Monday, 28 August 2017

The Big-but-not-great Nation & the Mighty "Rakyat Kecil"


Tulisan ini sepertinya akan campur-aduk dan agak sporadis.

Isi benak saya lumayan semrawut untuk dituangkan dalam sebuah bentuk tertulis yang rapi. Awal mula terbersit niat membuat postingan ini adalah ketika geger insiden bendera Indonesia tercetak terbalik pada buklet SEA Games 2017, yang menyebabkan sejumlah media sosial dipenuhi kemarahan orang-orang Indonesia. Bahkan beramai-ramai memakai tagar #ShameOnYouMalaysia, yang tidak kunjung berhenti walaupun pihak negara yang melakukan kesalahan sudah minta maaf (dan dimaafkan oleh Presiden Jokowi).

Terus terang, saya malu.



Saya malu karena orang-orang dengan kewarganegaraan yang sama dengan saya tidak bisa lekas berbesar hati dan memaafkan Malaysia. They messed up, okay. A BIG, FAT, MESS. Kita semua tahu itu. Teguran sudah diberikan. Mereka sudah minta maaf, yang membuat kesalahan sudah ditindak, dan masing-masing pihak berharap yang seperti ini tidak terulang di kemudian hari. Kenapa masih dipertengkarkan hingga berhari-hari kemudian? Kenapa rasanya jiwa kita sebagai bangsa kerdil sekali? Apa memang kebanyakan masyarakat Indonesia mengidap inferiority complex?


Bahkan ketika ada yang merasa sikap Indonesia sudah berlebihan, justru diserang dengan dianggap "Tidak nasionalis" dalam berbagai cara, sebagaimana bisa dilihat pada respon tweet Mbak Mei @doggudoggu yang saya sertakan di bawah.


Di tengah-tengah merenung soal kehebohan bendera terbalik, suara ibu saya terngiang di telinga. Menyerukan selarik kalimat yang sangat akrab, sebab sering kali ibu menggunakannya untuk menegur ayah yang sedang ngambek.

"Jangan kayak rakyat kecil kenapa, sih? Inginnya cari belas kasihan, tapi dilihat kelakuannya bikin sebal."


Rakyat kecil. Wong cilik. Rakyat jelata. Istilah yang sering digunakan jadi 'senjata' masyarakat Indonesia untuk mencapai apa yang mereka mau. Tidak jarang dilakukan lewat cara guilt-trip pihak lawan. Menekankan bahwa mereka adalah pihak yang susah, teraniaya, menderita, dipermalukan, dilecehkan, dan segala perbuatan yang dilakukan orang-orang yang mengaku sebagai Rakyat Kecil ini merupakan kompensasi kesulitan hidup mereka sehingga pihak lain dituntut untuk memaklumi. Misalnya?


Pengendara motor yang berteduh di kolong jembatan saat hujan.

Perbuatan ini menyebabkan macet yang tidak perlu dan membahayakan pengendara motor sendiri. Padahal bisa lho masuk parkiran gedung atau berteduh di halte bus. Tapi tentu saja, kalau ditegur pasti bilangnya, "Sini kan nggak kayak situ yang mampu beli mobil", atau kalimat sejenis. Ada pula variasi, "Nggak bawa/punya jas hujan". Beli, lah. Dibawa. Dipakai saat hujan. Kredit kendaraan bermotor saja bisa dimampu-mampuin, masa beli jas hujan nggak?


Berdalih "Saya cuma orang kecil..." saat dituntut tanggung jawab.

Untuk masalah ini ada banyak skenario alternatif. Anak di bawah umur dibiarkan naik kendaraan bermotor ramai-ramai, lalu ketika menabrak orang lain atau mengalami kecelakaan tunggal, keluarganya minta keringanan pertanggungjawaban. Melampiaskan emosi dengan vandalisme, merusak properti atau fasilitas bersama, hingga menyebarkan fitnah dan kebohongan, tapi sewaktu diusut kasus dan dibawa ke pihak berwenang langsung minta dikasihani. Lagu lama.

Norak.

