yang pernah dilontarkan sejumlah pengikut akun tersebut terhadap segala pendapat bertentangan maupun kritik yang ditujukan untuk akun bersangkutan (atau entah siapalah orang yang menjadi administrator di baliknya), terus terang saya sedikit was-was. Ucapan-ucapan itu barangkali dengan mudah akan berubah haluan, jadi dialamatkan kepada saya. Yakin, siap menghadapi kemungkinan digrudug atau minimal dirasani oleh netizen lokal lalu dicap anu-anu... seandainya ketahuan bikin beginian?

Sakjane yo ora siap, ndhe.

Tapi siapalah saya ini, hanya seorang internet user biasa, yang bermaksud memaparkan kenapa menurut saya Twitter darling yang menjadikan 'tweetwar' orang lain sebagai bahan utamanya bukanlah akun yang baik. Menyuarakan ketidaksetujuan pribadi terhadap akun berpengikut 55 ribu yang berprinsip, "Netizen bersatu tak bisa dikalahkan". Akun yang secara khusus menempatkan beberapa 'selebtwit' atau 'selebtwat'―yang maksud dan definisinya sampai sekarang cenderung tidak jelas―sebagai pihak antagonis, bahkan musuh bersama. Akun yang, sedihnya, rajin diikuti, disimak, bahkan diidolakan dan dipuja-puja banyak orang termasuk beberapa pihak-pihak yang saya kenal dengan pembelaan pamungkas, "Let people enjoy things".

The popular meme

Terdapat beberapa hal yang membuat saya berpendapat bahwa akun yang menghadirkan screenshots demi screenshots 'tweetwar' orang lain di Twitter tersebut cenderung mengarah ke jahat daripada menghibur. Saya bukan penulis kondang, bukan pula jurnalis, apalagi 'peramu kata', tetapi saya akan berusaha menguraikan kekusutan di dalam benak ini secara sederhana.

Glorifikasi dan amplifikasi 'tweetwar'

Sebelum nantinya mungkin ada pihak-pihak berkomentar, "Halah ini sih caper aja, paling-paling cuma pengin masuk timeline-nya dan dibahas!", saya sampaikan sejak awal: tenang, bos, tweet saya sudah pernah di-screenshoot dan diposting di sana. Waktu itu―sekitar bulan Mei, ketika akun spesialis 'tweetwar' belum sepopuler saat ini―saya dengan @es_twr membahas penulisan romaji salah satu anggota grup Arashi. Utas percakapan kami di-screenshoot dan diunggah dengan caption kurang lebih berbunyi, "Twitwor tentang cara penulisan bahasa Jepang", yang saya ketahui berkat informasi seorang teman (saya tidak follow akun pengumpul 'tweetwar' itu). Berhubung perbincangan tadi bukan 'tweetwar' dan saya tidak berkenan masuk ke timeline yang bersangkutan, saya meminta postingan itu dihapus. Syukurlah sang admin, setidaknya pada waktu itu, masih bersedia menggubris consent orang lain dan memenuhi permintaan saya. Entah kalau sekarang.

Kembali ke glorifikasi dan amplifikasi 'tweetwar'.

Pemaparan di atas seharusnya sudah bisa menjadi contoh apa yang saya maksud dengan glorifikasi. Segala bentuk pertukaran pendapat, dari yang santai damai, sarkastis, hingga marah-marah berhias emosi dan caci-maki, nyaris selalu dilabeli sebagai 'tweetwar' (atau 'twitwor') sebelum diunggah ulang. Akun tersebut juga berperan sebagai mikrofon yang mengamplifikasi jangkauan suatu 'tweetwar', sehingga pihak-pihak yang tadinya tidak terpapar sebuah perdebatan jadi bisa turut menonton. Beramai-ramai menikmati orang bertengkar, atau diposisikan seolah-olah sedang bertengkar. Seperti seseorang yang giat berseru di kerumunan, "Eh lihat tuh di sini ada yang lagi berantem! Sebelah sono juga lagi ribut-ribut! Pojokan situ juga!" kemudian menyuguhkan rekamannya kepada hadirin setelah di-repackaged dengan sepatah-dua patah 'kata pengantar'.

"Ya udah sih kalau nggak cocok sama kontennya ya jangan follow. Kalau perlu block. Ribet amat???"
Trust me, I am doing all of those things. Tombol mute dan block sudah ditekan karena saya tidak mau terpapar materi akun tersebut, juga tidak bersedia jika screenshot tweet saya kembali masuk ke dalam timeline-nya. Namun seberapa efektif kedua fitur tadi jika dihadapkan pada lebih dari 55 ribu follower, ditambah netizen tidak-follow-tapi-rajin-scroll-feed, yang dengan senang hati menyumbangkan screenshots dari ponsel mereka? Apalagi spesialis kolektor 'tweetwar' tampaknya tidak mengenal batasan privasi, sebab screenshot tweet dari akun yang dikunci bisa tetap bermunculan di linimasa.

Caption yang cenderung 'labelling'

Hal lain yang secara pribadi tidak bisa saya anggap lucu dan menghibur dari penghimpun 'tweetwar' adalah caption dari screenshots-screenshots yang diunggah. Sama seperti nyaris seluruh diskusi/pertukaran argumen dilabeli 'twitwor', administrator di balik akun tersebut kerap menggunakan istilah-istilah tertentu untuk disematkan sebagai label dalam caption dengan nada condescending. Mulai dari 'selebtwit'―beserta segala variasi: 'selebtot', 'saleptwit', 'selebtwat', dan entah apa lagi―yang menyasar akun-akun personal dengan jumlah pengikut segambreng, 'drama', 'maha benar', hingga yang jelas mengarah ke seseorang seperti 'Mbak bronis ketek'. Label-label tersebut lalu digunakan pula oleh para follower-nya dalam caption pada screenshoot-screenshoot sumbangan serta di kolom reply. Semenyenangkan itu, kah? Apa memang sebegitu memuaskan ya, berlindung di balik tagline "Netizen bersatu tak bisa dikalahkan"?

