Friday 11 May 2018

Now, let's have a quick talk about "not my cup of tea".


Saya tidak meragukan apabila ada orang yang berkata tidak suka Harry Potter, The Lord of the Rings, trilogi Mistborn, hingga yang makin hype belakangan: A Song of Ice and Fire, karena mereka tidak menyukai genre fantasi, baik high fantasy maupun epic fantasy. Sayang sih. Tapi mau gimana. Sudah membaca bukunya, nonton filmnya, namun tidak bisa suka karena barangkali kurang cocok dengan selera pribadi ya.. apa boleh buat. Kecuali jika nyoba nonton aja nggak, udah koar-koar nggak demen atau malah komentar jelek. Tampol nih ye. (Itu namanya lo kagak berminat, bukannya kagak suka.)

Belakangan ini saya mau tidak mau jadi memperhatikan, bahwa ketika ada seseorang menyatakan rasa kurang menyukai sebuah kisah (baik itu novel, komik, hingga film), maka pihak lain yang suka pada karya tersebut akan buru-buru menilai: "Beda selera sih, ya". Even if that's not always the case. Sedih, bosque. Bagaimana kita mau punya diskusi menarik tentang aspek kelebihan dan kekurangan sebuah kisah jika setiap input yang mengisyaratkan pertidaksetujuan langsung di-dismiss sebagai selera yang tidak sama? Padahal sangat mungkin lho, untuk tidak memberikan penilaian bagus terhadap suatu karya padahal sebenernya relatif cocok dengan selera dan preferensi.


Saya nih, misalnya. I'm a sucker for shoujo mangas and romantic-comedy stories, to the extent of reading the cheesy and template-ish ones, but even on this level of being a hopeless romantic, I still have enough conscience to analyse and judge which story is good, acceptable, or which one is just... meh. Saya oke-oke aja membaca kisah yang mana sang protagonis benar-benar happy-go-lucky, tidak punya latar belakang tragis ataupun masalah hidup, namun tetep males kalau ternyata pada akhirnya dia tidak digambarkan lebih dari sesosok tokoh utama berprivilese. Tidak ada yang salah dengan cerita receh, kok. Not everything has to sound 'smart'. Hanya saja bukan berarti nggak ada hal-hal lain yang bisa diperhatikan dan jadi catatan untuk perkembangan, kan. Minimal pertukaran ide lah.

Saya yakin kita semua familier dengan istilah 'unsur intrinsik'. Paham dong. Bahasa Indonesia setingkat SMP. Nah, penyebab terumum (dan paling terdeteksi) untuk kurang menyukai sebuah karya biasanya berasal dari unsur-unsur intrinsik: tema, tokoh, penokohan, alur, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa. Ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa amanat atau moral of the story juga masuk ke intrinsik. Anyway, these elements have direct impact to our judgment regarding the works in discussion. And when we're discussing the greatness or problems and bumps in intrinsic elements, it goes further than mere "Gue sih lebih pilih cerita yang punya happy ending" or "Nggak demen cerita yang nontonnya harus mikir pusing".


Let's take an example from recent international accident: Fullmetal Alchemist live-action movie. Saya benar-benar jungkir-balik memuji serialisasi komik dan adaptasi animasinya, terutama Fullmetal Alchemist Brotherhood (2009). Keseimbangan antara typical cliches―young hot-headed protagonist embarking on a journey looking for something important, power of friendship/brotherhood, perseverance, etc―dan hal-hal khusus yang hanya bisa ditemukan di kisah tersebut sangat bagus. Tapi saya juga penikmat cerita-cerita dengan trope serupa, maka nggak salah dong jika kita asumsikan Fullmetal Alchemist itu selera saya banget? Yet still, I won't say its live-action adaptation was done well. Silakan baca ulasan yang tersedia supaya saya tidak perlu ngomel ulang di sini. Huhu.

Contoh lain? Sebut saja Sailor Moon. Saya tahu ini mega serial fenomenal dan tidak akan flat-out menganggapnya jelek, karena memang memiliki banyak aspek bagus di dalamnya, namun saya sulit sepenuhnya menyukai Sailor Moon. But-but-but this is THE Sailor Moon! Magical girls! And I loooove magical girls stories. I have read and watched dozen titles of them! This is definitely my cup of tea! Magical girls seleraku! Cuma ya mau bagaimana lagi. Saya sangat tidak puas dengan penokohan Tsukino Usagi dan Chiba Mamoru sebagai para tokoh utama. To date, I do not think they deserve all those divine powers and attention. Terasa timpang, apabila dibandingkan dengan karakter-karakter pendukung seperti Hino Rei, Aino Minako, bahkan Tenou Haruka yang nongol belakangan sebagai outer sailor. Sehingga biarpun genre, topik, dan world building ceritanya boleh dianggap 'selera gue banget', Sailor Moon still doesn't hit my 10 shoujo manga list.

To sum it up, I guess I just want people to be more open to talks about books and movies. Objectively discussing what makes them good, what gives them value, and which parts are potentials for improvements. Tanpa harus buru-buru kebelet menyudahi pembahasan dengan jurus pamungkas, "Selera lo beda aja sih" ketika menjumpai opini berlainan tentang sebuah karya.

...Saya salah nggak ya? Duh bingung.

z. d. imama

No comments:

Post a Comment