Istilah ini mungkin agak... keras. Tapi saya tidak punya pilihan diksi lain yang cukup mewakili (coba yang tahu tolong saya dibantu). Masih ingat kejadian Taman Bungkul di Surabaya rusak karena acara bagi es krim Wall's gratis? Ibu Risma sampai marah-marah karena taman porak-poranda diinjak warga yang berebut. Berhubung Bu Risma jadi walikota karena voting rakyat, beliau tidak mungkin ngomel ke rakyat dong. Marah-marahnya ke pihak perusahaan es krim. Kira-kira ada berapa banyak dari orang-orang yang rebutan es krim gratisan itu yang sesungguhnya mampu membeli, tapi ikut minta hanya karena "Mumpung gratis"?


Kasus terbaru yang mirip yaa... Bazaar Nike di mal Grand Indonesia tempo hari. Bahkan bazaar sampai ditutup karena―meminjam kata-kata pihak Nike―respon yang sangat luar biasa. Kalau Taman Bungkul rusak berat diinjak-injak, di Bazaar Nike ini rolling door pun tumbang dijebol pengunjung, sebagaimana bisa dilihat via video di bawah. Lagi-lagi demi ambisi pribadi untuk mendapatkan sebuah benda dengan justifikasi "Mumpung pas murah". Fasilitas umum, properti orang lain, mah peduli setan. Pokoknya gue dapet apa yang gue mau.


Saya yakin masih ada banyak contoh lain jika benar-benar dikulik. Saya jadi berpikir, apakah yang diucapkan ibu saya sebagai celetukan penegur ayah memang benar adanya. Masyarakat Indonesia banyak yang sibuk menempatkan diri mereka sebagai 'orang kecil': ingin dimaklumi, dikasihani, dibela tanpa pandang bulu tentang benar-tidaknya perbuatan mereka. Bersikap seenaknya dengan alasan "Hidup gue sudah susah". Pun haus pengakuan, sehingga cenderung membesar-besarkan hal yang mengusik ego.

Berpenduduk 261,1 juta jiwa (data tahun 2016―silakan di-google), Indonesia merupakan bangsa yang besar. Ada orang-orang yang baik, ada pula mereka yang jahat, yang mau menang sendiri, yang menolak menyadari apalagi melaksanakan hak dan kewajiban. Kita memang unggul di kuantitas. Tapi bahkan 72 tahun semenjak kemerdekaan, saya masih belum bisa mengatakan dari hati nurani bahwa bangsa ini... hebat.

Selamat bulan Agustus.
Dirgahayu, Indonesia.

Kapan waras? 


z. d. imama

8 comments:

  1. Membaca tulisanmu kali ini bikin aku jadi kepingin ikut-ikutan komentar panjang. Pengen nulis di blog, tapi ya aku takut banyak yang sensi. Masyarakat kita belum sesiap itu untuk menerima perbedaan opini.

    Well, aku sepakat dengan kamu. Banyak orang berdalih dengan "saya orang kecil/miskin/susah..." blablabla, begitu diajak buat tertib.

    Dan, lagi-lagi, aku sepakat sama kamu. Bangsa ini memang bangsa yang besar, tapi secara kuantitas. Atau meminjam term yang kamu gunakan "Unggul secara kuantitas". Kalau mau bilang bangsa ini adalah bangsa yang hebat, wait. Kita kelewat overestimate diri kita sendiri. We love to think that we're special. Padahal mah ya... Gitu deh.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mbak Kimiii nggak apa-apa bikin aja tulisannyaaa :)))
      Mentok-mentok nanti dikata-katain sama netizen, kok. Hahaha.

      Delete
  2. Lihat bazaar Nike di GI itu kayak lihat zombie-zombie di film World War Z. GAHAR BANGET YAK! Gak ngerti sih kenapa banyak manusia-manusia yang gak tertib, padahal mereka mengecap pendidikan SD dan SMP. Rasanya kuingin berkata kasar...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya kan Kak serem banget. Mereka kayak nggak ngerti bahwa yang kayak gitu tuh jatohnya perusakan properti kan.. Huft. Kusedih.

      Delete
  3. Bangsa yang besar, apanya yang besar?
    Rakyat kecil, apanya yang harus dikecilkan lagi?


    Besar dan kecil itu kontradiksi. Yalurd, penuhi jiwa-jiwa ini dengan cahaya yang mencerahkan~

    ReplyDelete
    Replies
    1. Paragraf pertamane mas Jung ki karepe opo kulo ora dhong :)))

      Delete
    2. Hahaha.. Coba hayati sepenuh hati


      Siki nang Jakarta tho?

      Delete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete