Tuesday 6 February 2018

A very spoilery and long review of The Death Cure


The last time (and to be honest, also the very first) I wrote "a very spoilery review" post it was about Resident Evil: The Final Chapter and god knows why making it a free-spoiler would be impossible. Now, here it comes another writing. Featuring the most recent and final installment of The Maze Runner trilogy, adapted from books by James Dashner: The Death Cure. Living up to its title, postingan ini akan sarat dan padat akan spoiler, serta penuh komentar-komentar baper yang saya derita sepanjang menyaksikan film tersebut. Tapi tenang saja saudara-saudara, jika ulasan Resident Evil: The Final Chapter dimotivasi oleh perasaan frustrasi, saya akan membahas The Death Cure dengan segenap kasih sayang. Terhadap mas Newt. Terhadap Thomas Brodie-Sangster yang tidak pernah menua bagaikan kaum elf. Halah.

Sebelum merambah ke pokok bahasan, perlu saya katakan bahwa untuk kisah yang berkhianat dari original material sejak film kedua, The Scorch Trials (2015), keseluruhan trilogi The Maze Runner cukup menyenangkan meskipun tidak koheren. MMA, gitu. Medioker-Medioker Asyik. The general storyline is overused and considerably stale, many parts don't interweave well, some supposed-to-be answers are actually leaving us with more questions, but hey... the performance of the casts Thomas Brodie-Sangster and Lee Ki Hong is so good since the first movie and we can totally feel their strong bond and brotherhood between the Gladers so I guess it's kinda balancing out the minus factors? Ngomong-ngomong, saya sangat bersyukur The Death Cure dirilis hanya satu film, sebab jika dipecah jadi dua bagian layaknya Harry Potter and The Deathly Hallows, Breaking Dawn (yang mana saking kacaunya menyebabkan saya berak-ing di kala subuh), atau Mockingjay... sumpah saya mau ngamuk aja di Balaikota Jakarta ngejambakin rambut Gubernur incumbent.

Demi kelancaran pemahaman, saya rasa ada baiknya napak tilas dua film sebelum The Death Cure sejenak. Sekaligus mengingatkan diri sendiri bagaimana naik-turunnya emosi saya ketika berada di atas kursi dalam studio bioskop masa itu. Shall we start? We shall.

The Maze Runner (2014)

One of the most fun dystopian movie adaptations I've ever watch. It felt like watching a game on a big screenWell, at least the first two-thirds of the whole film was bomb. Thomas (diperankan Dylan O'Brien) siuman tanpa teringat apa pun tentang dirinya di sebuah tempat asing bernama Glade, yang dikelilingi tembok beton menjulang yang hanya terbuka di waktu-waktu tertentu. Thomas tidak sendirian, ada puluhan kaum berbatang lain―hingga kehadiran Teresa selaku cewek satu-satunya―yang tinggal di Glade karena mengalami kasus serupa: bangun-bangun sudah di sana dan tak punya ingatan masa lalu.

Pojok kiri dan pojok kanan sama gemesnya...

Melalui The Maze Runner, penonton diperkenalkan awal persahabatan Thomas, Newt, Frypan, dan Minho, serta konflik horizontal mereka dengan cowok super nyebelin nan sok yes bernama Gally―yang berlangsung hampir sepanjang durasi sampai dia ketusuk tombak. Long story short, film perdana ini berfokus tentang bagaimana mereka semua berupaya keluar dari Glade, melewati labirin berbahaya yang mengepungnya, sekaligus menjawab pertanyaan: siapa sebenarnya Thomas? Oh, ternyata dia (dan Teresa) merupakan pegawai organisasi bernama WCKD, yang mengontrol Glade dan labirin di sekelilingnya karena ternyata tempat itu merupakan lokasi penelitian. Iya, jadi lab rats-nya adalah Minho, Newt, dan kawan-kawan. Thomas dilempar ke Glade sebagai akibat perselisihan paham dengan WCKD. Well, okay. Whatever. But wait. Sebenarnya di dunia luar sana ada kejadian apa sih sehingga penghuni Glade harus menjalani hidup sebagai kelinci percobaan?

Untuk memperoleh jawaban... mari kita sambung ke film berikutnya.

