Monday 29 August 2016

Thank God, I have a job.

Monday, August 29, 2016 3

Kadang-kadang kita terlalu sibuk mendongakkan kepala sepanjang waktu. Sibuk membandingkan diri dengan mereka yang posisinya jauh lebih 'mampu' dan 'berada' di atas kita. Sampai leher kita tengeng. Sampai kita tidak menyadari hal-hal penting lain, misalnya lubang besar yang menganga di depan mata... hingga akhirnya kita terjun bebas terperosok jurang. Boro-boro menyempatkan diri menunduk, menyadari keberadaan mereka yang lebih kurang beruntung, lha wong menatap berkeliling untuk menatap satu per satu apa yang saat ini kita miliki saja tidak sempat.

Pada saat postingan ini ditulis, Internet (baca: Twitter, karena kini saya terus terang nggak peduli-peduli amat dengan platform lain macam Facebook atau Path atau Instagram) lagi ramai nge-troll ciri-ciri pengguna narkoba yang dikeluarkan BNN, tapi perhatian saya justru tersedot pada sebuah tweet yang diposting @setyaoctaa.

Foto yang dilampirkan dalam tweet itu membuat tenggorokan saya kering seketika.


Tulisan di kertas:
NEED A JOB.
Management.
Experience 3 1/2 years.

Dear mother, help me because I almost shed a tear.

Berdasarkan informasi dari tweet yang saya lihat, mas-mas (bapak-bapak?) ini terlihat berdiri di sekitaran Jalan Biliton, Surabaya. Barangkali beberapa orang akan nyeletuk, "Lah daripada berdiri kayak gitu di tepi jalan mendingan aktif lamar-lamar kerjaan lewat situs job vacancy atau masuk-masukin CV ke perusahaan langsung?"

And yet, this dude probably already did them all.


Antara belum dapat panggilan, atau kandas di sesi wawancara, cuma dia dan Tuhan yang tahu. Lantas di sela-sela waktunya dia memutuskan untuk menjajal peruntungan dengan berpegal-pegal di pinggiran jalanan, terpapar panas dan asap kendaraan, bau keringat (pakai jas begitu di luar ruangan ki sumuk tenan lho) bermodal harapan ada yang melihat dan berkenan menghampiri dia untuk memberi kesempatan kerja.


Melihat foto itu, dada saya ampek.

Nyesek. Seolah-olah ditindih koper seberat 30 kilogram, yang biasa dibawa anak-anak exchange student atau mahasiswa-mahasiswa yang kuliah di luar negeri. Sedih sekaligus tertohok, karena saya, anak baru lulus awal tahun 2016 yang belum genap setahun bekerja di sebuah perusahaan Jepang kadang-kadang kurang bersyukur terhadap apa yang saya miliki sekarang. Betapa seharusnya saya merasa lega karena punya penghasilan sendiri, tidak perlu menyusahkan orang tua lagi di kampung halaman. Dan memergoki tweet yang memuat si bapak, bisa jadi adalah hal yang patut disyukuri juga, karena sudah membuat saya teringat kembali bertumpuk-tumpuk hal baik yang pernah terjadi dalam hidup saya.

Bapak itu mungkin kondisinya tidak seberuntung saya yang masih single (maaf numpang iklan). Barangkali dia sudah berkeluarga, atau bahkan memiliki anak. Yang artinya, urgensi untuk mendapatkan pemasukan jauh bertambah berkali-kali lipat. Barangkali pula dia tidak mengundurkan diri dari kantornya yang lama, but he was laid-off. Maybe his previous company collapse because of this bad economy, or they simply don't have any work for him anymore. Saya hanya bisa mendoakan semoga si bapak segera mendapatkan pekerjaan yang baik.

Amin.

z. d. imama

Wednesday 24 August 2016

New book in the shelf: Manungsa #1

Wednesday, August 24, 2016 3

Rak buku saya sejak kemarin punya dua penghuni baru. "Lima Menit Sebelum Tayang" buatan Ockto Baringbing - Matto Haq dan "Manungsa", karya Jaka Ady Saputra dan Erfan Fajar. Berhubung saya sudah lebih dulu familier dengan nama Erfan Fajar lewat komik "Arigato Macaroni", maka di antara dua buku itu, Manungsa lebih dahulu saya robek segel plastiknya dan baca hingga halaman terakhir.

And this is my personal take on said comic.
[ POSSIBLE MINOR SPOILER/SNEAKPEEK ALERT]


boneka beruang ini namanya Sayuti Melik.
(please don't ask me why)

Ada banyak hal yang saya suka dari Manungsa. Tetapi ada juga sedikit hal yang membuat saya agak mengernyitkan kening. Dua-duanya akan coba saya tuliskan di sini, dan kalau-kalau tulisan ini dibaca oleh Kak Erfan dan Kak Jaka, semoga tidak ada yang menyinggung perasaan karena saya tidak punya niat buruk sama sekali. Sumpah.

Oke, saya mulai nih ya.
*menyalakan mikrofon*

Hal dari Manungsa yang menarik perhatian saya di awal adalah, meskipun di kaver depan hanya dituliskan nama dua orang author utama, di halaman depan setiap chapter turut dituliskan nama-nama asisten yang turut andil dalam pembuatan komik ini. Salut, sih. This is a good way of appreciating other people's direct contributions. Entah saya yang kurang gaul, kurang referensi, atau kurang kaya (jadi nggak bisa belanja banyak buku), tapi baru di Manungsa saya melihat yang begini.


Buku pertama Manungsa ini memuat sembilan bab, yang mana menurut saya belum bercerita banyak.

Tokoh utama adalah kakak-beradik yatim piatu Kanaka dan Rakai. Kedua orang tua mereka menjadi korban tewas dalam musibah besar yang menimpa Pakuan, kota tempat tinggal mereka dulu. Si sulung Kanaka dikisahkan masih belum move on dari tragedi masa lalu. Lebih dari satu dekade telah terlewati, tapi dia masih tanpa menyerah berusaha mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di hari yang mengubah hidup mereka itu. Sang adik, Rakai, digambarkan sebagai remaja laki-laki cerdas dengan model rambut cukup unik: poninya kriwil seperti Yuki dalam Arigato Macaroni sedangkan rambut belakangnya mirip Kapten Oozora Tsubasa, njabrik-njabrik lucu. Gemesh.

