Monday, 29 January 2018

Eating Out Experience: Meatman Nikuo (Lunch Edition) and one more.

Monday, January 29, 2018 6

Who doesn't love lunch? Dari segala ritual makan tiga kali sehari yang jadi budaya banyak khalayak manusia, makan siang adalah satu-satunya sesi mengunyah yang sangat jarang dilewatkan orang. Bahkan berbagai pola diet pun nyaris tidak ada yang mengharamkan makan siang, meski banyak yang menganjurkan skip sarapan atau makan malam. Kali ini saya akan berbagi dua lokasi makan siang oke―berdasarkan benchmark penilaian pribadi―untuk dua kondisi dompet yang berbeda: saat sedang cukup punya duit, dan nggak terlalu punya duit. Keseimbangan hakiki. Berhubung standar tipikal milenial adalah berfoya-foya dahulu berpusing-pusing kemudian, saya mula-mula akan berbagi lunch recommendation ketika dompet masih lumayan tebal. Tempat itu tak lain dan tak bukan adalah:

Meatman Nikuo.

I guess no surprise there. Papan tandanya memang sudah terpapar mentereng di awal postingan. Placed in a small alley behind a work building, Meatman Nikuo indeed feels like a hidden gem, even more so because it doesn't have much decorations from the outside and no sign of restaurant around the building's perimeter. Namun begitu tiba di lorong yang benar dan menyusuri sepanjang jalan, mata akan disambut oleh sepetak dinding hitam pekat berhias lentera dan ornamen kayu gantung bertuliskan menu-menu yang disajikan, serta sebuah pintu geser dari kayu khas bangunan Jepang.

Ada jendela yang memperlihatkan sepintas kondisi dapur Meatman Nikuo

Pintu masuk Meatman Nikuo. Papan kuning di bawah bertuliskan "We're Open"

Sebagaimana restoran Jepang otentik pada umumnya, Meatman Nikuo menyajikan menu spesial yang hanya bisa dinikmati saat jam makan siang khusus di hari itu saja. Lunch set of the day ini disebut Higawari, dan setiap harinya dihidangkan menu berbeda. Nggak bisa milih, sih. Tapi ya gitu. Apa yang kita dapat hari ini tidak sama dengan yang akan kita dapat besok lusa kalau datang berkunjung lagi. Menarik, kan. Coba sebulan penuh makan siang pakai Higawari-nya Meatman Nikuo, barangkali bisa hapal permainan kombinasi menu dalam special lunch set mereka.

Saya lupa tidak memotret daftar kombinasi menu lunch set of the day pada saat mengunjungi Meatman Nikuo bersama teman saya, mbak Ika, hanya saja penampilan makan siang kami berdua hari itu seperti ini:

That looks way better than my food for the past month. (Picture by mbak Ika)

Berhubung detil menu Higawari siang itu lupa tidak difoto, saya akan mencoba menjabarkan semampunya masakan-masakan yang termasuk ke dalam lunch set. Sebagaimana yang terlihat pada gambar di atas, paket terdiri dari nasi putih, tiga main side dishes alias lauk utama, satu mini salad, dan tiga small side dishes termasuk sup miso. Masih bonus ocha (free refill) dan complementary after meal coffee. Lengkap bener kayak kamus edisi revisi.

Small side dishes ada di lajur bawah, terdiri dari sup wakame miso (tahu wakame kan, itu lho salah satu jenis rumput laut yang cukup populer), vegetable pickles a.k.a asinan sayuran, dan sepotong tori baitan, bakso ayam dengan sedikit taburan daun bawang. Nggak ada yang nggak enak. Mau nangis ya Rabb. Baksonya pun masih ada tekstur jelas daging cincang yang menyenangkan ketika digigit. Mini salad yang disajikan lumayan beragam isi sayur-mayur di dalamnya. Bahkan ada brokoli, bawang merah, hingga lobak merah diiris tipis-tipis segala. Bukan sekadar kol dan wortel dimayonesin macam punya Hoba-Hoba Kento.

Saya bisa menyebutkan ini ikan apa, Pak Jokowi! (Picture also by mbak Ika)

Moving on to the three main side dishes. Pertama-tama adalah saba shioyaki (atau salt-grilled mackerel) dengan didampingi tumisan sayur-mayur di bawahnya dan dilengkapi oleh daikon oroshi―parutan lobak. Ikan mackerel-nya enak, tetapi berhubung rasa asin dari garam cukup kentara sehingga memang disarankan untuk dimakan bersama nasi sebagaimana mestinya. Jangan dicemilin duluan atau belakangan. Saba shioyaki di Meatman Nikuo adalah lauk yang kenikmatan sejati baru mampu dirasakan bila didampingi nasi.

The most surprising dishes of all three. (Picture still by mbak Ika) 

Masakan yang paling bikin kaget. Sumpah. Saya mengerti dan mengakui bahwa tahu adalah bahan makanan enak, tapi nggak menyangka bahwa bisa kayak gini tingkat kelezatannya (halah). No, seriously. The dishes posted up there was The Bomb™. Semacam menyesal tidak menginvestigasi lebih lanjut apa nama menunya sehingga barangkali lain waktu bisa memesan lagi versi porsi utuh. Tahunya saat digigit lembuuuuut banget bagaikan akhlak nabi dan bumbu yang tidak overwhelming (barangkali malah cuma shoyu atau saus tiram) menyebabkan rasa asli dari bahan-bahan makanan yang dipergunakan bisa terasa seluruhnya. Tumisan jamur enoki yang jadi pendamping betul-betul jadi penyeimbang yang pas. Sumpah berasa mau nambah porsi.

 Raw fish!!!! FTW!!!1!!!! (Picture by mbak Ika.. again)

Mendapatkan maguro (tuna) mentah yang diberi sedikit aksen rasa dengan shoyu, irisan halus nori, potongan daun bawang, dan telur puyuh tentu membuat saya bersemangat. Apalagi daging tuna yang disajikan tidak berbau amis. Saya yang pada dasarnya doyan sushi dan sashimi, bahkan terbilang lumayan kalap dengan liar jika berhadapan dengan mereka termasuk nigirisushi―sushi ber-topping potongan ikan mentah yang dibentuk dengan tangan oleh chef-nya―segera melahap habis semuanya. Tandas tanpa sisa.

Segala kenikmatan duniawi terpapar di atas ternyata hanya menimbulkan financial damage sebesar Rp98,175 dengan rincian harga Higawari Rp85,000 ditambah pajak serta service charge. Tidak terlalu bikin bangkrut, sekalipun untuk jelata sekelas saya. Nikuo Meatman bisa ditemukan di Summitmas I Building (di luar gedung, berjajar dengan Kantor Pos Indonesia cabang Summitmas), Jalan Jenderal Sudirman Kav. 61-62, Jakarta Selatan. Buka setiap hari dengan jam operasi berbeda-beda. Untuk hari Senin - Sabtu: 11:30 - 14:30 & 17:30 - 22:00, sementara khusus hari Minggu 14:30 - 22:00. Jika ada di antara kalian yang pernah menyambangi Meatman Nikuo juga dan punya rekomendasi menu, silakan tulis di kolom komentar yah.

Sekarang mari memasuki babak kedua postingan ini. Kira-kira bisa makan enak di mana ketika tidak terlalu punya uang? Saat budget makan siang tidak boleh melebihi Rp50,000―bahkan diusahakan jangan sampai Rp35,000―tetapi tidak mau makan di warung demi memperbaiki mood? Sini, saya bagi informasi mengenai escape point pribadi.

Kios masakan ikan patin.

Terletak di kantin basement Menara Sudirman, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 60, Jakarta Selatan yang akhir tahun lalu baru selesai direnovasi. Tinggal masuk ke lobi Menara Sudirman, turun satu lantai menuju kantin basement melalui tangga di samping ATM kemudian berjalan lurus ke bagian agak dalam hingga menemui lapak seperti ini:

Kamera HP saya jelek jadi cahaya lampunya pecah.

Namanya juga khusus masakan ikan patin, dagangan yang ditawarkan berkisar di variasi olahan ikan patin. Ada patin bakar, pindang patin, dan patin asam pedas. Paket satu porsi terdiri dari nasi (boleh memilih nasi putih atau merah), ikan patin, serta sambal pelengkap berupa sambal kecap dan sambal mangga muda. Bumbunya tidak terlalu pekat, sehingga barangkali bagi manusia-manusia yang kurang suka ditonjok garam maupun rempah berlebih kayak saya, masakan ini terbilang bersahabat di lidah.