The Scorch Trials (2015)

Setelah perjuangan keluar dari Glade yang memakan banyak korban hanya untuk mendapati bahwa mereka dikurung dalam labirin oleh sebuah institusi misterius, Thomas, Newt, Minho, dan sejumlah penghuni Glade mengetahui bahwa manusia berada di ambang kepunahan karena virus Flare. Well, if we already got Resident Evil deja vu from the mention of a not-so-good organization and virus outbreak that almost wipes out human race, here we are reminded of 28 Days Later because apparently those infected with Flare will become utterly aggressive, lose their senses, and turn to cannibalism. Orang-orang yang tertular Flare disebut Crank, namun mereka tidak sama dengan zombie karena masih berstatus hidup. The good part? They can be killed. The bad part? They can run. Mampus.

Sepanjang film The Scorch Trials, hanya ada beberapa peristiwa inti menempel di ingatan saya: Thomas dan rekan-rekannya berusaha lari dari kejaran WCKD, pengkhianatan Teresa yang ternyata memihak kepada WCKD, serta tertangkapnya Minho. Maybe this is just me, but The Scorch Trials didn't leave any impression at all as a movie unlike its prequel, The Maze Runner. Ya udah lewat aja gitu nggak ada kesan apa-apa, meskipun jauh lebih mending dibanding ketiga film Detergen... eh Divergent.

The Death Cure (2018)


Tiga tahun setelah The Scorch Trials, akhirnya The Death Cure dirilis. While The Maze Runner felt like watching a video game in movie theater and The Scorch Trials was tedious to the core, The Death Cure takes the course of a full-throttle action film and opens with pulling a Fast and Furious-like scene: stealing a train car using hijacked airplane. Sepanjang The Death Cure, tujuan utama―I even dare to say that it's the only mission―Thomas adalah menyelamatkan Minho yang tertangkap WCKD di penghujung The Scorch Trials. Pokoknya segala cara dihalalkan termasuk maling gerbong kereta dan pesawat militer.

Bye, kawan-kawan miskinku.

Sayang. Misi gagal. Padahal sudah capek-capek nguber kereta sampai mobilnya rusak. Gerbong kereta yang dirampas tim Thomas tidak membawa Minho di dalamnya. Justru pemeran Goo Junpyo di Boys Before Flowers Minho ada di gerbong berbeda. Nggak apa-apalah, yang penting dapet opening scene super badass yang bikin penonton melek dan duduk tegak di bangku masing-masing. 

Jelas, Thomas nggak puas. "Pokoknya kita harus nolongin Minho!" begitu prinsipnya, yang tentu saja ditentang oleh Vince sang pemimpin rombongan. Vince bete melihat Thomas kepedean, tidak menyadari betapa besar bahaya yang dihadapi serta risiko yang dipertaruhkan. Menghadapi WCKD dan membebaskan Minho bukan sekadar menggosok tutup gelas Frutang yang tinggal "Coba lagi" sesuka hati. Akhirnya malem-malem Thomas menyelinap keluar dari kamp darurat untuk pergi mencari Minho sendirian, walau ujung-ujungnya terpergok Newt dan Frypan sehingga mereka pun berangkat bertiga. Sehari kemudian, tim kecil Thomas bertambah dengan kedatangan Brenda dan Jorge, yang muncul tepat ketika mereka diserang sekelompok Cranks dan tidak bisa melarikan diri. 

"Gue tuh nyariinnya Minho, bukan elu..." 

Jadi, di mana Minho? Thomas menduga Minho dibawa ke Kota Terakhir, yang merupakan markas besar WCKD dengan tingkat pengamanan nomor wahid. Ya udah nekat aja disusul walau nggak ngerti gimana nanti cara menyelinap masuk dan keluar lagi. Pokoke mangkat sek, liyane pikir mburi. Ternyata di Kota Terakhir itu ada banyak sekali orang-orang semacam kaum pemberontak yang kerap menggelar protes pada WCKD. Ngadain aksi di depan gerbang utama. Teriak-teriak. Kayak demonstran Universitas Monas itu lah, cuma kayaknya mereka nggak peduli tanggal cantik boro-boro menggelar reuni. One chaotic event leads to another, and we find that our small rescue team is captured by some people with guns and balaclava which one of them turns out to be.. Gally. Okeee jadi tutup kaleng sarden dari film pertama ini ternyata belum mati. Cuma tobat aja. Gally yang sekarang sudah bukan Gally yang dulu lagi.

