Saya punya complicated relationship dengan franchise X-Men. Beberapa kali ekspektasi saya dilambungkan tinggi melalui film keren seperti X-Men: Days of Future Past hanya untuk dihempaskan lagi dengan film berbau 'Yaudah lah ya gaes, yang penting jadi' dan ada Mbak Olivia Munn kayak X-Men: Apocalypse. Maka ketika saya diajak nonton Logan oleh seorang kawan... ekspektasi saya nggak ada sama sekali. Lagian kalau boleh terus terang, saya nggak terlalu ngerti juga sih timeline di X-Men itu kayak gimana.
Tapi ya tetep berangkat ke bioskop.
Filmnya bubar jam 00:15. Lumayan juga durasinya.
Tadinya saya cuma termotivasi, "Okelah nggak apa-apa kalaupun ternyata filmnya embuh... minimal ada Om Hugh Jackman yang ganteng". Eh ternyata saya salah besar. Filmnya sih bagus, tapi di sini Om Hugh Jackman-nya jelek! Hahaha. Dekil, memprihatinkan, nggak terawat gitu (atau mungkin sengaja nggak merawat diri supaya sulit dikenali). Sepanjang film sama sekali tidak ada momen-momen yang bisa saya gunakan untuk fangirling. Padahal banyak banget adegan Om Jackman ke mana-mana cuma pakai kaos singlet pamer badan. Tetep gagah dan tinggi menjulang, sih. Tapi saya terlalu fokus ke ceritanya sehingga tidak terdistraksi melakukan hal aneh-aneh.
Kemarin Twitter sempat ramai membahas rating Logan yang tergolong dewasa (di tiket saya juga tertulis 17+, tapi menurut saya lebih baik 21+ sekalian), dan sungguh itu benar adanya. Sepuluh menit pertama―atau malah lima menit pertama?―penonton sudah disuguhi appetizer yang membuat kita punya bayangan, ke menit-menit berikutnya film ini bakal jadi kayak apa. Adegan berantemnya nggak tanggung-tanggung. Serpihan-serpihan daging manusia seringkali terpampang nyata seolah-olah itu remahan brownies. Jangan bawa anak-anak untuk nonton Logan ya Pak, Bu, jika kalian keberatan buah hati kalian terpapar kekerasan ekstrem. Kalau masih nekat bawa anak kecil tapi kemudian ngomel-ngomel ke pihak bioskop di media sosial itu sih tolol...
Nek ngeyel, takculek mripatmu!
Cerita Logan berlatar di tahun 2029, saat James Howliett (alias Logan alias Wolverine) sudah mulai uzur dan Charles Xavier sudah menjadi tua bangka. Di sini saya menyadari, Hollywood telah belajar satu hal penting: tahun 2029 pun hidup manusia juga kayaknya bakalan gini-gini aja. Ingat kan, gegap gempita semasa mendekati tahun 2000? Semua film berlomba bikin konsep tahun 2000-an yang futuristik lengkap dengan mobil terbang, gedung mengambang, pintu ke mana saja, blah blah blah. Pret. Mimpi, bro. Di Logan, Hollywood tampak realistis dengan tidak menampilkan hal-hal yang terlalu wow nan utopis. Biasa aja... kayak La La Land.
*Kemudian dibakar hidup-hidup oleh netizen.*
Oke. Logan dikisahkan hidup mengasingkan diri bersama Profesor X di pinggiran Meksiko dengan bantuan mutan lain bernama Caliban. Demi mencari nafkah, Logan bekerja sebagai supir limusin sewaan (kayaknya sih sistemnya semacam Uber atau GrabCar gitu deh). Harapan Logan sebenarnya hanyalah menjauhkan diri mereka sebisa mungkin dari khalayak ramai. Ditambah lagi, dunia sekarang tidak mutant-friendly.
Tapi demi perkembangan cerita... angan-angan Logan harus tidak terkabul.
Sesosok perawat bernama Gabriela menemui Logan dan meminta pertolongan untuk mengantarkan dia dan anak perempuan bernama Laura keluar dari Meksiko. Menuju North Dakota. Dibayar, sih. Lumayan mahal pula. Masalahnya, ternyata mereka berdua diincar oleh sekelompok orang jahat (anggap saja begitu). Logan akhirnya dilanda dilema. Perlukan dia menolong Gabriela demi uang bayaran yang lumayan? Atau berlagak cuek dan pura-pura nggak kenal demi menjaga stabilitas status quo?