Karakter penting lain yang sudah diperkenalkan adalah Rana Niena dan seorang (sebuah?) robot komandan pasukan militer bernama Backpfeifengesicht yang wajahnya harus digambar pakai spidol supaya tampak lebih 'manusiawi'. Saya tidak tahu apa yang membuat Kak Erfan dan Kak Jaka memutuskan menamai karakter dengan ejaan seribet ini, tapi saya berharap di jilid berikutnya, kami akan diajari cara baca nama sang komandan secara baik dan benar. Ya daripada kami (baca: saya) terus-terusan menggumam "Iki piyeeee le arep nyebut jenenge..." setiap kali tokoh tersebut muncul dalam panel. Huhuhu.


Cerita Manungsa berlatar di Indonesia (tampaknya). Versi alternate universe. Atau minimal bau-bau futuristik gitu, mengingat ada adegan pemutaran lagu salah satu grup idol Jepang yang sungguh populer di masa kini namun dikatai sebagai lagu kuno oleh Rakai. Saya pribadi cenderung suka dengan penamaan kota Giacarta, walau agak ngikik juga ketika melihat kata Gresic. Terbayang seketika dalam benak saya aneka nama kota di Indonesia jika dibumbui sedikit twist ala-ala Manungsa: Depoque, Suracarta, Macassar...

Dialog-dialog antarkarakter juga menyenangkan dan mengalir cukup mulus. Tidak terasa asal, namun masih kasual untuk digunakan sehari-hari tanpa kesan kaku. Di sisi lain, narasi justru cenderung puitis, seolah-olah dicomot dari buku dongeng. And surprisingly, this combination of two styles results in something good. GREAT, even. Manungsa sangat mengesankan sewaktu dibaca, tidak ada bagian yang bisa saya sepelekan begitu saja.

Visual-wise, komik Manungsa ini bak beauty pageant yang bersaing ketat di tiap halamannya. NGGAK. ADA. YANG. JELEK. Ungkapan 'vitamin mata' sangat layak dilekatkan untuk komik ini. But hey, on a second thought, I had never known any 'bad artworks' when it comes to Erfan Fajar. Cuma yang paling bikin saya ngiri, RAMBUT CEWEK-CEWEKNYA BAGUS-BAGUS AMAT SIH?! Saya penasaran nih, mereka semua pakai sampo merek apa? Pantene? Sunsilk? Tresemme? Emeron? *emosi campur kepo*

SEE ALL THAT HAIR?? I'D KILL TO HAVE HER HAIR.
(umm... no, actually. ain't that brave to kill someone)

Satu lagi keistimewaan Manungsa yang wajib disebut. Komik ini mengandung sebuah unsur lokal yang lumayan kental mengakar di masyarakat kita, yakni hal-hal supranatural. Alias: KLENIK. Setan-setan dan makhluk-makhluk jelmaan. Ajaibnya, meskipun saya sudah muak berat dengan film-film setan picisan dalam negeri yang nggak ada capeknya menyatroni bioskop, harus diakui bahwa Manungsa berhasil mengemas unsur ini menjadi sebuah hal yang sangat menarik. I can't help myself looking forward for the next "Anomali" to appear on Manungsa's pages.

Tidak hanya menampilkan versi upgraded dari makhluk-makhluk gaib lokal, Manungsa juga menyelipkan tembang Macapat "Pangkur" di salah satu halamannya. Sebagaimana anak-anak suku Jawa lain yang pernah mendapat pelajaran Muatan Lokal budaya Jawa di sekolah, saya mengetahui bahwa tembang Pangkur sejatinya berasal dari "Serat Wedhatama" karya Mangkunegara IV, Pupuh I. 'Pupuh' ini semacam bab, dan masing-masing terdiri dari beberapa 'Pada' atau sejenis sub-bab, bait, whatever you name it. Untuk Pangkur sendiri, dia tersusun oleh 14 buah Pada.

Ya terus kenapa?

Bukannya kenapa-kenapa... Hanya saja saya sedikit mengerutkan dahi ketika melihat halaman ini:


Saya tulis ulang lirik yang tertera di sana (beberapa bagian minor agak berbeda dengan yang di gambar karena basisnya adalah pengetahuan yang saya peroleh.):

Mingkar mingkuring ukara
Akarana karenan mardi siwi
Sinawung resmining kidung
Sinubo sinukarto
Yen mangkana kena sinebut wong sepuh
Liring sepuh sepi hawa
Awas roroning ngatunggil

Baris pertama hingga keempat, itu adalah isi Pangkur untuk Pada 1, dengan kata 'ukara' menggantikan 'angkara' dan 'karenan' alih-alih 'karnan'. Sedangkan baris kelima hingga ketujuh (yang bergaris bawah) adalah muatan Pangkur dalam Pada 12.

Artinya?
Mereka sebetulnya nggak sepaket.

Tembang Pangkur jika dilagukan urut dari Pada 1 hingga Pada 12 aslinya lumayan panjang, dan jika melihat adegan komik di mana tembang ini digunakan (ketika salah satu karakter sedang berubah wujud), semestinya itu mengisyaratkan sang tokoh makan waktu cukup lama untuk berganti rupa. Bisa dipakai beli gorengan anget dulu di abang-abang PKL lalu dicemilin sampai mabok minyak jelantah. Saya tidak tahu apakah mash-up ini disengaja oleh Kak Erfan dan Kak Jaka atau tidak, namun saya tidak bisa memungkiri... kok agak ngganjel di hati juga ya ketika melihat halaman tadi. But probably it's just me being Javanese. *toyorin kepala sendiri*

(Update: ternyata belakangan saya diberitahu oleh Kak Jaka kalau Manungsa menggunakan lagu Gombloh sebagai basis. Yaelah. Pantes...)