Singkat cerita, Gally mempertemukan rombongannya Thomas dengan bos kaum rebel. Mereka menjalin kesepakatan: Gally akan membantu mereka menembus keamanan markas WCKD asalkan dibalas imbalan antidote virus Flare. Rescue mission diawali dengan menculik Teresa, yang mana selaku karyawan WCKD pasti punya akses. Newt, Thomas, dan Gally menyamar sebagai personel sekuriti (nggak ngerti bisa dapet seragamnya dari mana) yang mengawal Teresa. Seperti tipikal film-film kebanyakan, aksi penyelamatan berjalan lancar―Gally bahkan berhasil membantu proses pengambilalihan kendali sistem keamanan WCKD―sampai mereka sadar bahwa Minho ternyata nggak ada di tempat anak-anak bahan percobaan laboratorium lain disekap. Capek deh. Alhasil, mereka pecah tim. Gally menggiring anak-anak ke tempat Brenda menanti sementara Newt mendampingi Thomas yang minta diantar Teresa menuju Minho.

Kota Terakhir yang dibangun WCKD.


Sampai titik ini, Newt mulai menunjukkan tanda-tanda terjangkit virus Flare. Ternyata dia nggak kebal terhadap penyakit itu. Nggak kayak Thomas dan Minho. Setelah drama lari-larian di sepanjang markas WCKD gara-gara kepergok Janson (diperankan Petyr Baelish Aidan Gillen)―om-om nyebelin yang kerjaannya nangkepin orang-orang dan anak-anak yang imun akan virus Flare untuk dijadikan bahan uji coba―, akhirnya Newt dan Thomas berhasil reunian dengan Minho. Sempat peluk-pelukan bro banget segala sebelum lagi-lagi kejar-kejaran sama tim sekuriti dan Janson. Terus dilanjut terjun ke kolam dari lantai 20 demi bisa kabur. Eh begitu berhasil keluar dari gedung markas WCKD, kelompok rebel yang sebelumnya bikin kesepakatan dengan Thomas justru sedang bikin kerusuhan besar dan mendobrak masuk ke dalam gerbang teritori WCKD, mentang-mentang sistem kendali sudah berhasil dikuasai.

Nggak ngerti deh sama logika orang-orang ini. Tadi ngapain bikin perjanjian sama Thomas kalau pada akhirnya cuma bakal jadi martir di tengah huru-hara? Meski di satu sisi, segala chaos dan riot tersebut membantu mengalihkan fokus dan perhatian security squad WCKD dari penyusupan geng Thomas, di saat yang sama mereka juga jadi gangguan melarikan diri karena bahaya peluru dan bom nyasar ada di mana-mana. Why are these people like this?? Kenapa kalian harus ngasih PR tambahan kepada mas-mas gantengku? Kondisi Newt makin parah dan butuh dikasih antidote segera, cuma masalahnya barang penting itu dibawa oleh salah satu anak yang bersama Brenda.


Seperti yang sudah saya takutkan (dan sebagaimana cerita di novelnya), Newt pun berubah menjadi Crank. Mas-mas manis favoritku... hiks. Hati saya robek sewaktu layar memperlihatkan Thomas memapah Newt sendirian, dan Newt yang menyadari bahwa riwayatnya sudah tiba di ujung jalan seperti cintanya Agnes Monica memohon kepada Thomas untuk membunuhnya saja sebelum kehilangan jati diri dan membahayakan orang lain.

"Please Tommy, please."
Saya: *berlinangan air mata di dalam bioskop sampai beler*

Apalah artinya happy ending kalau Minho, Newt, dan Thomas nggak bisa bareng-bareng lagi secara komplit kayak pas masih di dalam Glade? Lagi sedih-sedihnya setelah Newt mati, cewek bedebah bernama Teresa yang sempat-sempatnya nyolong sampel darah Thomas untuk diteliti justru ngomong pakai speaker ke seluruh penjuru kota bahwa darah Thomas adalah antivirus Flare karena sel-selnya mampu membunuh virus dan tidak sekadar memperlambat penularan. Thomas diminta menyerahkan diri ke WCKD demi menolong umat manusia. Ya Rabb kalau gitu ngapain harus nyekap segitu banyak anak-anak dan nyiksa Minho pakai segala macam percobaan? Solusinya toh cuma darahnya si Thomas. Pusing aing.

