Selamat datang di curahan hati gadis rantau penghuni kos-kosan. Disclaimer: kamar yang terpajang di atas bukan milik saya, oke? Itu foto dapet ngambil dari salah satu situs kurasi kos-kosan online. But anyway, hidup merantau di wilayah barat pulau Jawa semenjak kuliah dan tidak pernah punya roommate membuat saya punya sejumlah kebebasan dan keterbatasan tersendiri. Sampai hari ini, saya sudah mengalami tiga kali pindahan (jika mengabaikan episode jadi exchange student di Jepang). Pertama: dari kampung ke kamar asrama mahasiswa yang punya central point di mana jika saya berdiri di titik tersebut maka tangan dan kaki akan mampu menjangkau ke seluruh tempat―buka pintu, buka jendela, buka lemari pakaian, ambil buku di rak, ambil barang di meja belajar, bahkan menyentuh kasur. Kedua: setahun kemudian pindah dari asrama mahasiswa ke kos-kosan murah-meriah karena konon katanya hak kamar asrama diprioritaskan untuk mahasiswa baru. Ketiga: pindah dari kos dekat kampus menuju tempat tinggal sekarang setelah kelulusan.
I really hate moving out and moving in, actually. Rempong anjir. Padahal saya bukan termasuk hoarder yang barang-barangnya segambreng, tapi tetap saja saat mengepak dan menata ulang, rasanya jumlah barang yang dimiliki berkali-kali lebih banyak dari apa yang kelihatan setiap hari. "Hah kok udah dua belas kardus aja sih??" Begitu kira-kira. Jadi kayaknya saya nggak akan pindah kos dalam waktu dekat. Mager. Kecuali ada yang berkenan mengadopsi diri ini. Huhu.
That being said, let's hit the main topic.
The Ups of Living Alone
1. Personal Freedom
Hal ini barangkali nggak ngefek-ngefek amat bagi kalian yang punya orang tua pengertian, kasih izin pergi ke berbagai tempat asal pamitnya jelas. Namun anak-anak dengan ayah (atau ibu, atau lebih apes lagi: dua-duanya) yang overprotektif bersenjatakan frase sakti "Nggak boleh!", kehidupan sebagai anak kos merupakan surga dunia tersendiri. Bahkan kadang-kadang jadi lepas kendali. Kayak saya, misalnya. Tiba-tiba berangkat mengejar mas-mas idola. Tahu-tahu udah ngebolang sampai India aja. Baru ngasih informasi setelah balik Indonesia dan menyerahkan oleh-oleh ke orang rumah.
Berangkat tanpa restu orang tua. Tidak untuk diteladani ya.
Kemerdekaan pribadi sebagai anak kosan juga terasa sangat mewah ketika sedang ingin malas-malasan. Ada hari-hari di mana penginnya nggak ketemu manusia lain, kan. Nggak pengin produktif meski sebenarnya juga diri ini kagak pernah berguna-berguna amat untuk kemaslahatan umat. Sebagai anak kos, sangat mungkin untuk menerapkan "Human-Free but Me" day, alias mengisolasi diri tanpa interaksi sosial. Apalagi kalau kamar mandi sudah disediakan di dalam masing-masing kamar. Bebas deh mau nge-game, hibernasi, atau fangirling nonton video-video di internet. Urusan makan sih gampang. Sementara jika saya di rumah, baru bangun telat sedikit saat hari libur saja pasti selimut sudah ditarik-tarik ibu yang berseru penuh semangat, "Hayoooo!!! Anak gadis nggak boleh bangun siang!" Duh, mak. Biarkan aku bermimpi sedikit lebih lama...
2. Better Familial Relationship
I'm dead serious about this one. Well, to be honest, I'm not in very good terms with my dad. I guess we're both frustrated about each other, for various reasons. And that to say the least. Jadi anak rantau pun tidak membuat saya berubah akrab apalagi dekat dengan beliau. Tapi setidaknya frekuensi berantem berhasil ditekan mendekati nol. Saat pulang kampung pun, karena sama-sama tahu saya tidak akan ada di rumah dalam waktu lama, interaksi yang terjadi boleh dikatakan damai sejahtera. Macem parpol. I think that's pretty much a good thing.
