Friday 21 April 2017

What is considered 'cool' (but it's not, really)


I want to live up to my self-proclaiming name as a 'whiny blogger' and now I am back again with another episode of random thinking whining.  Sebab bagaimana pun juga, konsistensi itu perlu di dunia yang penuh perubahan ini. Sebenarnya apa yang akan saya bahas sudah cukup lama berseliweran di kepala, tetapi sampai kemarin belum ada sesuatu yang benar-benar membuat saya terpelatuk dan merasa "Kayaknya ini mendingan ditulis di blog saja deh daripada isi kepala makin berisik..."

As long as I live, never once I was a 'cool' kid. I had my share of being 'famous' but it was either because of my body weight or my grades. Whom, you know, other kids tend to avoid (nobody likes ugly, fat girl who is top of her class). Apalagi kondisi ekonomi keluarga yang tidak memberikan saya privilese tertentu untuk masalah 'pergaulan'. Saat saya kelas 6 SD dan Nokia 6600 serta Nokia N-Gage adalah semacam "Anak Gaul Starter Pack", saya punya ponsel pribadi saja tidak. Saya tidak mengeluh sih, tapi kadang-kadang geli juga kalau mengingat betapa masa-masa kanak-kanak dan remaja saya krisis 'memori istimewa' sebagaimana yang digembar-gemborkan sebagian orang.

I'm sorry, my younger self.

Namun entah kenapa, saya semacam ingin protes terhadap segregasi 'cool' versus 'uncool' ini. Sebab saya tidak merasa bahwa banyak hal yang dianggap 'keren' adalah 'benar-benar keren'. Kalau dibilang beda perspektif sih rasanya tidak juga. Tapi kalau perbedaan standar decency... bisa jadi. Nggak usahlah bergaya moderat dengan ngomongin perspektif-perspektif segala, toh Edogawa Conan juga setuju kalau kebenaran hanya ada satu. *Kemudian dilempar sabit rumput*

Terus terang, saya tidak menemukan apa yang keren dari hal-hal berikut:

1. This kind of thing.

Lokasi di Kyoto (kemungkinan hutan bambu Sagano di Arashiyama).
Foto dari @icblues.

Sejak dulu saya menganggap mencorat-coret (atau mengukir-ukir) batang pohon, kursi, atau segala benda yang digunakan masyarakat umum adalah kelakuan norak. Tidak terdidik. Tidak memahami tujuan adanya suatu benda dan alasan mengapa harus dijaga bersama-sama. SIAPA SIH INI ANDIKA DAN TITIS/TILIS? Sumpah, saya semacam ingin mendoakan semoga mereka mencret tiga tahun nonstop nggak ada obat. Apanya yang keren sih dari bertamu ke negara lain lalu mencorat-coret pepohonan di tempat wisata? Merusak atau mencoreti benda/fasilitas umum di negara sendiri saja sudah norak, lah malah di negeri orang juga...

Bagi saya sih, ini kurang ajar. Atau bego.
Atau dua-duanya.

2. This kind of thing

Lihat komentarnya bikin pengin istighfar...

Keramaian soal foto Instagram Djenar Maesa Ayu ini terjadi beberapa waktu yang lalu, dan, meskipun sudah diklarifikasi oleh DMA (namanya panjang, saya capek) dengan pernyataan dan beberapa foto bukti bahwa beberapa meter di depan pilar itu ada smoking area―saya masih tetap terusik dengan pesan yang diusung foto tersebut (serta reaksi-reaksi sejumlah orang). 

#BadExampleIndeed.
"Yes officer. I did see the no smoking sign but I didn't see you."

She's supposed to be 'budayawan'. Tapi justru dengan bangga 'mempromosikan' sikap dan perilaku seperti ini... lagi-lagi di negeri orang lain. Jadi ya bukan hal ajaib ketika kita ngomel sama segerombolan anak-anak yang naik motor boncengan bertiga (kadang malah berempat empet-empetan) tanpa helm, jelas belum punya SIM, kelakuan mereka justru dijustifikasi orang-orang dewasa dengan alasan, "Ah deket kok cuma keliling komplek," atau, "Ah nggak apa-apa toh nggak ada polisi". 

Lebih sedih adalah ketika orang-orang membela―bahkan tak jarang menyanjung dan mengelu-elukan―hal-hal yang melanggar hukum seperti ini dengan menyebutnya "rebel". Yaa Rabb. Tabok pakai kamus juga nih. Tolong bedakan dong, antara menjadi "rebel" dengan menjadi "offender". Emang susah ya ngomong sama bubur ketombe.

3. This kind of thing

Ini juga sumbernya dari @icblues. Lokasi: Bandara Haneda.
Sampah bekas makanan turis Indonesia yang tidak dibereskan.