Satu lagi yang saya kurang sreg dari Manungsa adalah bagian akhir bab tujuh dan awal bab delapan. Saya nggak bicara lebih detil mengenai adegan terkait karena itu akan lebih spoiling daripada yang sudah saya lakukan. Tetapi, kalau saya jadi Rakai (ulangi: kalau saya yang jadi Rakai), saya sih nggak akan segampang itu percaya omongan dan bujukan orang asing... who just done taking care of a whole squad, single-handed. Reaksi pertama saya mungkin, "ELO BARUSAN NGELIBAS SEPASUKAN DENGAN ENTENGNYA TERUS SEKARANG BILANG MAU BANTU GUE? YAKALI??? BIARPUN MUKA ELO GANTENG, GUE TETEP KAGAK YAKIN! PASTI ELO ADA MAUNYA! ADA UDANG DI BALIK BAKWAN!"

But then again, barangkali saya saja yang orangnya curigaan. Rakai nggak salah, kok. Dedek-dedek cerdas penyayang binatang nggak pernah salah.

FINAL VERDICT: Saya amat sangat penasaran sekali dengan kelanjutan Manungsa. Karakter yang sudah diperkenalkan cukup banyak dan sepertinya akan bertambah ke depannya. Petunjuk-petunjuk kecil tentang perkembangan cerita pun sudah disebar sedikit di sana-sini, dan sepertinya bakal ada grand plot yang lumayan... apa ya, berbobot, untuk dikisahkan melalui medium komik. Wish you the best luck, Kak Erfan dan Kak Jaka!

Harapan saya terkait komik ini ada dua. Pertama, semoga Manungsa bisa terus berjalan lancar hingga akhir cerita. Jangan sampai putus di tengah jalan karena itu bakal terlalu menyedihkan untuk premis cerita dengan konsep keren begini. Kedua, saya harap jalan cerita Manungsa nantinya nggak akan muser-muser tanpa juntrungan jelas (soalnya kisah dengan unsur sekompleks ini cukup berpotensi jadi ruwet). Jangan biarkan Manungsa berakhir layaknya Bima Satria Garuda yang nglokro di tengah-tengah.

...nggak apa-apa lah ya sebut merek.

Try Manungsa, everyone, in case you have not read it. One way or another, it's a comic book you won't regret buying. You may fall in love with the artwork, or with the story, or perhaps with the adorable characters. There's always something to like about Manungsa. So go get your own copy.

---

*P.S: Manungsa sudah banyak yang sold out di sejumlah toko buku dan cabang-cabang Gramedia. Kalau baru mau nyari sekarang, coba ke Gramedia Matraman Jakarta. Masih ada ready stock. Atau, bisa beli online di gramedia dot com seharga Rp40.800 saja (harga asli Rp48.000) dan mereka lagi ada promosi free shipping cost sepanjang bulan Agustus.


You're welcome.
*matiin mikrofon*

z. d. imama

Sunday 21 August 2016

Spirited Away... to #GhibliJKT

Sunday, August 21, 2016 9

Actually, the event happened yesterday, and the only reason I write this entry tonight is because I was too busy savoring those wonderful, overwhelming post-event feelings. Jarang-jarang saya merasakan sensasi semacam ini sepanjang hidup, jadi saat perasaan itu hadir, saya memilih untuk menikmatinya dulu sendirian (karena sejatinya, saya orangnya pelit).

Mungkin beberapa dari kalian yang menjenguk blog saya, sudah sempat mendengar riuh-rendah mengenai #GhibliJKT di media sosial khususnya Twitter. Atau barangkali justru ikut berpartisipasi. Singkatnya, awal mula #GhibliJKT adalah sebuah tweet yang dilahirkan dari jempol Mbak Keinesasih sebagaimana tertera di bawah ini:



Sebagai salah satu manusia yang nangis tersedu-sedu saat menonton sejumlah film-film karya Studio Ghibli, saya tentu tidak ketinggalan untuk turut mengisi survei di tautan yang disediakan. Pada bagian pertama survei kami diharuskan mengisi biodata. Itu mah gampang, lah. Toh mana mungkin saya ngaku-ngaku sebagai Mia Wasikowska atau Kitagawa Keiko. Tetapi masalah muncul tatkala mata saya tertumbuk pada dua pertanyaan terakhir dengan kolom jawaban berformat esai: "Why do you love Ghibli films?" dan "If you have the chance to meet people from Studio Ghibli, what would you say to them?"

Kurang lebih seperti itu. Saya agak lupa verbatim pertanyaannya, but you get the gist of it. Dan di dua pertanyaan tadi, jemari saya mengambang sejenak di atas permukaan keyboard laptop. Terus terang, itu bukan hal yang mudah untuk dijawab. Banyak hal bergumul kusut dalam benak dan hati saya setiap hati ditanya "Kenapa sih elo suka film-film Ghibli?", yang mana menguraikannya akan membutuhkan sedikit kerja ekstra.

Tapi sekian detik kemudian saya menulis.

Jemari saya bergerak kembali, mengetikkan kata demi kata yang (walau masih berantakan) semoga cukup mewakili perasaan. Dan seiring kalimat yang saya letakkan dalam kolom jawaban, pandangan saya berangsur buram. Mata saya memanas. Dada saya menyesak.

...FAK, MAU NANGIS.

Mengenang perkenalan perdana saya dengan film-film karya Studio Ghibli sukses membuat saya nyaris mewek. Sungguh luar biasa. Tidak semua film animasi bisa menimbulkan reaksi sejenis ini lho. Dan ngomong-ngomong, film Ghibli pertama yang saya tonton adalah Kaze no Tani no Nausicaa (bahasa Inggris: Nausicaa of the Valley of the Wind), pas jaman-jaman rental kaset anime masih booming dan nongkrong di situ sepulang sekolah hukumnya fardu 'ain.