Harga? Saat ini Rp28,000, setelah beberapa kali mengalami inflasi. Ketika saya pertama kali membeli, satu paket ikan patin masih dibanderol Rp25,000. Selang beberapa waktu naik menjadi Rp26,000 sebelum akhirnya berubah lagi ke harga yang sekarang, setelah kantin Menara Sudirman selesai renovasi. Masih cukup terjangkau kan? Terlebih jika mengingat ikan-ikan patin di kios ini gembrot-gembrot bukan main sampai saya yakin pasti mereka semua pernah jadi korban body-shaming oleh sesama ikan lain saat masih di dalam kolam, value for money-nya menurut saya lumayan oke kok.

Kalian pernah mencoba makan siang di mana yang berkesan?

z. d. imama

Sunday, 21 January 2018

ONE OK ROCK Ambitions Asia Tour in Singapore 2018: a concert rants and review

Sunday, January 21, 2018 9

Ibadah yang dinanti-nantikan sejak kuartal akhir tahun 2017 akhirnya telah selesai saya tunaikan. Alhamdulillah ya Rabbi. 20 Januari 2018 kemarin, saya merupakan salah satu di antara ribuan orang lain yang hadir menyaksikan konser ONE OK ROCK Ambitions Asia Tour Live in Singapore, di Singapore Indoor Stadium. Man, last night was such an intense shit... even though it could be much, much, more intense. Frankly speaking. Baiklah, sebelum saya mulai terdengar seperti seonggok fans tidak tahu diri dan tidak mengenal bersyukur, mula-mula izinkan saya untuk curhat dan fangirling dan berceloteh panjang lebar mengenai apa-apa saja yang terjadi pada malam puncak eksekusi misi Mengejar Mas-Mas season perdana yang bersejarah ini. Urusan nggresulo (a.k.a menggerutu) serta mengungkapkan rasa kurang puas bisa disusul belakangan. But if anything, attending Ambitions Asia Tour Live in Singapore makes me wanna go all the way and see ONE OK ROCK concert in their home base: Japan.

Entah apakah ini disebabkan faktor karakter crowd atau budaya masyarakat suatu negara, tapi jika di Indonesia antrian sudah terbentuk sejak pagi-pagi sekali (padahal konsernya malem hari), Singapura terbilang cukup selow. Menjenguk venue di pagi hari cuma bakal buang-buang waktu dan tenaga. Nggak ada apa-apa! Booth merchandise dibuka mulai pukul 14:00 waktu setempat dan antrian masuk tiket kelas standing dimulai sekitar jam 17:00 (pokoknya udah sore), masih dibagi-bagi jamnya untuk beberapa kategori nomor. How cool. Pesaing berat tampaknya ya cuma Yapan, yang mana hadirin konser rata-rata membentuk antrian hanya sekitar 90 menit sebelum jam pertunjukan mulai daaaaan acaranya tetap berjalan sesuai jadwal. Military precision level of shit.

Bukti sudah beribadah.

Saya sendiri masuk ke stadium jam 18:30, setelah membeli merchandise idaman (plus titipan) dan puas berkeliling kota naik MRT yang ternyata jalurnya gampang banget buat dihapalin. Penonton yang sudah masuk dan duduk di posisi masing-masing―saya beli tiket tribun―masih terbilang sedikit, sehingga ada kesempatan memotret venue dari entrance gate sebelum penuh terhalang kepala-kepala orang yang lalu-lalang. Oh ya, berhubung nggak boleh membawa makanan dan minuman dari luar, penonton yang haus bisa beli mulai dari air mineral hingga bir di refreshment stall untuk dibawa masuk ke lokasi konser. Asyik, kan. Kuliner haram always to the rescue.

Jam di ponsel saya menunjukkan angka 20:15 ketika lampu venue dipadamkan. Penonton bersorak. Saya berteriak. Mati-matian berusaha menahan diri agar nggak pingsan nggeblak. It's real. This is real. Holy hell. Oh god the spotlights are so pretty even though I still can't see anybody on stage... damn, Ambitions -introduction- instrumental and Bombs away's intro feel really majestic when played in a big place like this w-w-w-wait is that Taka coming up

"This is the end of you and me..."

I'M DEAD. Hingga saya benar-benar menyaksikan dengan mata kepala sendiri sosok Toru, Taka, Ryota, dan Tomoya di atas panggung dan ditampilkan di layar besar pada sisi kanan-kiri panggung, kenyataan bahwa saya sedang di tengah konser ONE OK ROCK belum benar-benar klik 100%. And in that moment, I was floored; pinned down by immense disbelief, giddy with excitement and happiness.

Their look that night. (Official documentary by JulenPhoto.)

Setlist yang dibawakan ternyata sama persis dengan ONE OK ROCK Live in Bangkok beberapa hari sebelumnya, yang sudah dituliskan di sini. Sehingga saya putuskan untuk menceritakan lagu per lagu karena ada hal-hal random terjadi sepanjang konser (sekaligus menumpahkan gejolak hormonal a la fangirl dari diri ini) yang terlalu sayang untuk terlupakan seiring berlalunya waktu. This concert rants and review will be unbelievably long, so brace yourself.

  • M1. Ambitions -instrumental- + Bombs away (english version)
Jika Ambitions -instrumental- dimulai dengan pemadaman lampu venue, menyalanya lighting panggung, yang mana disambut dengan sorakan khalayak dan jeritan saya, maka Bombs away dibuka dengan Taka yang merangsek ke tengah panggung, main screen menampilkan gambar gelombang suara (tahu kan, yang kayak sandi rumput itu), dan layar besar di kanan-kiri panggung menayangkan jemari tangan Toru di atas gitar secara closeup. Saya ulangi: tangan Toru yang lagi main gitar secara closeup. Langsung lemes dengkul beta.

Singalong? Oh, yes. SO FUCKING YES. Bahkan sebelum pulih dari initial shock and disbelief, bagaikan refleks alamiah mulut saya sudah bergerak, turut menyanyikan lirik demi lirik bersama Taka meskipun saya tetap keukeuh singalong pakai lirik versi album rilisan Jepang di verse kedua. Bodo amat. Taka aja sempat rada lupa yang versi Inggris. Geblek bener. Well, I cannot blame him thoughAfter all, "Tsukeiru subenaku tada tachisukushita, sakebu koe munashiku to fade to black" is far more impressive and heartfelt than "Can you open up my eyes let me see what I've become, can you cover up my scars everyone". Tapi ya sudahlah. No matter which version of their song was sung, ONE OK ROCK sounded awesome from the get-go. Tick tick tock and it's bombs away!

  • M2. Deeper Deeper
Tanpa jeda dan tanpa ba-bi-bu, setelah Bombs away berakhir, side screen langsung fokus menyorot tangan Ryota dan Toru seiring intro Deeper Deeper memenuhi ruangan (saya berusaha keras agar tidak mimisan di sini). Taka berdehem dua kali dan terdengarlah raungan legendaris itu. The whole stadium went insane in an instant. I shit you not. Everyone was like, "YAAAAAAAAAAAASSSSS!!!" and I saw hands up everywhere, the audiences were busy jumping up and downYou folks are awesome crowd, I swearTo this second I still get chills running along my spine remembering how everybody―I mean it when I write EVERYBODY―sang the bridge "We never, we never, we will not stop right here WE NEVER, WE NEVER, WE WILL NOT STOP RIGHT HERE" together, very loud and clear.

This man is hot like hell and I'll voluntarily get burned. (Official documentary by JulenPhoto.)

But the moment that made me so close to death from bursting heart was when the chorus "The deep deep deeper we go" came and TORU WAS SPINNING WITH ONE LEG UP AT THE CENTER OF THE STAGE oh lord that move is fucking real I finally see it with my own eyes. Damn those long legs. Yamashita Toru is a dangerous man, indeed. Dia nunduk main gitar sambil godek-godekin kepala aja kerennya nggak ketulungan. Kayaknya setelah konser kelar saya perlu beli testpack. Siapa tahu positif hamil cuma gara-gara berada dalam satu ruangan dengan Toru selama 100 menit.

