Monday, 14 May 2018

I think I was once an extremist apologist. And I was only 12.


Minggu, 13 Mei 2018, bukanlah akhir pekan yang menyenangkan. Terjadi pengeboman tiga gereja di Surabaya yang dilakukan oleh satu keluarga. Menelan korban jiwa termasuk di antaranya anak-anak dan puluhan orang luka-luka. Membaca berita demi berita terkini yang dirilis sangat menyedihkan, namun tidak sedikit reaksi orang-orang di sosial media yang tidak kalah memprihatinkan. I shouldn't be too surprised, considering that I've heard and seen way too many angry, violent religious teachings over the course of my life, but even that didn't eliminate the sadness and disappointment that creep in and burden my chest like dead weight.

"Teroris tidak beragama."

"Konspirasi! Pengalihan isu!"

"Ini framing negatif kepada umat Islam!"


Saya marah. Malu. Sedih. Terjadi insiden yang memakan korban jiwa yang tidak perlu namun justru banyak sekali pihak-pihak Muslim yang cuci tangan, enggan mengakui bahwa para pelaku terorisme adalah sosok yang memiliki agama dan ideologi sama, bahkan bersikap seolah-seolah kami―kata ganti 'kami' saya gunakan selaku seorang penganut agama Islam―adalah pihak yang paling dirugikan. Pihak yang paling terancam. Reaksi pertama kami sebagai komunitas religius adalah tidak mencoba melindungi siapa pun kecuali diri sendiri. So many of us are not condemning terrorism, and instead, we are trying to save face. It's sad. Really.

Saya tidak akan bicara tentang hal-hal seperti "Tidak ada agama yang membenarkan dan mengajarkan terorisme" atau sejenisnya. Kalimat tersebut, di telinga saya, mulai terdengar seperti kata-kata yang tercetak di kartu Hallmark. Mudah sekali bagi kami, bagi kita semua, untuk mengklaim bahwa pelaku terorisme tidak beragama semata-mata karena menyakini bahwa apa yang kita anut dan percayai adalah baik. Rahmatan lil 'alamin. Perilaku kita baik. Setidaknya, nggak pernah berusaha menghilangkan nyawa orang lain dengan dalih agama. That's what we are thinking. Faktanya, masing-masing teroris memiliki ideologi. Ada tujuan yang ingin dicapai, yang dilatarbelakangi alasan-alasan tertentu. Mereka punya motif. Kepercayaan religius―alias agama―adalah salah satunya.


Agama yang saya anut, yang tertera gamblang di KTP, sama seperti keluarga pelaku teror bom Surabaya akhir pekan lalu. I share some values with them. We're believing in the same Higher Power, we read the same Holy Quran, we cite the same Al Fatihah in prayers. That's a fact I need to acknowledge, and face. Saya tidak akan mengingkari bahwa kejahatan hari Minggu pagi tersebut merupakan hasil perbuatan saudara saya, sesama umat muslim. Meski tidak mengenakkan, mengganjal, dan menimbulkan perasaan bersalah, ada hal lain yang lebih membuat saya bergidik saat mengingatnya: bertahun-tahun lalu, mungkin saya juga merupakan salah satu dari sekian banyak pihak yang memaklumi aksi-aksi ekstremis. Bahkan terorisme. And I was only 12. There was always a possibility that I might become one of terrorist sympathizers as an adult. There was always a chance. There was always "what-ifs".

If I didn't grow up to be who I am today.


Saya menempuh pendidikan dasar di sekolah religius dengan sistem full-day school. Alasannya sederhana: kedua orang tua saya sama-sama sibuk bekerja. Sistem full-day school mengurangi beban psikologis ayah dan ibu, sebab anaknya tetap terawasi di sekolah hingga tiba jam pulang kerja. Namanya juga sekolah religi, wajar lah bobot pelajaran agama berkali-kali lipat lebih berat. Ada mata pelajaran tahfidz (thanks to that, gini-gini saya hapal beberapa juz Al Quran sampai sekarang), tajwid, akidah-akhlak, fiqih, dan lain sebagainya. Tidak ada masalah dengan kurikulum yang dirumuskan. Tidak ada masalah dengan kalimat-kalimat yang tertera di buku teks mata pelajaran. Namun sepanjang tahun demi tahun bersekolah, saya mendengar banyak. Saya menerima berbagai ajaran. Bermacam nasihat. Ajakan-ajakan. Saya tahu adanya guru berkata:

