Friday 12 January 2018

"You should buy experience," they say. "Not things," they say.


Yakin, deh. Kayaknya semua orang sudah pernah dapat nasihat yang saya tuliskan sebagai judul postingan ini. Baik lewat artikel-artikel (dari koran, tabloid, majalah, sampai blog pribadi), rekaman video, hingga diomongin langsung di depan batang hidung. Spending money on experiences is the secret to happiness, Forbes said. It will be more satisfying, The Atlantic added. And Bloomberg chimed in with, "You'd better not splurge on a supercar". Seolah belum cukup, pandangan ini di-backup oleh penelitian ilmiah yang menyatakan bahwa ada kesalahpahaman nilai ekonomi bagi orang-orang yang gila belanja. Menurut hasil penelitian tersebut, pada umumnya tolok ukur value sesuatu adalah harga. Alias price tag yang melekat pada barang. Sementara pengalaman cenderung hanya menyisakan kenangan di benak kita sehingga lebih sukar ditempeli angka nominal demi pertimbangan ekonomis.

Alright.

I don't have the slightest intention to debate the result of an academic research. Terlalu berat untuk isi blog semenjana ini―berat badan saya selaku penulis sudah lebih dari cukup sebagai beban. Lagipula tampaknya apa yang jadi perhatian saya tidak sama dengan perspektif riset tadi. Tapi ya mau nggak mau, saya harus mengakui kalau muncul pertanyaan-pertanyaan di dalam benak terkait anjuran yang makin ke sini rasanya makin nyerempet ke arah propaganda saking ganasnya diserukan itu. Shall we talk about that? I don't know if we should, but I will do it anyway.

What they call as 'experiences' we are advised to buy.


Ayo bahas ini dulu sebagai langkah awal. Apa sih hal-hal yang cenderung direkomendasikan untuk dibeli sebagai 'pengalaman'? Menilik dari berbagai sumber yang saya temukan (beberapa di antaranya sudah saya sertakan tautan di atas), mayoritas menyarankan:

  • Traveling expenses.
  • Meals for day (or night) outs with friends/relatives.
  • Admission fees for events.
  • Concert tickets.
  • Movie premiere showings.

There are still tons of other variations, but I guess you know the gist of it at this point. Generally speaking, you're encouraged to purchase something that will make you interact with more people (or at the very least, see them around you) than usual. Jalan-jalan ke Makassar sendirian, misalnya, akan bikin kalian ketemu orang-orang yang nggak dijumpai di Solo. Interaksi dengan petugas bandara di gerbang Departure. Berbagi antusiasme bareng sesama fans pas ngantri masuk venue konser atau pertunjukan lain. Quality time  sambil makan-makan enak setelah sekian beberapa lama tidak bertemu kerabat maupun teman-teman, mengobrol, bercanda, menertawakan masa lalu atau sekadar nggrantes berjamaah merenungi masa depan yang kok ya kayaknya surem terus. These kinds of things are 'experiences', according to many. Ya nggak salah juga sih.

Mestinya saya disebut Solo Traveler sejati karena sudah asli warga Solo, ke mana-mana selalu sendirian pula.

However, the border between what are 'things' and 'experiences' is not always clear. More often than not, it's kinda blurry and overlapping each other. Sekarang kalau mau jalan-jalan ke luar negeri, kita perlu beli tiket pesawat juga kan. Bentuk fisik tiket jelas berupa barang, mulai dari boarding pass hingga QR code di ponsel pintar kita masing-masing yang dipakai online check-in. Tiket konser pun demikian. Makanan serta kopi-kopi Instagram-able yang dibeli di kafe-kafe fancy untuk menemani nongkrong. Semuanya benda. Namun yang paling saya pertanyakan melebihi kerancuan tersebut adalah: sejauh apa 'pengalaman' punya ruang lingkup?

What is 'experience' anyway?


Barangkali bagi masyarakat kelas menengah, yang dianggap sebagai 'pengalaman' adalah datang ke Coachella, Glastonbury Festival, METROCK, menyambangi Disneyland, mampir ke The Wizarding World of Harry Potter di Universal Studio Japan atau Orlando, dan kegiatan setara lainnya. Sedangkan untuk orang-orang lain belum tentu begitu. Saya aja deh yang jadi contoh. Selama ini baju-baju yang ada di dalam lemari pakaian adalah 1) hasil belanja di pasar, ITC, atau situs-situs yang menjual barang secondhand, serta 2) lungsuran alias bekas pemberian saudara-saudara bahkan kawan-kawan yang lebih tua. Sumpah. Coba tanya kak Chika. Atau kak Irma. Beliau-beliau ini pernah menjadi donatur apa yang saya kenakan.

Berdasarkan tolok ukur sedemikian gembel, ketika saya melewati toko Pull&Bear di sebuah mal, menyaksikan papan tanda besar-besar SALE 70% lalu mendapati ada beberapa buah pakaian yang sreg dan sanggup dibayar, hal itu merupakan pengalaman tersendiri: pertama kali berbelanja baju fast-fashion brand. Di tengah-tengah tumpukan kain harga goban, blus Pull&Bear yang didiskon sekian puluh persen dari harga awal menjadi hanya Rp125,000 mampu memberikan memori berbeda. Demikian halnya dengan ingin mengalami pakai sepatu New Balance original saat jalan-jalan, menggantikan alas kaki lama yang dibeli di lapak tepi jalan senilai Rp45,000. Merasakan enaknya pergi naik kendaraan pribadi setelah sekian tahun menyabarkan diri menghadapi layanan busuk dan pengapnya Metromini.