Movie poster for "Kaze no Tani no Nausicaa"

Anehnya, makin jauh saya mengisi survei untuk mengikuti event #GhibliJKT, saya makin ikhlas. Tidak ada perasaan ngoyo harus menang. Berharap, masih. Tapi tidak banyak. Selesai mengisi survei dan menekan tombol 'Submit', entah kenapa rasanya seolah ada beban luar biasa hebat yang dilepaskan dari dada saya. Seperti berhasil menyampaikan pengakuan yang sudah dipendam bertahun-tahun karena tidak pernah tahu harus disampaikan kepada siapa, kapan, dan dalam momentum apa.

Harapan saya hanya satu: apa yang saya tulis bisa sampai kepada orang-orang Studio Ghibli. 

Hence, I wrote this tweet.


Apalagi ternyata jumlah total survei yang masuk mencapai lebih dari 3500 entri. DHUAR. Mantap, bro. Menjadi 150 orang terseleksi dari 3500 bukan hal yang sepele juga sih. So there comes another reason to be "legowo" from the very start. Tapi meskipun demikian, tetap saja jantung saya breakdance ketika Jumat malamnya, sehari sebelum acara dijadwalkan, daftar 150 orang pemenang tiket limited screening #GhibliJKT diumumkan.

Out of curiosity, I opened the link directed to @kaningapictures Instagram account.

And my breath literally caught in my throat for five whole seconds when I saw this part:

LOOK AT THE HIGHLIGHTED SECTION!

I. SAW. MY. NAME. 
Holy mother of Ponyo, my name was there!

I froze for five seconds with hitched breath. And when eventually realization kicked in, my hands holding my phone began to tremble. My stomach churned. I felt like my feet were afloat. I broke out in a cold sweat within seconds, and none of these are made-up stories

Langsung mules. Lambung saya bak diremas, dicincang, lalu diblender. Saya mendapat kesempatan bertemu eyang-eyang yang jauh-jauh datang dari Jepang dan perut saya bergolak nggak karuan. Nervous seketika. Malam itu, saya nyaris nggak bisa tidur. Antara nggak percaya dengan apa yang baru saja terjadi, bercampur kegundahan-kegundahan lain yang sungguh darurat nan amat penting seperti, "ADUH MAK, GUE PAKE BAJU APA BESOK SEWAKTU BAKAL MENGHIRUP UDARA DI DALAM RUANGAN YANG SAMA DENGAN SUZUKI-SENSEI??"

Tadinya sempat kepikiran mau pakai pakaian Ihram. Because, you know, bertatap muka dengan Suzuki Toshio-sensei bagi saya nyaris sama sakralnya dengan menunaikan ibadah umrah atau haji. Namun disebabkan alasan satu dan lainnya, niat itu akhirnya terpaksa saya urungkan (dengan cukup berat hati).

...and then August 20th came.

Saya datang ke lokasi (Cinema XXI Plaza Senayan) beberapa jam lebih awal. Alasannya cukup banyak. Pertama, saya kena pre-event anxiety attack jika berlama-lama di kamar kosan... jadi mendingan sekalian saja berangkat. Kedua, antisipasi kalau-kalau saya kesasar dalam Plaza Senayan, mengingat track record nyasar di mal selama ini cukup impresif.

Tapi yang penting saya bisa selamat sampai di tempat tujuan tanpa terlambat. Menjelang pukul 14:00 (jadwal pembukaan sesi registrasi ulang), pemenang survei sudah mulai ramai memenuhi lobi Cinema XXI. Wajah mereka ada yang harap-harap cemas, ada yang sumringah terang-terangan, ada juga yang masih menahan gejolak perut seperti saya.


Beberapa saat setelah pukul 14:00, bisa dilihat bahwa barisan antrian untuk registrasi ulang mulai terbentuk.



Suasana di meja registrasi mirip-mirip pas mau ngisi buku tamu kondangan, hihihi. Yang perlu dilakukan peserta pemenang survei hanya menunjukkan bukti berupa e-mail yang diterima dari Kaninga Pictures lalu tanda tangan di daftar nama yang sudah disediakan. SURPRISE SURPRISE : dapat merchandise dari Studio Ghibli berupa keychain!

Klasemen sementara
Ghibli: 1 | Neko Atsume: 0

Begitu studio dibuka, saya segera masuk biar bisa lekas duduk. Saya tipe manusia yang merasa agak kurang nyaman apabila harus berjalan lalu-lalang di hadapan penonton-penonton lain yang sudah duduk manis duluan di bangku mereka masing-masing, sehingga sebisa mungkin ingin menempatkan diri lebih awal.

Ternyata... kursi saya posisinya cukup di tengah! Posisi duduknya enak, nyaman. Nggak perlu miringin kepala ke kanan ataupun ke kiri untuk dapat the whole view of the screen. Sungguh luar biasa. Kayaknya jatah keberuntungan saya bulan ini disedot habis saat #GhibliJKT.

masih boleh foto-foto, film belum dimulai :D

Sen to Chihiro no Kamikakushi (Spirited Away) ini adalah film ketiga Ghibli yang bisa saya tonton di layar lebar. Rekor dipecahkan oleh Karigurashi no Arietty (The Secret World of Arietty), yang kala itu saya tonton di bioskop Jepang ketika masih menjadi exchange student di SMA Tachibana, Kyoto, beberapa tahun silam. Kali kedua adalah Kaze Tachinu (The Wind Rises), yang mana sempat diputar di blitzmegaplex, sebelum namanya berubah jadi CGVblitz.

Rasanya bagaimana, Sen to Chihiro no Kamikakushi dengan sentuhan teknologi bioskop? 

SUNGGUH MEMESONA. Karigurashi no Arietty was beautiful and mesmerizing all right, but Sen to Chihiro no Kamikakushi was... breathtaking. Now I know why this masterpiece won an OscarScoring dari Hisaishi-sensei terdengar luar biasa jelas, not even my headset could compare, dan saya hampir saja nangis berleleran gara-gara intensitas yang ditimbulkan.

Now, straight to the dessert:
Special attendance (appearance?) of Studio Ghibli team members, and Suzuki Toshio-sensei.
(Trivia: we sang "Happy Birthday" together the moment he and his team entered the studio!)


