Monday 7 November 2016

The Black Sheep of the Family


Black sheep (np): someone who feels left out in a family; the outcast of the family because they choose to do other things than to live up to their family's standards.

The definition above is taken from here.

Yak, jumpa lagi bersama saya di episode ngomel sekaligus numpang curhat berikutnya! Saya sudah menyerah dan berusaha menerima kenyataan bahwa blog pribadi ini memang isinya Nano-Nano bak merek permen yang rasanya campur aduk nggak jelas, bukan blog bertema tertentu macam beauty blog, travel blog, food blog, fashion blog, atau hedon blog. But at least I want to keep it real. Segala hal yang tertulis di sini (fiktif maupun nyata) adalah hasil ketikan kesepuluh jari saya sendiri, dan asalnya dari pikiran saya sendiri. Barangkali malah lebih orisinil dari skripsi para mahasiswa.

Oke.
Langsung saja ya.

Saya tidak tahu apakah yang mengalami ini hanya saya, tapi rasanya tidak. Mungkin kalian juga merasakan. Tapi semakin dewasa, saya kian menyadari bahwa tidak jarang reuni-reuni keluarga atau upaya silaturahim/kunjungan berubah menjadi bragging fest di sesi ngobrol-ngobrol. Alias adu pamer. Berkompetisi satu sama lain mengenai siapa yang hidupnya paling wow. Atau justru siapa yang hidupnya paling susah (tapi masih tetap tegar dong, pokoknya jangan lupa bersyukur).

A gathering―especially a familial one―should be fun, right?

Jika boleh jujur, dan saya akan jujur di blog sendiri, saya jengah. Jengah mendengar bragging fest yang saya rasa tujuannya bukanlah untuk saling berbagi atau memberikan informasi bermanfaat, melainkan menyelamatkan ego masing-masing. Rangkaian kalimat berita yang sesungguhnya tidak perlu-perlu amat untuk diberitakan. Membanggakan hal-hal yang rasanya tidak perlu dibanggakan berlebihan. Beberapa waktu lalu, saya berjumpa dengan seorang kerabat jauh. Percakapan yang terjadi adalah sebagai berikut:

  Kerabat Jauh (KJ): "Sekarang anu lho, Dik, anakku juga sudah bekerja."
  Saya: "Wah, syukurlah Tante."
  KJ: "Iya, alhamdulillah. Nggak kayak anaknya Tante Markonah itu, masa kuliah lama banget nggak kelar-kelar. Kan sayang duitnya... bisa dipakai yang lain."
  Saya: "Oooh."
  KJ: "Tapi gajinya anak aku juga nggak banyak kok, Dik. Namanya juga baru lulus, jadi sebulan cuma _____ juta aja." (KJ menyebutkan angka yang lumayan besar untuk seorang fresh graduate).
  Saya: *diam, masih sambil tersenyum tipis*
  KJ: "Tapi ya sampai sekarang aku masih kasih anakku uang saku, Dik. Soalnya nggak tega aja, gajinya kan nggak seberapa..."
  Saya: *mulai menyanyikan lagu opening anime Saint Seiya dalam hati sebagai pengalih perhatian*

Sounds familiar, people?


Barangkali ingin contoh lain? Oke. Bagaimana dengan kerabat jauh yang ketemunya lebih jarang terjadi daripada fenomena komet Halley tapi pas nongol-nongol yang dilontarkan kali pertama adalah:


  • "Lho kok kamu sekarang gendut?"
  • "Kamu makin jerawatan aja mukanya?"
  • "Kok dekil gini, nggak kayak dulu pas masih kecil?" 
    Hello, excuse me, have you ever heard of something called shitty puberty?
  • "Kapan lulus? Kamu nggak usah idealis kalau bikin skripsi." 
    ― Padahal saudara tersebut paham persoalan yang kita hadapi aja enggak. Nanya kenapa skripsi belum beres dan apa halangannya aja enggak.
  • "Kamu kapan nikah? Nanti keburu ketuaan. Nggak usah terlalu selektif nanti malah nggak laku lho." 
    Sementara yang bersangkutan kalau kita habis nonton konser atau jalan-jalan, komentarnya "Duh enak ya masih single, mau ngapa-ngapain nggak usah kepikiran anak."

Saya gagal paham. Mustahilkah reuni keluarga dilakukan tanpa harus membuat orang lain merasa tidak nyaman? Saya nggak butuh dengar pamer-pameran ini-itu. Nggak merasa wajib tahu juga. Pada saat yang sama, saya juga tidak berkenan mendapatkan pertanyaan demi pertanyaan bernada mencecar.. seolah-olah hidup saya adalah sebuah balapan yang mana kalau saya tidak memenangkan kompetisi ini maka mereka yang menonton juga akan rugi karena kalah taruhan.

Hal-hal demikian itulah yang membuat saya cenderung enggan diajak ke acara-acara reuni keluarga besar. Atau menolak untuk masuk ke dalam grup Whatsapp yang dalam sehari bisa penuh berisi ratusan chatAnd that, people, is how you become the black sheep of your extended family in this whole #BudayaTimur awesomeness.


I may be the black sheep of the family, but some of the white sheeps aren't as white as they think they appear.

Terkadang, keputusan untuk pergi meninggalkan kerumunan yang selama ini menjadi tempat kita berada bukanlah karena ingin memutuskan tali persaudaraan. Terkadang, langkah-langkah menjauh itu terjadi karena kita sudah tidak lagi menemukan kenyamanan. Supaya perasaan yang masih tertinggal tidak berubah menjadi suatu hal yang tak menyenangkan.