Ultimate villain di jalanan.

Hah? Mirip OKB dong?

Lho, memang.  Orang kaya baru―a.k.a OKB―tidak jarang adalah mereka yang nggak terbiasa mendapatkan akses ke hal-hal yang dalam kondisi normal hanya diperoleh orang-orang dengan kemampuan ekonomi di atas mereka. Makanya sering norak. Suka kalap. Masih tampak lusuh di tengah-tengah manusia yang kinclong berkilauan, atau justru tampil berlebihan seolah sangat ingin menunjukkan kekuatan finansialnya. Beberapa dari mereka mungkin lagi asyik-asyiknya mengumpulkan 'pengalaman' hidup enak.

To end this post, I can't tell you which is right or wrong. We're all trying to seek happiness. We're all wanting, and putting efforts, to be happy. We're trying to buy it in different forms and shapes, on different prices. "The adrenaline rush, excitement, and happiness gained from buying things are only temporary," said many people. But isn't it the same with attending concerts and all that? Sure you're left with good memories (at least until you're too old to remember it), but you're also left with a shining Maserati for years (until you crash it or you're tired of it) if you use your money to purchase one. I don't see so much differences between the two, that's why I cannot really recommend which one we should choose. At the end of the day, I'm that irresponsible person who can't pick sides and go with, "Whatever floats your boat" for an answer.

However, it's important to note that there are also people stuck with frugal living, who can only afford to buy things they need and never once what they want. Orang-orang yang jungkir-balik berusaha memperoleh kebahagiaan mereka semurah mungkin. Bahkan gratis kalau perlu. And I kinda wish for them to succeed. Deep down, I'm still hoping there are some happiness that we don't need to 'purchase', no matter what kinds they are coming in.

z. d. imama

5 comments:

  1. saya pernah dapat Admission fees for events karena jadi kontibutor tim media. bahagia jelas. mendapatkan akses ekskulif yang tidak dimiliki orang lain. pengalaman tanpa bentuk fisik selain jadi punya foto berdua dengan orang tersohor. ini salah satu pengalaman yang tidak bisa beli, karena saya yang melamar dan mengajukan diri pun tanpa diberi upah apapun.
    setelah dibaca berulang, mungkin ini mirip: seseorang yang rela mengeluarkan uang lebih demi membeli iPhone X paling anyar, untuk membeli pengalaman punya gadget paling mutakhir. padahal yang dibutuhkan hanya samsung galaxy S7.

    ReplyDelete
  2. Mau menambahkan dari sisi penelitian akademis. Ada penelitian dari Matz, Gladstone, dan Stillwell di tahun 2016 tentang hubungan kebahagiaan dan belanja ini.

    Intinya, belanja yang bisa meningkatkan kebahagiaan adalah belanja yang sesuai dengan kepribadiannya. Mereka mencocokkan data kepribadian nasabah bank dengan sejarah transaksi belanja mereka, dan kelihatannya orang yang tipe belanjanya cocok dengan kepribadiannya juga lebih tinggi tingkat kepuasan hidupnya.

    Dalam eksperimen mereka, orang yang diidentifikasi sebagai introvert lebih bahagia dapet voucher toko buku, sementara yang ekstravert lebih bahagia dapet voucher bar. Orang introvert malah tingkat kebahagiaannya menurun ketika mereka dapet voucher bar, sementara orang ekstravert tetap bahagia dapet voucher buku meski tidak sebahagia dapet voucher bar.

    Anyway, menarik baca penelitian-penelitian soal ini karena banyak mengungkapkan printilan soal interaksi rumit antara belanja dan kebahagiaan. Selain pengalaman dan kepribadian, ada prosocial spending - membelikan barang untuk orang lain rasanya lebih membahagiakan ketimbang beli barang untuk diri sendiri. Ada pula masalah frekuensi versus intensitas; Beli hal-hal kecil yang sedikit membahagiakan, namun sering, tampaknya lebih efektif ketimbang sekali-kali beli hal besar yang sangat membahagiakan.

    ReplyDelete
  3. Pergi traveling itu sebenernya sama kayak buying experience sih, karena gak dalam bentuk fisik tapi dari hasil traveling itu ada pengalaman-pengalaman yang gak dijual di mana-mana. Yah, walau traveling itu mihil. :)))

    Kalau experience yang terbilang murah mungkin bisa dengan keliling Jakarta dan masuk ke tempat-tempat yang belum pernah didatangi, seperti pergi ke daerah Cilincing, masuk ke area Kota Tua atau Petak Sembilan. Atau temenan sama artis, experiencenya beda deh. :)))

    ReplyDelete
  4. Kalau kategoriku sih travelling..
    Ketika banyak yang bilang, ngapain ngabisin duit buat jalan-jalan, sampe ada tagline "liburan kemana-mana, pulangnya ke kontrakan?", aku pribadi g terpengaruh.
    Pengalaman yang didapat itu g akan bisa tergantikan oleh apapun, butuh usaha secara moril dan materi, menururtku g ada yang sia-sia, karena setiap perjalanan yang dilakukan selalu memberikan kesan serta pelajaran baru untuk diri kita.

    ReplyDelete