Wednesday, 31 May 2017

A short rant about Detective Conan, which, as a series, is not short at all

Wednesday, May 31, 2017 27

Tempo hari saya mengobrol dengan seorang teman (aspek hidup yang sangat jarang dimiliki penulis blog ini―red.) di suatu family restaurant di Pacific Place. Perbincangan ini, entah bagaimana awalnya, menyerempet ke arah serial-serial komik Jepang superpanjang, dan berbuah teman saya nyeletuk dengan tampang setengah sebal, setengah geli, "Eh, aku udah ngikutin Conan sejak dua puluh tahun lalu ya berarti? Aku masih kelas lima SD loh pas pertama kali baca."

Sekadar heads-up, usia saya dan sang teman terpaut cukup jauh.

But then again, I think we agree that twenty years are not a short amount of time. Saya sendiri mengenal serial Detektif Conan ketika masih kelas tiga SD, saat kebetulan berkunjung ke tempat saudara jauh yang mempunyai koleksi komiknya. Apesnya, sentuhan perdana saya dengan serial ini adalah volume 19 dan 4, di mana dalam volume empat terdapat kasus ksatria baju zirah yang berlatarkan sebuah museum nyaris tutup.

Detektif Conan Chapter 30 (Volume 4), "The Armored Knight" 

Kebayang nggak anak kelas tiga SD baca sebuah komik untuk pertama kalinya dan disuguhi panel se-wow itu? Alhasil saya 'dihantui' gambar tadi hampir selama satu minggu penuh. Semenjak hari bersejarah tersebut hingga yaaah... lulus SD lah, saya sampai mengasosiasikan serial Detektif Conan bukan sebagai serial detektif, melainkan serial horor. Apalagi waktu itu belum kenal serial Detektif Kindaichi (yang 27 volume original series, ya, bukan sekuelnya yang sekarang keluar lagi).

Terus terang saya suka Detektif Conan. Banget. Bahkan saya hapal kasus apa terjadi di volume keberapa, setidaknya sampai volume 45 rilis. Habis itu rasa-rasanya tidak ada kasus yang layak direkam secara khusus dalam ingatan (bagi saya lho, ya) KECUALI episode-episode plot utama yang langsung melibatkan Organisasi Berbaju Hitam (OBH―iya ini singkatannya memang disengaja) dan tidak mengandung fake leadPada suatu titik tertentu setelah volume 40, saya perlahan menyadari bahwa formula kasus-kasus lama mulai sering di-recycle untuk kasus filler yang lain dan keberhasilan trik pembunuhan mulai banyak tergantung pada faktor keberuntungan. Bahkan kecurigaan Conan terhadap tersangka sering terletak pada hal-hal remeh-temeh nggak penting yang membuat saya ingin menjerit emosi, "Yaudah sih emangnya manusia nggak boleh ya mendadak kepengin makan tanpa cuci tangan atau garuk-garuk pantat terus lanjut ngupil????"

Detektif Conan Chapter 178 (Volume 18): "Code Name: Sherry"

Jika ditanya tokoh favorit, sepertinya saya bisa menjawab yakin: Haibara Ai. Kemungkinan besar karena kami sama-sama ngantukan dan jiwa kami berdua cenderung diliputi kegelapan. Terus terang saya agak marah kepada Gosho Aoyama karena keberadaan Ai seperti sengaja tidak dimaksimalkan untuk mem-boost kecepatan laju alur cerita, padahal dia muncul kali pertama di volume 18 dan pada volume 19 sudah ketahuan bahwa Ai merupakan adik dari Miyano Akemi yang terbunuh di volume 2! Coba, Conan sekarang volume berapa? Ini pasti gara-gara tim redaksi dan editornya Shogakukan yang nggak mau Detektif Conan cepet tamat. Hih.

