Friday 17 March 2017

On getting catcalled.


Sebagai gadis rantau yang hidup sendirian sebagai warga kos-kosan di kota Jakarta (jomblo pula) dan tidak punya banyak teman, pergi ke mana-mana sendirian adalah tindakan default saya sehari-hari. And for the love of God, setiap kali saya bepergian, minimal satu kali pasti mengalami di-catcall mas-mas atau bapak-bapak. Disiul-siulin. Digodain. Diledekin. Ditanya, "Mau ke mana Neng?" sampai dikatain sombong ketika saya memutuskan untuk tidak menggubris celetukan-celetukan itu. Sungguh saya tidak habis pikir. Ngapain sih? Saking seringnya mengalami kejadian macam begini, jika saja saya dapat Rp1000 untuk tiap catcall yang diterima, tampaknya saya sudah cukup kaya-raya.

Anyway,

Awal bulan Maret lalu, di Jakarta diadakan event Women's March pertama. It's an important event all right, but I never realized how much we need that kind of movement until I saw someone who happened to be a Cleo's "eligible bachelor" went full ignorant mode on his Instagram account.

Screenshot from March 5th. "Eligible bachelor" mbahmu kiper...

Saya tidak akan membahas paragraf pertama karena di Twitter dan beberapa media sosial lain sudah cukup banyak yang memberikan counter argument dan memaparkan kenapa logika masnya nggak jelas dan sebatas sok cerdas. Saya pribadi justru tergelitik di paragraf kedua, yang mana jika wording-nya diganti akan kurang lebih menjadi seperti berikut: "Gue mau tanya nih, itu orang-orang yang bilang kalau mereka nggak suka di-catcall emangnya pernah dapet catcall? Emang ada yang sudi catcalling mereka?"

Bro, bro. Newsflash: I am this ugly and yet people still catcall me. Serius deh. Kalau memang "cewek-cewek jelek" dianggap tidak mungkin mendapatkan catcall, saya seharusnya bisa hidup damai tanpa pernah mengalami digodain mas-mas dan bapak-bapak saat pergi sendirian. But it doesn't work like that. It never works that way. And as much as I hate to say it, catcalling is something that has been present in our society for a long time.

Saya rasa banyak perempuan (if not all of us) yang setiap harinya merasakan kecemasan akan mengalami serangan dan pelecehan seksual, baik itu secara verbal maupun fisik ketika sedang beraktivitas sendirian. Bahkan 'hati-hati' rasanya tidak cukup. Bagi banyak perempuan, default status saat beraktivitas tanpa teman yang mendampingi adalah 'waspada'. Atau jika meminjam istilah Mad-Eye Moody di Harry Potter: Constant Vigilance.

Capek, guys. Lelah.


You see, when we girls are growing up, we are taught "the buddy system". Girls are advised not to go anywhere without telling an adult or without a friend or two. Nasihat-nasihat klasik seperti "Jangan pergi sendirian", "Kalau mau keluar sampai malem harus ada temennya", bahkan peringatan "Buat jaga-jaga aja kalau ada apa-apa" adalah sesuatu yang sangat akrab di telinga. It’s one kind of fear we girls learn to live with, and it’s one kind of fear that many men out there don’t understand (including the so-called Cleo's eligible bachelor). Tapi apakah ketika seorang perempuan melakukan berbagai kegiatan atau pergi ke bermacam-macam tempat tanpa ditemani siapa pun, maka dia 'layak' mendapatkan gangguan berupa catcall, dan 'layak' menerima komentar seperti "Lu sih perginya sendirian" saat mendapatkan perlakuan yang tidak diinginkan dari orang lain? I do not think soAnd even Playboy magazine made a flowchart about whether or not men should catcall women, if people still need a somewhat guide.

People also shall remember that the victim is never to blame.

Iya. Bukan salah pihak yang kena catcall. You read that correctly. The victim is never at fault, and that catcalls are not even close to compliments. Berkali-kali saya menerima catcalls dan tidak pernah satu pun di antaranya yang membuat saya senang atau tersanjung. Merinding sih iya. Marah sih banget (tapi mau tidak mau ya saya tahan dalam hati). So if they catcallers thought it would brighten my day, make me feel empowered, or even that I would be flattered that they took time out of their mundane day to shout words and whistle at me... I can surely say that never once I felt those things.

I dream of the day when I can walk home (or anywhere) without getting catcalled and/or whistled at by abang-abang PKL, mamang-mamang ojek pangkalan, bapak-bapak chatting in group at poskamling or basically men in general.

*Deep, long sigh.*

z. d. imama

18 comments:

  1. Baru kali ini denger istilah "Catcall"..
    Rupanya di siulin dan di ganggu2 itu namanya catcall toooh..

    Sbnernya meresahkan banget siih..
    Rasanya setiap jalan sndr, jadi waspada gitu..
    Jadi keinget,, gua waktu SMP aja udah sering is catcall..
    Gila apa yaaah itu abang2 yang catcall anak SMP??

    -.-
    Mau digimanain sih moral negara kita?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul. Pelaku catcalling ini, yang bikin sedih, sepertinya memang tidak memandang usia, fisik, dan (uhuk) pakaian korbannya. Siapapun bisa saja jadi sasaran perbuatan tidak menyenangkan ini. Huft.

