Oke. Selama hidup sekian tahun, bukan sekali-dua kali saya pernah kena luberan dan tumpahan cerita, bahkan adegan-adegan krusial suatu film yang sedang tayang cuma gara-gara penggemar dan penonton yang nggak bisa menahan otot jempol serta otot mulut. Jadi ya kena spoiler tuh sama sekali bukan hal baru. Reaksi saya terhadapnya pun beda-beda. Tergantung bagaimana cara terekspos dan tingkat bocoran yang diterima. Variasi level of acceptance terbagi dari santai, agak bete, mengumpat pelan, hingga peringkat tertinggi: mencapai titik angkara murka. Sebagaimana bisa diduga, angkara murka saya telah tersulut oleh sejumlah siluman kaleng sarden terkutuk sehingga lahirlah postingan ini. Jika ditanya alasan, jawabannya sangat sederhana: saya marah akibat terpapar spoiler film yang sangat ingin ditonton. I'm fuming, therefore I'm writing. Bye Rene Descartes.
Now. What's a spoiler?
Sebagai salah satu kosa kata modern yang makin berkembang thanks to Internet technology, definisi "spoiler" agak sulit ditemukan di kamus-kamus saklek seperti Collins Dictionary. Tapi jika merujuk pada pemaparan pada situs favorit sejuta umat, Wikipedia, maka yang akan kita dapatkan adalah:
A spoiler is an element of a disseminated summary or description of any piece of fiction that reveals any plot elements which threaten to give away important details. Typically, the details of the conclusion of the plot, including the climax and ending, are especially regarded as spoiler material. It can also be used to refer to any piece of information regarding any part of a given media that a potential consumer would not want to know beforehand, because enjoyment of fiction depends a great deal upon the suspense of revealing plot details through standard narrative progression, the prior revelation of how things will turn out can "spoil" the enjoyment that some consumers of the narrative would otherwise have experienced.
Begitulah kira-kira. Jadi secara sederhana, spoiler merupakan segala yang berisiko merusak pengalaman orang lain dalam menikmati suatu film atau buku, yang memberikan informasi lebih jauh dari sekadar premis cerita.
Q.: Kenapa ilustrasinya kopi tumpah sih? A.: Meneketehe.
Kita semua tidak pernah aman sepenuhnya dari spoiler. Hal itu sangat saya pahami. Maka sebagaimana yang sudah saya tulis di atas: reaksi terhadap spoiler bervariasi tergantung cara terekspos dan tingkat bocoran yang diterima. Spoiler bisa menyergap kita semua lewat jalur online maupun offline. Terkena spoiler secara online, menurut saya pribadi, berkali-kali lipat lebih menyebalkan karena kemajuan teknologi sebetulnya memberikan kita siasat-siasat tertentu untuk menghindari. Mute keywords tertentu yang berkaitan dengan hal tersebut, misalnya. Sehingga saat ada perintilan-perintilan penting lolos sensor dari daftar keywords yang sudah kita setel on mute rasanya kayak pengin menjungkirbalikkan meja terdekat sambil melolong, "NGUEPPPPEEEEETTTTTT!!!"
Sedangkan, spoiler yang menimpa secara offline justru bagi saya lebih mudah diampuni. Level tawakalnya lebih tinggi, gitu. Lebih gampang berpasrah diri dan bergumam, "Ya udahlah ya..." dibanding kena spoiler di internet. Kenapa? Sebab satu-satunya cara untuk menghindari spoiler offline adalah dengan tidak berinteraksi dengan siapa pun dan tidak pergi ke mana pun! PR banget nggak sih. Kita bisa kena spoiler saat berjalan menuju bioskop dan berpapasan dengan orang-orang yang baru keluar dari studio sambil membahas apa yang mereka selesai tonton. Ketika tanpa sengaja tercuri dengar percakapan orang-orang di warung, restoran, minimarket, atau tempat-tempat publik lainnya. Bahkan sewaktu lagi ngantri di toilet umum pun bisa kena spoiler! The possibility is endless. Capek kan kalau harus stay on guard setiap saat... kecuali kalau memang jarang ke mana-mana dan sekalinya bepergian hampir selalu pasang headset karena toh sendirian dan nggak ada yang diajak ngobrol. Wait... that is 100% me.