Saya kagum sekali dengan sistem waktu di kisah Detektif Conan. Zaman berubah dan teknologi berkembang tapi umur tokoh-tokohnya dan tingkat pendidikannya gitu-gitu aja. Ada nggak sih di antara kalian semua yang cukup kurang kerjaan untuk menghitung:

  • Berapa kali musim semi, panas, gugur, datang silih berganti
  • Selaras dengan poin sebelumnya, berapa kali Valentine dan Natal dialami
  • Berapa kali Ran ikut ujian sekolah
  • Berapa kali Ran disinggung lagi persiapan, sedang, atau habis ikut turnamen karate
  • Berapa kali Shinichi bilang, "Aku belajar (masukkan suatu skill) di Hawaii, diajari ayahku."
Bahkan kalau diingat-ingat, ada beberapa peralatan canggih dari Profesor Agasa yang mau tidak mau harus 'tenggelam dihempas masa'. Misalnya seperti mesin fax portabel berbentuk kotak makan (lauknya asli) atau telepon selular berbentuk anting. Tapi ya gitu, biarpun dulu di komik Conan ada orang mainan pager dan sekarang di mana-mana sudah pakai smartphone dan selfie bermodal tongsis, semua orang tetap hidup abadi dengan usia tidak bertambah bagaikan bangsa Elf.

Volume pertama rilis di Jepang tahun 1994, kayaknya.
Hayo siapa yang belum lahir?

Kadang terpikir juga di benak... adakah di antara kalian yang cukup niat (dan sekaligus kurang kerjaan pula) untuk merangkum sebenarnya bagian-bagian penting di Conan itu seharusnya cuma makan berapa volume komik sih? Serius. Buang saja kasus-kasus filler nggak relevan, episode fanservice yang nggak penting (ini biasanya dibikin untuk shipper Shinichi-Ran), lalu rangkum cerita-cerita seputar plot utama, kasus-kasus tertentu yang trik serta ceritanya terbilang masih baru, serta episode yang memuat petunjuk signifikan saja. Berapa duit dari ongkos total pembelian sekian puluh jilid buku yang mestinya bisa dihemat pembaca?

CONFESSION: Sejak volume 55 ke atas, saya masih rutin beli Detektif Conan sudah bukan karena memang menantikan kelanjutan kisahnya. Tapi lebih ke pertempuran harga diri. Semacam ingin meneriaki tumpukan komik di lemari dengan, "UDAH NGUMPULIN SEJAUH INI! GUE AKAN KEJAR LO SAMPE TAMAT! LIAT AJA!"

And please, please please, don't get me started on Detective Conan movies.

Pokoknya, cara paling direkomendasikan supaya bisa menyaksikan film-film Conan versi bioskop dengan seru, nyaman, dan riang gembira adalah mematikan segala unsur kecerdasan, pengetahuan, common sense, dan logika kita. Conan yang notabene berpenampilan anak kecil kelas 1 atau 2 SD masuk jalan tol naik skateboard turbo kebut-kebutan sama penjahat? Nggak apa-apa! Conan terjun bebas dari atas pesawat? Nggak apa-apa! Conan yang diceritakan buta nada tiba-tiba, demi mengungkap kasus, bisa menyanyikan lagu dengan pitch sangat akurat? Nggak apa-apa!

Woles is, always, the key.

Tolong bantu sampaikan pertanyaan ini ke Pakdhe Gosho, ya.

Berhubung takut malah makin baper kalau ngomelnya kepanjangan, saya sudahi saja sampai di sini. Jadi fangirl serial yang panjangnya amit-amit macam Detektif Conan tuh rasanya pedih, guys. *Berpelukan dengan fans One Piece dan HunterXHunter.*

z. d. imama

Monday, 22 May 2017

Lewat Tengah Malam: one (simple) book review

Monday, May 22, 2017 13

Saya mengenal nama Sweta Kartika belum lama. Barangkali semenjak 2013 (atau 2014?) ketika Shani Budi dan Mbak Ines bekerja sama dengan Sweta untuk membuat webcomic superhero berjudul NusantaRanger. Lewat NusantaRanger, yang ketika serialnya berjalan selalu rajin saya ikuti dengan penuh semangat, saya mulai mengenal karya-karya Sweta yang lain seperti Grey & Jingga―bukunya bisa dibeli di sini dan di sini, Wanara―sudah terbit dua volume, bisa didapatkan lewat sini dan sebelah sini, dan masih banyak lagi... tapi saya nggak baca judul-judul lainnya karena masih belum sempat ngulik.

