The Angkot Blues
Beberapa hari belakangan, linimasa Twitter saya ramai dipenuhi kawan-kawan―dan kawannya kawan-kawan, bahkan hingga orang-orang yang sama sekali tidak saya kenal―membahas mengenai jasa transportasi online dan konvensional (bus swasta, Metromini, angkot, dan lain sebagainya) karena peraturan Kementerian Perhubungan, yang contoh artikel beritanya bisa dilihat dari sini dan sini. Terus terang saya cukup tergelitik untuk ikut bersuara... dan akhirnya saya putuskan untuk membuat tulisan ini.
Jika dinilai dari keriuhan di Twitter, kebanyakan orang-orang menyatakan dukungan pada eksistensi transportasi online. Aturan Kemenhub tidak adil, katanya. Jaman sudah berganti, masyarakat sebagai konsumen butuh moda alternatif, dan saya juga melihat orang-orang (here I am trying my best not to use that N word) beramai-ramai mengisahkan pengalaman buruk mereka saat naik angkot, Metromini, atau transportasi umum konvensional. Saya membaca puluhan―atau ratusan?―tweet-tweet pengalaman itu dengan perasaan agak miris. Sedih. Nyaris tidak ada yang 'membela' angkutan konvensional. Tetapi saya lebih sedih lagi karena tahu betul bahwa... benar adanya semua hal-hal yang dikeluhkan masyarakat pengguna transportasi umum.
Angkot dan bus swasta merupakan sarana transportasi saya sehari-hari sejak SMP hingga kelas 2 SMA. Bahkan kuliah pun, karena saya gadis rantau yang tidak memiliki kendaraan pribadi di perantauan, saya selalu menggunakan transportasi umum, Ibaratnya, jika Paula Hawkins membuat novel best seller dengan judul The Girl on The Train (yang difilmkan dan saya buat review-nya di sini), maka saya sesungguhnya bisa membuat novel tandingan bertajuk "The Girl on the Angkot" dengan bermodal pengalaman hidup pribadi.
Kecopetan handphone? Pernah. Dua kali, malah. Bahkan ketika itu saya masih anak sekolahan. Diturunin seenaknya di tengah jalan? Sering. Dipaksa turun padahal belum sampai tempat tujuan, tapi ongkos tetap ditarik? Berkali-kali. Dikata-katain pengamen semi-preman karena nggak ngasih, tapi kernet cuek-cuek aja berlagak nggak liat? Bukan sekali-dua kali. Sempat juga diancam mau diperkosa (waktu itu hanya saya yang ada di dalam Metromini) oleh tiga orang pengamen karena saya menolak memberi mereka uang. Ngetem kelamaan sampai buyar semua rencana? Hahaha... lagu lama. Belum lagi ditambah episode angkot dan bus yang kebut-kebutan karena kejar setoran atau berebut penumpang. Padahal tahu sendiri sebagian dari angkot dan Metromini itu sudah tidak layak jalan, besi tua, bodinya lebih mirip kaleng kerupuk... jadi ya kalau dipakai ngebut ugal-ugalan suaranya gedumbrangan dan setengah 'terbang'.
Oh, satu lagi. Jangan lupakan frase legendaris sang kernet/supir angkot dan bus: "Ayo, ayo, masih kosong.. masih lega" padahal kondisi penumpang sudah lebih mirip pepes sarden. Nggak paham deh sumpah. Saya pernah protes kepada supir ketika angkot yang saya naiki ngetem lama. Jawabannya, "Kalau mau cepet nggak usah naik angkot! Bawa motor!" Pernah juga sejumlah penumpang di Metromini yang saya naiki meneriaki kernet yang memaksakan muatan, eh dibalas dengan nada menghina, "Kalau mau lega ya naik taksi sono!"
Masih ingat kecelakaan tahun 2015 ini?
Dulu, sering sekali saya menahan kemarahan hanya gara-gara naik angkot atau Metromini. Sumpah nggak sehat. Bikin stres. Makin rawan depresi akibat meratapi ketidakmampuan diri bayar lebih untuk naik kendaraan yang lebih 'oke'. Wajar kan apabila belakangan ini transportasi umum yang kerap saya gunakan (selain ojek online, because my broke ass cannot afford the 'car version') hanya TransJakarta dan Commuter Line? Kondektur TJ adalah satu-satunya yang berani mengatakan, "Tunggu bus selanjutnya, ini sudah tidak muat" kepada penumpang.
Namun, di belakang rentetan pengalaman tidak mengenakkan itu... saya pernah satu kali ditolong oleh bapak supir angkot. Nggak aneh-aneh sih ceritanya. Suatu hari saat masih mahasiswa, saya pulang kemalaman setelah dari Bandung mengunjungi teman. Kehabisan bus MGI arah Depok, dan akhirnya naik bus tujuan Bogor... diturunkan di sebelum tol Jagorawi. Hahaha. Padahal itu sudah lewat dari jam sebelas malam apa ya? Nah, saya melompati pagar pembatas jalan tol, turun ke jalanan 'biasa' yang letaknya agak di bawah, lalu terbengong-bengong mencari cara untuk pulang ke kosan. Kemudian lewatlah sebuah angkot kosong yang ketika saya tanya, "Sampai Pondok Cina, Pak?" supirnya mengiyakan. Berkilo-kilo meter kemudian, saya baru tahu kalau ternyata jalur angkot tersebut sama sekali berbeda... namun pak supir memutuskan mengantar saya pulang agar tidak kelamaan di jalanan tengah malam.
Terima kasih banyak, bapak supir angkot. Saya tidak sempat menanyakan nama bapak, tapi kebaikan bapak waktu itu tidak akan pernah saya lupakan, Pak.
Well, anyway...
Semoga dengan segala hiruk-pikuk transportasi online ini, angkot, Metromini, bahkan ojek pangkalan (yang pasang tarif seenak jidat meski seringkali tidak mau menyediakan helm) mau berbenah diri. Masyarakat maunya sederhana kok: aman dan terjangkau. Urusan nyaman... sepertinya selama masih manusiawi dan tidak membahayakan keselamatan, cukup bisa dikompromikan kok. Contoh: Commuter Line pada jam sibuk. Penuh sesak, terbilang tidak nyaman, tapi berhubung masih relatif 'aman' ya sudahlah.
z. d. imama