Saya mengerti bahwa di internet bertebaran manusia-manusia rese. Ada yang kurang ajar, nggak tahu diri, norak, tukang marah-marah, gemar mencerca orang lain, harassing kanan-kiri, semata-mata menyebalkan karena bagi kita persona online-nya berengsek atau sekadar... pencitraan. Tapi saya nggak paham apa urgensi dari mendedikasikan diri untuk terus-menerus antagonizing sejumlah orang tertentu. Apalagi secara sadar memberikan ruang menghujat berjamaah bagi orang-orang yang memang tidak menyukai pihak yang sama. Kalau yang rutin dimaki-maki koruptor, tukang fitnah, pemerkosa, pelanggar HAM, pejabat bangsat, atau kriminal sih yowis lah ya bos. Lha ini kan cuma 'selebtwit' dan 'netijen'? 

Ya Rabb, aku kudu istighfar. Terlalu banyak energi psikologis yang saya curahkan hanya demi menulis satu postingan. Terbilang panjang, pula.

Tolong jangan jahat-jahat di internet, lah.

"Sekarang isinya nggak melulu soal 'tweetwar', kok! Kadang ada yang lucu, kadang juga informatif."

Mungkin benar. Namun bolehkah saya kembalikan lagi ke username akun tersebut dan tagline-nya: Info Twitwor & Drama? Ibarat pedagang, jika dagangan utamanya sate kambing maka dia tidak mungkin menuliskan 'soto ayam' besar-besar di warungnya, kan? Seandainya ada, itu sebatas menu sampingan saja. Agar menarik lebih banyak pelanggan. Expanding market.

If you are reading this, so it means I finally had enough courage to click "Publish". 

z. d. imama

12 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Tulisan njenengan ki patut dishare,

    ReplyDelete
  3. problematika rutin anak twitter, dan sosmed lainnya 😽

    ReplyDelete
  4. Nganu, aku mung pengin takon


    Foto diawal post ini berupa Twitter kejungkel itu kamsudnya apa ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau menghadap ke atas nanti dikira burung traveloka, mas.

      Delete
  5. Sebenernya gaya berkicau macem gini backtweeting, subtweet, dan screenshoot lalu diomongin di belakang sudah dari dulu populer. Yg mempopulerkan siapa? Ya para akun dg follower banyak itu dengan para circle Maha benarnya. Saya pun pernah jadi korban cyber bullying circle penulis satire sarkas. Cuih, ingin muntah jadinya kalau saya mengingatnya. Jijik sekali.

    Lalu apa yg bisa kita lakukan? Beberapa akun akan terus ngerasa dirinya maha benar ditambah banyak juga yg mbebek jd fans fans karbitan cari muka. Padahal ngaco ya ngaco. Ini bukan melulu perihal antagonizing. Ini perihal melawan balik akun-akun yg selama ini terlalu berjaya di twitter. Dalam hal perlawanan, membuat akun anonim kolektif tentunya akan sangat efektif ketimbang melawan dg akun sendiri yg rawan dipersekusi.

    Semoga dapat menjadi renungan yg dipikirkan dengan mendalam.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Meminta "semoga dapat menjadi renungan" tapi Anda sendiri menuliskan secara anonim itu lucu. Ujung-ujungnya juga berani "melawan" kalau identitasnya nggak bisa dilacak, kan? "Melawan balik" tapi dengan mengatai beramai-ramai, bahkan untuk hal-hal yang tidak semestinya dikatai. Jatuhnya sama saja sih level (your words here) jijiknya dengan yang "dilawan" itu :)))))

      Delete
  6. Lagian, orang ngobrol mention2 biasa aja dibilang lagi twitwor ama itu akun.. Gemblung tenan.

    ReplyDelete
  7. Yah, telat yak saya bacanya. Sekarang, sih, syukurnya udah mute akun itu. Dan yang ritwit di TL hampir nggak ada lagi. Namun, sungguh tulisan ini mewakilkan keresahan saya waktu itu. Awalnya pas baru-baru akun itu terasa segar. Oke, itu pendapat bodoh saya. Tapi hal baru biasanya emang begitu, kan. Haha. Twit saya juga pernah masuk di akun itu. Entahlah kenapa bisa-bisanya masuk. Itu tahu juga karena di-cc temen yang lain. Kala itu, saya lagi bercandaan sama temen dan mention-an sampe panjang. Apakah kayak gitu pantas disebut twitwar? Nggak penting amat, kan. Mungkin kalo dari kacamata orang lain, hal itu seolah terlihat berantem, ya? :))

    Percis awal-awal saya menyimak akun itu. Dari yang nggak tau apa-apa soal masalah di Twitter, terus setelah lihat SS jadi tahu dan seakan-akan timbul rasa puas. Bahkan, jadi ikut menghakimi dalam hati dan tergiring untuk nggak suka sama akun yang lagi twitwar. Syukur bisa sadar kalo lama-lama ngerasa sedih dan buang-buang waktu setelah memantau hal seperti itu. Ya, saya termasuk telat sadar, sih. :(
    Mending baca novel atau nonton film sekalian. Sedihnya beda dan lebih bermakna. Halah.

    Omong-omong, ini Mbak yang akun Twitter-nya Kleponwajik kan, ya? Nyasar ke sini habis main dari blog Jungjawa. Ehe.

    Duh, kok komentar ini jadi panjang.

    ReplyDelete