Oktober 2016 lalu, melalui akun Twitter-nya, Sweta mengumumkan akan merilis sebuah buku khusus di acara Mangafest Jogjakarta. Berhubung saya belakangan berdomisili di area Jakarta sebagai gadis rantau, saya titip pada seorang teman yang memang hidupnya berkubang di Jogja untuk membelikan satu eksemplar. Mumpung katanya dia juga mau berkunjung ke acara tersebut. Sekalian, lah.


Sebenarnya saya berharap supaya sang teman mengirimkan buku ini ke Jakarta, makanya dengan sengaja saya transfer nominal yang cukup. Tapi ternyata... seluruh sisanya diambil sebagai 'uang lelah'. Hahaha. Ya sudahlah nggak apa-apa. Selepas acara, buku saya pun masih berada dalam cengkeraman teman.

Waktu berlalu.

Syukurlah pada acara Ennichisai 2017 yang digelar tanggal 13-14 Mei, teman saya mengatakan kalau dia akan ke Jakarta dalam rangka berpartisipasi cosplay dan mengajak bertemu untuk serah terima barang. A-KHIR-NYA! Setelah tertunda berbulan-bulan, saya pun bisa menyentuh buku ini, membacanya, dan membuat review terkait di blog pribadi karena kalau nggak begitu blog saya bisa nggak ada isinya sama sekali.

"Lewat Tengah Malam" adalah kumpulan kisah cerita misteri yang dihadirkan dalam bentuk sebuah buku sederhana setebal 58 halaman (+2 halaman kaver dalam dan copyright). Beneran sederhana, sebab hanya dijilid dengan staples biasa. Semacam majalah Bobo atau album Donal Bebek, gitu. Lucu deh. Ilustrasi sampul depan bisa dilihat sebagaimana gambar pembuka postingan di atas, sedangkan untuk sampul belakang adalah seperti ini:

Itu apa ya yang netes-netes...

Secara keseluruhan, Lewat Tengah Malam terdiri dari delapan kompilasi cerita pendek, satu cerita bergambar, dan satu komik. Judul-judul cerita pendek tersebut jika diurutkan berdasar daftar isi adalah

  1. Lima Malam di Rumah Bengkot,
  2. Lukisan Ny. Telasih,
  3. Misteri Sepotong Kepala,
  4. Tangisan Bayi di Kolong Ranjang,
  5. Roh-Roh Halus Itu,
  6. Misteri Bus Malam,
  7. Maut di Tanah Pasir, dan
  8. Suara-Suara dari Salemba.
Semua cerita pendek tersebut dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi yang membantu menjelaskan cerita dan sebagai pendamping judul. Supaya lebih jelas, saya sertakan foto halaman pertama deh.

Saya selalu heran dengan yang sanggup gambar seram. Nggak ketakutan sendiri gitu?

Cerita-cerita pendek dalam Lewat Tengah Malam cukup enak dibaca. Beberapa kisah memang tidak terlalu seram (saya sedikit curiga hal ini mungkin disebabkan oleh kekurangan penulis dalam penyampaian narasi), namun ilustrasi-ilustrasi Sweta yang top-notch selalu sukses memberikan boost yang mampu membuat pembaca merasa cukup 'terganggu'. Terlebih untuk cergam Misteri Ladang Tandus di Kaki Gunung Tengkorak dan komik Setan Ketandan, waduh... saya sempat merinding berat di beberapa adegan tertentu.