Kursi-kursi dan meja ditata di bagian depan studio seusai pemutaran film. Semua peserta langsung heboh. Yang tadinya duduk di barisan belakang berduyun-duyun mencari bangku kosong di lajur depan. And yeah, you read that right. ADA BANGKU KOSONG. That only means, some of the ticket winners bailed out in the last minutes. What a bunch of ungrateful people. *shot them with judgmental, death stares*

Kemudian, tiba-tiba, mas-mas MC mengatakan: "Yak, bagi yang ingin dapat tanda tangan dari Suzuki-sensei harap mengantri di sebelah sini."

WHAT?

Tunggu dulu!! Minta tanda tangan?! Right there, right then? Waaaa...! Nggak bener nih, huhuhu... Sebab sebelumnya saya sudah bertanya langsung ke pihak Kaninga Pictures dan panitia penyelenggara acara mengenai sesi signing alias minta tanda tangan, dan responnya bisa dilihat di bawah ini:

(Mbak Willawati, kenapa Anda pada hari itu memilih untuk menandaskan harapan saya?)
*cry until my tears extinguish the fire in our rain forests*

SEKETIKA PANIK LAH SAYA.
PANIK BERAT.

"Modyar, gue kagak bawa apa-apa yang bisa ditandatangani!" begitulah jeritan hati. 

But seriously, for the sake of Zeniba, gimana sih situasi ini huhu... Kenapa mendadak akhirnya kami diberi waktu untuk minta tanda tangan Suzuki-sensei? Tahu gitu kan lebih baik dari awal saya nggak nanya-nanya apapun ke panitia... Supaya minimal tetap siap tempur.

Saya mengaduk-aduk isi tas. Hasil: nihil. NONE. Nggak ada benda yang bisa dipakai jadi tempat minta tanda tangan. 

Tidak ada printout poster. Tidak ada buku catatan sekecil apa pun. Mau suruh tanda tangan di baju? Sulit. Karena pakaian saya hari itu bukan kaos longgar yang bisa diolor-olor di permukaan meja. Gawat, nih. Saya bisa menyesal tujuh turunan kalau sampai menyia-nyiakan peluang emas ini (dapat tanda tangan salah satu tokoh besar Studio Ghibli tanpa harus ke Jepang).

Saya pun bangkit dari kursi. Seraya memutar otak, memikirkan apa benda potensial yang dapat dimanfaatkan sebagai "penerima" coretan Suzuki-sensei, saya nekat masuk ke dalam antrean peserta yang hendak minta tanda tangan.

...and then when I saw rows of empty seats with equally empty popcorn boxes and soda glasses, I felt as if someone just turned on the lamp within my brain. So, my hand, with speed almost faster than Quicksilver, snatched this thing from the closest seat (and I didn't forget to make sure that there was nothing inside):

DEAR LORD I AM SO SORRY BUT I MADE SUZUKI-SENSEI SIGN A PAPER 
WHICH COMES FROM USED POPCORN BOX
(this is my 2016 year confession)

In my defense, I was being incredibly creative. And, well, somehow good at 'recycling', too. All I did was open up all the folds to take out the white part inside and choose the cleaner, upper part section (the area which hadn't contaminated with butter grease). AND THAT WAS IT.

It was only natural if I trembled (again) when the line got shorter and I finally could see Suzuki-sensei clearer. I was gonna ask him to sign something that is actually a trash... Anyone who wouldn't be super nervous in my situation is either incredibly shameless, or very put together. Oh hey, the big lump in my throat did a comeback as well. How nice. Now I could not speak properly, too.


Eventually, my turn came... 

And what made me nearly bursting into tears (again) was because Suzuki-sensei, with a smile on his face, signed my recycled-from-used-popcorn-box piece of paper. And he shook my hands after that! HE. SHOOK. MY. RAKYAT. JELATA. HANDS. And although this sounds not-so-hygienic, I might not really want to wash my hands until... well, at least, next month.

.
SEE THAT INSIGNIFICANT BEING WEARING PINK ON THE LEFT?
....That was me. and Suzuki-sensei was signing my insignificant paper.
(he's so humble and highly-spirited I wanted to weep from respecting someone so much)

A couple of minutes later...
I got my newest treasure!

I PROMISE MYSELF: I WILL NEVER HAND THIS OVER TO ANYONE.

That small piece of bekas wadah popcorn is a treasure that no one can snatch away from me. Not now, not tomorrow. Like, not ever. Yesterday I walked home feeling giddy, with my chest swelling from happiness, and it was the best feeling ever.

Thank you, Suzuki Toshio-sensei and Studio Ghibli team members, for your willingness to visit Indonesia. 

Thank you very much, Kaninga Pictures and Marubeni, for making this miracle-like event came true. Thanks to you too, Mbak Ines (and other people who I can't mention) who carefully read my words on the survey sheets and decided to give me this opportunity. It means so much to me, and I earnestly hope yesterday's #GhibliJKT event won't be the last.

z. d. imama

Friday 12 August 2016

Kos-kosan 101: A new place to call home!

Friday, August 12, 2016 3

Home is not something you take for granted. That much, I know perfectly. Sebagai salah satu manusia-manusia perantau di Jakarta, tentunya urusan PSP (pangan, sandang, papan) menjadi suatu perkara yang perlu dipikirkan dan ditangani sendiri. Apalagi dengan jarak kampung halaman yang jauh membuat saya tidak bisa mudah bolak-balik rumah-perantauan, sehingga urusan papan, alias tempat tinggal, menjadi hal krusial. Entah sejak kapan, muncul kriteria-kriteria tertentu yang harus dipenuhi oleh calon kamar yang hendak saya huni. Udah kayak jodoh aja, lah. Saya jadi punya beberapa standar ruangan tersendiri―dan itu tidak hanya berputar-putar di masalah bujet.