  • M3. Taking Off (english version)
"Realizing everything I love is slowly killing me..." oh yes Taka you are soooo killing me. Padahal ini baru lagu ketiga (yang mana lagi-lagi saya singalong menggunakan lirik bahasa Jepang pada verse kedua). Drag me all the way to hell, ONE OK ROCK. I won't ever refuse. In fact, I'll be gladly stuck in the same routine and living in an empty dream if when I'm wake up you're right in front of me just like this.

  • M4. Cry Out (35xxxv Deluxe album edition)
I'm fucked. For real. There, I said it. Cry Out is a mid-tempo song which is considerably calmer than, let's say, the previously performed Deeper Deeper.. until Toru screamed "Voices all arooound! Cause we're going doooown!" with his deeper-than-Mariana-trench voice and I almost came in my pants. Bless whoever set up his microphone last night because it was megaloud; his harmonization and back-up singing were all crystal clear. Tolong ya mas Toru, bisa lah itu dikondisikan sedikit kadar kerennya. Jangan kayak gini, nggak baik untuk kesehatan saya dan sesama fangirl lain.

Red lights suit ONE OK ROCK the best. (Source here.)

Seusai Cry Out, ada sesi ngobrol-ngobrol sejenak yang dimulai dari Ryota. Sempat hening beberapa saat karena Ryota agak grogi sekaligus terbata-bata gitu. Gemes. Ice breaking banget gara-gara banyak penonton ketawa dan akhirnya rame-rame ngasih sorakan penyemangat. They all spoke in English. Taka bilang, ini keempat kalinya mereka datang ke Singapura (and inwardly I thought, "Makanya elu gantian mampir Indonesia lagi kek! Baru sekali kan?") tapi sambutannya tambah meriah dari tahun ke tahun. That dude sure loves to insert 'fucking' in his speech, though. Wis mbuh lah semalem ada berapa kali Taka ngomong, "Are you fucking ready for this???" atau "You guys know you're fucking great, huh?"

Good luck deh buat para orang tua yang ngajakin anak-anaknya nonton konser ONE OK ROCK. Minimal dapet PR dari Taka untuk menjelaskan kenapa musisi idola mereka demen misuh-misuh di live show sendiri.

  • M5. Re:make
Lagu kedua dari album lawas selain Cry Out. It was incredibly nice to hear something from 残響リファレンス (Zankyou Reference) because the album is lit. Hands downAnd finally―FREAKING FINALLY―we could hear Japanese verses making their way out smoothly from Taka's lips. ONE OK ROCK with Japanese lyrics gave me unexplainable emotions, and whilst this might be just my own imagination clouded with biased judgment, they somehow sounded far more in their element. Shouting "Another day, another way!!" with thousands of people after Taka's "I'd see you" was beyond satisfying.

Tomoya was just there being... Tomoya. (Official documentary by JulenPhoto.)

Sekte rambut pirang. (Official documentary by JulenPhoto.)

  • M6. Clock Strikes
After Re:make, Clock Strikes from 人生x僕= (Jinsei Kakete Boku wa) began. Sayangnya kali ini Taka nggak melakukan gestur jarum detik jam yang memorable itu. Tau dah kenapa. Barangkali lupa. Mungkin juga tidak sempat mengangkat lengan karena lagunya memang di-medley rapet banget kayak KRL Jabodetabek pas rush hours. Atau emang lagi males aja huhuhu... suuzon abis. Clock Strikes without that move won't feel the same, after all.

However, despite the early dejection, Clock Strikes still left me speechless and trembling all over because the crowd (including me) switched on their phone lights and waved their hands during the bridge, chanting "Woooow oooh oooh ooooh" endlessly until Tomoya's drum kicked in again―after Taka showed off his vocal capability with a long-ass "Believe that time is always foreveeeer woooh aaaaaaaaaaaaaaaaah"My heart soared high to heaven and back. What a precious moment. I will keep this memory till the end.

  • M7. Bedroom Warfare (english version) 
Lagu ngewe internasional. Pardon my language but that is true so what else could I say??? The mood change in the venue was incredible, really. Suasana setengah sendu sebagai efek samping dari Clock Strikes dalam sekejap berubah panas―to say the least―dengan vokal Taka yang agak-agak whispery di bagian verse. Cherry on top: they finished up Bedroom Warfare with a jamming session... which once again brought the cameras into focus on Toru and Ryota's hands and Tomoya's drummingBye-bye my sanity. Nice to know you all these years.

  • M8. Wherever you are
Finally a song from ONE OK ROCK Starter Kit. I'm kidding... not. Saya percaya lagu ini adalah salah satu tersangka utama yang menyebabkan banyak orang kejeblos fandom ONE OK ROCK. Termasuk saya sendiri. Everyone was singing along while waving their hands again, of course with phone lights switched on. Sampai di titik ini, saya nangis dihempas tsunami emosi. Akhirnya baper yang diderita sudah tak bisa terbendung.

Cahaya warna-warni berkat bantuan stiker glow in the dark Daiso yang dibagi-bagikan fans secara berantai di antrian pintu masuk.
(Official documentary by JulenPhoto
.)

Have I told you that Morita Takahiro sounded awesome live? Even more impressive than the recording? If I had, then I'll gladly say it again: MORITA TAKAHIRO IS ONE HELL OF A VOCALIST. How he manages to sound dark and intense but next goes smooth and calming never fails to awe me. Thank you Yamashita Toru for being a headstrong, annoying fucker because without your persistence we wouldn't have Taka in ONE OK ROCK.

  • M9. One Way Ticket (english version)
Seolah-olah belum cukup mengubah Singapore Indoor Stadium jadi beratmosfir mellow, ONE OK ROCK menghantam lagi dengan One Way Ticket. Terus terang ini bukan track favorit saya di album Ambitions, apalagi jika dibandingkan lagu-lagu dari album sebelumnya. One Way Ticket as a recorded song is mediocre at best, but when it is sung live... for the love of god, it's beautiful. Toru's guitar intro even got new arrangement and it was Brilliant with a capital B. I love it. I freaking love it. It was a nice, surprising touch.

  • M10. Instrumental break
I don't care what you say but this instrumental break was absolutely the most dangerous session for my both physical and psychological health. Sementara Taka menghilang sejenak untuk istirahat dan minum, Ryota, Toru, dan Tomoya mendapat kesempatan unjuk gigi kedua setelah jamming session pasca Bedroom Warfare. I should tell y'all that Toru, with all his glory, clad in his drenched-in-sweat tanktops, was on the main screen for approximately 30 seconds long in total and I nearly fainted from the heat he emanated.

Mas Toru mohon pesonanya yang nggak sopan itu agak ditertibkan!!! Aku tuh nggak bisa diginiin terus-terusan!!! Capek??!!!

I'M. SO. SCREWED. (Source here.)


Kewarasan kini hanya mitos belaka. (Official documentary by JulenPhoto.)

  • M11. Bon Voyage (english version)
Yes yes yes YEEEEEEEES. Fucking finally. Bon Voyage was one of a few tracks from Ambitions album which stole my heart since the first listen―the other ones are Bombs away and We Are. I squealed like a mad girl as I saw Taka, Ryota, and Toru lined up on stage and did a short, simple dance together; spinning around and headbanging in sync. Three steps forward, three steps back, pirouette, a little headbang, repeat. Damn, that bit was pure gold.

Terus Taka lagi-lagi lupa lirik, dong. Kedua kalinya dalam semalam. Gemes anjir. He forgot the "In all these memories we know this die, nothing but memories" part and tried to hide it with incoherent mumbles because I'm sure the one he remembers by heart is "Netsu ga futatsu wo hikiawase, samete shimaeba" just like I do. It's alright, Taka. We still love you.

  • M12. I was King (english version)
Duh Gusti Nu Agung.. intro I was King versi rekaman CD aja udah bikin merinding saking berasa anthemic. Hearing it live was making me stunned. And the second Taka stopped singing so everyone could go all out like a choir with continuous "If I go down I will go down fighting, I'll go down, down like lightning" brought me to happy tearsYou guys are still king, by the way. You reign strong.

Berapa pun upetimu akan kubayar. (Source here.)

