Thursday, 19 October 2017

Between clarifying and justifying


Sehubungan dengan self-proclamation saya sebagai whiny blogger, kali ini kita kembali pada episode ngomel-ngomel berikutnya. Terakhir kali saya menumpahkan isi pikiran tentang hal-hal yang saya lihat terjadi di sekeliling adalah dalam tulisan ini, yang entah bagaimana bisa bertengger di posisi puncak sebagai entri yang paling banyak dibaca orang. Okay, that is not too long ago. I know that. But my head is one noisy, crowded, hell so I need to put some things into 'Google Drive' kind of place and that place is this blog. Saya terus terang senang bukan kepalang jika ada yang membaca isi blog saya, but seriously, the eternal question from me would be: why?

"Manusia tempatnya kesalahan."

Mari kita awali tulisan ini dengan kalimat yang rasa-rasanya sudah overused tersebut. Namun yaa... memang tidak ada manusia yang sempurna, kok. Setiap orang pernah berbuat salah. Termasuk saya. Salah saya banyak banget, malah. Tapi yang terpenting sebetulnya seperti apa bentuk kesalahannya, lalu apa dan bagaimana yang dilakukan seseorang setelah kesalahan tersebut diperbuat. Ya nggak, sih? Atau saya salah lagi?

Sejauh saya lihat, banyak orang-orang di sekitar kita yang sangat, sangat, SANGAT sulit menerima kritik, saran, apalagi teguran saat melakukan kesalahan. Nggak perlu pakai kata 'salah', deh. Nanti sewot. Gini saja: banyak dari kita kerap melakukan hal yang mengganggu kenyamanan, menyerobot hak, memandang rendah serta mendiskriminasikan orang lain namun sewaktu ditegur justru reaksinya lebih ofensif dibandingkan yang memperingatkan. Kan lucu. These people, then, begin to make excuses. They start to justify themselves. And sometimes, that just won't do. If other people get your points wrong, or if you do make mistakes, it's okay (advisable, even) to make clarifications. But it's better not justifications.

Komik Calvin and Hobbes tentang justifikasi.

Barangkali banyak yang tidak mengerti―mungkin justru tidak peduli―bahwa ada perbedaan antara kedua hal tersebut. But you should care. You should know. Saya akan mencoba ambil pengertian yang mudah dipahami saja (bisa dilihat langsung di sini). Clarification is the act or process of making things clear, by freeing something from visible impurities, double entendre, or ambiguity. On the other hand, justification is an explanation, an excuse, a reason, that one try to offer which produces acceptable support for behavior, belief, or occurrence. Kelihatan kan bedanya? Saat seseorang mengatakan suatu hal yang heavily-contextual dan spesifik di ruang publik, lalu ada yang memaknai kata-kata tersebut dalam konteks berbeda, pihak pertama bisa kasih klarifikasi untuk meluruskan. Menghilangkan makna ganda. Atau jika memang kita berbuat keliru, bisa saja mengklarifikasi dengan, "Maaf. Tadi saya salah. Seharusnya tidak demikian."

Justifikasi juga boleh disebut 'pembenaran'. Ya gitu. Sesuai namanya, kita mati-matian mencari alasan yang dapat membenarkan perbuatan kita... yang kurang layak didukung. Contoh? Banyak. Beranggapan kaum LGBT adalah penyakit jiwa (dianggap menular, perlu direhabilitasi bahkan dikarantina), tapi saat dikoreksi bahkan dengan bukti-bukti ilmiah justru berlindung di balik 'kebebasan berpendapat'. Saya pernah menegur mas-mas pemotor yang naik ke trotoar sewaktu jalanan macet, eh dia malah bilang, "Lah itu mereka juga!" dengan sewot. Yaelah dasar sobekan sampo saset. Cuma gara-gara kalian melakukan itu berombongan, bukan berarti motor naik ke trotoar jadi tindakan yang oke.

Jenis-jenis justifikasi yang cukup sering saya temukan dalam masyarakat yang kadang rasanya sulit diharapkan ini di antaranya:

  • "Ya nggak apa-apa lah, kan kebebasan berpendapat!"
  • "Halah yang lain juga begitu!"
  • "Suka-suka gue, kan."
  • "Gue orangnya asik, terbuka, dan liar, jadi pikiran lo juga harus terbuka kalau ngomong sama gue." ― padahal aslinya cuma nggak mau dibantah aja.
  • "Berani ya anak jaman sekarang sama orang tua. Nggak sopan." ― kata seseorang yang kena tegur karena nyerobot antrian.
  • (Bisa ditambahkan sendiri di kolom komentar... jika berkenan.)

Sesulit itu ya menerima teguran, saran, atau kritik dari orang lain, bahkan yang diucapkan dengan sopan dan tanpa menyebut ungkapan-ungkapan yang merendahkan intelektualitas? Sebesar apa sih ego kita? Meski saya sendiri masih terus mencoba belajar untuk tidak ngeles kayak bajaj dan melemparkan pembenaran bertubi-tubi secara brutal ketika dapat masukan, perkara ego ini adalah hal yang tidak kunjung mampu saya mengerti. Entah kenapa.

*Heavy sigh*


z. d. imama

3 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mental keroyokan ya hahaha.

      Tapi dapet "Kebebasan berpendapat, kan? Ya terserah gue dong mau gimana" juga nyebelin mz :')))

      Emang sih terserah mau punya opini kayak apa, tapi kalau opininya (yang direalisasikan dengan perbuatan) lalu melanggar hak orang lain terus diomelin atau kena tegur orang lain lha kok enak aja bawa-bawa free speech rights. Qntl.

      Delete
  2. Saya jadi teringat lagu "Persahabatan" dari Petualangan Sherina. Kenapa hanya yang pemberani yang mau mengakui kesalahan? Berbahaya sekalikah mengaku salah? Apakah kurang banyak yang berjiwa satria, sehingga sulit mendapat maaf? Sedemikian mahalkah maaf?

    Anyway. Saya senang sekali membaca blog ini! Ditunggu, episode-episode selanjutnya.

    ReplyDelete