Semasa saya kuliah, menemukan tempat kos bukan masalah rumit. Secara lokasi pasti di situ-situ saja, yakni sekitaran area kampus sendiri. Ya iyalah... ngapain juga saya ngekos di dekat UNJ kalau kuliahnya di UI? Keputusan hanya mencakup tega-nggak-sih-suruh-orang-tua-bayar-duit-segini-buat-kos-kosan. Maklum, waktu itu saya cuma sanggup numpang part-time nggak penting sini-situ buat uang jajan. Biaya kosan masih dikirimin orang tua.

kamar kos saya sewaktu ngampus
(sempit tapi unyu)


Kebutuhan saya saat itu hanya satu: ada meja di kamar yang bisa dipakai belajar. Sebab saya bukan termasuk golongan umat yang bisa ngerjain tugas di atas kasur, atau di lantai. Kasur ya buat tidur. Di lantai? Uh... nggak nyaman. Saya suka menendang-nendang kaki meja atau kursi saat sedang stuck mengerjakan PR. I cannot do that if I work my ass on the floor.

Oh, wait a moment. Ada satu lagi yang saya wajibkan. Kamar mandi dalam. Because I have this weird feeling of unwillingness to share bathroom with some strangers, or some kos-kosan mates. Geli sih kalau memergoki saluran air tersumbat rambut-rambut rontok yang bukan milik saya sendiri.. Apalagi kalau sudah tercampur endapan sabun-plus-ekstrak daki yang menggumpal. Nggak diambil, bikin mampet. Mau ngambil juga rada jijik. Huhuhu. Dilematis.


Karena kamar kos lama saya memenuhi semua kriteria itu dan harganya murah meriah, saya ambil deh tanpa pikir panjang. Nggak pindah-pindah pula dari sana sampai saya lulus kuliah bulan Februari lalu. Masalah baru mencuat setelah saya diterima bekerja di satu perusahaan Jepang yang berlokasi di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. men. Bolak-balik Depok-Sudirman sebanyak lima hari dalam sepekan sama saja cari mati. KRL penuh sesak. Jalanan ramai luar biasa. Saya sebagai anak rantau terus terang males banget jika harus menghadapi situasi macam itu on a daily basis.

Because I CAN help it.
I can move to a closer place.

Nggak harus di belakang gedung kantor juga sih, but definitely somewhere closer to my workplace. Suatu tempat yang kondisi dan jarak tempuhnya nggak sesadis Depok-Sudirman.

Ini peron stasiun KRL atau pepes teri?

Di tahap inilah saya menyadari kalau mencari tempat tinggal yang cocok itu sungguh tidak mudah. Saya termasuk orang yang sangat membutuhkan―dan menikmati―dosis cukup untuk me-time, baik itu dipakai baca buku atau nonton download-an film dan serial TV sambil gegoleran. Dengan kata lain, ada hari-hari di mana saya mengendap terus di dalam kamar dan enggan menyapa manusia-manusia di luar sana.

Maka kamar mutlak nyaman. Aliran udara harus baik, sebab saya belum sepunya duit itu untuk bayar kamar ber-AC. Ruangan wajib cukup luas karena saya punya lemari tambahan untuk tempat buku-buku, dan saya perlu area untuk solat juga. Lebih lanjut, saya orangnya takut dan males banget berurusan dengan yang namanya hama rumah tangga (kecoak, lipan, kelabang, laba-laba, you name them) sehingga sebisa mungkin potensi kamar saya disatroni mereka itu kecil. And just to make sure, kasur tidak boleh kontak langsung dengan lantai.

Hell yeah I'm that paranoid.

Kesulitan yang saya hadapi dalam pencarian kamar kos baru ini adalah: mencocokkan standar kriteria dengan standar dompet. Sure, that. Memangnya apa lagi? *tertawa pahit*

Memangnya elo minta yang harga berapa sih?


First of all, saya memang bokek. But it doesn't have to mean that I'm not realistic. Mencari kamar kos-kosan yang layak huni di tengah-tengah Jakarta biasanya mengindikasikan bahwa saya harus siap membayar sewa mulai dari satu juta rupiah (untuk kamar tanpa AC) atau satu setengah juta rupiah (kamar dengan AC). Tapi meski begitu pun, luas area kamarnya belum bisa dipatok pasti berapa meter persegi. Padahal saya lebih memilih space daripada AC, asalkan aliran udara kamar sudah oke.

Dan setelah muter-muter ke berbagai tempat...
Akhirnya saya menemukan kamar yang cocok! *sebar konfeti*

Betapa bahagianya saya, kini penderitaan menempuh perjalanan Depok-Sudirman sudah tidak berlanjut. These pictures below will show you my current room. They come in B/W because the color palette is so messy, I don't want you to see it. (Thus, having a color-themed room successfully becomes my recent wish)


Yes, I still have that teddy bear.
Got a problem with that?

Masih ada sekitar tiga kardus akua yang saya belum bongkar.. gara-gara nggak ada wadah buat naruh. Hiks.
Kayaknya harus beli boks dulu.

Mahal nggak, neh?

Untuk harga sewanya... ya wajar, lah. Nggak bisa dibilang murah juga. Namun, minimal saya masih sanggup bayar pakai gaji sendiri. Nggak perlu panik nyari gadun. So there comes another motivation to work my ass harder and not skipping it: because I need to pay my (now three-to-four times more expensive) rent.

Mencari tempat untuk pulang memang gampang-gampang susah. Atau kalau kalian tipe orang yang cenderung negatif: susah-susah gampang. Tapi bukan berarti mustahil, kok. Sometimes you get lucky, and some other times you have to compromise a little bit more. but as long as you can call it 'home', why not? Overall, I love my new place.


What do you think? 

Or do you have some things to say about yours?

z. d. imama

Tuesday 9 August 2016

Gramedia Matraman is a trap!

Tuesday, August 09, 2016 6

Okay, this is gonna be short. Seumur-umur saya tinggal di Jabodetabek, baru weekend kemarin saya menapakkan kaki ke salah satu tempat paling mulia sejagad ibukota Indonesia. Lebay? Mungkin. Tapi bodo amat. Ini kan pendapat saya, jadi standar yang dipakai ya standar pribadi. Lalu bangunan apakah yang menurut saya patut menyandang label mulia itu?