  • M13. Take What You Want (english version)
This was where Taka showed off his "true" vocal skill. Aslinya sejak awal konser dia memang sudah terdengar seperti keturunan dewa rock jejepangan―if that kind of thing does exist―but in Take What You Want he went a capella for the chorus. It was a deafening silence, decorated with occasional screams of "Takaaaaaa!!!" and one loud, shameless request of "Continue pleeeeease????" coming from my back―which of course, provoked giggles here and there―before Taka belted out, "Can you hear meee?? I'm trying to hear you, silence strikes like a hurricaaaaane" in perfect pitch and successfully sent goosebumps all over my body.

The surprise didn't end there because as Take What You Want ended and everyone cheered, clapped, and even whistled, Taka stood upright on his mini podium, looked around for a sec and then HE MADE A SHAPE OF HEART WITH BOTH HANDS oh dear Lord I cried again. The crowd immediately returned the gesture; I could see heart-shaped hands on the air everywhere and it warmed my chest like a bonfire. Kita semua juga sayang kamu, mas. Sumpah. You guys are the sole reason why we all gathered here.

Taka's heart gesture from the big screen. (Source here.)

Clearer shot of the said phenomenal moment. (Official decumentary by JulenPhoto.)

Aw man, baper intensified. Nulis postingan ini saja mata saya sudah mulai berair lagi. Kayaknya separuh jiwa saya masih ketinggalan di dalam Singapore Indoor Stadium dan belum bersedia dideportasi pulang.

  • M14. The Beginning
"Don't worry, it's safe right here in my arms..." Another ONE OK ROCK Starter Kit. Chosen for 2012's Rurouni Kenshin: Meiji Kenkaku Romantan's theme song, The Beginning sure became many people's entrance gate to the fandom. Orang-orang langsung berjingkrak heboh saat gebukan drum mulai menghentak dan Taka meraung, "Take my haaaaaand and bring me baaaaack yeah!"

You give me a reason to keep my heart beating, you know. Thank you for that. Sepanjang The Beginning, singalong game amat sangat stronk. Beberapa kali Taka berhenti nyanyi dan membiarkan penonton menyahut lantang sembari lonjak-lonjak, "So stand up, stand up, just wanna keep it, I wanna wake up, wake up, just tell me how I can never give up" seolah-olah malam itu adalah pertunjukan kolaborasi antara ONE OK ROCK dengan penggemar mereka.

  • M15. Mighty Long Fall (35xxxv Deluxe edition)
It was red. RED ALL OVER. If Wherever you are and Take What You Want are heartwarming, then The Beginning is a buildup and Mighty Long Fall is the scorching hot volcano. Every time the guitar riffs came, both screen showed Toru's skillful hands in extra closeup and I had to remind myself for the umpteenth time to buy a testpack later after show just to make sure I'm not impregnated. Also, I know I've been saying how great was the crowd last night, but the "Woooo oooh" from audience following "Don't goooo it's a mighty long fall when you thought love was the top" was almost too passionate to take. Anjir lah bikin merinding banget pokoknya.

It's a wake-up call, fellas. (Official documentary by JulenPhoto.)

DON'T GO, GUYS. DON'T YOU EVER GO. (Official documentary by JulenPhoto.)

The crowd even successfully pulled off a few circle/mosh pits and wall of death as instructed by Taka, even if the security guards tried so hard to stop us. Lmao. During Mighty Long Fall even three guards were attempting to stop mosh pits from happening―due to security concerns, I knowbut if a circle got cancelled, people started making it in another area. Ngehek, memang. Tapi ya gimana lagi... Taka wanted mosh pits and walls of death! Para penonton sebagai hamba-hambanya harus nurutin, dong.

  • M16. We Are (english version)
Freaking heavenly. Taka did not sing the first verse at all; it was the crowd's job. Keputusan bijak sih sebenarnya, karena di bait kedua verse awal Taka lagi-lagi lupa lirik versi bahasa Inggris. Paham kok, mas. Why sing "They think we are made up of all our failures, they think we are foolish and that's how the story goes" when you can totally have "Yume wa owari me wo samasu toki, zetsubou ya kibou mo douji ni me wo samashita"?

Setelah We Are usai digeber, seluruh personel ONE OK ROCK keluar panggung satu per satu. But the fans were having none of it so we shouted, "Encore! Encore! Encore!" and called out each of their name until everyone stepped back on stage. Enak aja mau nyuruh bubar sekarang. Balik naik panggung, sini! Kita semua tahu pas Live in Bangkok masih ada dua lagu lagi.

  • ENCORE: M17. American Girls
Saya sendiri nggak peduli-peduli amat dengan American Girls karena lebih B-rated dibandingkan One Way Ticket, namun sewaktu Taka mengubah lirik chorus menjadi "Come on, break my heart you Singapore girls", saya yang bahkan sama sekali bukan orang Singapura ikut menjerit histeris. Berasa turut kegeeran padahal nggak disepik gebetan.

Taka gondrong lagi. (Official documentary by JulenPhoto.)

Emang dasar Taka suka iseng, ya. Selesai membawakan American Girls―yang mana tentu saja disambut gemuruh tepuk tangan plus sorakan riuh penonton―Taka justru bersikap seolah-olah sambutan untuk encore nggak kedengaran, kurang gahar, dan berlagak mengajak rekan-rekannya balik masuk backstage lagi. Kampret. Tomoya bahkan sempat mengeluarkan tampang, "Lho kita beneran cuma segini nih?" lalu bangkit dari kursinya di belakang drum, menyusul Ryota dan Toru yang mulai bergerak ke tepi panggung. Begitu Tomoya berdiri akibat termakan hoax, Taka sambil cengar-cengir buru-buru menggoyangkan tangan, memberi gestur "Nggak kok, nggak kok" dan menyuruh semua member balik ke posisi semula.

Sempat ada sesi ngobrol sebentar, yang dimanfaatkan Taka untuk ngasih informasi bahwa ONE OK ROCK sebentar lagi akan merilis album baru dan bikin Asia Tour berikutnya. Nice info, gan. Hanya saja yang bikin saya kesel terkena PHP 100% adalah sebelum Taka ngomong, Ryota, Tomoya, dan Toru sempat memainkan intro Let's take it Someday yang jelas bikin saya kepedean menduga-duga. "EH MASA SIH MAU BAWAIN LET'S TAKE IT SOMEDAY??? BOHONG???" Lah, emang beneran dibohongin. Curut semua elu-elu pada.

  • ENCORE: M18. 完全感覚Dreamer (Kanzen Kankaku Dreamer)
Lagu pamungkas yang menutup penampilan ONE OK ROCK malam itu, sekaligus track kedua dari album Niche Syndrome (b-b-but I wanted you guys to perform Liar so bad). Everyone brought up their last spurt of wildness, jumping up and down like crazy, and sang along together from the top of our lungs because we knew that this was truly the end of our party. Oh, how we wanted to not let this night end here because we didn't get it enough...

I'll be out here waiting for the next chance we get to meet. (Official documentary by JulenPhoto.)

After the booming applause and roaring cheers ended (yang berlangsung selama enam alif saking panjangnya), all members bowed to us and waved their hands. Toru, Ryota, dan Tomoya sibuk bagi-bagi suvenir tambahan: melemparkan pick dan stik drum yang mereka pakai sepanjang konser ke arah penonton. Tahu nggak apa yang dikerjakan Taka pada saat itu? Bikin rekaman video pakai HP dia sendiri untuk di-upload ke Instagram.

Saya aja nggak sempat rekam-rekam apa pun saking khusyuk beribadah??
(Not mine, but can't track back the source. Sorry.)

Then of course, it was time to gather up and pose for the mandatory group shot.

You won't be able to spot me but I swear I was there I was witnessing it all.
(Official documentary by JulenPhoto.)

WHAT. A. NIGHT

Oke, mungkin memang saya sedikit pundung gara-gara sempat terperosok PHP intro Let's take it Someday ditambah kenyataan nggak ada cukup banyak lagu-lagu lawas yang dibawakan, sesi interaksi yang terlalu sedikit, serta mengetahui bahwa konser di Singapura nggak pakai stage extension―itu lho panggung tambahan yang menjorok panjang ke depan―padahal pas di Bangkok dibikinin. Yet despite all those unimportant, selfish complaints, last night was a total blast, one of the best time I've ever experienced all these years I've been living. Saya juga yakin, Taka minimal skincare-nya pakai serentengan produk SK-II. Sebab demi segala Gusti yang pernah disembah umat manusia, itu kulit muka bener-bener kelihatan kayak pantat bayi. Lembut, bening, enyoy-enyoy.