Spoiler separah apa yang paling memicu emosi? Hm. Standar masing-masing pasti tidak sama. Saya nggak bisa bicara mewakili orang lain, tapi standar pribadi mengatakan bahwa yang boleh diungkap ke publik itu ya premis saja. Mentok-mentok, sinopsis. Deskripsi adegan... cukup bisa diperdebatkan karena tergantung seberapa jauh dan detil adegan tersebut 'dibocorkan' ke orang lain. Selama nggak spesifik menjabarkan pivotal moment (adegan munculnya Ashida Mana atau pertempuran teluk Hong Kong di film Pacific Rim, misalnya), ya mestinya tidak terlalu jadi masalah. Menurut saya, puncak kedurjanaan dalam ngasih spoiler adalah membeberkan nasib yang menimpa salah satu karakter. Atau lebih. Males banget kan, nonton aja belum, baca bukunya saja belum, tapi terlanjur tahu lebih dulu bahwa tokoh A akan bangkit dari kubur lah, mati lah, hilang ditelan hoax lah...
Memang ada orang-orang yang dengan sengaja mencari spoiler dengan berbagai pertimbangan. Persiapan mental, contohnya. Bisa juga untuk mengontrol reaksi dan ekspektasi diri. Saya kadang pun begitu. Ning mbok yo kalau mau nulis atau membeberkan spoiler tuh ya:
- JANGAN NEBENG DI LAPAK ORANG LAIN. Tidak dipungkiri bahwa media sosial memudahkan eksposur kita terhadap kesan dan review ala-ala dari orang lain terhadap buku maupun film baru yang sedang hits. However, please be considerate. Ketika orang yang nulis ulasan sudah sengaja tidak menyertakan spoiler, ya nggak usah sok asik dengan merespon pakai spoiler di kolom komentar atau replies! Norak, anjir.
- SERTAKAN PERINGATAN. Ini penting banget. Jangan lupa beritahu bahwa apa yang kalian paparkan akan memuat spoiler. Bahkan kalau perlu sampaikan juga seberapa jauh hal-hal yang dibocorkan. Apakah cuma sedikit? Lumayan banyak? Atau justru going all the way dengan menceritakan dari awal sampai akhir dan ngomel-ngomel tentang banyak aspek seperti yang saya lakukan terhadap Resident Evil: The Final Chapter dan The Maze Runner: The Death Cure? Make sure other people know what they sign up for.
Gitu. Mau #SpoilerYES atau #SpoilerNO, yang penting semua orang sama-sama punya kesempatan menikmati sesuatu dalam kondisi terbaik. Jangan rese. Semoga ke depannya tidak ada lagi pihak-pihak apes seperti saya: malemnya berencana nonton suatu film, eeeeeh paginya kena spoiler kematian salah satu tokoh dari makhluk sok asik yang nebeng lapak orang. Nasib.
z. d. imama
Menurut mbak, perlukah ada semacam 'tanggal kadaluwarsa' untuk spoiler? Contoh umumnya mungkin mengenai hubungan kekeluargaan seorang tokoh di Star Wars; Kalau saya kena spoiler mengenai itu, apakah yang salah si pemberi spoiler ataukah saya yang 'salah' karena belum menonton film 80-an yang sudah jadi ikon budaya pop global (spoiler-nya juga termasuk ikonik di sini)? Menurut saya ada batasnya di mana sebuah spoiler sudah diketahui begitu banyak orang (dan di-spoil oleh banyak media lain) sehingga sudah dianggap pengetahuan umum saja, tapi saya penasaran apa pendapat mbak mengenai ini...
ReplyDeleteHalo mas Andreas. Saya sih melihatnya bukan "perlu", tapi memang "ada". Gimana ya.. ketika suatu film, buku, atau cerita fiksi sudah bergerak menjadi ikon, atau istilahnya "new classic", ya tidak bisa dipungkiri bahwa asumsi di masyarakat adalah "sudah sewajarnya tahu" karena hal itu telah cukup lama menjadi bagian budaya pop.
DeleteSaya yakin, meskipun termasuk karya klasik, masih banyak orang yang tidak pernah membaca kisah Hamlet, David Copperfield, Romeo & Juliet, atau Don Quixote. Namun saat seseorang menggunakan referensi tentang karya tersebut dalam hidup sehari-hari yang merujuk ke spoiler... ya tidak bisa diributkan juga. Begitu.