Monday 16 October 2017

Farewell, THR Sriwedari. Thank you... and I'm sorry.


Another part of my childhood is dying. And to top it off, it is planned and expected to be gone forever by the end of this year. I lived and grew up on the outskirts of Surakarta, and for twelve consecutive―minus the part when I studied at a Japanese high school―years I went to schools located in the same city (my kindergarten was in Sukoharjo, though). As a regular kid, going to amusement park is like visiting a different world, filled only with fun things and exciting rides, not caring about how much our parents need to pay for the entrance tickets or souvenirs or snacks or everything. And for a kid living in Surakarta, a small city in the middle of the Island of People, Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari was my―and I bet, many other kids'―only savior. 

THAT PLACE, WAS, THE BOMB.


Until the day I realize it no longer can survive comes. Pagi itu saya duduk di depan komputer kantor dan mendapati berita yang menyatakan bahwa THR Sriwedari akan berhenti beroperasi setelah bertahan selama lebih dari 30 tahun, dan akan mem-PHK seluruh karyawannya. Reaksi pertama saya adalah tipikal, "Wait. WHAT?" yang ketika saya renungkan lagi, itu adalah kejadian yang barangkali tak bisa dielakkan. Bahkan saya mungkin juga berkontribusi di balik ketidaksanggupan THR Sriwedari mempertahankan napas eksistensinya. The following night, I cried a great deal of tears over chat conversation with a fellow high school mate, Fara, remembering old days and imagining how tough the past months, or years, must be for THR Sriwedari and all the people in it.


Saya tidak menyediakan subtitle bahasa Jawa bagi yang membutuhkan. Maaf.

Berita yang saya maksudkan. Pranala ada di paragraf atas.

I remember. Fara remembers. How years ago, with our parents, we excitedly visited THR Sriwedari, bringing our study report as a proof so that we can get freebies and gifts like small bag or other things. How years ago, along with other kids, we dressed up and joined drum band competitions for kindergartens held in THR Sriwedari. And like a slap across my face, it hit me hard: how everything is in past tense.

Kapan saya terakhir kali mengunjungi THR Sriwedari?


Tahun 2012. Sudah lima tahun silam. Ketika itu saya mengerjakan proyek buku tahunan bersama rekan-rekan sekelas dan memilih THR Sriwedari sebagai setting lokasi. Saat kami datang, suasana di dalamnya terbilang sangat sepi untuk sebuah taman hiburan. I didn't see it as a big deal, to be honest. Saya menganggap itu bisa dimaklumi karena kebetulan kami ke sana di hari kerja. Tapi di tahun-tahun berikutnya hingga detik ini, saya tidak lagi menginjakkan kaki ke sana. Barangkali rekan-rekan sekelas saya pun tidak. Bahkan adik saya, yang usianya terpaut nyaris satu dekade dengan saya, juga krisis kunjungan ke THR Sriwedari. We left. I left. My feet went somewhere else. I, as time goes by, forgot about that one particular place I once had terrific fun as a child. Maybe this is just me. But maybe there are also people like me, who moved to different city and not coming back. I return to my hometown not too often, and when I do, THR Sriwedari is always out of my "Place to Visit" list. I left it behind. I abandoned it.

Sehingga saat mas Kusumandaru mengunggah beberapa foto THR Sriwedari hasil bidikan kameranya di sini dan di sini, saya mati-matian menahan tangis di kantor. Gambar-gambar yang diambil petang hari menjelang magrib itu memperlihatkan keadaan THR Sriwedari saat ini. Taman hiburan yang teronggok di sudut kenangan. Lebih banyak terlupakan. Looking aged, frail, tired, and battered. Ditinggalkan oleh orang-orang yang semasa kecil pernah begitu girang menikmati segala yang ada di dalamnya―dan saya adalah salah satu dari mereka. Membuat dia, lama-kelamaan, mati perlahan.

Merry-go-round that is neither going around nor looking merry. Photo credit: Kusumandaru.

Kolam renang tanpa suara kecipak air. Photo credit: Kusumandaru.

Senyuman karakter-karakter pop dari balik cat yang mengelupas. Photo credit: Kusumandaru.

Boom-Boom Car yang tidak saling bertumbukan. Photo credit: Kusumandaru.

Photo credit: (still) Kusumandaru.

Seharusnya saya yang berterima kasih, THR Sriwedari. 