  • "Mereka orang kafir. Jangan dekat-dekat."
  • "Jangan nonton serial Keluarga Cemara. Itu sebenarnya upaya kristenisasi karena cemara adalah pohon Natal."
  • "Pikachu itu dari Yahudi. Jangan ditonton."
  • "Jangan makan di KFC. Atau McDonald's."
  • "Jangan beli produk-produk Unilever." 
  • "Tidak usah menonton sinetron. Banyak pornografi."
  • "Harry Potter menimbulkan kemusyrikan. Jangan dibaca. Jangan nonton filmnya."
  • "Musik Peterpan jangan didengarkan. Lagu-lagunya berisi cerita maksiat vokalisnya."

Should I go on? The list can still go on, anyway.

Setiap pekan ujian berakhir dan pekan kompetisi antarkelas yang disebut classmeeting dimulai, di sekolah saya selalu tanpa henti diputarkan lagu-lagu jihad yang memuja martyrdom melalui loudspeaker. Tidak sekadar satu-dua guru kerap menyampaikan bahwa mati syahid adalah tujuan tertinggi hidup selaku muslim. Saya disuapi informasi bahwa konflik Palestina (dan Timur Tengah) adalah tentang semata-mata ambisi menumpas umat Islam, alih-alih perkara geopolitik yang kompleks. Saya dan teman-teman juga pernah diminta berpartisipasi dalam pawai menolak pornografi dan pornoaksi oleh pihak sekolah. Ask my mother if you don't believe this. I told her about my experience after school and she didn't seem to like it. Bayangkan. Saya diajak lantang meneriakkan, "Tolak pornografi! Tolak pornoaksi!" tanpa sama sekali memahami apa sebenarnya yang dimaksud dengan 'pornografi' serta 'pornoaksi'. Barangkali memang tidak semengerikan bocah-bocah berpawai menyerukan "Bunuh! Bunuh!", tetapi hakikatnya sama: anak-anak dilibatkan secara aktif untuk mendukung agenda orang dewasa, apa pun itu.


Remember 9/11? I was in the first grade, and I still can recall that one of the teacher spoke something like, "This is a punishment for America" when I asked about it. I was arguably a smart kid, you know. I watched my dad reads newspaper and checked it out solely due to curiosity. I didn't actually understand what the hell happened, but I knew as much as "America got suicide attacks" from the news. 2002 Bali bombings? We were also made to believe that it was a form of God's wrath. "Azab dari Allah", begitu yang sering saya dengar. I was shaped that way for years. Untuk mempercayai bahwa tindakan-tindakan merenggut nyawa orang lain, di negara yang sedang tidak dalam kondisi berperang, bisa dimaklumi atas berbagai alasan. Untuk meyakini bahwa tidak sebaiknya menjalin interaksi dengan golongan-golongan yang berbeda identitasnya dengan saya. I was once, very close to such level of extremism, and perhaps even a part of it. Maybe it was just my school, maybe it was just some of my teachers, but I can't pretend and say otherwise. There was a time when I received such teachings.

Saya bersyukur telah diberikan kesempatan belajar makin banyak hal, seiring berlalunya waktu. Menyadari bahwa penafsiran agama yang saya dengar saat itu pun tidak bisa dibenarkan. Menyadari bahwa kepercayaan yang saya anut, sesungguhnya sangat mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan universal. But then again, it's not enough. It is not, and will not be, enough. Tidak cukup hanya dengan menjadi seorang 'muslim yang baik'. Tidak cukup hanya dengan menjadi muslim yang tidak berpartisipasi dalam tindak ekstremisme, radikalisme, dan terorisme. Tidak hari ini.

I want to be braver. I want us, the muslim community, to be better. And kinder. Please don't backpedal on this. Those bombings in Surabaya has something to do with us, with our people. And we have a huge responsibility to fix it.

z. d. imama

No comments:

Post a Comment