Tapi bahkan di mata saya, gemes-gemesnya Taka tetep nggak sanggup mengalahkan kedahsyatan pesona aura Yamashita Toru sang gitaris. Kacau. Toru ini udah macem biohazard. Dia cukup berdiri santai rada ngangkang sambil konsentrasi main gitar, maka secara otomatis testosteronnya seolah luber ke mana-mana nggak terkendali. Belum lagi kalau dese mulai headbang. Atau jejingkrakan. Nendang-nendang kaki ke udara. Nge-backup vokal di sejumlah bagian lagu dengan power max 100% sampai-sampai liurnya Japanese holy water muncrat-muncrat laksana hujan lokal. Menyambar mikrofon dan berseru, "See you guys, thank you!!!" sesaat sebelum keluar panggung. Aduh, mak. Berasa banjir bandang itu testosteron ke segala arah. Bahaya. Lantas apa yang saya lakukan? Oh jelas. Secara suka rela, saya tergopoh-gopoh sibuk ngepel dan ngelapin tumpahannya sepanjang konser.

What else did you expect?

ONE OK ROCK nggak mampir Indonesia pasti gara-gara Toru gagal lolos sertifikasi halal MUI.
(Official documentary by JulenPhoto.)

See you again, ONE OK ROCK. Hopefully within months instead of years. Terima kasih sudah menjadikan hidup saya yang jomblo ini jauh lebih colorful. Semoga album baru kalian yang katanya 'coming soon'  bakal lebih mengesankan dan nggak segenerik Ambitions. Saya janji, akan ada misi Mengejar Mas-Mas season berikutnya.

z. d. imama

*P.S.: Rangkaian kisah Mengejar Mas-Mas edisi sebelumnya bisa disimak di sini dan di sini. Baca sekalian dong biar afdol.

Saturday, 20 January 2018

My ambitious journey to "Ambitions"

Saturday, January 20, 2018 0

Mengejar Mas-Mas

Kira-kira itu judul yang paling tepat disematkan ke kisah perjalanan saya terpontang-panting memperjuangkan hasrat dan harapan menyaksikan konser ONE OK ROCK Live in Singapore 2018 yang diselenggarakan 20 Januari 2018 di Singapore Indoor Stadium. Bagi milenial gembel macam saya, ini proyek besar yang tak bisa dipandang sebelah mata. Girls be ambitious! And damn it was intense. The preparation and all that shit.

Drama mendapatkan tiket konser sudah pernah saya kisahkan sebelumnya. Coba baca di sini deh. Sayang sekali, kehebohan tidak berhenti di situ (and because this is me we're talking about, of course we have to include several dosage of stupidity). Kita semua tahu bahwa Singapura tidak bisa ditempuh dengan berenang dari Jakarta, sehingga mau tak mau saya harus memesan tiket transportasi udara―a.k.a pesawat―dengan rute SHIA - Changi. Kalau saya ke gebetan itu dikacangin.

Iya, garing. Maaf.

Saya sudah cek-cek harga tiket pesawat sejak akhir November tahun lalu. Gerak cepat, dong. Berdasarkan perhitungan, modal yang saya butuhkan untuk perjalanan round trip sekitar satu juta rupiah. Oke, aman nih. Hati saya sudah tentram. Until that fateful night comes. Terjadi di pekan pertama bulan Januari, yang mana saya mendadak iseng-iseng bermaksud mengecek segala hal yang diperlukan ketka perjalanan akbar ini.

Paspor aktif? Check.
Tiket konser? Check.
Tiket pesawat? ...Che―Lho, kok nggak ada di email? Di Spam box juga nggak ketemu. Kenapa bisa begini?

Saya pun berpikir. Berpikir. Berpikir lama sekali. Mengingat-ingat apa ada yang salah. Faktor apa yang menyebabkan raibnya email sepenting itu. Hingga akhirnya, setelah hampir dua puluh menit bengong dan belingsatan sendirian di kamar, bagai ditabok harimau saya tersentak. Tiket round trip CGK - SIN dan SIN - CGK itu belum pernah saya selesaikan transaksinya. Jadi, saya memang sudah sejak lama melakukan pengecekan harga. Sudah tahu pula kira-kira hendak berangkat jam berapa dan maskapai penerbangan apa yang mau digunakan jasanya. Tapi yaaah berhubung belum gajian sehingga tidak ada dana, saya masih menunda pembelian. Terus kelupaan. Hingga detik itu.

Bego? Banget.

DON'T LOOK AT ME.

Malu abis, entah kepada siapa. Kepada semut merah. Kepada jam dinding. Kepada rumput yang bergoyang. Kepada layar laptop yang masih menayangkan adegan anime Kindaichi Shounen no Jikenbo tahun 1997 yang saya pause. Panik mulai merayap. Saya buru-buru membuka ticketing sites; kali ini dengan tekad bahwa malam ini juga harus berhasil dapat tiket pesawat, apa pun yang terjadi. Gila aja. Sudah tinggal dua minggu lagi lho. Meski teledor, diam-diam saya bersyukur karena teringat sekarang dan bukan saat berkemas-kemas di malam H-1.

TAPI YA HARGA TIKETNYA UDAH NAIK JAUH DOOONG.


Cry. Bahkan selisih harganya merampas jatah dana perjalanan yang saya alokasikan untuk dipakai hidup sebentar di Singapura. Kebodohan ternyata harus ditebus mahal, saudara-saudara. Menjadi cerdas jauh lebih murah. Ini realita yang baru saya ketahui di 2018. Cuma ya udah, mau bagaimana lagi... satu-satunya solusi adalah membeli tiket yang tersedia dan mencari pelipur lara untuk diri sendiri. Gampang lah tinggal jadi gembel aja di Changi, demikian pikir saya.

Chanting this song like a mantra.

But it's now the D-day and I'm nervous as fuck. Shit. Damn. This is exactly the same feeling I suffered when I was about to go see Kalafina in AFAID 2013, only bigger and more intense because this time, it's at much more bigger venue. And a solo show, not a festival. Holy hell. Ya maklum, selama ini rasa-rasanya sebagai wibu musik Yapan, saya harus sering-sering merasa puas dengan menyaksikan musisi idola tampil di festival-festival saja. Khususnya festival anime. Memangnya berapa banyak sih artis-artis Jepang yang pernah hadir ke Indonesia dan mengadakan pertunjukan sendiri? Entahlah kalau nama-nama lain juga ada, tapi bermodal usia seadanya, saya cuma ingat beberapa histeria―dari yang kecil hingga mega akbar karena penantian terlalu lama (iya ini ngomongin Laruku):

  • L'arc~en~Ciel Live in Jakarta 2012 (Lapangan D Senayan, 2 Mei 2012)
  • SCANDAL Asia Tour Live in Jakarta 2013 (Tennis Indoor Senayan, 13 Maret 2013)
  • ONE OK ROCK "Who are You?? Who are We??" Live in Jakarta 2013 (Lapangan Parkir Kolam Renang Senayan, 24 November 2013).
  • LiSA Live Acoustic in Jakarta 2014 (Upper Room Hall Annex Building, 23 Agustus 2014)
  • AAA (Attack All Around) Asia Tour Live in Jakarta 2015 (Upper Room Hall Annex Building, 8 April 2015)
  • Silent Siren World Tour Live in Jakarta (Upper Room Hall Annex Building, 30 September 2017)
Ingatan saya mandeg sampai di situ saja. Kalian yang lebih berpengetahuan dimohon agar membantu memberi pencerahan dengan berbagi di kolom komentar. Oke? Oke dong. Sip? Sip dong. Ngomong-ngomong, saya masih menunggu hari di mana bisa nonton konser Kalafina yang bukan versi karaoke. That day will come. I believe that. I will hang onto that hope.

Saya rasa kalian mungkin sudah sadar: celotehan di atas hanya untuk menutupi kegugupan menjelang berjumpa abang-abang kesayangan. MAU GIMANA LAGI DAH. NERVOUS AING. Campur aduk banget nggak jelas, sejak tadi pagi keringet dingin melulu. Ditambah lagi, setlist ONE OK ROCK Ambitions Asia Tour Live in Bangkok tanggal 18 Januari 2018 akhirnya semalam keluar. Wah kacau. Excitement level serasa digenjot naik terus. Setlist Bangkok tersebut semacam jadi prediksi lagu-lagu yang akan dimainkan nanti ketika di Singapura. Seumpama beda pun, kemungkinan nggak akan terlalu banyak. So here comes the expectations...