Jawabnya:
Gramedia Matraman.

Saya berangkat ke sana naik jasa angkutan idola sebagian penduduk Jakarta: ojek online. Ternyata tagihannya nggak sampai sepuluh ribu rupiah. Wah, sinyal bahaya pertama. Ongkos transportasi yang tidak mahal akan meningkatkan kemungkinan saya bakal sering bolak-balik ke TKP. Namun jujur saja, setelah perjalanan yang hanya memakan waktu sekitar dua puluh menit dan motor ojek direm mulus di depan pelataran parkir Gramedia Matraman, saya susah percaya kalau gedung yang berdiri di hadapan saya adalah toko buku.



Tampilannya dari luar biasa-biasa saja. Nggak ada yang istimewa. Medioker kayak teriakan para War Boys di film Mad Max. Berhubung saya turun di dekat area parkir mobil dan sama sekali nggak tahu pintu masuknya di sebelah mana gara-gara kunjungan perdana, saya sempat menghabiskan waktu sekitar lima menit untuk sok-sok menyenderi mobil kinclong terdekat dan mengamati manusia-manusia lain yang juga hendak masuk ke toko buku. Because saving yourself from unnecessary embarrassment is important (and I have had embarrassed myself often enough).

(No extra slots for more.)

Motivasi saya main ke sini sebetulnya sederhana. Saya ingin mencari sebuah manga rilisan terbaru yang terbit beberapa minggu lalu. Biasanya sih saya perginya ke TMBookstore (karena harganya lebih murah beberapa persen). Tapi disebabkan stok buku di sana cepat habis dan kadang kurang lengkap, ditambah jarak yang cukup lumayan, akhirnya pilihan saya hari itu jatuh ke Gramedia Matraman. Dibela-belain pergi ke Gramedia pusat cuma untuk beli satu komik seharga dua puluh ribu rupiah.

Niatnya sih begitu.
...Kenyataan berkata lain.


Lantai satu Gramedia Matraman ternyata penuh printilan-printilan lucu-lucu (atau dalam istilah bahasa yang lebih beradab: pernak-pernik) mulai dari alat-alat tulis, kertas kado, boks penyimpanan, jam dinding maupun weker, hingga benda yang urgensi eksistensinya dipertanyakan. Kotak musik, misalnya.

I saw this music box and thought that it was cute.


Then the music started playing and I was kind of freaked out. That Paris-ish music box is playing Laputa's soundtrack (for all of you folks who don't know what the hell is Laputa, hit this to go straight to Wikipedia). Saya bahkan hampir khilaf dan nyaris terhasut rayuan musik maut yang seolah menghipnotis orang untuk membelinya.


Demi mencapai tujuan awal, saya naik ke lantai... berapa ya? Lokasi buku komik sepertinya diletakkan di lantai ketiga atau keempat. entahlah. Penamaan lantainya bahkan saya belum hapal. Yang jelas, sesampainya di lokasi rak-rak penuh buku komik, saya mulai bergerilya mengitari area tersebut untuk mendeteksi keberadaan buku incaran.

...Tapi kok nggak ketemu-ketemu?

Ini entah toko bukunya yang kegedean atau saya yang amatiran? I even ran it on the database and it said that the stocks are still around thirty books. That amount of stack should be noticeable, right? toh bukan sebiji-dua biji yang bisa nyelip di mana-mana. Pas sudah nyaris putus asa, tiba-tiba mata saya tertumbuk pada sebuah rak. Dan entah kenapa rasanya ada sesuatu yang membuat saya memerhatikan lebih jeli. Semacam ada yang menahan tatapan saya supaya tidak meleng dulu.


Saya lalu mendekat sedikit.
Lho, komik dengan kaver bernuansa putih-oranye itu kan...


BINGO!

Ketemu juga akhirnya! Usaha mengitari area lantai komik berulangkali bak orang thawaf ternyata membuahkan hasil. Minimal target utama sudah tercapai. Kalaupun nantinya ternyata kalap dan belanja ini-itu tanpa bisa dibendung, itu urusan lain.

...I guess I'm THAT bad at doing self-financial management.
(That's okay. someone I know said that savings are for wankers anyway.)


Ngomong-ngomong, manga berjudul 'Haikyuu!' yang dibeli sudah pernah saya buat sedikit ulasannya di sini. meskipun lebih mirip ceracauan nggak jelas, sebagai formalitas marilah kita anggap tulisan itu adalah sebuah review ala-ala.

Overall, pengalaman pertama ke Gramedia Matraman ini menyisakan mixed feelings di dalam hati saya. Seneng sih iya. Tapi berkecamuk juga iya. Lantaran niat hati hanya ingin beli komik seharga dua puluh ribu rupiah sebiji (dan sengaja bawa duit pas pula), eeeeh... yang terjadi ujung-ujungnya tetap saja gesek kartu debit. Aduh mak, pulang-pulang kepengin nangis. Antara nangis bahagia atau nangis perih, "Wanjirrrr... gue bisa survive nggak nih sampai gajian berikutnya?"

Apalagi ditambah fakta bahwa saya sempat menyambar beberapa buku kanan-kiri dengan liar sebelum ambil antrian di kasir, seperti 'Gone Girl'-nya Gillian Flynn yang nggak pernah sempat kebeli karena dulu saya mahasiswi bokek... (dan kini saya naik pangkat menjadi pekerja bokek) serta 'The Shining'-nya Stephen King, yang saya idamkan sejak lama tapi nggak nemu-nemu bukunya.


It's okay. It's toooootally okay. Nggak apa-apa. I'm used to being broke anyway, so it should be fine. nggak usah khawatir berlebihan. I should have pretty good chance of survival. *continuous attempt of self-consolation until the next payday*

z. d. imama

Wednesday 3 August 2016

The Skin I Live In

Wednesday, August 03, 2016 2

Some people have their least favorite body parts.
Some others have physical traits they are really fond of.
And many people never actually pay special attention to their physique... all is well as long as everything works out fine.