Secara umum, Lewat Tengah Malam cukup bagus sebagai bacaan iseng-iseng di kala senggang. Hanya saja, beberapa kesalahan EYD dalam penulisan narasi terasa agak mengganjal pemandangan dan mengurangi kenyamanan membaca. Kesalahan-kesalahan ini antara lain peletakan awalan dan kata depan 'di', penempatan tanda titik dan tanda koma, atau typo. Sayang, sih. Semoga untuk rilisan berikutnya, hal-hal semacam itu bisa lebih mendapatkan perhatian khusus.

(Kak Sweta kalau butuh proofreader, bisa hubungi saya di coldbutterbeer@gmail.com lho. Hehehe. #ShamelessSelfPromotion.)

Sebagai penutup, saya lampirkan ilustrasi pembuka komik Setan Ketandan yang menjadi judul terfavorit di Lewat Tengah Malam.  Komik sembilan halaman ini vibe mencekamnya nggak main-main, apalagi halaman ketujuh dan kedelapan berhasil membuat saya kaget sampai-sampai melemparkan buku di tangan ke seberang ruangan.

Kuburan kalau digambar sedemikian rupa kok creepy banget...

Apakah ada di antara kalian yang juga memiliki buku ini?
Atau mungkin karya Sweta Kartika lainnya?

z. d. imama

Monday, 15 May 2017

Playing the "If I were..." game

Monday, May 15, 2017 15

Kalian pernah nggak sih, merenungkan sepanjang hidup kalian lengkap dengan privileges yang dimiliki atau ketidakberuntungan yang menimpa? Lantas di dalam kepala memainkan skenario-skenario alternatif (baca: khayalan halu) yang kita inginkan untuk terjadi jika saja situasi dan kondisi diri kita berbeda dengan status quo. Saya sih sering. Gembel, memang. Tetapi kadang kala, rasanya sulit untuk tidak terjerumus dalam jurang penuh pertanyaan, "Ya Tuhan, hidup saya kenapa begini amat yah?"

Ada sejumlah hal yang biasanya paling sering hinggap di benak saya ketika sedang iseng-iseng melakukan sesi khayalan halu. Berhubung saya terlahir sebagai masyarakat kelas kere ceremende, sebagian besar skenario alternatif yang mencuat memang cenderung berkisar pada bagaimana jika saya memiliki kondisi keuangan yang lebih baik.

Apa saja, sih?

If I were born rich, I wanted to take up ballet lessons

Sebenarnya ini hasrat tersembunyi yang muncul sejak saya kelas... empat di Sekolah Dasar. Bisa terpenuhi pun, bergabung sanggar balet pada usia sepuluh tahunan sudah terbilang agak terlambat karena tidak sedikit anak-anak yang memulai latihan saat masih usia lima tahun (atau malah tiga-empat tahun sudah kursus balet).

Salah satu balerina favorit saya, Marianela Nunez, memerankan Odile/Black Swan

Barangkali jika ekonomi keluarga saya lebih baik, saya berani mengutarakan keinginan waku itu (pada dasarnya ayah saya bukan tipe yang bertanya ke anaknya, "Ada nggak kegiatan yang ingin kamu lakukan?" jadi kalau nunggu ditanya kayaknya keburu kiamat duluan).

Seorang teman mengatakan pada saya bahwa sebenarnya biaya kursus balet tidak semahal itu (entah benchmark yang digunakan berapa rupiah), tapi penting untuk digarisbawahi bahwa 'mahal' dan 'murah' bersifat relatif. Tergantung kemampuan finansial masing-masing... and unfortunately it was out of my reach, and out of what my family could afford. So, goodbye, my childhood-and-forever dream.

If I were good-looking and talented, I would join auditions

....so I can save up enough money from my own efforts to pursue higher education. Serius. Ya sebetulnya masalah ini jelas terselesaikan jika saya kaya-raya, tapi rasanya keren bisa mengumpulkan uang sendiri lewat menjadi idola (seperti jeketi-fortiet) atau mungkin fotomodel, untuk nantinya dipakai meneruskan pendidikan ke tingkat lebih lanjut.