Bangsa kita ini sepertinya selalu ingin dilayani. Alias "mental ndoro". Atau, kalau mau lebih sopan, banyak dari masyarakat kita yang terbiasa melimpahkan kesalahan dan dampak dari hasil perbuatannya kepada orang lain. Mau contoh? Ingat nggak saat kita kecil dan terjatuh, tersandung, atau menabrak sesuatu, pasti ada orang dewasa yang justru bilang, "Ih mejanya nakal!" sembari nabok meja yang kita tabrak? Melimpahkan beban (dalam kasus ini kesalahan) pada pihak lain, padahal kita saja yang jalannya nggak belum becus.

This is absolutely not 'cool'. Mental Ndoro is not a cool thing. Your comments of "Ah nanti kan juga ada yang beresin" is not a cool response. Okelah kalau ingin manja-manja, ingin dilayani ketika di rumah ada yang mengurus, punya asisten rumah tangga. Tapi ketika pergi ke negara lain yang punya prinsip kemandirian dan kebersihan, FOLLOW THE FREAKING RULES.  Bisa beli tiket ke Jepang tapi nggak bisa buang sampah yang dihasilkan sendiri tuh apa-apaan sekali. Berduit tapi nggak beradab.

Sekian dulu episode ngomel hari ini.
*Turun mimbar*

z. d. imama

13 comments:

  1. poin ketiga suka bikin kzl kalo disini mah :( apa susahnya sih ngeberesin dengan ngenumpukin gitu?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah ini.
      Mungkin waiter/ress lokal memang diminta membereskan meja sebagai bagian dari job desc, tapi kalau makannya berceceran ke mana-mana kayak balita baru belajar pakai sendok dan nggak dirapikan kan kesel (campur jijik) juga.

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
    Replies
    1. MAZNYA NUMPANG TSURHAT YHAAAA?? :)))))
      #menuduh

      Delete
  3. Ternyata budaya nyorat-nyoret juga dibawa pas lagi ke negara lain ya? Lihat di tembok atau pohon di negara sendiri banyak coretan aja kesel, apalagi sampai nyorat-nyoret di negara orang lain, norak abis :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sampai masuk koran Jepang, Mbak 8))))) 8((((
      (Semacam pengin ngakak karena saking sedihnya)

      Delete
  4. Deuh, baru tau saya perihal DMA di atas (ikut2 nyingkat). Sedih juga sih kalau jadi banyak yang salah kaprah menganggap perilaku itu nyeni dan berbudaya, cuma krn lihat figurnya. Dengan ini saya ikutan menyatakan bahwa itu tidak keren juga! Merdeka! *tangan terkepal ke udara

    ReplyDelete
    Replies
    1. Padahal Mbak DMA sendiri mengaku sebagai "budayawan" (dan diiya-iyain oleh masyarakat juga), tapi kelakuannya macem Awkarin versi uzur gini :((((

      Delete
  5. Bahahahahahaha... maaf lho mbak. Aku cengengesan baca postingannya. Ada istilah bubur ketombe segala. Well, kadang that 'cool things' itu kita lakuin secara spontan saja tanpa mikir. Soalnya orang ian di sekitar kita juga terbiasa melakukan hal tersebut. Saya pernah lho diliatin orang di foodcourt dengan tatapan aneh gara-gara saya berinisiatif beresin meja saya sendiri dan menaruh baki kotor di rak waiter. Akhirnya saya nggak pernah lagi ngeberesin meja sampe balikin baki ke meja waiter di foodcourt. Yang saya lakukan hanya membereskan sisa makanan biar waiternya tinggal angkut aja. nggak perlu rapi2 dan lap-lap meja dulu gituh.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mbak, kalau di Indonesia memang "bersihin meja" adalah job desc waiter/ress dan suka merembet jadi "beresin meja". Kalau ada pengunjung naruh nampan sendiri, kadang dimarahi store manager. Jadi ya minimal semuanya dirapikan saja dalam nampan, baru ditinggal ~~

      Delete
  6. Gara-gara sering traveling, aku termasuk yang suka beberes makanan pas kelar. Orang-orang ngelihatin dan bingung sih, tapi ya aku bodoamat, siapa tahu bisa jadi contoh buat orang lain yang ngelihat hahahaha...

    Emang sih bangsa kita mental ndoro, apa-apa maunya dilayani. Btw dulu pas lagi traveling ke Korea, sempet ada orang Indonesia mau coret-coret nama di tembok, aku marahin. Bikin malu Indonesia aja...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wiiii Kak Chika ngomelin Indons di negeri orang wkwkwkwkwk :))))))
      Luwar biyasak <3

      Delete
  7. Kapan nih kita boleh openly ngomel hal yang sering kita omelin *smirk*

    ReplyDelete