Kali ini saya ingin membahas tentang sebuah... apa ya, elemen, yang terdapat pada tubuh saya. Sesuatu yang kasat mata. Sesuatu yang sebenarnya tidak pernah saya inginkan, tapi entah bagaimana tetap saja ada. Tetap saja saya memilikinya.

Scar.
I want to talk about my scars.
Bekas-bekas luka yang meninggalkan noda gelap di permukaan badan.


Well... siapa sih yang nggak mau punya badan mulus? But unfortunately, I don't have that. No more. Since when, I am not even sure. Right now my skin is 'decorated' with many flaws and to be honest, the first thing that catches my eyes every time I stand before the mirror is my scars. I have lots of them. Mulai dari bekas jerawat yang tersebar nista dan membuat tampang saya lebih mirip kertas LJK, luka kecil di tulang alis gara-gara kebentur meja ketika balita, hingga bekas luka paling gres yang ceritanya bisa dilihat di sini. Ada yang bentuknya seperti garis halus gelap karena kebaret, ada yang meninggalkan cekungan di permukaan kulit akibat kejedot benda tumpul, macam-macamlah.

However, I have one scar I hate the most. That's it. That's how I feel about this particular scar: HATEAnd if that expression is not strong enough for you, then it's not only "I hate it". I despise it. I loathe it. I am grossed out by it. I resent it. I detest it. I basically open a fucking thesaurus dictionary just to find synonyms for "hate". So you know how committed I am to my feelings. Saya bertahun-tahun merasa benci sebenci-bencinya pada bekas luka yang satu ini, yang rasanya selalu bisa membuat saya menyadari keberadaannya 24/7. Kayak kamu.

Bukan perut saya, serius.
(Saya nggak seramping itu badannya.)


I'll let you know some bits about this scar.

Bekas luka ini saya dapatkan ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar (bayangkan sudah berapa lama saya mengidapnya??) karena suatu insiden menyebalkan yang disebabkan oleh kebodohan serta kebandelan saya semasa kecil. And I regret it to this day. Dulu, saya tidak pernah menyangka kalau akan meninggalkan 'oleh-oleh' seperti ini.

For fuck's sake. this shit is so fucking ugly.
And quite big.

Panjangnya tujuh  sentimeter (saya bahkan pernah sengaja mengukurnya dengan penggaris saking gemasnya) dan dia bukan bekas luka yang sekadar menyisakan noda, melainkan juga membuat permukaan kulit saya tidak rata. Jadi diraba pun terasa. Setiap kali saya hendak mandi, atau habis mandi, kemudian berdiri di depan cermin... bekas luka ini seolah melambai-lambaikan tangan kepada saya. Minta di-notice seperti adik kelas kecentilan yang haus perhatian senpai. And my eyes will unconsciously shift to where the scar of my life sits.

Satu-satunya yang bisa disyukuri adalah: letak bekas luka keparat ini cukup tersembunyi. Posisinya ada di paha atas, sekitar sepuluh sentimeter dari tulang panggul. So that means: bye bye bikinis. And bye bye shorts, too, because even if it's fine when I'm standing up, the scar will show if I sit down. Ya kali nggak bakalan pernah duduk pas lagi pakai celana pendek?

Sejak lahir, saya ini punya bakat insekyur. And thanks to this scar, saya jadi makin tidak pede di situasi-situasi tertentu. Misalnya, ketika saya berada di ruang ganti anak perempuan sebelum jam olahraga. Atau di onsen, pemandian air panas khas Jepang yang mengharuskan kita buka baju di tempat yang disediakan. Atau waktu saya sedang dipijat oleh ibu-ibu ahli pijat langganan orang tua. I don't want ANYONE to see it. Hell, I don't even want to see that... thing. Sebab semua pasti akan bertanya. Berkomentar.

"Lho, itu kakinya kenapa?" They always ask with a surprise. Which, to my ears, sounds more like, "What the fuck is that huge, ugly, gross thing on your thigh?"

So I decided to be careful. I am doing all I can so that no one ever see past my upper-half thigh. I don't wear shorts. I avoid dress with miniskirts. I never swim in bikinis. But unfortunately, one can never be too cautious.


One day, I let my guard down.

Saya lengah. One day, someone find out about my scar. Bekas luka saya terpergok seseorang, dan itu suatu hal yang semestinya bisa saya cegah. Masih ingat dalam benak saya, bagaimana napas saya tercekat di tenggorokan. Bagaimana lidah saya kelu. Bagaimana kata-kata menggumpal bersama ludah yang tak mau tertelan. Menunggu reaksi yang diberikan.

I was expecting. "Itu kenapa?" or something like it. A question. With a hint of disbelief, maybe curiosity. Some lines similar to what everyone else told me.

But that person simply smiled at me and said, "It's okay."

It's okay? 
OKAY? For real? 

Is this person fucking crazy? How can something this ugly is 'okay'?? Saat saya menatapnya seolah-olah di lehernya tumbuh kepala kedua, dia menambahkan, "The way I see you won't change just because of that." And this may sound stupid, but at that moment I really wanted to cry. To know that someone else unquestioningly accept a part of me, which even I can't accept myself, feels like a wonderful thing in the world.

Jadi bagaimana hubungan saya dengan bekas luka warbiyasak gede ini sekarang? Sudahkah kami akur dan berdamai? Jawabannya... sayang sekali, tidak. Saya masih nggak suka dia. Tatapan mata saya masih kerap tersedot ke arahnya setiap kali bercermin sesudah mandi. Keberadaannya tetap mengganggu. Saya masih memilih tidak mengenakan celana pendek. And I still wave goodbye to bikinis. Life doesn't change that easy.

Yet at least we are on a truce. Me and that scar. Because now I've known better. Now I know, there will be someone else who say "It's okay" upon seeing the only skin I live in, marred with scars or not. I've met one of them. And I'm sure will find another. And hopefully, someday, I will look at my own reflection, inspect my scars one by one and mutter to myself:

"It's okay."


So, do you have your own scars? How do you feel about them?
z. d. imama