Kepengin sekolah, hiks...

Terus terang saya pribadi tidak tertarik dengan beasiswa LPDP, yang notabene berasal dari uang rakyat, sehingga sebenarnya pilihan yang tersisa adalah mencari sponsor lain atau bayar sendiri. Agak nggak tahu diri sih mengingat betapa #SobatKizmin-nya saya ini, sok-sok pakai menolak duit negara, tetapi ya namanya sudah prinsip. Hahaha.

If I were born not as a human

Sepertinya jika terlahir bukan sebagai manusia (dan bisa memilih), mungkin saya akan mengajukan diri supaya bisa hidup sebagai kucing. Bahkan saya sebenarnya sudah curiga kalau di kehidupan sebelumnya, saya ini adalah kucing. Soalnya mau seberapa banyak pun saya tidur, bawaannya masih kepengin tidur lebih lama. Malesan banget kan...

Ketiduran di depan komputer/laptop is lyfe.

Hidup sebagai kucing sepertinya tidak terlalu punya banyak masalah. Mau beranak sebanyak apa pun juga nggak usah mencemaskan pendidikan formal dengan segala biayanya yang kian melonjak tinggi tiap tahunnya. Nggak diteriakin kofar-kafir ataupun najis sebagaimana anjing dan babi. Binatang kesayangan Rasul, pula. Kurang apa coba?

If I were to get superpowers

Ini nih. Salah satu khayalan halu saya yang cukup sering melintas di kepala bahkan sejak saya masih kanak-kanak. "Kalau punya kekuatan super yang tidak lazim dimiliki manusia, kamu ingin apa?" sudah kerap terbayang di benak saya entah berapa tahun lamanya. Mengenai ini pun, saya terus terang tidak mampu membuat keputusan final. Selalu ragu-ragu antara dua pilihan: 1) kemampuan menggerakkan benda tanpa menyentuh (or as we know it, psychokinesis/telekinesis) atau 2) kemampuan membelokkan dan menjelajah waktu (time-bending, time-traveling).

Barangkali karena saya merasa punya banyak hal yang 'seharusnya bisa dibenahi' atau 'ingin diulang lagi', maka bisa membelokkan waktu adalah semacam superpower idaman. Ditambah lagi, salah satu karakter fiksi favorit saya, Akemi Homura (dari Puella Magi Madoka Magica yang sempat saya buatkan review-nya di sini), juga mampu membelokkan waktu.

Akemi Homura kesayanganku <3

Jika boleh jujur, masih banyak lagi alternatif "Andai saja..." yang pernah melintas di benak saya. Tapi kalau ditulis semua akan jadi panjang sekali dan sedikit malu-maluin karena ketahuan jelas level halu diri ini. Jadi saya hanya tuliskan empat saja (itu pun kayaknya sudah lebih dari cukup).

Kalian bagaimana? Pernah sok berandai-andai seperti apa yang saya lakukan juga, nggak? Masa sih cuma saya sendirian yang suka begini...

z. d. imama

Monday, 8 May 2017

Please. I don't understand this "I'm a gem" narrative.

Monday, May 08, 2017 4

Saya ini tidak pandai. Serius. Banyak sekali hal yang tidak saya ketahui, mengerti, dan pahami. Salah satunya ya... yang akan saya bahas di postingan ini. Jika di antara kalian ada yang bisa membantu memberi saya pencerahan atau sanggup menguraikan kekusutan dalam kepala, pertolongan kalian akan saya sambut dengan senang hati. Huhuhu.

Pernah dengar ini?

"I am a gem, so you must fight hard to get me."

Beberapa kali saya mendengar narasi tersebut dilontarkan oleh perempuan, baik yang usianya di atas saya, seumuran, hingga lebih muda, dari yang saya kenali maupun tidak. Kadang-kadang narasinya ditambahkan kata 'rare' (kayak kalau pesen steak di restoran) dan jujur saja... saya tidak paham. Maka lewat tulisan ini saya bermaksud menumpahkan ketidakpahaman pribadi supaya ada yang berkenan memberi pencerahan, atau minimal mencari teman untuk bingung bersama.

