Friday 23 December 2016

Attachments (should be) for e-mails only


Sebagai self-proclamation, saya anaknya terbilang sulit sekali baper pada orang lain. Gampang terpesona sih iya. Gampang banget malah. Semudah memencet tombol 'Like' dan 'Share' di postingan Facebook. Lihat ada mas-mas random lagi main sama kucing liar di warung nasi uduk saja sudah langsung meleleh. Sama benda mati macam Jaeger dan Gundam bisa tergila-gila. Tapi meskipun demikian, saya susah baper apalagi jatuh cinta. Jadi kalau misalnya kalian memergoki saya bikin tulisan galau atau berbunga-bunga di Twitter atau Facebook yang terasa mencurigakan, kemungkinan besar itu cuma 1) hasil fantasi, atau 2) terinspirasi dari peristiwa yang terjadi pada orang lain. Harap tenang, pemirsa. Lagian anak insekyur dengan low self-esteem macem saya ini kalau baperan kok ya agak-agak kontradiktif gitu rasanya.

Meskipun saya terbiasa men-detach aspek perasaan setiap kali curhat, ngobrol, dan main dengan orang (khusus lawan jenis, tentu saja, sebab orientasi pribadi masih heteroseksual).. saya entah sejak kapan punya kecenderungan meng-attach memori ke benda-benda mati. Kayaknya kebiasaan ini sudah dimulai dari jaman sekolah, karena waktu itu niatnya sih untuk memperkuat ingatan, jadi serpihan informasi 'disebar' dan 'ditempel' ke segala penjuru. Maklum, di negeri ini kan siswa rata-rata dijejali materi hapalan superbanyak, bahkan pelajaran eksakta pun diminta menghapal alih-alih pemahaman konsep. Pantas saja kalau kata hasil survey data, nilai PISA Test Indonesia 42% di bawah Level 2 yang mana jadi patokan standar.

Sampai mana kita tadi?

Oh, well.

*Tenggelam dalam kenangan*

Walaupun terdengar seru, sebenarnya kebiasaan saya ini sedikit banyak juga merepotkan. Gimana nggak? Melihat suatu gedung, misalnya, yang terbersit di benak bukannya nama gedung tersebut tapi justru, "The Building Where He Ripped Me From My Sanity". Atau lagi beres-beres kamar dan bongkar lemari baju kemudian nemu dress tertentu. Ingatan saya lebih mengenal pakaian itu sebagai "The Dress I Wore That Night When You Borrowed My Money and Never Give It Back". Kan kampret. Baperan enggak, tapi dihantui kenangan ke mana-mana. Kecenderungan meng-attach memori ini membuat saya tidak mudah lupa terhadap banyak hal, termasuk perkara-perkara yang tampaknya lebih baik dikubur di masa lalu. Apalagi didukung oleh kemampuan ingatan audio saya yang tokcer; sekali dengar bisa terngiang-ngiang berhari-hari, keingetan terus sampai mati.*

Attachments, should be limited only for e-mails.


Bukan ke orang lain, karena bisa-bisa aja dia nanti kepincut yang lain, yang lebih cakep, lebih kaya raya, lalu meninggalkan kita. Bukan ke sebuah relationship tertentu. Manusia bisa berubah, hubungan dan tingkat kedekatan bisa merenggang. Ngotot memaksakan hubungan alias ikatan juga nanti jatuhnya dapat status doang tapi nggak ada signifikansi apa-apa secara spiritual. Halah. Bukan pula terhadap barang-barang kepemilikan karena toh pas disamperin malaikat Izrail juga nggak bisa bawa apa-apa (padahal sebenernya saya pengin bawa beberapa buku favorit saya.. kan lumayan buat dibaca di kuburan sambil nunggu hari kiamat). Dan tentu bukannya dengan sengaja justru meng-attach memori ke benda-benda tak berjiwa, yang mana secara otomatis akan membuat barang-barang itu tidak lagi sekadar 'benda mati'.

Lha ning kudu piye aku raiso mandek...

Seringkali, saya menikmati nostalgia yang didapat dari attached memories ini sih. Teringat hal-hal menyenangkan, konyol, bodoh, bahkan memalukan yang terjadi di suatu tempat. Atau saat saya mengenakan sesuatu. Atau memegang sesuatu. Rasanya seolah-olah saya tengah menebar horcrux. Memori yang dilekatkan pada benda-benda tadi seolah menjadikan saya immortal, padahal yang mengerti kisah khusus di balik eksistensi mereka ya cuma saya sendiri. Oh, bagi yang nggak tahu apa itu horcrux, silakan buka halaman ini. Saya tidak akan menghakimi, tapi kok BISA-BISANYA SIH NGGAK FAMILIER DENGAN ISTILAH POP-CULTURE SE-MAINSTREAM ITU? #TetepNgomel

Ada nggak yang punya kebiasaan menyusahkan seperti saya ini?

z. d. imama

*Terms and conditions: hanya ketika saya fokus 100% dalam mendengarkan informasi terkait.

9 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Kebiasaan yg keren menurutku. Walau ya betul merepotkan hehehe

    ReplyDelete
  3. Aku jugaaaaa. Suka melo-melo geje sama barang-barang yang menyimpan kenangan. Tapi sekarang udah enggak terlalu sih, karena terkalahkan oleh keinginanku buang-buangin barang gak pake. Sumpek rumah kebanyakan barang. Hahahaha.... Paling eke cuma siapin 1 container untuk menyimpan benda 'berharga', kayak album foto wedding, baju babtis anak-anak, baju yang dipake anak-anak waktu baru lahir.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau barang milik sendiri mending sih Mbak... biasanya disimpen di gudang atau dibuang gitu sudah nggak terlalu "dihantui" kenangan lagi. Aku kan seenak jidat nempelinnya, termasuk bangunan-bangunan landmark milik sosaiti pun kadang di-attach memori HAHAHAHA

      Anaknya suka nyusahin diri sendiri, emang (T__T)

      Delete
  4. Kalau aku mungkin lebih ke barang ya. Makanya di kamarku ini penuh banget barangnya. Terlalu sayang dibuang karena tiap barang punya kenangan. *halah*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Udah kasihin aku aja Kak kalau sayang dibuang... hitung-hitung amal jariyah :)))
      (Disepak pake sepatu bot.)

      Delete
  5. Blm ketemu orang yg special aja kali mbak....

    ReplyDelete
  6. kamu baper gak aku kirimin link terus?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kok sedih ya Dit nek dikirimi link koyo ngono wae iso baper...

      Delete