ONE OK ROCK Ambitions Asia Tour Live in Bangkok setlist:


  • M1. Ambitions -introduction- + Bombs away (english version)
  • M2. Deeper Deeper
  • M3. Taking Off (english version)
  • M4. Cry Out (english version)
  • M5. Re:make
  • M6. Clock Strikes
  • M7. Bedroom Warfare (english version)
  • M8. Wherever you are
  • M9. One way ticket (english version)
  • M10. instrumental break
  • M11. Bon Voyage (english version)
  • M12. I was King (english version)
  • M13. Take what you want (english version)
  • M14. The Beginning
  • M15. Mighty Long Fall (english version)
  • M16. We Are (english version)
ENCORE:

  • M17. American Girls
  • M18. 完全感覚Dreamer (Kanzen Kankaku Dreamer)

Well... the biggest letdown when you watch ONE OK ROCK concert NOT in Japan is that most likely you'll get the english version of their songs (instead of Japanese ones), which, personally speaking, have slightly less quality in their lyric department. Kadang-kadang aransemen lagu pun agak diubah sedikit. Masalahnya, jadi sering lebih repetitif dan twist-nya hilang. Tapi ya udahlah ya. Tetep sayang. Terus terang saya tadinya berharap lagu-lagu seperti Liar, Let's take it Someday, atau Nobody's Home dimainkan, dan nggak sekadar all-singles di luar konten album Ambitions.. namun barangkali ngarepnya kejauhan. Gapapa. Siapa tahu ada keajaiban, yang tentu akan saya laporkan dengan berbusa-busa di blog ini selepas konser. Lmao.

Aduh Bang, ini deg-degan nggak kelar-kelar. Send help.

z. d. imama

Friday, 12 January 2018

"You should buy experience," they say. "Not things," they say.

Friday, January 12, 2018 5

Yakin, deh. Kayaknya semua orang sudah pernah dapat nasihat yang saya tuliskan sebagai judul postingan ini. Baik lewat artikel-artikel (dari koran, tabloid, majalah, sampai blog pribadi), rekaman video, hingga diomongin langsung di depan batang hidung. Spending money on experiences is the secret to happiness, Forbes said. It will be more satisfying, The Atlantic added. And Bloomberg chimed in with, "You'd better not splurge on a supercar". Seolah belum cukup, pandangan ini di-backup oleh penelitian ilmiah yang menyatakan bahwa ada kesalahpahaman nilai ekonomi bagi orang-orang yang gila belanja. Menurut hasil penelitian tersebut, pada umumnya tolok ukur value sesuatu adalah harga. Alias price tag yang melekat pada barang. Sementara pengalaman cenderung hanya menyisakan kenangan di benak kita sehingga lebih sukar ditempeli angka nominal demi pertimbangan ekonomis.

Alright.

I don't have the slightest intention to debate the result of an academic research. Terlalu berat untuk isi blog semenjana ini―berat badan saya selaku penulis sudah lebih dari cukup sebagai beban. Lagipula tampaknya apa yang jadi perhatian saya tidak sama dengan perspektif riset tadi. Tapi ya mau nggak mau, saya harus mengakui kalau muncul pertanyaan-pertanyaan di dalam benak terkait anjuran yang makin ke sini rasanya makin nyerempet ke arah propaganda saking ganasnya diserukan itu. Shall we talk about that? I don't know if we should, but I will do it anyway.

What they call as 'experiences' we are advised to buy.


Ayo bahas ini dulu sebagai langkah awal. Apa sih hal-hal yang cenderung direkomendasikan untuk dibeli sebagai 'pengalaman'? Menilik dari berbagai sumber yang saya temukan (beberapa di antaranya sudah saya sertakan tautan di atas), mayoritas menyarankan:

  • Traveling expenses.
  • Meals for day (or night) outs with friends/relatives.
  • Admission fees for events.
  • Concert tickets.
  • Movie premiere showings.

There are still tons of other variations, but I guess you know the gist of it at this point. Generally speaking, you're encouraged to purchase something that will make you interact with more people (or at the very least, see them around you) than usual. Jalan-jalan ke Makassar sendirian, misalnya, akan bikin kalian ketemu orang-orang yang nggak dijumpai di Solo. Interaksi dengan petugas bandara di gerbang Departure. Berbagi antusiasme bareng sesama fans pas ngantri masuk venue konser atau pertunjukan lain. Quality time  sambil makan-makan enak setelah sekian beberapa lama tidak bertemu kerabat maupun teman-teman, mengobrol, bercanda, menertawakan masa lalu atau sekadar nggrantes berjamaah merenungi masa depan yang kok ya kayaknya surem terus. These kinds of things are 'experiences', according to many. Ya nggak salah juga sih.

Mestinya saya disebut Solo Traveler sejati karena sudah asli warga Solo, ke mana-mana selalu sendirian pula.

However, the border between what are 'things' and 'experiences' is not always clear. More often than not, it's kinda blurry and overlapping each other. Sekarang kalau mau jalan-jalan ke luar negeri, kita perlu beli tiket pesawat juga kan. Bentuk fisik tiket jelas berupa barang, mulai dari boarding pass hingga QR code di ponsel pintar kita masing-masing yang dipakai online check-in. Tiket konser pun demikian. Makanan serta kopi-kopi Instagram-able yang dibeli di kafe-kafe fancy untuk menemani nongkrong. Semuanya benda. Namun yang paling saya pertanyakan melebihi kerancuan tersebut adalah: sejauh apa 'pengalaman' punya ruang lingkup?

What is 'experience' anyway?


Barangkali bagi masyarakat kelas menengah, yang dianggap sebagai 'pengalaman' adalah datang ke Coachella, Glastonbury Festival, METROCK, menyambangi Disneyland, mampir ke The Wizarding World of Harry Potter di Universal Studio Japan atau Orlando, dan kegiatan setara lainnya. Sedangkan untuk orang-orang lain belum tentu begitu. Saya aja deh yang jadi contoh. Selama ini baju-baju yang ada di dalam lemari pakaian adalah 1) hasil belanja di pasar, ITC, atau situs-situs yang menjual barang secondhand, serta 2) lungsuran alias bekas pemberian saudara-saudara bahkan kawan-kawan yang lebih tua. Sumpah. Coba tanya kak Chika. Atau kak Irma. Beliau-beliau ini pernah menjadi donatur apa yang saya kenakan.

Berdasarkan tolok ukur sedemikian gembel, ketika saya melewati toko Pull&Bear di sebuah mal, menyaksikan papan tanda besar-besar SALE 70% lalu mendapati ada beberapa buah pakaian yang sreg dan sanggup dibayar, hal itu merupakan pengalaman tersendiri: pertama kali berbelanja baju fast-fashion brand. Di tengah-tengah tumpukan kain harga goban, blus Pull&Bear yang didiskon sekian puluh persen dari harga awal menjadi hanya Rp125,000 mampu memberikan memori berbeda. Demikian halnya dengan ingin mengalami pakai sepatu New Balance original saat jalan-jalan, menggantikan alas kaki lama yang dibeli di lapak tepi jalan senilai Rp45,000. Merasakan enaknya pergi naik kendaraan pribadi setelah sekian tahun menyabarkan diri menghadapi layanan busuk dan pengapnya Metromini.

Ultimate villain di jalanan.

Hah? Mirip OKB dong?

Lho, memang.  Orang kaya baru―a.k.a OKB―tidak jarang adalah mereka yang nggak terbiasa mendapatkan akses ke hal-hal yang dalam kondisi normal hanya diperoleh orang-orang dengan kemampuan ekonomi di atas mereka. Makanya sering norak. Suka kalap. Masih tampak lusuh di tengah-tengah manusia yang kinclong berkilauan, atau justru tampil berlebihan seolah sangat ingin menunjukkan kekuatan finansialnya. Beberapa dari mereka mungkin lagi asyik-asyiknya mengumpulkan 'pengalaman' hidup enak.