However, for such luxury called personal freedom and bridging the relationship cliff with my dad, there has to be a price to pay. Figuratively. Also literally. Ya iyalah namanya juga tinggal di perantauan. Mau sewa kamar kos kan harus bayar!
The Downs of Living Alone
1. Extra Expenses
Tinggal di kos-kosan berarti say goodbye dengan segala kemewahan dan kenyamanan finansial yang didapat saat numpang rumah orang tua. Apa-apa harus dibayar sendiri. Peralatan kebersihan kamar, biaya cuci baju, listrik, dan terutama: sewa kamar. You can only get the room you can pay for. Selain itu, harus pandai-pandai komparasi ketersediaan di lapangan. Jangan sampai ketipu dan terpaksa bayar kelewat mahal untuk kualitas yang tidak memuaskan. Sangat kapitalis, memang. Tapi ya mana mungkin bisa dapat kamar lengkap ber-AC, berventilasi sehingga aliran udara cihuy dan dapat cahaya matahari, instalasi kamar mandi dalam, perabot lengkap, bla bla bla ketika budget yang dipunya tidak sampai satu juta per bulannya? Ngimpi.
Kamar kos saya semasa kuliah.
Belum lagi biaya makan. Semasa hidup menumpang di rumah orang tua, mau makan sebanyak apa pun, mau ngabisin beras kayak apa pun, hitungannya gratis. Ke sekolah pun bawa bekal supaya uang yang diberikan orang tua untuk jajan dan transportasi naik kendaraan umum masih bisa disisihkan. Pokoke medhit sakpole, tapi masih hidup dan makan enak. Meanwhile, my peak of broke-ness as a kos-kosan girl? Makan nasi putih ditaburin Royco (atau Masako) demi efek aroma dan rasa kaldu daging.
Tiap ingin pulang kampung pun wajib menyisihkan dana ekstra. Mending rumahnya deket. Ibarat ngekos di Jakarta Barat, orang tua tinggal di Cibubur. Hitungannya sudah AKAP sih... cuma ya gitu. Gampang. Bagaimana jika kampung halaman ada di pelosok? Beda pulau? Beda daerah waktu? Memikirkan jarak dan waktu tempuh saja sudah bikin ingin beli Dokodemo Door alias Pintu ke Mana Saja milik Doraemon. Lelah sia.
2. Going Back to an Empty Room
Semenjak hidup sendirian, saya makin mengerti kenapa ibu selalu terlihat sangat gembira ketika beliau pulang kerja dan saya bersama-sama adik membukakan pintu sembari berseru, "Mama pulaaaang!" (Sumpah, ini kebiasaan rutin di rumah yang sampai sekarang masih dilakukan tiap kali mudik). Walau tidak setiap hari, kadang-kadang di sudut hati saya timbul perasaan sedih dan kesepian juga, apalagi ketika pulang dengan kondisi kelelahan, kehujanan, di malam hari setelah menembus kemacetan Jakarta, ke ruangan berukuran kecil yang gelap dan kosong. Sebagaimana komentar ibu-ibu coworker yang pernah beberapa kali bertegur sapa dengan saya di elevator, "Pulang pun nggak ada yang nungguin kedatangan di rumah."
3. Dealing with Sickness Alone
This sucks. For real. Mengingat tulisan ini dibuat ketika saya terkapar tak berdaya di kasur kamar kos karena sakit sudah seminggu lamanya, opini barusan harusnya lolos uji verifikasi. One of the saddest, most troublesome thing that can happen to you when you're living alone is falling sick. Apalagi ditambah nggak punya teman dekat kayak saya. Nobody sends you warm food, medicine, or at least accompany you to see doctors. Ya sudah, teronggok saja di atas tempat tidur sampai minimal turbulensi kondisi badan agak membaik. Atau justru makin parah. Pait pait pait. Hahaha.
Suddenly you are in ER, getting IV drip and prescribed for 11 types of medicines.