Kehadiran Laura, gadis kecil yang dibawa Gabriela, tadinya membuat saya punya kesan bahwa film ini berbau Disney-ish. Macem Iron Man 3, gitu. Iya sih, terasa mirip film Disney... tapi ditujukan bagi anak-anak yang terlalu cepat tumbuh dewasa. You will get what I mean when (or after) you watch this movie.
Jujur saya iri dengan Dafne Keen, pemeran Laura. Umur segitu dia sudah main film action dari franchise terkemuka bareng Hugh Jackman serta Patrick Stewart, dengan kualitas akting yang mumpuni. Mungkin karena dia belum kenal jaim jadi justru bisa lebih bebas. Sementara saya ketika seusia Dafne, perilaku yang paling mendekati 'action' adalah memanjat pohon talok dan pohon pete di halaman depan sekolah. Kesenjangan nasib dan talenta ini sungguh membuat saya insekyur.
Nonton Logan ini capek. Sumpah. Menguras emosi. Not in the Dangal level of 'emotionally engaging', but it exhausts us nonetheless. Perasaan penonton dilibatkan di setiap adegannya, membuat Logan bisa dikatakan sebagai film X-Men yang paling down-to-earth dan 'apa adanya'. The emotions are so raw and so there. Beberapa kali saya bawaannya kepengin menghampiri Om Jackman lalu ngepuk-puk bahu dia yang alamak itu.
Kisah Wolverine selama sekian tahun ini telah ditutup oleh 'Logan' dengan baik. Bukan akhir yang ideal. Bukan pula akhir yang sempurna. Bahkan mungkin bukan akhir yang diinginkan beberapa orang. Tapi hidup manusia memang hampir tidak ada yang ideal dan sempurna kan? Hidup juga tidak selalu berjalan sesuai keinginan. Some gains and some losses. But everything still works out fine.
Bagi saya, film ini 8.3/10.
Mau nggak seandainya ada yang ngajak nonton lagi? Waduh.. nggak deh. Hati saya nggak kuat menghadapi intensitasnya. Hahaha. Haha. Ha. #DasarLemah
z. d. imama
Menarik sepertinya.. (Modal ngeliat trailer yang disuguhi aksi berantem yang keren mau berekspektasi tinggi haha)
ReplyDelete.
.
.
.
.
.
.
Nonton Kung Fu Yoga lah yuk!
Sekarang kalo nonton film, beneran aku g pernah pasang ekspektasi... biar ya itu... klo filmnya embuh gak terlalu kecewa... Niat nikmatin aja. Hihi
ReplyDeleteTampaknya film ini benar2 melelahkan ya? Jadi bikin saya lebih mikir berkali2 utk nonton, ga jd aja udah ah
ReplyDeleteSaya mbaca resensimu malah fokus pada keahlianmu manjat pohon talok. Pohon talok, my man! Seberapa banyak yg nyebut nama pohon itu di postingan blog jaman skarang. Njenengan superb tenan..
Ijin mendarat. Kunjungan Balasan. heheh
ReplyDeleteSalken mbak'e
Wow beda banget ya si logan di sini? Akupun pas nonton yang x men appocalipse uda dag dig dug der duluan kirain logannya ketampil di akhir sebagai hero yang sesungguhnya e kecele hihi
ReplyDeleteSeseartis cilik yang dicetak dari film franchise ginian, percaya deh besokannya bakal dipake lagi dan dipake lagi lalu akan dibandingkan performanya saat masih cilik dengan pas uda gedean hihi #ekspektasi
ReplyDeleteSamaaaa aku juga ga seheboh yang lain menanggapi la la land...soalnya selera kali yak hihi
ReplyDelete8 out of 10 berarti bagus dong ya?
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeletelagilagi tiada saya baca, berhubung bajakannya belum keluar di popcorn time :v
ReplyDeleteGak suka endingnya :))))
ReplyDeleteBanyak banget yang bilang kalo ene film bagus banget..
ReplyDeleteTadinya sama sekali kepikiran mau nonton, tapi krna banyak ornag yang review dan sprtnya booming banget..
Gua jd kepingin nonton juga deeh..
-.-
Endingnya... Mati. Kalo gak mati film franchise ini bakal berlanjut :D
ReplyDelete