Urip kok yo ngene banget.
z. d. imama

16 comments:

  1. Mau keliatan merendah dikit padahal pamernya nganu dan ndak ngerti perasaan pemirsa, yg sabat ya nduk :3

    ReplyDelete
    Replies
    1. Om ganteeeeng!
      (Terminologi ini diajarkan oleh Kak Chika; salahin orangnya aja jangan saya.)
      Blog auk kok nggak ada update-an, tumben. Emang beneran pindah wordpress? :O

      Delete
    2. Haghaghag ga jadi pindah dan barusan apdet kok kui XD

      Delete
  2. My case: almost all aunts, uncles, and cousins are religious and there I am, the liberal-feminist-borderline agnostic who took off her hijab despite going to boarding school for three years. One of my cousins even went to the 411 demonstration lol

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semangat ya Puti X')))
      Aku karena nggak join grup Whatsapp keluarga besar jadi sekarang nggak tahu-tahu amat si itu ngapain dan si ini udah jalan-jalan ke mana aja. Tapi tempo hari aku juga lihat di Facebook sepupuku sendiri nulis status yang bikin facepalm... Well, sometimes not knowing is truly a bliss.

      Delete
  3. Sebagai salah satu black sheep kebanggaan karna usia udah 35 tapi masih belom ada tanda2 mau nikah ato berkembang biak(?) I can relate to this post. Tiap kali ditanya, "kapan kawin? Sepupumu udah punya 3 anak lho..." only God knows how I hold myself not to reply with mean answer such as "halah beranak kok dibanggain buat apa wong dia idup aja masih ngutang kanan kiri.." ato "yaiyalah udah 3 wong yang anak sulung udah di perut 4 bulan pas ijab kabul.."
    *mic drop*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yawis lah ya mis nek nikahnya karena kasus #KondomBocor ataupun #KondomFiktif. Cuma kalau nikah secara sadar dan merasa 'siap' tapi ternyata hidup tetep ngutang kanan-kiri kok ya nganu... Cuman ya selama nuclear family member tetep selow dan nggak bawel mah biarin aja para―apa itu dulu miskiki bilangnya?―saudara kecipratan DNA itu nyap-nyap...

      Delete
  4. Kayak pembicaraan kita tempo hari ya, jadi minoritas di keluarga. Gapapa jadi blacksheep, bisa ngumpet atau gak disadari ketika kehadiran kita tidak ada. Semacam jadi tembok jadi gak dicariin juga ama keluarga. :)))

    ReplyDelete
    Replies
    1. HAHAHAHA. Iya sih Kak. Diomongin pun juga terseraaaaaaah orang yang sibuk ngomongin orang kan mereka. Kita orang mah menikmati jadi invisible man. Terbiasa nggak masuk itungan. Bisa menyelinap jalan-jalan tanpa kedeteksi sensor mereka terus dititipin oleh-oleh segambreng. #eeaaaaa

      Delete
  5. jalan2 dari blog nya mas galih dan nemu blog ini, bagus2 tulisannya dan postingan yang ini pas betul dengan apa yang saya rasain.. kalo pakai bahasa teman2 saya, "merendah untuk meroket" :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo mas Fahmi, salam kenal.
      Wah terima kasih! Semoga betah membaca tulisan-tulisan saya, karena saya bukan themed blogger yang trendi gitu jadi tipe tulisannya agak sporadis :)))

      Delete
  6. Dan saya terjerat di grup whatsapp keluarga besar yang tiap menit bahkan detik, share-sharean copas-copasnya ngalah-ngalahin beranda bukumuka =))

    ReplyDelete
    Replies
    1. ADUH IYA INI BANGET.
      Salah satu penyebab kenapa saya left. Terlalu banyak hoax disebarkan, dari yang terdengar penuh iman sampai penuh kebencian dan hasutan. Banyak foto-foto nggak penting pula. Belum jumlah videonya... *menangis*

      Delete
  7. wadu jadi ingin curhat juga nih mnbak. kalau saya sih sebelnya mostly karena masalah urusan nikah dan belum nikah while saya yakin setiap orang punya pertimbangan sendiri kenapa kok belum memutuskan (atau malah tidak mau) menikah. saya sih selaw dengan keputusan tiap orang, lah wong dia hidup untuk dirinya dia sendiri. saya berpikiran seperti itu dengan harapan saya tidak akan ditanyai hal-hal personal macam itu. ndelalah, kok pancet ae ditakoki.... kan saya sebal ya. hamdalah sih, saya tidak bisa berbahasa jawa halus sehingga saya punya excuse untuk tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan menyebalkan seperti itu :))

    ReplyDelete
  8. Kejadian kayak gini biasanya sih pas kumpul keluarga, apalagi pas lebaran misalnya. Ada sodara deket maupun jauh, yaa kadang suka gitu bahasannya ya

    ReplyDelete
  9. *numpang curhat juga*
    aku juga pernah dibilang gini: "Kapan lulus? Kamu nggak usah idealis kalau bikin skripsi." bahkan bukan sama keluarga. hanya kenalan yang kebetulan nonton bareng di GOR dan sering keep contact lewat sosmed. https://geelottus.blogspot.co.id/2014/12/societys-judgment.html

    kadang orang emang hanya suka basa-basi yang bikin basi. hati jadi anyep. -,-"


    btw salam kenal :). isi blogku juga super random tergantung mood. hehee

    ReplyDelete