      Delete
  2. Yang bikin lebih kesel lagi, yang melakukan catcall menganggap itu cuma iseng dan enggak apa-apa. Kadang kita merasa kesel karena catcall malah dibilang lebay, menyedihkan banget :|

    ReplyDelete
  3. Sebagai cewek yg bekerja di site construction, saya bukan cuma cukup kaya kalo tiap catcall bisa dikonversi jadi duit tapi kaya raya. Tiap kali lewat pekerja hampir pasti dapat catcall. Yang sedihnya, temen kantor yg sering catcall pas ditegur bilang mereka ga tau kl itu termasuk pelecehan. Bahkan ada temen cewek bilang "wajar anak teknik kan jarang liat cewek" Ignorance is not a bliss, apparently.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Uh... :))))
      Memang kadang-kadang faktor penghambat pergerakan perempuan itu justru perempuannya sendiri, Mbak (T ^ T)

      Delete
  4. Yang paling bikin marah dan pengen nonjok, selain catcall pake sok megang2, pernah sekali, dipanggil bapak2 tapi gegara ngga nengok tetiba setelah beberapa saat ternyata bapaknya mbututin pake motor terus tangan sibapak njulur megang bagian depan, padahal waktu itu saya naik motor, apa ngga gila coba..
    Kalau ke inget itu masih bikin muntab

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, ini sebetulnya topik bahasan yang beda lagi dan bakalan panjang banget :))))

      Delete
  5. baru tau ada istilah catcall, sebenernya cowok juga victim digituin lho.. disiul2lin dan di cie-cie in, dan emang gak enak, tapi kayaknya memang beberapa dari mereka hanya bisa mencari perhatian dengan begitu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Selama ini sih saya belum pernah menemukan ada mbak-mbak yang mengganggu mas-mas lewat dengan siul-siulan atau ledekan-ledekan tertentu... tapi kalau mas Puput pernah mengalami, mungkin bisa di-sharing juga?

      Delete
    2. This comment has been removed by the author.

      Delete
  6. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya lho, saya takjub karena ternyata banyak yang tidak familier dengan istilah "catcalling".

      Delete
  7. sebenarnya, kamu benar, dan si bachelor itu juga benar. Kamu salah, dan si bachelor itu juga salah. Dan catcall, sebenernya ga ada hubungannya dengan feminisme.
    Pernah denger "community raised children" ngga? Nah, catcall ini adalah implementasi dari kalimat itu, "mau kemana neng?", "mau dianterin ke depan?",ini dulu sebenarnya bagian dari penjagaan dari komunitas. Bapak2/mas2 yg negur kalo di tempat saya bisa jadi tetangga deket. Knapa perempuan harus ada temennya (muhrim ya, bukan mahram) ke luar rumah, atau minimal izin sama orang tuanya, karena perempuan emang butuh dijagain. Nah, bapak2 yg negur ini, semisal ketemu orang tua kita, bisa aja bilang "Pak, tadi si eneng lewat sini, mau kesitu katanya", terus bapak kita jawab "Oh iya, yadi sudah izin". That's how catcalls should work. Dan yes, disuit-suit-in itu emang resek, dan ngga nyaman, dan memang harus diabaikan, dan harus diwasapadai, dan harus cepat2 kabur dari gerombolan itu. Yet, mereka memang biasanya tidak punya pendidikan tinggi, atau seenggaknya emak2 mereka di rumah ngga pernah ngasih tau kalau suit-suit atau catcall itu ngga sopan, dan melecehkan.

    And yes, who said that u ugly? Give them a break. Mungkin mereka pake kacamata kuda. 😉😉😉

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mbak, saya tidak membahas "Community raised children". Catcall berbeda dengan itu. Tidak bisa dikatakan "catcall adalah implementasi dari 'bagaimana komunitas menjaga orang'".

      Saya juga tidak menyebut satu patah kata pun tentang feminisme di sini, lho.

      Delete
  8. Ooo itu to maksudnya catcall, baru tau akhir-akhir ini di medsos. Berarti sebenarnya fenomena ini sudah sejak dari jaman dahulu kala dan sepertinya sudah take it for granted kalo laki-laki (mulai ABG sampai orang tua) suka godain perempuan lewat. Entah suit suit, disapa, atau sekedar diomongin. Good lah kalau sudah mulai ada pergerakan perlawanan, seperti dulu kata "autis" yang sering dibercandain sekarang sudah mulai jarang orang yang bercanda pakai kata autis.

    ReplyDelete
  9. Aku dari kecil selalu dapat catcalling, mungkin karena muka yang agak etnis ini juga mendukung.
    Kesel tapi ga berani bales, takut diincer.
    Jadinya sampai besar suka kumat moody dan insecure kalau sendirian diantara keramaian cowok. Takut tiba-tiba ada yng mulai catalling.

    sedih :|

    ReplyDelete
  10. Aku kalau di-catcalling gitu suka aku samperin dan tanya kenapa. Orangnya jadi salting tapi ada juga yang bilang aku cakep. Aku balikin lagi, kalau istri atau anak dikayak giniin, gimana? Orangnya diem kek abis minum susu basi.

    Btw aku sendiri literally suka cat calling sih. Kalau ada mpus lucu deket rumah, aku suka buka jendela dan panggil-panggil mereka...

    ReplyDelete