To end this post, I can't tell you which is right or wrong. We're all trying to seek happiness. We're all wanting, and putting efforts, to be happy. We're trying to buy it in different forms and shapes, on different prices. "The adrenaline rush, excitement, and happiness gained from buying things are only temporary," said many people. But isn't it the same with attending concerts and all that? Sure you're left with good memories (at least until you're too old to remember it), but you're also left with a shining Maserati for years (until you crash it or you're tired of it) if you use your money to purchase one. I don't see so much differences between the two, that's why I cannot really recommend which one we should choose. At the end of the day, I'm that irresponsible person who can't pick sides and go with, "Whatever floats your boat" for an answer.

However, it's important to note that there are also people stuck with frugal living, who can only afford to buy things they need and never once what they want. Orang-orang yang jungkir-balik berusaha memperoleh kebahagiaan mereka semurah mungkin. Bahkan gratis kalau perlu. And I kinda wish for them to succeed. Deep down, I'm still hoping there are some happiness that we don't need to 'purchase', no matter what kinds they are coming in.

z. d. imama

Sunday, 7 January 2018

Boku Dake ga Inai Machi: the kinda comparative review

Sunday, January 07, 2018 10

Ngomongin komik Jepang dengan segudang adaptasi, saya yakin sebagian besar dari kita akan teringat pada Death Note. Nggak salah, sih. Tapi belakangan ini saya melihat bahwa ternyata Death Note tampaknya punya calon pesaing. Yakni Boku Dake ga Inai Machi (terjemahan Inggris: The Town without Only Me), yang mana judul internasionalnya diubah menjadi Erased. Original material berupa manga diserialisasikan sejak tahun 2012 silam dan tamat pada bulan Maret 2016. Memang terbilang masih lumayan baru, namun sampai hari ini, Boku Dake ga Inai Machi sudah diadaptasi ke dalam serial animasi, live-action movie, dan 12 episode drama live-action Netflix. Pertanyaannya: apakah semua bagus? Lebih oke yang mana sih? Kira-kira sebaiknya menikmati yang mana? Nah. Makanya ulasan perbandingan ini saya buat.

FREE SPOILER OR NOT?

Saya akan berusaha seeeeeeeeemaksimal mungkin untuk tidak memberikan keypoint maupun detil-detil penting di sini. General overview saja dari segi cerita. However, this post will have rather plenty of screenshots. Maklum, kita kan mau membandingkan bagaimana masing-masing versi menggambarkan aura, suasana, dan tentu saja: pemilihan cast berdasarkan desain karakter di komik sebagai materi asli. Ringkasan cerita Boku Dake ga Inai Machi secara umum kurang lebih begini:

Fujinuma Satoru, aspiring manga writer berumur 29 tahun harus menghidupi diri dengan bekerja paruh waktu di restoran pizza karena manuskrip komiknya nggak pernah diterima editor dengan baik. Satoru memiliki suatu kemampuan membalikkan waktu yang dia namakan 'Revival', yang muncul selalu pada momen tak terduga dan―biasanya―ketika ada peristiwa yang mengancam nyawa, baik dirinya sendiri maupun orang lain. Seolah-olah Satoru disuruh menemukan 'kesalahan' tersebut dan memperbaikinya. Suatu malam, setelah sebuah insiden besar yang melibatkan ibunya, Satoru terlempar ke 18 tahun yang lalu dan dia harus bekerja keras memperbaiki semua dari titik tersebut untuk mencegah masa depan yang sudah pernah dialaminya.

Konsultasi dengan editor: versi live-action movie (2016)

Konsultasi dengan editor: versi Netflix drama series (2017)

Saya yakin bahwa lewat ringkasan ceritanya, sudah bisa ditebak bahwa genre Boku Dake ga Inai Machi adalah misteri, thriller, suspense, human drama, atau yang sejenis. Well... you're not wrong. Tema time-traveling atau time-hopping pun nggak bisa dikategorikan sebagai hal baru, namun Sanbe Kei, mangaka yang menulis cerita sekaligus ilustrator komik Boku Dake ga Inai Machi berhasil menggabungkan aspek personal demon yang memberikan motif meyakinkan bagi protagonis untuk melakukan hal-hal yang dia perbuat sepanjang kisah dipaparkan. The pacing is excellent, the panels are distributed rather carefully and wisely, and the use for widespread pages are very much on point they often gave me uncomfortable chills. Wajar jika Boku Dake ga Inai Machi dinominasikan di berbagai penghargaan komik Jepang. Apakah setumpuk adaptasi-adaptasinya bisa bersaing secara kualitas? Hm. Tunggu dulu.

- The Storytelling

For fictions, how the stories are told is the main key. Setidaknya begitu menurut saya. Apakah ceritanya receh (alias pasaran) atau 'berkelas' justru nomor dua. Aliran peristiwanya nyaman diikuti nggak ya? Banyak hal-hal tidak masuk akal yang terjadi nggak ya? Perkembangan karakternya gimana? Jawaban atas ketiga pertanyaan tersebut berpengaruh besar terhadap mood dan keterlibatan saya sebagai pembaca atau penonton. Manga Boku Dake ga Inai Machi nails it almost perfectly. Almost. Sebab kesempurnaan hanya milik Tuhan (halah). No, seriously. Sekarang kan lagi ngetren tuh tagline "Jangan kasih kendor". Nah, komik Boku Dake ga Inai Machi kayak gitu. Nggak ada kendor. Setiap bab dan peristiwa punya tujuan. Belum lagi ending cerita yang, bagi saya, sudah merupakan penutup paling tepat. Dramatic but neither overly-cheesy nor predictable. Wis pokoke menghantam tepat sasaran.

TENANG, TENANG, INI TIDAK TERLALU MASUK MAJOR EVENT KOK.

Sedangkan, sayangnya, adaptasi animasi dan live-action movie Boku Dake ga Inai Machi tidak memiliki kualitas ending yang sama karena ceritanya diubah. Episode final anime dan 30 menit terakhir live-action movie dibuat berbeda dengan komiknya... namun tidak memberikan alternatif lebih baik. Percuma deh. Bikin gondok doang. Barulah di drama series Netflix yang tayang 15 Desember 2017 kemarin (wah barengan ulang tahun saya!), tim produksi memutuskan sticking to the original material and it turned out almost majestic. Finally, one adaptation of Boku Dake ga Inai Machi got the ending it always deserves. Sehingga kalau ingin tahu bagaimana kisah asli Boku Dake ga Inai Machi namun kurang suka baca komik―atau tidak cocok dengan gaya artwork Sanbe Kei―bisa maraton versi drama series-nya via Netflix. Hanya 12 episode.

- The Casts

It's obvious that both the manga and anime version will have similar character designs (which you can see at the opening picture). Jadi saya nggak akan bahas dua medium itu panjang-panjang. The movie and drama series, however, have rather different choice for casts. Sehingga saya akan menyingsingkan lengan baju untuk menghujat membeberkan sedikit tentang perkara itu. Pertama, Fujinuma Satoru selaku protagonis. Live-action movie yang menampilkan Fujiwara Tatsuya (betul sekali, dia juga yang memerankan Yagami Light di live-action movie Death Note) menurut saya agak gambling, sebab meski punya tampang yang cocok untuk karakter stressed out, chemistry-nya dengan Katagiri Airi, rekanan kerja di restoran pizza (diperankan Arimura Kasumi) jelek banget. Entah ini sebatas mereka berdua nggak klop dibarengin atau gara-gara karakterisasi Airi yang dibuat berbeda dari komik.

Airi yang lebih flirty dan gatel centil sedang meledeki Satoru: versi live-action movie (2016)

 Rambut Satoru yang senantiasa tertata sempurna: versi Netflix drama series (2017)

Sementara Furukawa Yuki, pemeran Satoru dewasa versi serial Netflix, punya aura down-to-earth yang lebih natural dibandingkan Fujiwara Tatsuya. And this is a very good thing. Ketiadaan nuansa high-class dari aktor utama menyebabkan chemistry antarpemain meningkat cukup signifikan sehingga lebih enak diikuti. However, if I had to be nitpicking, tampang Furukawa Yuki amat sangat baby face... padahal umur dia lewat 30 tahun. BENERAN. Ngerti nggak sih tipikal manusia beraura rakyat jelata tapi mukanya nggak kelihatan sengsara? Gitu lah pokoknya. Kadang-kadang kesel banget melihat Satoru hidupnya rempong dan penuh perjuangan tapi wajah stays supercute. Bikin sirik.

