Monday 5 September 2016

Train to Busan is One Hell of a Ride


Korean dramas are not my cup of tea. There, I said it. Saya nggak suka kebanyakan drama korea, and believe me, I have tried watching lots of them. Tapi tetep nggak suka. Bahkan Descendants of the Sun yang dielu-elukan banyak orang itu pun menurut saya lumayan overrated. Alias biasa aja. Nggak seistimewa itu lah pokoknya... *kemudian tewas digebukin massa*

Tapi untuk kategori film bioskop, beda cerita. Beberapa dari film-film yang berkesan di hati saya justru adalah keluaran Korea (Selatan, ya... bukan tetangganya). And same goes with this movie.


One fucking hell of a ride.

It keeps you sitting straight on your seat, gripping the armrest while mumbling constant prayer for the safety of the characters. Or it makes you leaning away as far as possible from the screen, drowning yourself deep into your chair because you're just not ready for any possibilities that may happen.

Tokoh utama di film ini adalah seorang ayah bernama Seok Woo yang sedang menjalani sidang perebutan hak asuh anak perempuan semata wayangnya, Su An, dengan mantan istrinya. Namanya lagi rebutan hak asuh, Seok Woo sebisa mungkin berusaha 'menjauhkan'anaknya dengan sang ibu. Tapi Su An, yang besok berulang tahun, ternyata ingin bertemu ibunya yang kini tinggal di Busan. Akhirnya Seok Woo pun memutuskan untuk cuti kerja demi mengantarkan Su An naik kereta hingga ke Busan. Sementara itu di tempat lain, terjadilah sekelebat peristiwa 'sepele' di mana ada jalanan yang ditutup aksesnya karena ada kebocoran pada sebuah pembangkit listrik tenaga nuklir.

Tema Train to Busan ini sederhana. Dan, kalau boleh jujur, overused. Sudah buaaaanyak dipakai semua orang. Zombie outbreak, that is. Ada berapa banyak film dan serial yang mengangkat fenomena zombie apocalypse? Lebih banyak dari persentase lemak di badan saya, yang jelas.

But they Korean managed to keep it fresh. It's never about how to find cure. It's not also about being a 'special person' who is miraculously immune to the infection. Just like the tagline on the movie posters, it is just about a frantic struggle to stay alive. Mereka nggak buang-buang waktu memberikan penonton kronologi penyebab bocornya nuklir, atau siapa yang pertama kali terinfeksi... nggak. Those aren't even important shits because in an actual outbreak, oftentimes, we only notice it when it already turn into a great mess.



GET ON BOARD TO STAY ALIVE.

That's what they say. Really? But when all hell break loose inside the train compartments as well, what are you gonna do about it? How far can you make it uninfected? How far will you go to help other people, when you almost can see the end of your own life? And is there even a safe haven?



Film ini berhasil mengaduk-aduk emosi saya habis-habisan. Sewaktu saya dan E, teman saya, masuk ke dalam studio, kondisi perut kami berdua adalah sedikit kekenyangan setelah makan siang. Seiring berjalannya film, yang saya alami adalah mules karena ketegangan luar biasa dan diakhiri dengan lagi-lagi merasa kelaparan... ketika ending credit bergulir di layar. Piece of advice: eat up before you see this masterpiece. It will suck out a lot of your energy. Guaranteed. Dan nggak usah repot-repot bawa cemilan, deh. Kalian bakal lupa sama sekali dengan popcorn yang sudah dibeli, atau sekadar jadi nggak doyan ngunyah apa-apa sepanjang nonton.



Tokoh-tokoh yang menjadi fokus cerita ini tidak banyak. Selain Seok Woo dan putrinya, Su An, ada pula bapak-bapak gempal berjaket biru bernama Sang Hwa yang naik kereta bersama istrinya, Seong Kyeong. OH HOW I LOVE THIS MARRIED COUPLE. AND AT THE SAME TIME I HATE THEM, TOO. Karena mereka adalah biang kerok terbesar dari emotional wreck yang saya alami. Sepanjang durasi film, yang saya lakukan setiap kali Sang Hwa dan Seong Kyeong disorot adalah komat-kamit berdoa semoga mereka selamat, dan supaya janin dalam kandungan Seong Kyeong baik-baik saja. Melihat sosok ibu hamil lari pontang-panting menghindari kejaran zombie sambil memegangi perutnya benar-benar membuat isi lambung saya seperti dijungkirbalikkan.

LAGIAN SIAPA SIH YANG PERTAMA KALI SOK NGIDE BIKIN ZOMBIE JADI BISA IKUT LARI-LARIAN?

Ada pula Young Guk, cowok SMA anggota tim baseball yang hendak bertanding, dan Jin Hee, anggota  pemandu sorak. Cuma dua orang itu yang tersisa dari rombongan sekolahnya. Teman-teman mereka yang lain tidak berhasil menyelamatkan diri. Jin Hee ini meskipun bisa dibilang nggak berguna and basically being a liability, she is not exactly that kind of dumb girl who always puts others in a disadvantage situation. I can sympathize to her 'clueless and afraid and knowing that she basically has no use' being.