Thank you for being there in my childhood days. Thank you for being my source of happiness, splashing bright colors in my pretty ordinary elementary schooler life. Terima kasih banyak telah menemani masa kanak-kanak saya dan menghiasinya. Terima kasih atas segala tawa, senyuman, dan keriaan yang pernah saya rasakan sewaktu berkunjung ke sana. And I'm sorry for not doing anything to keep you around longer. I'm sorry I've forgotten about you, for years, until it's too late. You won't be here by 2018, but this short piece of writing will always stay in this blog of mine.

z. d. imama

13 comments:

  1. Belum pernah main sampe THR, tapi aku ngerti kalo tempat-tempat seperti ini memiliki kenangan yang cukup mendalam. Ndak ngerti kenapa sampai ditutup. Toh bukannya lebih baik diupgrade ya. Kota Solo, kota menengah yang yah... Hiruk pikuk di dalamnya bikin kangen.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mbok coba main ke sana mas sebelum dikukuti... Ada banyak faktor yang jadi masalah sih sampai akhirnya tutup, salah satunya tentang sewa lahan. Googling saja, beritanya nanti ketemu kok.

      Delete
    2. Saya mainnya cukup ndangdutannya mbak~

      Delete
  2. kisah yang sama di Jogja dengan Purawisatanya....
    Dulu semasa TK hingga awal SD menjadi tempat hiburan murah meriah bisa menaiki semua wahana, tapi karena perkembangan jaman, Purawisata pun tak mampu lagi menjadi tempat wahana hiburan. Sayang, saya tak sempat mengabadikan sebelum kini ia menjadi tempat pertunjukan Ramayana dan beberapa kolam renang yang dipertahankan

    ReplyDelete
    Replies
    1. "Karena perkembangan jaman" ini sebenarnya bikin mikir banget sih, mbak. Apa iya benar-benar murni karena mereka nggak bisa 'mengikuti', atau kita sendiri yang justru nggak menjadikan taman-taman bermain/hiburan kayak gini relevan... *masih sedih*

      Delete
    2. karena jaman bocah dulu, gawai belom poluler, wahana jadi salah satu hiburan dari orang tua buat anaknya. sekarang, anak-anak udah dikenalkan gawai sejak dini. mereka jadi asik dengan layar. dan gak berminat dengan wahana-wahana yg ada. kalo yang aku liat sih begitu...
      atau memang pengelola tidak mampu melakukan inovasi, biaya perawatan per wahana pun ga bisa dibilang murah... banyak faktor kayaknya. dan akan jadi bahasan yang panjang.
      wahana-wahana tadi jadi saksi keceriaan anak-anak gen Y di masa bocahnya :")

      Delete
  3. Duh, aku jadi mewek. Inget toko kelontong kecil di kampung belakang rumah. Dari belom skul aku sering kabur ke situ beli snack gak sehat. Hahahahahaha... sampe sudah jadi emak-emak juga masih suka ke sana beli di situ. Sampe sekarang, kalo kulewat toko itu juga kumasih tereak dengan semangat manggil ownernya: Bu Mus!!!!
    Padahal tokonya udah tutup setahun yang lalu karena Bu Mus udah meninggal. Hueeeee

    ReplyDelete
    Replies
    1. Snack gak sehat memang tiada duanya, mbak :")))

      Delete
  4. Peluk buat Z.. Gak tahu harus bilang apa lagi. Semoga ada jalan/opsi lain bagi karyawan-karyawan yang di-PHK..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak Nat. Amin. Baper terus sampai hari ini tiap ingat soal THR Sriwedari :"(((

      Delete
  5. I've been there once and I remembered my cousin brought her study report.
    Sempat kaget ketika baca headline berita soal THR ini ditutup :(

    ReplyDelete
  6. Akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan komentar di blog ini. Padahal, saya sudah membaca blog ini sejak tulisan exchange beberapa tahun lalu lho. Maafkan, saya memang cenderung pasif-tidak agresif yang suka takut kalau-kalau justru membuat orang lain tidak enak hati dengam jejak yang saya tinggalkan #ikutcurhat
    Omong-omong, tentang curhat colongan yang dialamatkan pada saya, sadly, somehow I know how it feels like :"
    Nah, berhubung saya mendaratkan diri di postingan Sriwedari ini, saya jadi mau lanjut curhat. Sebenarnya waktu awal saya tahu kabar penutupan ini saya menyayangkan, tapi kemudian ya sudah sampai disitu saja karena merasa tidak punya emotional attachment yang berlebih. Mungkin karena saya jarang sekali ke Sriwedari walaupun jarak rumah dekat dan punya gratisan dari rapot. Ya, karena tidak ada yang bisa diajak dan orang tua cenderung menerapkan hidup hemat. Tapi setelah membaca tulisan ini..... saya sukses sedih. Saya jadi ingat ketika terakhir ke sana bersama teman-teman SMA saya, ingat ketika SD juga ke sana dan ketakutan di rumah hantu, menonton pentas di panggung super tinggi di Sriwedari, dan menyadari betapa berapapun umur saya, ulat bulu tetap menjadi wahana terfavorit saya. Saya jadi makin sedih melihat foto bapak di atas. Tulisan ini sudah membantu mengembalikan emotional attachment saya yang pernah hilang entah kemana, ya walaupun sebenarnya menyedihkan juga karena terpanggilnya sudah di saat-saat terkahir :'(

    ReplyDelete