This might be a little dark, but one of the most things I fear as somebody who lives alone―and pretty much friendless―is that I might die in my room and no one will realize it until weeks later. My cell-phone can bring zero messages for days, which makes me contemplates why I'm so persistent in keeping chatting applications installed when people I communicate with on daily basis is rarer than Northern white rhino's population. And in case some of you are about to ask: nope, my parents do not contact me every day. So I suppose this fear of mine have reasons, yes?
Apabila mau diulik lebih detil lagi, masih ada lebih banyak hal-hal menyenangkan sekaligus ngenes yang dialami anak kos lho. Sayangnya tulisan ini disinyalir bakal makin panjang dan tidak terkendali. Sehingga mendingan akhirul kalam sajalah. Wakaka. Ingin berbagi cerita sebagai sesama umat perantauan? Silakan tulis komentar di kolom yang tersedia ya!
z. d. imama
Baiklah kalau begitu. Nanti aku sering kirim tele ya ke kamu. And wait, wait. Aku baru tau kalau kamu ngebolang sampe India. Waaaah... Patut ditiru ini!
ReplyDeleteHal paling menyedihkan ketika tinggal sendirian nomor 1278 adalah ketika tanggal tua - kehabisan uang - mau jual barang berharga - eh barangnya ilang dicolong orang. What a nice day :)
ReplyDeleteSaya merasakan keadaan ini mulai 2006 - 2010 saat kuliah di Bogor dan disambung saat sudah kerja di Yogya 2011 - akhir 2013.
ReplyDeleteFase 2006 - 2010, termasuk fase terberat dalam hidup saya, karena ini pengalaman pertama hidup sendiri jauh dari orang tua dengan setahun pertama (2006 - 2007) hidup di asrama. Untung saja, masih ada untungnya hihi, pacar saya ikutan keterima di Bogor sehingga walau jauh dari ortu, tetap ada doi di samping.
Yang benar-benar sendiri ya di 2011 - 2013, karena keadaan LDR yang harus kami jalani.
Ya percislah yang dialami ngga enaknya itu. Pas sakit, apa-apa dulu makan tinggal ambil, kadang diambilin mamah, ya mulai saat itu harus beli, mana jauh lagi huhuhu..
Thanks for share~
Sebagai alumni yang selama 6 tahun ga pernah pindah kosan saya mengamini semua plus minus hidup sebagai anak kos seperti tulisan di atas. Padahal saya merantau cuma ke Bandung, yang masih satu provinsi berjarak 5 jam perjalanan dari kota kelahiran. Waktu masih tinggal satu rumah, saya juga ga terlalu akrab dengan kakak & adik. Baru bener2 deket justru setelah masing2 ngekos di kota berbeda. Dan sebagai bocah yang ga punya temen yang bener2 dekat tiap sakit ya pertolongan pertama selalu paracetamol & ga pernah ngabarin orang rumah kalo lagi sakit. Satu yang belum pernah ngalamin sih makan cuma pakai royco doang. Alhamdulillah selalu ada temennya walaupun cuma tahu/tempe doang.
ReplyDeleteMaafkan ya wacana saya menginap belum terealisasikan ._. mbok klo sakit, britau, ntar ku jengukin ._.
ReplyDeleteSatu kenangan (ngenes) yg paling memorable dari kehidupan ngekos itu di suatu bulan puasa. Biasanya makan katering saur ramean sama mbak-mbak kos di ruang makan, ndilalah hari itu mbak-mbak ga ada yg saur. Jadilah saur sendirian di dalam kamar. Nasi & sayur katering udah mulai berasa dingin, sepi ga ada tv/radio di dalam kamar. Menatap nanar galon air mineral di sudut kamar, makan sambil nahan nangis inget rasa saur sama mama di rumah T.T
ReplyDeleteGOSH... I've been dreamin this for so long!!
ReplyDeleteI really, really want to live on my own... omg I envy you so much.
Eh lah, ngapa pke bahsa inggris dah..
ya sih ada bnyak hal yg akan jauh beda ketika msih tinggal d rumah orang tua, emang lebh enak tinggal sama orang tua, apa2 disiapin, sakit diurusin.. but in my case, I hate being so dependent to my parents..