Wednesday, 13 December 2017

I gave my first to The Little Prince


Does the title of my post sound wrong? Oh, well. It's true anyway. Sebelum menyaksikan pertunjukan The Little Prince ini, saya belum pernah sekalipun menyaksikan ballet show. Padahal saya sejak kecil selalu tertarik dengan tari balet (walau nggak pernah kesampaian ikutan kelasnya), bahkan di lemari buku saya berderet beberapa judul cerita yang mengisahkan dunia balet. Emang ya kalau kere ceremende itu cuma bisa ngarep. Tapi berhubung saya kadang-kadang sering nekat, dan memiliki gelar Master dalam bad financial decision-making karena suka nggak sadar kondisi dompet sendiri, saya memutuskan menyambar tiket pertunjukan The Little Prince yang diusung oleh Rumah Karya Sjuman di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, hari Sabtu dan Minggu, 9 - 10 Desember 2017. Pertunjukan hari Sabtu dimulai pukul 19:00 sementara untuk hari Minggu lebih awal, yakni 16:00. Waktu Indonesia Barat, ya.

So, that's how I gave my first to The Little Prince.

Saya ambil tiket tanggal 9 Desember 2017. Sabtu malam. Maklum, suka kelayapan malam-malam kayak kelelawar. Balas dendam masa remaja yang nggak pernah boleh ke mana-mana di atas jam enam sore. Lagian biar sesekali ada rencana jalan-jalan malam mingguan. Ngenes juga mengeram terus di kamar. Pokoknya keluar. Bodo amat sendirian. Saya sempat mengajak beberapa teman, tapi sebagian besar dari mereka menjawab, "Lah mendingan gue nonton sama pacar gue". Ngepet. Gini amat jadi jomblo.

Saya tiba di Teater Jakarta persis jam tujuh malam dan sebagaimana sudah saya dugaaaaa... pintu teaternya bahkan belum dibuka. Masyarakat kita kalau nggak ngaret memang nggak afdol kayaknya. Sembari menunggu, saya pun memutuskan berkeliling sejenak―yang ternyata merupakan keputusan tepat karena berkat itulah saya tahu kalau ada panitia acara yang menjual semacam guidebook pertunjukan. Atas nama kenang-kenangan, saya mengambil satu eksemplar.

Buku acara pertunjukan The Little Prince seharga Rp25,000

Bukan itu saja. Tidak jauh dari pintu masuk, ditempel penjelasan mengenai alur pertunjukan dan pembagian babak, lengkap dengan foto-foto latihan para penari balet di papan besar. Barangkali tujuannya untuk membantu penonton dalam memahami cerita, sebab jika video-video yang pernah saya tonton di YouTube adalah benar dan hukumnya bersifat universal, maka ballet show tidak menggunakan dialog sama sekali dalam penyampaian kisahnya.

Paparan babak juga tersedia di dalam guidebook.

Untung keterlambatan jadwal tidak parah-parah amat, karena sekitar pukul 19:20 pengunjung diperbolehkan memasuki venue. Ternyata bangku saya posisinya depan banget sampai-sampai wajah seluruh pemain orkestra yang duduk di bawah panggung kelihatan jelas. I'm not complaining at all. Hell, not when I can see a bunch of professionals playing instrument live under my nose―almost literally. Saya sempat memotret area pemain orkestra sebelum acara dimulai (sebab dilarang merekam dan mengambil foto saat pertunjukan berlangsung) dengan ponsel butut demi memberikan gambaran betapa strategisnya bangku saya. Sayang, yang sudah duduk manis di posisi masing-masing baru sekelompok pemain instrumen brass saja. Di depan mereka masih ada beberapa orang pemain instrumen strings, lalu ada pula akordion, trombone, perkusi, keyboard, dan... harpa.

YES. A FUCKING LEGIT HARP.

So. Freaking. Close????

Secara sederhana, The Little Prince versi Rumah Karya Sjuman dipecah menjadi dua babak dengan jeda istirahat lima belas menit. Babak pertama mengisahkan awal petualangan Pangeran Kecil, pertemuannya dengan Sang Aviator, dan bagaimana dia mengunjungi berbagai macam tempat. Babak kedua berfokus pada petualangan Pangeran Kecil dan Sang Aviator di bumi, serta perpisahan mereka. Banyak sekali anak-anak kecil yang tampil sebagai corps de ballet membawakan tarian-tarian ekspresif sebagai pohon-pohon baobab, anak-anak ayam yang berlarian riang ke sana-kemari, hingga rumpun bunga mawar.

Tarian bunga-bunga mawar. 
Screenshot dari video Tempo (kan pengunjung nggak boleh ambil foto!)

Sang Pemabuk di panggung, dan sebagian pemain orkestra. 
Screenshot juga dari video Tempo.

As a first time experience, Rumah Karya Sjuman's The Little Prince is not disappointing at all. Bahkan produksinya cukup baik dan menghibur. Properti panggung, terutama pesawat merah milik Sang Aviator, benar-benar mentereng dan meyakinkan. Namun jika mau berterus terang, distraksi terbesar bagi saya justru ensembel orkestranya karena yaa Rabb bagus banget ingin menangis tersedu-sedu sambil mencakari bangku. Hampir sepanjang pertunjukan, mata saya refleks bergerak ke kiri dan ke kanan, mencari-cari alat musik apa yang jadi sumber suara ketika muncul bunyi baru yang mengiringi koreografi. Maybe I'm that kind of person who attends orchestra concert and acts as if she's watching a tennis match. Bodo amat ye. Ada gelenyar kebahagiaan tersendiri ketika mendengar bunyi "Bwooong!!" dan saya bisa menemukan bahwa asalnya dari French horn yang baru saja ditiup.

Hal-hal yang bisa diperbaiki di kesempatan berikutnya? Oh, banyak. Beberapa aspek masih tidak konsisten: MC yang dwibahasa tetapi tulisan narasi di layar yang hanya dalam bahasa Indonesia, segelintir dialog dan monolog beberapa pemeran yang malah menimbulkan kesan tanggung, serta isi guidebook acara yang terasa monokrom secara visual dan kurang lengkap secara konten. Overall, it was a very nice experience but not without flaws.

Post final bow, whole casts. Nah, kalau yang ini foto dokumentasi pribadi.

Scene stealer? That little chick who ran across the stage after everyone else is gone. Entah diskenario atau tidak, yang jelas satu teater berhasil tertawa gemas saat seekor anak ayam yang ketinggalan rombongan berlari dari ujung panggung ke ujung satunya. I think she won everyone's heart that night. MVP? Personal favorite? For me, that would be The Queen in Red Dress. I freaking love her

Sebelum pulang, saya sempat berfoto dengan mas Eyi, pemeran Sang Aviator. Malem Minggu dolan ijen koyo kawah... tapi ora popo.


z. d. imama

2 comments:

  1. Sempat pengin nonton ini banget tapi akhirnya ga jadi karena masalah dompet hahaha. Dan baca cerita kamu kayaknya aku menyesal kemarin enggak nekat aja nonton huhu. Thank you for sharing :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lumayan bagus dan menghibur sih apalagi kalau duduk di barisan depan. Haduuh mas-mas (bapak-bapak????) pemain orkestranya sangat merusak konsentrasi karena tumpah-tumpah kharismanya...

      Delete