Mohon dibantu agar muka saya nggak kayak gini melulu...

Apanya sih yang tidak saya mengerti?

Saya akan coba berusaha menguraikan... sebisanya (kembali ke poin awal bahwasanya saya ini tidak pandai). Semenjak memasuki tahun 2000-sekian, saya mau tidak mau jadi berangsur menyadari kalau film-film ala fairytale Disney mulai banyak mendapatkan kritik karena hampir selalu menampilkan protagonis perempuan sebagai damsel in distress. Oh baiklah, lebih tepatnya princess in distress. Tuan putri, dengan beraneka ragam kondisinya (dari yang beneran terjajah seperti Cinderella, dipingit ala Rapunzel, dikatain masyarakat "Idih kamu ngapain pinter-pinter, kebanyakan baca buku?" sebagaimana Belle, atau yang cuma bosen doang jadi anak Sultan kayak Jasmine).

Putri-putri ini menunggu 'pangeran' yang berjuang demi mereka (kecuali Belle kali yah, karena berdasarkan kisahnya kan dia dapet kastil megah terpaksa hidup di kastil menemani Beast). Banyak perempuan modern yang memprotes narasi ini karena dianggap tidak empowering. Tokoh protagonis perempuan―alias para tuan putri―dalam kisah-kisah tersebut dipandang sering (meskipun tidak selalu) diposisikan sebagai pihak yang senantiasa butuh diselamatkan, dilengkapi, atau diperjuangkan untuk bisa 'didapatkan'.


I don't know, it just bugs me.

Sebab saya tidak melihat ada perbedaan antara narasi ala "Tuan Putri Disney klasik" dengan "I'm a gem so you must fight hard to get me". Mungkin karena dalam kehidupan nyata, sulit sekali untuk menjadi 'tuan putri' beneran sehingga diganti dengan menyebut diri sebagai gem? Entahlah. Namun bagi saya, yang tidak pandai ini, semuanya terdengar nggak ada bedanya. Sama-sama 'istimewa'; satunya tuan putri di antara rakyat jelata, sedangkan satunya adalah gemstone di antara... mungkin batu kali atau batu bata. Sama-sama menunggu pihak yang bersedia berjuang demi dirinya, sementara dia diperbolehkan untuk bengong saja atau sibuk dengan urusannya sendiri (Aurora, misalnya, sibuk tertidur).

Saya gagal paham.

Esensinya terasa sama saja menurut saya, cuma kata-kata yang diganti. Padahal ungkapan "I'm a gem so you must fight hard to get me" terdengar cukup kuat belakangan ini, yang mana berarti banyak dong perempuan modern yang menyetujui dan mengamini narasi tadi? Kok agak lucu. Membingungkan pun.

Would the 'prince' be forever the only one who needs to fight dragon?

Jadi saya maunya bagaimana?

Nggak mau apa-apa sih. Saya hanya berpikir bahwa semestinya, tidak peduli perempuan atau laki-laki, jika punya keinginan ya harus mau maju untuk 'berjuang'. You are not a gem, you just another human being. Nggak perlu lah sengaja memposisikan diri sebagai pihak untuk 'didapatkan'. Jika memang ada seseorang yang kalian inginkan untuk terus bersama-sama, go for it. Jika ternyata kalian terlalu sibuk untuk mencari pasangan, menganggap urusan jodoh bukan hal yang cukup menarik, atau sebatas nggak selera saja dengan pihak-pihak yang mendekati kalian, tolonglah nggak usah pakai bawa-bawa narasi, "I'm such a gem and he doesn't fight hard enough for me". Bete juga kan seandainya sekadar dianggap trophy girl?

Ayolah. Kan katanya perempuan modern.
(Eh... iya nggak sih? Coba tolong saya diajarin.)
z. d. imama