Berhubung Satoru nantinya terlempar ke 18 tahun lalu, otomatis akan ada aktor dan aktris anak-anak dong. If Furukawa Yuki outshines Fujiwara Tatsuya by being 'less bright', Nakagawa Tsubasa, the child actor playing elementary grader Fujinuma Satoru in live-action movie, overshines him by being brighter than Rihanna's diamond. Like, I'm no kidding. That kid is genuinely brilliant. I LOVE EVERY SCENE HE'S IN. Rasanya seperti menemukan Ashida Mana versi cowok. Semoga di tahun-tahun mendatang kemampuan akting dik Tsubasa terus berkembang. I'd like to see more of him. I want to see him grow.

Satoru kecil dan teman sekelasnya, Hinazuki Kayo: versi live-action movie (2016)

Dedek-dedek rapat geng: versi live action movie (2016)

Bangun tidur rambut berantakan: versi live action movie (2016)

Live-action movie of Boku Dake ga Inai Machi has a pretty solid lineup for its young casts. Aktor-aktris anak-anaknya bagus-bagus. Hinazuki Kayo (Suzuki Rio) dan Kobayashi Kenya―yang nama pemerannya nggak bisa ditemukan di mana pun... jahat bener―memberikan penampilan mumpuni serta mampu mengimbangi kualitas akting Nakagawa Tsubasa. Gampang sekali jatuh sayang pada dedek-dedek bertalenta ini. They succesfully make you wholeheartedly root for whatever shits they're doing, whatever plan they're making. Ibarat driver ojek online pasti saya kasih bintang lima tanpa pikir panjang. Bahkan bonus tip minimal goceng.

Uchikawa Reo, aktor pemeran Fujinuma Satoru kecil di drama series Netflix, memang tidak seghumash dik Tsubasa but boy he did pull the job. Hinazuki Kayo yang dibawakan Kakihara Rinka juga terbilang cukup menyakinkan. Jujur saja, agak sulit memberikan penilaian objektif terhadap jajaran pemain anak-anak Boku Dake ga Inai Machi versi Netflix setelah performa gemilang geng Nakagawa Tsubasa. So when I, rather begrudgingly, mumbled "These kids are also good...", I meant it. Satu-satunya kekurangan dan 'cacat cela' dari serial drama Netflix adalah usia asli aktor-aktris kecil yang rata-rata sudah 13 tahun alih-alih 11 tahun layaknya kebutuhan naskah. Dibandingkan dengan live-action movie pendahulunya, Satoru, Kayo, dan Kenya di Netflix tampak jauh lebih matang. Not so kiddos anymore. Itu pun jika perkara tersebut boleh dianggap 'cacat cela', ya.

Satoru terbaring di hamparan salju Hokkaido: versi Netflix drama series (2017)

Kayo jalan digandeng Satoru: versi Netflix drama series (2017)

Satoru terpergok Kenya malam-malam: versi Netflix drama series (2017)

Bicara masalah kasting, pemilihan seiyuu a.k.a voice actor untuk serial animasi Boku Dake ga Inai Machi perlu diberi acungan jempol. Sebanyak mungkin. Kalau perlu minjem jempolnya kelabang atau ulat bulu biar rame. Memang apa bedanya dengan anime-anime lain? Well, they went as far as casting actual/physical actor and actress―people we usually see on television dramas and movies carrying out rolesinstead of the usual seiyuus. Sekadar informasi, aktor dan aktris 'beneran' biasanya hanya digunakan sebagai seiyuu untuk film-film animasi yang masuk ke bioskop. Serial animasi tayang reguler di televisi mah boro-boro. 

Mitsushima Shinnosuke, yang mulai menggoyang dunia akting Jepang lewat performa menterengnya sejak 2013, ditunjuk mengisi suara Fujinuma Satoru dewasa sementara aktris-merangkap-dancer kesayangan saya, Tsuchiya Tao, didapuk sebagai Satoru kecil. Peran partner in crime Satoru, Kenya, dipercayakan kepada Emoto Tasuku. I'm happy to say that they don't disappoint at all. Plus, it felt so refreshing. Kehadiran mereka mendatangkan angin segar, suara-suara baru yang belum sering terdengar di kancah dunia animasi.

- The Soundtracks

If there's only one legitimate reason allowed on why you should watch the anime series of Boku Dake ga Inai Machi, it's for the soundtracks. Kajiura Yuki can never go wrong. Bahkan ketika cerita asli serial animasinya jelek nggak ketulungan sampai jadi menyedihkan, asal komposer soundtrack-nya Kajiura Yuki maka adegan-adegan bisa tetap terasa grande (iya ini nyindir Sword Art Online). Lagu pembuka bertajuk Re:Re: yang dibawakan Asian Kung-fu Generation memang terasa agak out-of-place dan mood-nya nggak masukselain fakta bahwa lagu tersebut aslinya dirilis tahun 2004 kemudian direkam ulang di 2016tetapi vibe lagu Sore wa Chiisana Hikari no Youna sebagai penutup setiap episode sangat on point dengan keseluruhan serialnya meskipun karakter vokal Sayuri mirip emergency whistle on steroid.

Boku Dake ga Inai Machi live-action movie sayangnya nggak punya soundtrack sekece serial animasi dan drama Netflix. Bukan jelek, sih. Kalah aja. Yep. You heard me right. Soundtrack Netflix drama series lebih oke jika dikomparasikan dengan film bioskopnya. How should I say it... everything mixes perfectly at the precise moment. Seolah-olah nggak ada penempatan yang meleset. The music complimented the story so well it's rather memorable.

Hinazuki Kayo in ending credit: from TV anime series (2016)

Ngomong-ngomong, lagu penutup yang terdengar saat credit roll Boku Dake ga Inai Machi versi Netflix dibawakan Kanojo in the Display. Judulnya Akane (ini mungkin nama cewek kayak 'Sephia', 'Sally', atau 'Yolanda', tapi nggak ngerti dah kenapa juga pakai nama orang yang nggak ada di dalam cerita filmnya). Kalau dibikin head-to-head antar theme song, Chise Kanna dengan Hear ~Shinjiaeta akashi~ yang muncul di akhir live action movie jelas kelelep... secara lirik dan kesan yang ditinggalkan.

- The Overall Conclusion

Gimana ya... selaku seorang purist snob saya tetap menyarankan teman-teman yang ikhlas bertahan menyimak cerocosan panjang-lebar ini untuk baca manga Boku Dake ga Inai Machi dulu sebelum merambah ke yang lain. Paham kok, style gambar Sanbe-sensei belum tentu cocok buat semua orang, tapi nggak ada salahnya coba-coba. I really like how he depicted uneasiness, bad feelings, sense of disturbance, and how 'hints' are scattered all around the place for readers to pick up. Cuma kalau bener-bener nggak sanggup baca atau males banget banget banget, seperti saran yang sudah saya lontarkan dalam paragraf nun jauh di atas: cukup tonton versi Netflix drama series. Sisanya silakan dijamah apabila ada waktu senggang berlebih. 

Kayak saya ini. Banjir waktu luang.

The golden combi, Satoru and Kenya: from TV anime series (2016)

Teman-teman sekelas Satoru di SD: versi TV anime series (2016)

«««« Boku Dake ga Inai Machi - Netflix drama series (2017)
Plus points: great pacing, camera works oh-so fine and polished, awesome color palette which brings out the suspense, solid casts whose performance is complementing each other, soundtracks on fleek, MOST FAITHFUL TO ITS MANGA.
Negative points: 404 not found (currently).

««« Boku Dake ga Inai Machi - TV animation series (2016)
Plus points: nice voice casts, character designs are a level-up from its manga counterpart, and the soundtracks!!!1!!!FTW!!!
Negative points: less attention to details than the manga, half-assed attempt at creating different ending.

««« Boku Dake ga Inai Machi - live-action movie (2016)
Plus points: good retelling by picking up right keypoints and focusing on fewer characters, all kids actors' performanceso please watch this just for those children please puh-lease pls.
Negative points: weak soundtracks, what-the-fuck ending, nonexistent chemistry between adult Satoru and Airi.

Saya sudahi saja tulisan ini sebelum panjangnya menyaingi jalan Anyer-Panarukan a la Daendels. Bagi yang belum sempat nonton atau baca Boku Dake ga Inai Machi, this one is a must try. And let me know what you think about this particular masterpiece on the Comment section below. Sampai jumpa di celotehan berikutnya!

z. d. imama