Thomas: jawaban segala permasalahan dunia.

Sampai mana tadi? Oh ya, Thomas balik lagi menghadap Dr. Ava Paige di WCKD dan dia minta agar anak-anak yang kebal terhadap virus Flare lainnya jangan disakiti. "Udah cukup gue aja, kan katanya penangkal penyakit global ini ada di darah gue," wanti-wanti Thomas, masih dengan pipi basah dan mata sembab gara-gara nangisin kepergian Newt―sebagaimana yang saya lakukan. Dokter Paige mengiyakan. Saya bernapas lega. Mengucap hamdalah dalam hati. Tinggal dikit lagi filmnya bubar... EBUSET SI DOKTER MALAH MATI DITEMBAK PETYR BAELISH JANSON YANG NONGOL TIBA-TIBA DARI BALIK PUNGGUNG. Thomas dibius sampai pingsan lalu ditangkep bagaikan nyamuk dalam lagu Cicak-Cicak di Dinding. Saya mulai emosi. Why are we back to square one???? After all these hours??? Are you fucking kidding me??? 

Sewaktu siuman, Thomas mendapati dirinya sudah berada di dalam lab bersama Janson dan Teresa yang sedang sibuk meracik antivirus dari darahnya. Usut punya usut, Janson punya rencana mengeruk keuntungan dari penangkal virus Flare. Memberikan akses obat hanya kepada orang-orang penting yang dia kehendaki. Di titik ini Teresa berbalik melawan Janson, melepaskan Thomas, kemudian kabur dari kejaran Janson dengan susah payah karena ternyata Thomas punya luka tembak di perut. Hadeh drama bener. Thank god Janson mokat setelah berhasil diumpankan ke sekelompok Cranks. Thomas dan Teresa lantas menuju atap gedung WCKD untuk menunggu pertolongan Jorge dan Brenda. Kondisinya Thomas udah parah gitu deh.. nggak sanggup jalan lagi, jatuh-jatuh melulu dipapah Teresa. Pokoknya tampak mengkhawatirkan dan YEEEE BANGSAT DI SAAT GENTING BEGINI NGAPAIN CIUMAN SEGALA SIH KALIAN?????

Emosik eke.

Asli gedek banget. Padahal si Thomas ngaku ke Newt kalau dia udah nggak ada perasaan apa-apa lagi sama Teresa, eh pas berasa nyaris metong teteeep aja disosor. Kamu udah bohong sama almarhum sahabatmu, Thomas!

Newt-ku sayang, udah mati masih juga didustai.

Alhamdulillah yaa Rabb Teresa ended up dead. Somehow after all she's done to my the boys, no matter how grey her character is, she doesn't deserve to survive this chaos. Lega hati ini menyaksikan Teresa jatuh ke puing-puing bangunan yang runtuh di momen-momen terakhir, tidak sempat ikut diselamatkan Jorge dan Brenda (bersama Minho, Gally, serta Frypan) yang datang menjemput dengan pesawat. Thomas, capek luar-dalam, kehilangan kesadaran―untuk yang kesekian kalinya sepanjang franchise ini―dan bangun-bangun sudah berada di safe haven bersama rombongan teman-temannya yang kebal terhadap virus Flare. Antidote bikinan Teresa masih tersimpan dalam kantong bajunya. Nggak dipakai. Film kelar.

IYE GITU DOANG.