Beberapa tokoh lain yang cukup disorot adalah bapak-bapak gembel yang menyelinap masuk kereta tanpa tiket dan dua orang nenek-nenek bersaudara yang saya tidak bisa ingat namanya. Coba kalian cek sendiri di IMDB atau situs film lain kalau memang penasaran, harusnya sih ada... #MaafSayaPemalas


Film ini, walaupun tragis dan berdarah-darah selayaknya film zombie apocalypse yang sahih, sejatinya menyuguhkan kisah tentang manusia dan kemanusiaan. Kita diperlihatkan berbagai macam perilaku manusia di momen-momen krusial. It tells us about how selfish mankind can be, and what kinds of horrible things we are able to do. On the other hand, this movie also shows us selflessness and great sacrifices. And it tears and rips and shreds my heart apart then ruthlessly crushes the broken pieces to dust. They Korean lads won't spare a thing when making good movies; they don't even care if their creation ends up eating and gnawing at your soul. Mereka manusia-manusia filmmaker tega, dan seberapa pun kalian bersiap untuk menghadapi yang terburuk, they still catch you off-guard anyway. 

If they are playing gods when making their films, then they are doing it great with Train to Busan. Your prayers, sometimes, aren't granted. Your wish, sometimes, just does not come true. It is a cruel world, coming in a package with fucked-up reality and bleak future. Hope is something only you can grow inside your own heart, because others surely won't offer you any.


Final verdict: 
GET YOUR ASS TO THE CINEMA AND WATCH THIS MASTERPIECE.

Jangan nunggu keluar link Torrent-nya atau apalah. Don't be a cheapskate for this one. This one is best enjoyed on a big screen with a whole lot of companions. Kalian akan mendengar tarikan-tarikan napas tertahan, umpatan-umpatan lirih, dan jika beruntung, sesenggukan pelan dari penonton-penonton lain dalam ruangan studio di bangku sekeliling. Layar laptop, atau bahkan layar televisi kalian tidak akan sanggup menyamai sensasinya. Kecuali kalau punya perangkat home theater sendiri (tapi kalau memang punya, harusnya cukup modal untuk nonton di bioskop kan?).

z. d. imama

6 comments:

  1. Kalimat terakhirnya nendang bangeeet! :))))

    Iya, film ini BAGUS BANGET! Aku belum sempet review di blog sih. Kemaren pas nonton di sebelah nangis ampe sesegukan. Aku gak sampe nangis terus dimarahin sama Alex. :)))

    Terus pengen nonton lagi sih. Sambil bawa cemilan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Cemilan macem apapun udah nggak ketelen, Kak, pas kemarin nonton ini :)))
      TEGANG BANGET YAMPON. Mules abis. Aku juga nangis sih nontonnya, ya habis karakter-karakter yang kudukung dengan sepenuh jiwa kok malah diceritakan begitu huhuhu... *mewek*

      Dan gregetan banget juga pas lihat si bapak-bapak gembul berjas hitam yang sok penting itu. Yang jelas kalaupun sempat nonton lagi kayaknya juga tetep nggak akan bawa makanan atau minuman apa-apa >__< Nanti popcorn-nya malah melempem ketetesan air mata...

      Delete
    2. Endingnya emang unpredictable sih. Tapi emang tipikal film Korea suka ngasih adegan nangis berdarah-darah. *lebay*

      Delete
  2. Sekali lagi. Drama korea yg pernah saya tonton sampai tuntas ya DoTS yNg menurutmu biasa aja gitu. Seleramu aneh sepertinya hahaha

    Tapi film ini bikin pnasaran jg. Nantilah ditonton pas iseng dan drama draft saya usai #malahcurcol

    ReplyDelete
    Replies
    1. DotS itu di mata saya medioker karena pada akhirnya yang dititikberatkan adalah romance antara dua tokoh utama dengan terlalu banyak klise di sana-sini dan fenomena kebetulan :)))

      Padahal kan karena dia digadang-gadang sebagai drama patriotik (judulnya saja "Descendants of the Sun"???), saya berharap sisi kehidupan sebagai dokter dan pasukan militer khusus akan lebih diulik secara mendalam. Tahunya cuma setting tempelan. Ibarat kerjaan mereka diganti jadi fotografer area konflik dan guru, misalnya, nggak ngefek banyak sama ceritanya :))))

      Tapi Train to Busan ini bagus kok.
      DAN TEGA. Jadi siap-siap saja, hahaha...

      Delete
  3. Ah Man... ini filem gak main di kota asal kite -,- penasaran bgt tapi yakali ngacir ke JKT buat nonton ini.

    While on the other hand, the last K-movie I watch is a complete potato. Kan sedih gimana gitu baca ini

    ReplyDelete