*Berusaha terlihat tetap tabah.*

Film ini berhasil tidak bikin saya emosi sejak sepuluh menit awal sebagaimana Resident Evil: The Final Chapter walaupun setengah jam setelah keluar dari studio bioskop saya baru merasa goblok karena dipermainkan storyline compang-camping. The Death Cure feels exactly like the Gladers: suffering amnesia and ignoring whatever things happened before. Serakah, pula. The Death Cure berusaha memasukkan elemen perang, break-in-and-rescue, somewhat-zombie apocalypse dengan bumbu romance young adult tapi nggak ada yang terjalin manis satu sama lain. Ngapain sih WCKD repot-repot bikin proyek labirin, ngebiarin cowok-cowok di Glade pusing nyari jalan keluar sampai tiga tahunan, kejar-kejaran sama monster laba-laba beracun? Kenapa nggak sejak awal semua test subject diambil sampel darah untuk dipelajari dan dibiarkan hidup tenang―when at the end of the day they only need a blood sample to create the cure?

Sepanjang franchise, penonton dibuat yakin bahwa WCKD adalah organisasi raksasa yang berusaha nyari solusi permasalahan dunia dengan cara-cara jahat dan nggak manusiawi. Hence the rebellion and all those shits which lead to WCKD being destroyed. Ya nggak apa-apa. However, WCKD's argument saying that, "There has to be a cure for Flare virus and we will find it" is proven right in The Death Cure yet the antidote is not being used. TERUS BUAT APAAN ITU ANTIVIRUS DITEMUIN???? Duh mas...

"Sabar ya, Dek." - mas Newt.

For the sake of fairness I must admit that The Death Cure, as nonsense as it is, provides huge entertainment. The action scenes are properly done. Not too much exaggeration, clean enough to follow, but with fast enough pace to keep the audience focused. Nggak akan berasa bosen nontonnya. Minimal sampai adegan kepergian Newt ke Rahmatullah. Setelah itu sih bebas. Bodo amat. Several standouts from this movie, if I must say in details, are:

  1. Thomas Brodie-Sangster's performance as Newt. He feels so... real. Brave, strong, loyal, big-hearted, but also offers some vulnerability and human sides which makes his role even more lovable. He steals the whole movie. And steals one liter of my tears, too.
  2. The brotherhood between Thomas, Newt, and Minho. Nuff said. I think this one needs no longer explanation. Their bantering is unpretentiously funny, too.
  3. Brenda. Woooooh! Rosa Salazar―I swear to god, this is the most badass female name I've ever heard in the last ten years―kicks asses real good, she's far more memorable than that actress playing Teresa. You just want to root for her. You want her to succeed, to be alive. Padahal Brenda ini sama sekali nggak jago berantem atau apa. 

Secara keseluruhan, The Death Cure adalah film yang asyik ditonton di layar lebar. Asalkan nggak punya ekspektasi berlebihan. Apabila dianggap perlu, matikan dulu tombol logika dan kecerdasan di otak masing-masing kayak kalau mau nonton Detektif Conan versi movie. Sebagai penutup, saya akan menuliskan dialog favorit sepanjang The Death Cure, yakni ketika Minho bertemu Gally untuk pertama kali setelah sekian lama dan terheran-heran mengetahui Gally membantu misi penyelamatannya.

"But I put a spear on your chest!"
"Nobody's perfect, man."
z. d. imama

6 comments:

  1. Baca ini berasa kayak didongengin. :))))

    Aku suka sih yang The Death Cure ini. Kayak pengen nonton lagi. Aku sih suka si Thomas (karena mirip sama Logan Lerman #eh) tapi Minho juga sukaaaa. :'))))

    ReplyDelete
  2. pokoknya semua gara2 Thomas gak move on dari Teresa! Pria lemah! *dijambak kak Chika*

    sedih banget ih Newt nya mati, ku tak relaaaaa T_T

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mbak seriusan pas adegan cipokan itu ingin rasanya kulempari layar dengan wadah popcorn..

      Delete
  3. Waaah sepemikiran banget! Aku juga pas ending mikir TERUS GUNANYA KETEMU ANTIVIRUS BUAT APA WOY HAHAHA. Dan huhuhuu aku juga nangisin Newt udah kayak apaan, walaupun udah tahu nasibnya dia bakal gimana juga tetep aja tercabik-cabik hati ini pas dia bilang "please, Tommy" huhuhu.. Bromance mereka terlalu menyentuh hatiku, aku sampai bayangin gimana Thomas dan Minho berduka untuk Newt tapi masih harus berjuang aaargh.. Thank you reviewnyaaa suka sekaliii :')

    ReplyDelete